“A-ah … “Desahan demi desahan meluncur mulus dari bibir ranum Biya yang berulang kali dicumbu oleh Dalvin. Mereka berada di ruang tengah, duduk di atas sofa, dan bisa menatap wajah satu sama lain yang dipenuhi kabut nafsu. Meski hanya cahaya bulan yang menjadi penerang saat listrik masih belum menyala, namun itu tak menghentikan kegiatan mereka.Biya menggenggam bahu lebar Dalvin saat penis Dalvin melesak masuk ke dalam vaginanya. Biya mendongakkan kepala, matanya terpejam nikmat, dan perlahan Biya menggerakkan pinggul maju-mundur. Bergerak di atas Dalvin untuk kali pertama—Biya merasa begitu nakal, apalagi Dalvin juga menatap si perempuan intens.“P-Pak,” Biya merengek. Menggerakkan pinggul perlahan, karena tidak mampu membendung seluruh rasa nikmat di area bawah yang diciptakan oleh fraksi persetubuhan mereka.“Iya, cantik?” Dalvin bertanya tanpa berhenti menikmati pemandangan di hadapannya. Dalvin menepuk-nepuk pantat Biya; membiarkan perempuan itu menikmati setiap sensasi yang ad
Hal pertama yang aku dapati saat membuka mata pukul setengah dua belas siang adalah aku terbangun seorang diri di kamar milik Maya dengan kondisi telanjang bulat. Aku menyibak selimut lalu melihat banyaknya bercak kemerahan di tubuhku, dari dada, perut, paha, sampai selangkangan. Aku menggigit bibir bawah bagian dalam, kenapa semalam aku dikuasai nafsu sampai sebegitunya?Perasaan bersalah mulai menyerang, karena teringat pada ayah, kakak, dan juga temanku … apalagi Gama. Kalau sudah berbuat maksiat saja baru menyesal. Aku mengumpati diriku sendiri yang selalu mengulangi kesalahan yang sama. Pak Dalvin sialan, andai dia tidak kemari, aku pasti tidak akan melakukan hal tidak senonoh itu dengannya.Tapi, ini juga salahku karena tidak bisa menolak akibat terbawa nafsu dan sedang dalam masa subur pula. Tunggu, semalam Pak Dalvin memakai kondom, kan? Ak
“Pak Dalvin … saya … umm … “Atmosfer ruang tengah sangat canggung dan menusuk tulang sampai rasanya aku mau kabur setiap kali tidak sengaja menciptakan kontak mata dengan Pak Dalvin. Kami duduk berdampingan di sofa, ada jarak sekitar tiga puluh sentimeter, dan tak ada suara apapun selain deru napas kami yang bersahutan.Perutku seperti diaduk aduk; mual sekali rasanya setelah makan lalu dihadapkan pada situasi seperti ini. Situasi di luar dugaan. Kapan terakhir kali aku memiliki pembicaraan serius dengan Pak Dalvin? Aku tidak ingat. Ah, tunggu, sepertinya beberapa minggu lalu saat aku berada di rumahnya. Menginap dan membicarakan bahwa aku bisa mengambil keputusan sendiri tanpa perlu memasukkan semua saran dan kritik ke dalam hati.“Kamu sebenarnya mau bicara apa? Dari tadi &l
Pak Dalvin pulang ke rumah sesudah membersihkan kamarku. Pak Dalvin membawa sprei serta sarung bantal kotorku dan mengatakan bahwa akan membawanya ke binatu—tempat mesin cuci dekat rumahnya—lalu akan diserahkan lagi padaku melalui jasa pengiriman online. Aku berterima kasih padanya, karena kamarku jadi super duper bersih.Pak Dalvin mengganti sprei serta sarung bantalku menggunakan sprei dan sarung bantal yang diambil dari dalam lemariku. Dia membersihkan lantai kamarku menggunakan vacuum cleaner. Kamarku menjadi super bersih seperti baru. Aku merebahkan diri di sofa, menonton serial televisi luar negeri kesukaanku, sambil menggerak-gerakkan kedua kakiku agar tidak terlalu kram dan bisa berjalan besok pagi.Meski sudah menemukan aktivitas yang tepat untuk dilakukan seorang diri, aku masih belum bisa melupakan seluruh cerita dan pengakuan dari Pak Da
“My mom wants to meet you. Do you have any free time this week?”Hari ini aku susah payah datang ke perusahaan menggunakan jasa driver online dan saat sampai di tempat kerja justru termenung memikirkan pertanyaan Gama sebelum dia pulang ke rumah semalam. Aku berulang kali mengerjap, karena sadar ada beberapa data yang salah kumasukkan ke dalam laman sheet. Aku sesekali melirik ke arah Pak Dalvin yang juga mencuri pandang ke arahku.Tatapannya … sedikit berbeda dari biasanya, namun aku tidak begitu yakin soal arti sorot yang lelaki itu berikan padaku.‘Hanya satu bulan,’ aku mengingatkan pada diriku sendiri sembari menghela napas panjang. Berusaha mengusir rasa bersalah, cemas, takut, khawatir, dan le
[“Ce, yakin mau ketemu mama gue hari ini?”]Kau tahu apa yang lebih menyakitkan dibanding mendengar penuturan jujur Fidelia hari ini? Sikapku sendiri. Aku terlalu takut menghadapi sebuah fakta yang seharusnya bisa kuterima demi kebaikanku sendiri, sampai aku tidak berani menemui Pak Dalvin yang ingin menemuiku malam ini untuk membicarakan sesuatu. Mengkonfrontasi Pak Dalvin atas apa yang aku dengar dari Fidelia bukanlah hal yang aku inginkan.Alhasil, aku mendadak mengatakan pada Gama bahwa aku bisa menemui mamanya hari ini. Malam ini. Tanpa pemikiran panjang. Demi menghindari Pak Dalvin. Kalimat Fidelia sama sekali tidak bisa berhenti terngiang di kepalaku—mungkin, itu adalah hal yang sama dalam kepala Maya—hanya saja Maya tidak mengutarakannya blak b
“Jujur, aku nggak mau Dalvin datang ke acara pernikahan kita.” Sudah setengah jam lebih pasangan itu berdiskusi di apartemen pribadi nan minimalis milik si perempuan. Airin awalnya berniat membahas soal desain undangan pernikahan serta bahan jenis apa yang cocok dengan tema pernikahan mereka di outdoor. Namun, malah sampai berdebat ke mengundang tamu, salah satunya Dalvin. Mereka berdua duduk berhadapan di ranjang. Saling menatap dengan emosi serta ekspresi wajah yang cukup bentrok. Airin kebingungan, karena Arsen tidak mau mengutarakan mengapa dia enggan Dalvin datang; Arsen menahan diri, karena tidak mau Airin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mau bagaimana pun, Arsen juga sudah berjanji pada Biya untuk tidak memberitahukan aibnya pada orang lain. Arsen sendiri tidak mungkin mengumbar-ngumbar sesuatu yang jelek
“Cewek lo sudah pulang?”Gama menoleh ke arah Celine. Kakak perempuannya itu berdiri di ambang pintu ruang tamu, melipat kedua tangan, dan mengawasi Gama dengan sorot yang sulit dijelaskan. Gama menutup pintu rumah—dia baru saja mengantar Biya yang dijemput oleh Arsen di depan.Gama menganggukkan kepala pelan. “Iya, dia sudah pulang dijemput Kakaknya. Kenapa, Ce?”“Can we talk a bit?”Mereka masuk ke dalam kamar Celine. Kamar perempuan itu beraroma wangi; didominasi aroma bunga acacia bercampur sedikit aroma buah plum segar. Ada sepercik aroma vanilla ketika benar-benar diendus dengan hati hati. Kamarnya tertata sangat rapi dan detil—selama sepuluh tahun, tata letaknya selalu sama. Tak ada perubahan selain sprei yang diganti rutin seminggu sekali.Mereka duduk berhadapan di atas ranjang Celine. Melipat kedua kaki rapi.Kening Gama berkerut samar saat menunggu Celine membuka mulut. Tampak ada ketidaksenangan serta sedikit keraguan tersirat pada ekspresi serta sorot mata perempuan itu.