Pak Dalvin pulang ke rumah sesudah membersihkan kamarku. Pak Dalvin membawa sprei serta sarung bantal kotorku dan mengatakan bahwa akan membawanya ke binatu—tempat mesin cuci dekat rumahnya—lalu akan diserahkan lagi padaku melalui jasa pengiriman online. Aku berterima kasih padanya, karena kamarku jadi super duper bersih.
Pak Dalvin mengganti sprei serta sarung bantalku menggunakan sprei dan sarung bantal yang diambil dari dalam lemariku. Dia membersihkan lantai kamarku menggunakan vacuum cleaner. Kamarku menjadi super bersih seperti baru. Aku merebahkan diri di sofa, menonton serial televisi luar negeri kesukaanku, sambil menggerak-gerakkan kedua kakiku agar tidak terlalu kram dan bisa berjalan besok pagi.
Meski sudah menemukan aktivitas yang tepat untuk dilakukan seorang diri, aku masih belum bisa melupakan seluruh cerita dan pengakuan dari Pak Da
“My mom wants to meet you. Do you have any free time this week?”Hari ini aku susah payah datang ke perusahaan menggunakan jasa driver online dan saat sampai di tempat kerja justru termenung memikirkan pertanyaan Gama sebelum dia pulang ke rumah semalam. Aku berulang kali mengerjap, karena sadar ada beberapa data yang salah kumasukkan ke dalam laman sheet. Aku sesekali melirik ke arah Pak Dalvin yang juga mencuri pandang ke arahku.Tatapannya … sedikit berbeda dari biasanya, namun aku tidak begitu yakin soal arti sorot yang lelaki itu berikan padaku.‘Hanya satu bulan,’ aku mengingatkan pada diriku sendiri sembari menghela napas panjang. Berusaha mengusir rasa bersalah, cemas, takut, khawatir, dan le
[“Ce, yakin mau ketemu mama gue hari ini?”]Kau tahu apa yang lebih menyakitkan dibanding mendengar penuturan jujur Fidelia hari ini? Sikapku sendiri. Aku terlalu takut menghadapi sebuah fakta yang seharusnya bisa kuterima demi kebaikanku sendiri, sampai aku tidak berani menemui Pak Dalvin yang ingin menemuiku malam ini untuk membicarakan sesuatu. Mengkonfrontasi Pak Dalvin atas apa yang aku dengar dari Fidelia bukanlah hal yang aku inginkan.Alhasil, aku mendadak mengatakan pada Gama bahwa aku bisa menemui mamanya hari ini. Malam ini. Tanpa pemikiran panjang. Demi menghindari Pak Dalvin. Kalimat Fidelia sama sekali tidak bisa berhenti terngiang di kepalaku—mungkin, itu adalah hal yang sama dalam kepala Maya—hanya saja Maya tidak mengutarakannya blak b
“Jujur, aku nggak mau Dalvin datang ke acara pernikahan kita.” Sudah setengah jam lebih pasangan itu berdiskusi di apartemen pribadi nan minimalis milik si perempuan. Airin awalnya berniat membahas soal desain undangan pernikahan serta bahan jenis apa yang cocok dengan tema pernikahan mereka di outdoor. Namun, malah sampai berdebat ke mengundang tamu, salah satunya Dalvin. Mereka berdua duduk berhadapan di ranjang. Saling menatap dengan emosi serta ekspresi wajah yang cukup bentrok. Airin kebingungan, karena Arsen tidak mau mengutarakan mengapa dia enggan Dalvin datang; Arsen menahan diri, karena tidak mau Airin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mau bagaimana pun, Arsen juga sudah berjanji pada Biya untuk tidak memberitahukan aibnya pada orang lain. Arsen sendiri tidak mungkin mengumbar-ngumbar sesuatu yang jelek
“Cewek lo sudah pulang?”Gama menoleh ke arah Celine. Kakak perempuannya itu berdiri di ambang pintu ruang tamu, melipat kedua tangan, dan mengawasi Gama dengan sorot yang sulit dijelaskan. Gama menutup pintu rumah—dia baru saja mengantar Biya yang dijemput oleh Arsen di depan.Gama menganggukkan kepala pelan. “Iya, dia sudah pulang dijemput Kakaknya. Kenapa, Ce?”“Can we talk a bit?”Mereka masuk ke dalam kamar Celine. Kamar perempuan itu beraroma wangi; didominasi aroma bunga acacia bercampur sedikit aroma buah plum segar. Ada sepercik aroma vanilla ketika benar-benar diendus dengan hati hati. Kamarnya tertata sangat rapi dan detil—selama sepuluh tahun, tata letaknya selalu sama. Tak ada perubahan selain sprei yang diganti rutin seminggu sekali.Mereka duduk berhadapan di atas ranjang Celine. Melipat kedua kaki rapi.Kening Gama berkerut samar saat menunggu Celine membuka mulut. Tampak ada ketidaksenangan serta sedikit keraguan tersirat pada ekspresi serta sorot mata perempuan itu.
Dalvin tak pernah berencana membeberkan seluruh pengalaman masa lalu; asam garam yang sudah dia lalui selama hidup pada seorang perempuan bernama Biya. Perempuan yang awalnya dia anggap sebagai salah satu pegawai bawahan super pembawa sial, menyebalkan, tidak becus melakukan apapun, dan selalu membuatnya mendapat masalah di mana pun dan kapan pun.Dalvin menggaruk tengkuk ketika berada di kamar hotel; menyewa jasa salah satu pekerja seks komersil daerah ibu kota yang tarifnya cukup menguras dompet. Dalvin duduk di sisi ranjang saat perempuan bernama Zelia itu memeluk dari belakang—bersikap genit usai melepas sebagian pakaian yang melekat pada permukaan tubuh sintalnya.“Kamu mau sekarang atau nunggu aku mandi dulu?” tanya Zelia. Perempuan itu bergelayut pada lengan berotot Dalvin; sengaja menempelkan buah dadanya agar Dalvin bergairah lalu &ls
[Gama: Ce, nanti malam mau nonton di mall? Or we can watch anime or any movies at your place if you want to loll][Biya: Sure :DBiya: Boleh nonton di tempat gue][Gama: Haha okay. I’ll bring some snacks. I love youu]Biya tak berniat berlama-lama di perusahaan setelah menyelesaikan seluruh pekerjaannya. Toh, sudah ada janji dengan Gama untuk menonton film bersama. Biya ingin menebus seluruh kesalahan yang ada, supaya rantai lingkaran dosa yang sudah berbulan-bulan berlangsung bisa segera musnah. Biya tak mau menyakiti siapapun setelah ini, apalagi keluarga dan Gama, yang bersedia memberinya kesempatan untuk kesekian kali.Sayang, niat Biya terpaksa dibatalkan saat sepuluh menit sebelum jam pulang, Dalvin datang ke mejanya. Semua itu jelas disaksikan oleh semua pegawai dalam ruangan departemennya. Dalvin dengan wajah datar bak atasan yang asing, bicara dengan kalem, “Setelah ini saya mau bicara. Jangan pulang dulu, Biya.”Biya dalam hati jelas menjerit penuh keterkejutan dan tidak men
“LO MEMILIH RESIGN?” Mataku membelalak usai menerima panggilan telepon dadakan dari Maya. Semesta mengejutkanku dua kali hari ini tanpa henti. Tadi, Pak Dalvin membuat darahku mendidih; sekarang, Maya membuatku memijit pelipis tak percaya. Aku baru sampai di lobby apartemen dan suaraku cukup menggema hingga menarik perhatian beberapa orang di sana. Aku meringis malu kemudian buru-buru masuk ke dalam lift; menuju ke kamar agar bisa lebih leluasa bicara dengan Maya. “Kenapa? Apa keadaan mama lo memburuk?” [“Hmm, I don’t know,”] jawab Maya. Suara paraunya menunjukkan bahwa dia terlalu banyak menangis sejak kemarin. Aku duduk di meja makan. Kedua alisku bertaut jelas, bibirku sedikit mengerucut, karena bisa membayangkan beratnya perasaan Maya saat ini. [“Gue nggak mau gue nggak ada di sisi Mama saat terjadi sesuatu yang buruk. Gue nggak berharap, tapi gue sebagai anak … gue merasa percuma kerja banting tulang kalau mama nggak ada lagi. Gue kerja buat nyenengin mama, bukan buat diri gue
“Kamu mau resign?”Hari ini, aku menemui Pak Dalvin secara personal usai jam kerja berakhir. Tak ada siapapun di dalam ruang kerja selain kami. Aku menganggukkan kepala mantap saat berdiri di depan meja kerjanya dan menatap amplop cokelat berisi surat pengunduran diriku—one month notice sesuai kebijakan perusahaan. Apa yang perlu kuragukan lagi? Apa pula yang perlu kutunggu? Aku tidak mau rasa bimbang, atau lebih tepatnya naif, mempengaruhiku lagi membuat keputusan.“Really?” terdengar kedongkolan dalam nada bicaranya. Pak Dalvin mengudarakan tawa sarkastik tanpa mengalihkan pandang dariku; seolah memberi tahu bahwa dia masih tidak percaya atas keputusanku yang dianggap konyol. “Kenapa? Kenapa tiba-tiba kamu mengundurkan diri? Saya ada salah? Apa karena saya menuntut kamu untuk tetap menjalin friends with benefits dengan saya?”“Ini one month notice, sesuai kebijakan perusahaan,” tuturku lugas. Menegapkan dada tanpa menurunkan pandang. Mengambil keputusan berani yang paling benar. “Sa