Helena tercengang. Kali ini, wanita itu tidak bisa berkomentar. Ia pikir ucapan kekasihnya beberapa hari yang lalu hanya omong kosong biasa.
"Sayang?" Panggilan dari Nico menyadarkan lamunan Helena."I–iya Mas?" tanya Helena terbata-bata.Nico mengulas senyumnya. "Kenapa? Kamu bisa menemani Mas, 'kan?" Helena mengangguk, tanpa mengeluarkan suara.Kedua pasangan itu segera pergi ke suatu tempat. Helena duduk di samping Nico yang sedang fokus melajukan mobil. Tak lama Nico memarkirkan mobilnya di depan gedung yang begitu megah. Bahkan sangat jelas namanya menghias di depan gedung tersebut. Di ukir menggunakan bunga berwarna-warni yang begitu indah."Helena dan Nico?" tanya Helena, melirik Nico yang sedang tersenyum kepadanya."Memangnya kamu lupa dengan pesta pernikahan kita yang akan di langsungkan seminggu kemudian?" Nico mencolek dagu Helena, membuat wanita itu mengulum senyum."Ti– tidak, tidak. Rasanya tidak percaya saja, mas Nico akan menikahiku secepat ini." "Ayo, kita masuk!" Ajakan dari Nico, justru membuat Helena menggeleng."Aku percaya, Mas. Sebaiknya kita persiapkan kebutuhan yang lain. Apa kamu sudah menyiapkan makanan atau desainer untuk membuat baju pengantin kita?" Nico mengangguk."Sudah aku siapkan. Bagaimana kita pergi ke tempat lain? Untuk mengganti pesta ulang tahun yang sempat kita lewati?" tawar Nico.Helena mengangguk, karena ia pun sudah lama tidak bepergian di malam hari. Siang hari pun ia selalu menyibukkan diri di dalam rumah."Kenapa kita ke sini, Mas?" tanya Helena gugup.Helena membulatkan matanya sempurna. Karena sang kekasih membawanya ke hotel bintang lima yang lumayan jauh dari kediamannya. “Mas?”Nico tidak menjawab. Pria berpakaian jas dilengkapi celana hitam itu segera turun dari mobil. Memutari kendaraan seraya membuka pintu milik Helena."Turunlah. Kita nikmati malam ini." Ujar Nico menyodorkan tangannya agar Helena menerima gandengan jemari kekarnya itu.Helena tertegun. Wanita itu memang ragu karena belum sepenuhnya milik pria di depannya itu. ‘Bagaimana jika nantinya Mas Nico membohongiku? Kalau aku hamil, apa mas Nico mau menganggap anaknya adalah darah dagingnya sendiri?’Pertanyaan itu mengelilingi pikiran Helena, tetapi ia tidak bisa memberontak karena Nico terus menuntunnya masuk ke dalam kamar yang sudah di pesan. Sampai akhirnya keduanya sudah berada di dalam ruangan kamar. Kini ditemani debaran jantung yang tak karuan, Helena duduk di tepi ranjang.“Ihs, Mas!” protes Helena merasa risi, Nico sengaja mencolek dagunya.Nico memberikan pandangan menggairahkan, menunjukkan ketertarikan dan keinginannya kepada Helena.Tatapan memikat dari Nico, membuatnya semakin gugup saat pria itu duduk di sampingnya. Helena menggeser kan tubuh agar sedikit ada jarak dengannya, tetapi Nico mengikuti gerakannya, bahkan pria itu mengikis jarak semakin mendekati telinga Helena. “Berikan tubuhmu sekarang dan aku akan memberikan mahar lebih untukmu."Bisikan dari pria gagah itu membuat Helena meremang. Seketika masuk ke dalam alam bawah sadarnya."Ta– tapi Mas ..." Helena mendorong tubuhnya agar menjauh."Ayolah ... nikmati malam ini denganku. Aku janji akan mengganti malam lain dengan yang lebih indah." Nico menatap Helena dengan lekat. Matanya tak rela menghindari kecantikannya. "Ma– mas ..." Lirih Helena. Jemari kekar itu menyusup ke dalam lehernya membuat debaran jantung semakin memburu, kala Nico perlahan menutup mata dengan bibir kini tak berjarak mencumbunya.“Hmpt ... Ma– mas!” desah Helena. Keindahan setiap inci tubuh Helena semakin membuatnya tergoda, apalagi Nico sudah melepas sebagian pakaiannya. Tak sabar merasakan surga dunia yang saat itu terpampang jelas di depannya. Napas Helena tak beraturan, tatapan nakal dari Nico seperti harimau yang sedang mengincar mangsa. Helena mundur menjauh dari Nico yang mengikis jarak dengannya."Cukup!" Helena mendorong tubuh Nico agar menjauh darinya."Kenapa? Kamu seperti perawan saja yang baru pertama kali melakukan ini?" celetuk Nico terkekeh."Aku memang perawan!" Ketus Helena segera bangkit dan mengambil tasnya di atas meja."Kamu mau ke mana, Sayang?" Nico meraih tangannya untuk menghentikan langkah, tetapi Helena menepis tangan kekar itu."Aku tidak bisa. Maaf aku. Bukannya Mas bilang sebentar lagi kita akan menikah? Aku mohon ... kendalikan nafsumu, Mas!" Beruntung dress hitam yang dikenakannya masih rapi, ia hanya menepuk-nepuk bagian yang kusut setalah itu pergi meninggalkan Nico. "Helena!" Tak rela menyia-nyiakan waktu kedekatannya bersama Helena, Nico secepat mungkin menggunakan jas putihnya. Ia berlari mengejar Helena."Kamu mau pergi ke mana?" Helena mematung di tempat, setelah seseorang berhasil meraih tangannya."A– aku mohon jangan lakukan itu," sahut Helena lirih."Tidak perlu takut, sayang. Ikut kembali denganku, ya?" bujuk Nico, kali ini Helena mencoba menenangkan diri ikut kembali dengan Nico ke dalam kamar.Helena memilih duduk di sofa merah dekat jendela, Nico berdiri di belakangnya. "Aku tidak akan melukaimu. Jangan takut seperti ini."Tubuh Helena kembali meremang, merasakan belaian lembut dari Nico mengusap kepalanya. "Lalu, untuk apa Mas membawaku ke sini lagi?"Nico Mengubah posisinya, kali ini ia berlutut di depan Helena. "Hanya ingin sedikit menyentuhmu. Tenang saja, aku akan melakukannya dengan lembut."Helena tertegun, ingin sekali ia memberontak, tetapi tenaga Nico sulit di tepisnya. Pria tua itu menangkup tubuhnya tanpa ada jarak. "Aku mencintaimu, Helena!" Peluh keringat menemani ketegangan Helena malam ini, deru napasnya beradu dengan Nico yang mulai menghangatkan dalam bibirnya. "Ma– mas. Aku mohon jangan. Bawa aku pulang sekarang!" Helena terperanjat, kala mendapati sentuhan dari jemari kekarnya yang menyusup ke inci bagian tubuh yang sensitif.Helena berlari ke depan pintu, membuat Nico sedikit kesal dan mengejarnya. "Jangan munafik, Helena. Aku mengerti, jika kamu sudah lima tahun menjadi janda. Pastinya kamu menginginkan hal lebih dari seorang pria." "Tidak." Helena menggeleng. Ia terus menundukkan kepala dengan punggung yang sudah menempel di pintu."Ayolah ..." kali ini Nico sudah tidak bisa lagi menahan kesabarannya, ia menarik tubuh Helena dan mendorongnya terlentang di ranjang."Ma– mas!" Helena memundurkan tubuh, selimut putih menjadi sakit bagaimana wanita itu benar-benar ketakutan. Apalagi netra tajam dari Nico, menatapnya yang sudah berada di atas tubuh Helena."Di sini tidak ada yang akan menolong mu!" ancam Nico, perlahan ia mengecup seluruh bagian raut wajah Helena. Helena selalu menyingkirkan bibir Nico, tetapi tenaganya lebih kuat darinya.*****“M– mas. Jangan. Aku geli!”Ezra menghentikan langkah, mendengar suara wanita yang sangat di kenalnya dari salah satu kamar yang dilewatinya. Ia sengaja mengikuti ke mana mobil yang dilajukan oleh Nico. Bahkan sudah satu jam lamanya ia menunggu di depan kamar. "Seharusnya yang di sana itu aku, bukan Ayah!" gumam Ezra. Pria itu mengepalkan tangannya. Bahkan mengacak-ngacak rambutnya karena frustrasi. Mendengar suara desahan yang bersahutan, terbayang sang pujaan hati dengan ayahnya sedang melakukan kebahagiaan di dalam kamar.Ezra mendengus kesal seraya bangkit. Emosi yang memburu membuatnya berani untuk mendobrak pintu kamar di depannya.BRAK!"Dasar pak Tua gila. Lepaskan tante Helena!" cecar Ezra di depan pintu. Melihat sang Ayah berada di atas tubuh pujaan hatinya."Ezra, jaga etikamu!" Nico yang terbelalak akan kedatangan sang anak, ia bergegas bangkit dan mendekati Ezra, Helena menghela napas panjang, ia merasa lega akan kedatangan Ezra."Kenapa kamu lancang seperti ini?""Jika bukan tante Helena wanitanya, aku tidak peduli!" sentak Ezra. Pria muda itu berjalan mendekati Helena."Apa Tante baik-baik saja?" tanya Ezra, Helena mengangguk tanpa mengeluarkan suara."Sebegitu pedulinya kamu kepada Helena." "Karena tante Helena adalah kekasihku!" Nico terbelalak, tatapan tajam darinya tertuju kepada Helena. Helena menggeleng cepat, ia bangkit mendekati Nico. "Ezra bohong, Mas. Jangan percaya."Nico yang kini menatap kebencian pada Helena, ia berkata, "Dasar wanita rakus. Kamu sudah menghabiskan hartaku, bisa-bisanya kamu juga punya hubungan dengan anakku."Nico bergegas pergi, di temani emosi yang sudah mencapai ubun-ubun. Membuat Helena berlari mengejar Nico. "Mas, aku berani bersumpah tidak punya hubungan apa pun dengan Ezra." "Tante!" Tak ma
Kini, wanita keturunan Indonesia-Belanda itu sedang meratapi nasibnya. Ia tatap kekayaan yang mengelilingi rumahnya itu, membayangkan jika sang kekasih benar-benar marah padanya. Pastinya ia tidak mungkin mendiami rumah itu lagi."Astaga ... kenapa hubunganku dan mas Nico menjadi rumit seperti ini! Dasar bocah kecil pembawa sial. Gara-gara Ezra aku tidak bisa tidur nyenyak," keluh Helena. Jangankan untuk tertidur, hatinya dipenuhi keresahan karena takut kekasihnya tiba-tiba pergi darinya."Helena?" Wanita yang sedang duduk di sofa ruangan utama bergegas bangkit, ia menyeka air matanya. Raut wajah kesedihan, diganti dengan senyum semringah. Suara itu sangat di kenal olehnya yang tak lain adalah Nico."M–mas?"Setelah membuka pintu, ia mendapati Nico yang langsung berlutut di depannya. "Maafkan aku, Helena. Ya, sekarang aku jujur padamu jika aku mempunyai istri tiga, tetapi kamu harus percaya padaku jika nantinya kamu menjadi istri terbaikku!"Bak disambar petir, jantung Helena berhent
Tidak sampai di situ, emosi yang memuncak masih di rasakan oleh Nico. Setelah ia pergi dari hadapan pemuda itu, ia bergegas menemui Ezra. Jam tangan menunjukkan angka 11 siang, itu tandanya sang anak masih berada di kantornya."Ezra ... Ezra!" Suara bariton yang menggema seisi perusahaannya, membuat beberapa karyawan begitu ketakutan mendapati Nico yang memasang raut wajah garang, tetapi Ezra tetap santai mengunci ruangannya."Ezra, kenapa kamu tega membuat ayah hancur seperti ini?" teriak Nico yang sudah berada di balik pintu ruangan Ezra. "Ezra, KELUAR!" begitu murkanya Nico saat ini kepada sang anak.Pria muda yang sedang santai duduk di kursi berputar, ia mematikan layar laptop di depannya. Akhirnya Ezra bangkit menemui sang Ayah. "Ada apa, hmm?" Ezra mengangkat kedua alisnya. Ia merasa puas, karena sudah pasti sang Ayah membongkar kebodohannya sendiri kepada Helena."Jangan terlalu percaya diri kamu bisa mendapatkan Helena begitu saja," pelik Nico menatap tajam kepada Ezra."De
"Lebih baik kamu pergi dari sini. Jangan sampai gara-gara tingkahmu, aku di permalukan di tempat kerjaku sendiri!" perintah Ezra."Urusan kamu denganku belum selesai!" Mateo masih memasang tatapan tajam. Ia mendengus kesal, yang akhirnya pergi meninggalkan Ezra. Pemuda yang kini menjabat sebagai CEO di perusahaan sang Ayah, ia kembali lagi duduk di kursi berputar. Sedikit memijit keningnya karena pening, ia tak habis pikir kepada sahabatnya yang seharusnya marah kepada Nico, bukan pada dirinya.Melanjutkan pekerjaannya pun sudah pusing, akhirnya Ezra bergegas pergi dari perusahaan itu."Selamat siang, Pak!" Seorang wanita sebagai karyawannya menyambut Ezra yang baru saja keluar dari ruangannya."Siang," jawab Ezra santai, la melanjutkan langkahnya, tetapi wanita itu mengejarnya."O, ya, Pak. lima belas menit lagi klien dari perusahaan sebelah akan datang." Mendengar ucapan wanita tersebut, Ezra menghentikan langkahnya."Wakilkan saja," sahut Ezra."Ta– tapi, Pak. Jika klien itu tidak
Mateo yang sama sekali tidak di cegah oleh beberapa satpam di rumah Ezra ia bergegas lari ke kamarnya. Nico membiarkan Mateo. Ia masuk ke kamar dengan perasannya diselimuti rasa gembira. "Kamu salah memilih Ayah menjadi pesaing mu, Zra!" Langit-langit kamar menjadi saksi melihat Nico menghamburkan senyum sumringahnya. "Ezra! Ezra!" Ezra menghela napas panjang. Suara bariton yang sangat ia kenal terdengar jelas di balik pintu. "Untuk apa Mateo datang menghampiriku di malam ini?" "Ezra!" Pria muda yang sudah menggunakan piyama putih perlahan bangkit. Sedikit berkaca dan ternyata ketampanannya masih terlihat tampan."Ada apa?"Mateo yang sudah menatap tajam padanya, langsung melayangkan satu pukulan kepada Ezra. "Di mana, Mamah?"Ezra meringis perih, mengusap pipi yang mendadak merah akibat perlakuan sahabatnya. "Kenapa kamu mencari Tante Helena di sini?" Bukannya menjawab, Mateo dengan keadaan emosinya melayangkan pukulan lagi kepada Ezra di pipi yang lain. "Katakan!""Apa maksud
Membayangkan kejadian malam tadi berjalan sempurna, membuat Nico di pagi hari ini begitu segar di sekujur tubuhnya. Ia berkaca sambil menyisir rambutnya yang sudah sebagian putih, ditemani senyum manis yang merias raut wajahnya. "Sebentar kita menikah, Helena. Sudah pasti Ezra kalah dalam permainan ini!"Ting!Terdapat notifikasi masuk dalam ponsel, ia bergegas mengambilnya yang tergeletak di atas ranjang.[Maaf, Tuan. Tadi malam kami tidak berhasil menculik nona Helena]Ia remas ponsel yang di genggamnya, dengan netra yang mendadak merah. "Sial!" umpat Nico. Deru nafasnya kembali memburu setelah membaca pesan dari salah satu asistennya.[Dasar goblok! Lalu, sekarang kemana Helena pergi?]Tak lama seseorang itu membalas pesannya.[Kami tidak tahu.]Nico yang kelabakan karena saling takutnya kehilangan Helena, ia langsung menelepon kekasihnya.Tuut!Tuut!Tuut!"Astaga!" Tak sampai di situ, Nico pun bergegas mengirim pesan padanya.[Helena. Cepat kamu datang ke rumahku. Jangan salahk
"Bisa jelaskan padaku, kenapa Tante bisa tahu pak Tua itu mempunyai tiga istri?" Helena menghela napas panjang, ia tak menjawab yang nyatanya sedang membuka kunci pintu rumah itu."Tante jelaskan di dalam." Ezra mengangguk. Mengikuti langkah Helena dan Mateo yang sudah di dalam rumah tersebut.Ezra bergidik, banyak sekali laba-laba bersarang di sudut ruangan itu. Melirik ke kanan dan ke kiri pun ia sedikit jijik untuk menduduki sofa kotor yang sudah di tempati Helena dan Mateo."Kamu jijik, ya? Sebentar!" Melihat keraguan dari raut wajah Ezra, Helena bergegas mengambil sehelai kain yang berada di dalam lemari. Di gelarnya salah satu sofa untuk di duduki Ezra.Ezra menyeringai. "Terima kasih, Tan.""Ok. Sekarang bisa jelaskan kepadaku?" tanya Ezra. Ia sebenarnya sudah tahu. Namun, mengingat kedekatannya dengan Helena sulit dicapai, pertanyaan itu hanya menjadi alasan saja."Baiklah ... Malam itu ada seseorang yang mengirim pesan kepada tante. Hingga akhirnya tante sendiri menemuinya d
Kali pertamanya Ezra senyum semringah di pagi yang cerah. Tidak lagi gusar berpikir keras untuk bersaing dengan Nico. Ia yakin jika Helena pasti akan memilihnya karena sang Ayah sudah mengecewakannya."Morning kiss, Tan!" Di ciumannya sebuah ponsel yang di dalamnya terpampang foto Helena. Ezra yang sudah berpakaian rapi, ia bergegas keluar dari tempat persembunyian di balik kamar.Ia duduk di meja makan sambil memakan sepotong roti yang di berikan selai coklat. Berharap bertemu dengan Nico, tetapi sudah lima belas menit lamanya ia menunggu sang Ayah, pria paruh baya itu belum juga menunjukkan batang hidungnya.Akhirnya Ezra bergegas pergi kantor. Ditemani jas berwarna navy, ia melajukan mobil dengan santai."Pak!" Saat Ezra memarkirkan mobil di gedung berlantai empat itu, baru saja keluar dari Mobil, seorang wanita memanggilnya dari belakang. Ezra menoleh."Ada apa?"Wanita itu mendengus kesal. Ia mendekati Ezra. "Mana uang tambahan untukku?" Ezra terkekeh, saking bahagianya ia samp
Akhirnya setelah Helena mengizinkan keduanya pulang ke rumah yang sempat ia huni, Aca dan Mateo terbebas oleh rengekan bayi terutama perintah Ezra. Kini tepat pukul 8 malam, pasangan suami-istri itu sedang berduduk santai sambil menonton siaran televisi. Pasangan baru itu terlihat sedang menikmati masa pengawalan yang indah. Namun, sekilas keindahan itu mendadak sirna saat Aca mengingat kedua orang tuanya. “Jangan besok, Ca. Kita cari waktu yang pas,” tegur Mateo, ia keberatan mengikuti permintaan Aca yang menginginkan pulang ke kampung halamannya. Wanita berbaju dress hitam selutut itu mendengus kesal seraya melihat kedua tangannya di dada. “Aku khawatir kepada orang tuaku, Mateo. Jika kamu tidak bisa pergi, biarkan aku sendiri yang pulang.”Mateo menggeleng cepat. “Untuk sekarang ini kamu bisa Videocall. Kamu itu tanggung jawabku, tidak mungkin aku membiarkan kamu pergi begitu saja.”Akhirnya karena rasa rindu yang sulit terbendung, Aca segera meraih ponselnya untuk menghubungi k
Emosi yang sudah memuncak menyelimuti perasaan Helena, membuat Ezra saat ini tidak bisa berkutik. Akhirnya pria itu membawa sang istri ke dalam ruangan bayinya. Sesaat derai air mata membasahi pipi Helena. Begitu nyeri rasanya di dada, melihat bayi yang tak berdaya Tergeletak ditemani beberapa alat medis yang tertempel di dada serta perutnya. “Kau tega melihat bayi ini, Zra?” Isak tangis Helena menjadi-jadi. Ia terus mencecar suaminya karena perbuatannya atas kesengajaan Ezra membuang asinya. Tiga tim medis itu hanya diam karena tidak tahu apa-apa. Mereka berisi di belakang pasangan yang sedang berdebat.Helena belai pipi bayi mungil itu, derai air matanya terus bercucuran seakan ingin sekali menggendongnya. “Kau memang Bubukan dari hasil benih suamiku. Namun, kau tidak perlu khawatir. Akan ada aku yang selalu menemanimu setiap saat.”Seketika Helena menoleh kepada tiga tim medis yang sengaja Ezra perintahkan untuk menemani bayinya. “Kapan Bayiku bisa keluar dari box ini?”“Setelah
“Bagaimana, Pak? Jika ada kendala terkait pasien segera hubungi kami,” Ujar seorang tim medis yang ikut ke rumah megah itu. Selain membantu memasangkan alat yang akan ditempelkan ke badan sang bayi, nantinya ketiga tim medis itu diperintahkan untuk mengontrol keadaan Helena dan bayi tersebut. Ezra perhatikan alat medis yang terkait sempurna di badan bayi laki-lakinya, seketika ia mengangguk. “Besok pukul 6 pagi kalian datang ke sini. Rawat bayi sampai pukul 6 sore.”Lagi-lagi permintaan Ezra membuat tiga tim medis itu keberatan. “Maaf, Pak. Kita juga ada pekerjaan di rumah sakit.”“Tidak ada alasan. Saya sudah meminta izin kepada rumah sakit.” Nyatanya, biaya sekitar 1milyar sudah masuk ke pihak rumah sakit. Selain untuk menyewa alat medis di sana, pun tiga tim medis dan beberapa dokter sudah ia jadwalkan untuk menjaga kondisi Helena dan Bayinya agar terjamin pulih dengan baik.“Ba– baik, Pak. Kami akan kembali rapat waktu.” Pamit ketiga tim medis itu lalu bergegas pergi. Kini ruma
Kejadian menakutkan untuk Ezra akhirnya datang juga. Begitu cemasnya saat melihat brankar yang terdapat Helena di atasnya beranjak memasuki ruangan operasi. Dokter memutuskan untuk Helena melakukan tindakan Caesar, selain janinya prematur daya tahan tubuh Helena pun lemah. Tak banyak berpikir akhirnya Ezra menyetujui saran dari Dokter wanita beralmamater putih itu. Helena justru bersikap tenang, karena Ezra selalu di sampingnya. Jarum infusan serta beberapa alat medis terpasang di tubuhnya. Namun, Helena sesaat terkekeh melihat Ezra menangis sambil mengusap-usap keningnya. “Kamu tenang, Suamiku. Aku akan baik-baik saja.” Ezra tertegun. Ia lirik bagian perut istrinya yang mulai ditutup kain berwarna hijau. “A– aku takut, istriku. Pokoknya kamu rileks, ada aku di sini.”“Jika Bapak takut, Bapak Keluar saja. Istri Bapak pasti baik-baik saja.” Ezra menggeleng cepat. “Aku tidak mungkin meninggalkannya. Pokoknya jangan sampai istriku terluka!”Ujaran dari Ezra mengundang tawa para Dokter
“Kenapa mereka berpikir seperti itu? Padahal aku sama sekali tidak pernah memaksa Ezra untuk memberikan asetnya padaku. Dari dulu, kau pun tahu Ezra selalu mengejar-ngejar Mama.” Gerutu Mateo sesampainya di rumah. Pria berjas hitam itu begitu kepada sang istri, karena Aca terus menahannya untuk sabar. Padahal emosinya sudah memuncak, mungkin jika tidak ada Aca di sana, bibir beberapa karyawan itu sudah di sumpel menggunakan sempak olehnya. Aca menghela napas panjang sambil duduk di depan suaminya, ia tidak mungkin membiarkan Mateo mencoreng nama baiknya di sana. Mengingat kini jabatannya sudah menjadi CEO yang pastinya harus bersikap dermawan. “Aku pun menyadari jika Mamah sudah nenek-nenek, tetapi mereka tidak tahu bagaimana kita berusaha menolak permintaan Ezra!” “Mateo, lihat perlakuan Ezra. Apa dia langsung marah dalam menyikapi permasalahan seperti ini? Kamu seharusnya sabar, jangan sampai emosi itu membawa nama baikmu tercoreng di pabrik.” Celetukan dari Aca, membuat Mateo
Sebagai pria muda yang hidup sebatang kara, bagi Ezra ia harus mempererat hubungannya dengan sang istri, terutama kepada Mateo selaku anak tirinya dan kerabat dekatnya.Kini Ezra yang sedari dulu dikelilingi harta berlimpah, sama sekali tidak merasa rugi. Baginya melihat Helena bahagia menjadi istrinya pun ia sudah merasa puas. Yang dikejar olehnya ialah ketenangan dan kedamaian di lubuk hatinya, mengingat saat Nico dan Ibundanya masih ada, ia seperti pemuda gelandangan yang haus akan perhatian. Namun, secuil pun Ezra tidak mempunyai dendam kepada kedua orang tuanya, justru kobaran semangatnya semakin memuncak saat ini. Ia harus membuktikan jika dirinya bisa berdiri karena perjuangannya, bahkan bisa memberikan kebahagiaan yang layak kepada anak dan Istrinya. “Terima kasih, Suamiku. Aku pikir kamu memang benar-benar sudah tidak membutuhkan Mateo.” Ujar Helena kegirangan sambil mengusap lembut pipi Ezra yang sedang mengendarai mobil. “Aku bukan pria yang sengaja menyembunyikan kepemi
“Loh, maksudnya apa ini, Mateo?” tanya Aca terbelalak. Sama dengan Mateo yang netranya membulat sempurna. “Sepertinya kita masuk perangkap Ezra lagi.” Pasangan yang masih menggunakan piyama itu bergegas keluar. Rasa khawatirnya kepada Helena tiba-tiba hilang, tergantikan dengan keheranan. Kini keduanya sudah berada di halaman perusahaannya. Nuansanya jauh berbeda. Baru saja sampai di depan pintu, banyak sekali beberapa balon serta bunga yang menghias berkeliling.Mateo mendengus kesal, sudah lelah ia tertipu oleh Ezra yang mengatakan jika mamahnya sedang dalam bahaya. “Pak, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Mateo kepada salah satu satpam di sana. Pria berbaju serba hitam itu hanya menggeleng, lalu beranjak pergi begitu santai. Mateo pun mendekati dua teman yang berada di depan pintu itu yang tak lain Kila dan Kelvin diikuti Aca. “Ada apa ini? Di mana Ezra dan Mamah?” tanya Mateo kepada Kila. Wanita berambut Dora itu melirik kepada Kelvin yang justru mendadak pergi begitu saja.
“Terima kasih.” Aca yang masih memejamkan mata mendapatkan sambaran kecupan yang mengenai keningnya dari pria perkasa yang baru menjelajahi tubuhnya. Deru napasnya Aca masih bergemuruh, ia terlentang di atas ranjang ditemani keringat karena malam pertama. Sekujur tubuh terasa nyeri, apalagi di bagian mahkotanya yang berdenyut dan terasa panas. Mateo yang baru selesai membersihkan bagian tubuhnya, sambil menggunakan pakaian melirik kepada sang istri. Seketika hatinya terenyuh, mengingat rintihan dan desahan suara Aca yang masih terngiang di pikirannya. Setelah piyama hitam membalut tubuhnya, Mateo beranjak mendekati Aca. Ia usap anak rambut sang istri yang menutupi matanya. “Ca, masih sakit, ya?”Aca mengangguk, tetapi tidak membuka matanya. “Aku bantu bersihkan tubuhmu, bagaimana?” tawar Mateo.Perlahan Aca membuka matanya. Ia tatap wajah tampan Mateo yang terlihat lebih segar dengan pucuk rambutnya masih basah. “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”Aca menghela napas pajang. Ia perlah
Dua pasang mata saling tatap. Bak seperti pangeran dan putri penampilan Mateo dan Aca malam ini. Jemari lentik Aca menggelantung ke leher Mateo, sedang jemari kekar pria tampan itu berada di pinggang sang istri. Mereka menari di tengah-tengah para tamu undangan malam. Menikmati lantunan musik yang mendamaikan hati. Bahkan banyaknya lampu warna-warni mengelilingi ruangan megah itu, mendukung keharmonisan keduanya. Sungguh, selain bahagia karena akhirnya bertemu kembali dengan sang papa, Aca pun senang mendapati kenyamanan yang sulit terungkap kan.“Selamat, ya, Ca!” Aca sedikit terkejut ia menoleh ke belakang saat seseorang tiba-tiba merangkulnya. Sesaat ia menghela napas pajang, bahkan menghamburkan senyum manisnya. “Terima kasih, Kila.” Aca pun melepaskan pelukannya dengan Mateo, ia memilih duduk di bangku kosong dengan wanita tersebut. Ya, tak lain yang datalah ialah Kila. Dua gadis yang sempat berseteru, perlahan hubungan mereka mulai membaik. Semua berawal dari Aca yang membu