Tidak sampai di situ, emosi yang memuncak masih di rasakan oleh Nico. Setelah ia pergi dari hadapan pemuda itu, ia bergegas menemui Ezra. Jam tangan menunjukkan angka 11 siang, itu tandanya sang anak masih berada di kantornya.
"Ezra ... Ezra!" Suara bariton yang menggema seisi perusahaannya, membuat beberapa karyawan begitu ketakutan mendapati Nico yang memasang raut wajah garang, tetapi Ezra tetap santai mengunci ruangannya."Ezra, kenapa kamu tega membuat ayah hancur seperti ini?" teriak Nico yang sudah berada di balik pintu ruangan Ezra. "Ezra, KELUAR!" begitu murkanya Nico saat ini kepada sang anak.Pria muda yang sedang santai duduk di kursi berputar, ia mematikan layar laptop di depannya. Akhirnya Ezra bangkit menemui sang Ayah. "Ada apa, hmm?" Ezra mengangkat kedua alisnya. Ia merasa puas, karena sudah pasti sang Ayah membongkar kebodohannya sendiri kepada Helena."Jangan terlalu percaya diri kamu bisa mendapatkan Helena begitu saja," pelik Nico menatap tajam kepada Ezra."Dengar! Meskipun saat ini Helena tau ketiga istriku, tetapi Ayah yakin secepatnya Helena akan kembali ke pelukan Ayah!" timpalnya kembali."Seyakin itu?" tanya Ezra santai. Pria muda jas hitam ini terlihat angkuh sekali menghadapi Nico."Bagaimana jika aku menghubungi istri Ayah satu persatu untuk membongkar kebusukan Ayah sendiri?" ancam Ezra. Ternyata bukan pesaing yang tepat untuk Nico saat ini."KAU!" Sentak Nico mengeluarkan semua emosi padanya. "Ayah sudah tua. Tidak baik marah-marah seperti itu," ledek Ezra. Ia masuk dan menutup kembali ruangannya dengan santai."EZRA!" Sentak kembali Nico, tak peduli banyak karyawan yang memperhatikannya.****Mateo— sahabat Ezra sekaligus anak Helena sudah termakan ucapan Nico. Hati yang begitu merindukan kedekatannya dengan Ezra, kini diganti dengan rasa kebencian padanya."Mah, apa yang terjadi?" Hati Mateo terenyuh, mendapati Helena yang sedang menangis duduk di sofa. Karena tidak mau memperlihatkan kesedihannya, Helena bergegas pergi ke dalam kamar."Mah!" bujuk Mateo di balik pintu.Pecah tangisan Helena semakin keras. Mengeluarkan penyesalan apa yang ada di pikirannya saat ini. Melirik pakaiannya dan benda yang berada di kamar itu, justru membuat ia ingat kepada Nico. Karena sebagian besar adalah pemberian darinya."Mamah, katakan kepada Mateo?" bujuk Mateo tak menyerah.Helena mengacuhkan pertanyaan dari sang anak. Ia pun bingung harus berkata apa, mengingat wanita itu tidak mau mengecewakan Mateo yang sudah merestui hubungan dengannya."Mamah, tolong buka pintu!" Ia pun bangkit dari duduknya di tepi ranjang, menyeka air mata yang tersisa di pipi seraya berjalan menghampiri Mateo."Ya?" tanya Helena terus menunduk."Ada apa?" Helena menggeleng."Katakan, Mah!""Mamah batal menikah dengan om Nico, Mateo. Maafkan Mamah." Helena langsung memeluk tubuh anaknya.Lagi-lagi derai air mata menemani ke terpuruknya. Bahkan rasa sesak di dada sudah terasa, tetapi hanya dengan satu dekapan dengan Mateo, Helena bisa sedikit tenang."Apa benar Mamah punya hubungan dengan Ezra di belakang om Nico?" Helena melepas pelukannya, ia menatap Mateo seraya menggeleng."Jangan bohong, Mah!""Untuk apa Mamah berbohong. Sekarang Mamah sadar, jika Ezra mengatakan seperti itu karena melindungi Mamah." jawab Helena. Keduanya masih berdiri di depan pintu kamar Helena."Jadi, Mamah batal menikah karena Ezra mengatakan jika mamah kekasihnya kepada om Nico?" tanya Mateo, Helena menggeleng cepat."Bukan karena itu Mateo. mas Nico mengatakan—""Halah, sudahlah. Mamah jangan membelanya. Bukan berarti aku akan membelanya juga karena dia sahabatku, tetapi jika sudah seperti ini, aku tidak akan tinggal diam." Sergah Mateo memotong pembicaraan Helena. Ia menyimpulkan ucapannya sendiri yang akhirnya emosi membalut pikirannya kepada Ezra."Mateo ... kamu salah paham!" Teriak Helena berlari mengejar Mateo yang sudah melajukan mobil kencang. Ia menghentikan langkah di depan gerbang. Menatap mobil hitamnya sampai menghilang dari pandangannya. ***"Selamat siang! Ruangan pak Ezra ada di sebelah mana?" tanya Mateo kepada salah satu satpam di perusahaan itu."Untuk apa Mas mencarinya?" tanya balik pria berperut buncis itu. "Saya temannya. Ada pembicaraan penting yang harus di bahas!""Apa sudah menghubunginya lebih dulu?" tanyanya. Karena tidak bisa sembarangan orang datang menemui CEO di perusahaan itu. "Ayolah ... jika Bapak menyebut namaku, pasti Ezra akan membuka pintu lebar-lebar," umpat Mateo, tetapi satpam itu sama sekali tidak menggubrisnya."Pak!" Karena kesal akhirnya Mateo menerobos pintu utama perusahaan itu. Sampai satpam tersebut bergegas mengejarnya."Stop, Mas. Sebaiknya Mas pergi! Jika tidak mau di perlakukan kasar di sini." Satpam itu mencekal pergelangan Mateo, tetapi Mateo terus memberontak."Ezra! Ezra! Keluar kamu!" Sambil di tarik paksa oleh satpam itu, Mateo berteriak. Banyak karyawan menjadi saksi amarah Mateo yang sudah tidak terkendali.Mendengar samar-samar suara seseorang memanggilnya, Ezra mengusap wajah kasar. "Siapa lagi?" keluh Ezra. Pekerjaan yang belum usai, akhirnya ditunda. Ia keluar dari ruangannya untuk menghampiri sumber suara."Pak, lepaskan! Biarkan sahabatmu masuk ke ruangan pribadi saya!" perintah Ezra.Pria berperut buncit itu melepaskan cengkeramannya, membuat Mateo berlari mengejar Ezra yang berjalan lebih dulu ke ruangannya."Zra!" Ezra yang menduga jika Mateo akan marah padanya, ia tetap santai duduk di kursi berputar. Meskipun di depan pintu Mateo menatap tajam padanya."Duduk! Jaga etikamu di sini, Mateo!" Seorang pria muda yang mempertahankan kewibawaannya, tak mungkin membiarkan Mateo marah-marah seperti orang gila.Mateo menghela napas kasar, mengendalikan emosinya yang sudah memuncak. Ia duduk di depan Ezra."Kenapa kamu bilang ke om Nico kalau kamu punya hubungan sama Mamahku?" tanya Mateo tanpa berbasa-basi.Ezra menghela napas panjang."Karena ..." Ezra memotong ucapannya, menggaruk tengkuk yang tidak gatal sembari berpikir karena bingung. Ezra belum berani mengatakan cinta kepada Helena di depan sahabatnya. Takut nantinya Mateo marah dan sengaja menjauhinya."Mamahku dan om Nico layak bahagia, Ezra. Seharusnya kamu senang karena nantinya kita bisa jadi saudara!" ujar Mateo."Aku tidak mungkin merestuinya." Ezra berdiri berjalan beberapa langkah ke depan, membuat Mateo mengikutinya. "Jangan jadi benalu di dalam kehidupanku, Ezra!" pekik Mateo."Niatku hanya melindungi Tante Helena, Mateo," ujar Ezra lirih."Bukan melindungi, tapi menghancurkan!" Pekik Mateo seraya bangkit.Ezra pun perlahan bangkit dan berusaha mengejar sahabatnya yang melangkah pergi. "Mateo, tolong percaya kepadaku. Ke depannya kamu akan mengerti apa yang aku lakukan."Mateo menghentikan langkah, enggan untuk menoleh padanya. "Apa? Katakan saja dari sekarang!""Tidak bisa seperti itu. Yang jelas Ayahku tidak pantas untuk Ibumu!" "Alasannya?" tanya Mateo sembari menoleh dan mengernyitkan kening."Tidak ada alasan, tetapi kamu harus percaya padaku.""Omong kosong macam apa itu, Ezra?" ucapan dari sahabatnya sama sekali tidak masuk akal bagi Mateo."Lebih baik kamu pergi dari sini. Jangan sampai gara-gara tingkahmu, aku di permalukan di tempat kerjaku sendiri!" perintah Ezra."Urusan kamu denganku belum selesai!" Mateo masih memasang tatapan tajam. Ia mendengus kesal, yang akhirnya pergi meninggalkan Ezra. Pemuda yang kini menjabat sebagai CEO di perusahaan sang Ayah, ia kembali lagi duduk di kursi berputar. Sedikit memijit keningnya karena pening, ia tak habis pikir kepada sahabatnya yang seharusnya marah kepada Nico, bukan pada dirinya.Melanjutkan pekerjaannya pun sudah pusing, akhirnya Ezra bergegas pergi dari perusahaan itu."Selamat siang, Pak!" Seorang wanita sebagai karyawannya menyambut Ezra yang baru saja keluar dari ruangannya."Siang," jawab Ezra santai, la melanjutkan langkahnya, tetapi wanita itu mengejarnya."O, ya, Pak. lima belas menit lagi klien dari perusahaan sebelah akan datang." Mendengar ucapan wanita tersebut, Ezra menghentikan langkahnya."Wakilkan saja," sahut Ezra."Ta– tapi, Pak. Jika klien itu tidak
Mateo yang sama sekali tidak di cegah oleh beberapa satpam di rumah Ezra ia bergegas lari ke kamarnya. Nico membiarkan Mateo. Ia masuk ke kamar dengan perasannya diselimuti rasa gembira. "Kamu salah memilih Ayah menjadi pesaing mu, Zra!" Langit-langit kamar menjadi saksi melihat Nico menghamburkan senyum sumringahnya. "Ezra! Ezra!" Ezra menghela napas panjang. Suara bariton yang sangat ia kenal terdengar jelas di balik pintu. "Untuk apa Mateo datang menghampiriku di malam ini?" "Ezra!" Pria muda yang sudah menggunakan piyama putih perlahan bangkit. Sedikit berkaca dan ternyata ketampanannya masih terlihat tampan."Ada apa?"Mateo yang sudah menatap tajam padanya, langsung melayangkan satu pukulan kepada Ezra. "Di mana, Mamah?"Ezra meringis perih, mengusap pipi yang mendadak merah akibat perlakuan sahabatnya. "Kenapa kamu mencari Tante Helena di sini?" Bukannya menjawab, Mateo dengan keadaan emosinya melayangkan pukulan lagi kepada Ezra di pipi yang lain. "Katakan!""Apa maksud
Membayangkan kejadian malam tadi berjalan sempurna, membuat Nico di pagi hari ini begitu segar di sekujur tubuhnya. Ia berkaca sambil menyisir rambutnya yang sudah sebagian putih, ditemani senyum manis yang merias raut wajahnya. "Sebentar kita menikah, Helena. Sudah pasti Ezra kalah dalam permainan ini!"Ting!Terdapat notifikasi masuk dalam ponsel, ia bergegas mengambilnya yang tergeletak di atas ranjang.[Maaf, Tuan. Tadi malam kami tidak berhasil menculik nona Helena]Ia remas ponsel yang di genggamnya, dengan netra yang mendadak merah. "Sial!" umpat Nico. Deru nafasnya kembali memburu setelah membaca pesan dari salah satu asistennya.[Dasar goblok! Lalu, sekarang kemana Helena pergi?]Tak lama seseorang itu membalas pesannya.[Kami tidak tahu.]Nico yang kelabakan karena saling takutnya kehilangan Helena, ia langsung menelepon kekasihnya.Tuut!Tuut!Tuut!"Astaga!" Tak sampai di situ, Nico pun bergegas mengirim pesan padanya.[Helena. Cepat kamu datang ke rumahku. Jangan salahk
"Bisa jelaskan padaku, kenapa Tante bisa tahu pak Tua itu mempunyai tiga istri?" Helena menghela napas panjang, ia tak menjawab yang nyatanya sedang membuka kunci pintu rumah itu."Tante jelaskan di dalam." Ezra mengangguk. Mengikuti langkah Helena dan Mateo yang sudah di dalam rumah tersebut.Ezra bergidik, banyak sekali laba-laba bersarang di sudut ruangan itu. Melirik ke kanan dan ke kiri pun ia sedikit jijik untuk menduduki sofa kotor yang sudah di tempati Helena dan Mateo."Kamu jijik, ya? Sebentar!" Melihat keraguan dari raut wajah Ezra, Helena bergegas mengambil sehelai kain yang berada di dalam lemari. Di gelarnya salah satu sofa untuk di duduki Ezra.Ezra menyeringai. "Terima kasih, Tan.""Ok. Sekarang bisa jelaskan kepadaku?" tanya Ezra. Ia sebenarnya sudah tahu. Namun, mengingat kedekatannya dengan Helena sulit dicapai, pertanyaan itu hanya menjadi alasan saja."Baiklah ... Malam itu ada seseorang yang mengirim pesan kepada tante. Hingga akhirnya tante sendiri menemuinya d
Kali pertamanya Ezra senyum semringah di pagi yang cerah. Tidak lagi gusar berpikir keras untuk bersaing dengan Nico. Ia yakin jika Helena pasti akan memilihnya karena sang Ayah sudah mengecewakannya."Morning kiss, Tan!" Di ciumannya sebuah ponsel yang di dalamnya terpampang foto Helena. Ezra yang sudah berpakaian rapi, ia bergegas keluar dari tempat persembunyian di balik kamar.Ia duduk di meja makan sambil memakan sepotong roti yang di berikan selai coklat. Berharap bertemu dengan Nico, tetapi sudah lima belas menit lamanya ia menunggu sang Ayah, pria paruh baya itu belum juga menunjukkan batang hidungnya.Akhirnya Ezra bergegas pergi kantor. Ditemani jas berwarna navy, ia melajukan mobil dengan santai."Pak!" Saat Ezra memarkirkan mobil di gedung berlantai empat itu, baru saja keluar dari Mobil, seorang wanita memanggilnya dari belakang. Ezra menoleh."Ada apa?"Wanita itu mendengus kesal. Ia mendekati Ezra. "Mana uang tambahan untukku?" Ezra terkekeh, saking bahagianya ia samp
[Mas, memangnya siapa wanita yang akan kamu nikahi lagi?][Mas, aku di rumah tidak pergi ke mana-mana. Wanita siapa, Mas?][Mas! Sekarang kamu pulang atau aku yang pergi!]"Aarrghh! Kenapa hidupku rumit seperti ini!" Nico mengerang. Terjebak lagi oleh tingkahnya sendiri.Karena panik pria tua itu bergegas menghubungi istrinya satu per satu untuk di minta keterangan. Ia bertanyaan tujuannya mereka pergi Helena, tetapi sial. Ternyata seseorang yang sengaja Ezra perintahkan untuk mengirim pesan padanya, itu jebakan Ezra."Ezra!" Nico bergegas mendekati Ezra yang baru saja sampai di halaman rumahnya."Kita bicara serius di dalam, Zra!" Ezra mengangguk, mengekori langkah sang Ayah.Ayah dan anak tersebut duduk di sofa yang saling berhadapan. Tatapan Nico terlihat serius sekali membuat Ezra diam tak berkutik."Apa kamu benar cinta kepada Helena?" Ezra mengangguk santai."Berjuanglah untuk mendapatkan hatinya." Celetukan dari Nico, membuat Ezra mendongakkan kepala."Jelas saja aku akan lakuk
Mateo menggeleng cepat. "Kamu dan om Nico sama saja memandang kami rendah. Meskipun aku harus bekerja keras mencari pekerjaan, itu lebih baik daripada mengorbankan perasaan Mamah."Pria muda itu sangat kesal kepada sahabatnya. Karena terlalu sombong untuk membaca situasi. Tak mengingat jika takdir kebahagiaan pasti akan tertuju padanya.Ezra mengangguk perlahan, menatap punggung sahabatnya yang pergi begitu saja. Pria berusia dua puluh empat tahun itu pergi. Ia memang sengaja mengikuti Mateo, berharap bertemu dengan pujaan hatinya, tetapi sahabatnya hanya sendirian.Kerinduan semakin tertanam kepada Helena, akhirnya Ezra bergegas ke pedesaan itu.Sesampainya di rumah kotak sederhana dengan cat putih, Ezra segera mengetuk pintu. Tak lupa pakaiannya sudah di semprot parfum, agar Helena terpaku padanya."Uhuk ... Uhuk!" "Mateo, bau apa ini?" pria muda itu menyeringai."Loh, Ezra!" Bukanya senang, ternyata pujaan hatinya itu malah terbatuk-batuk. Mungkin mencium aroma parfumnya yang sang
"Memangnya kenapa?" tanya Helena tanpa rasa curiga."Tante mau temani Ezra makan di luar, gak?" Helena cepat menggeleng."Makanan ini saja belum habis, Zra. Kalau kamu masih lapar, makan semuanya." Helena melirik makanan di depannya masih berserakan. Tersisa banyak sekali, ayam bakar dan pizza, apalagi dua piring spageti belum di sentuh. Ia pun bingung akan menaruhnya di mana. Karena belum mempunyai kulkas di rumah itu.Ezra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung harus mencari alasan apalagi untuk membawa pujaan hatinya pergi bermain. "Hmm ... kita ke kuburan Ibu?" Helena terbelalak."Malam? Kamu mau uji nyali?" Ezra terkekeh puas. "Hmm ... Kuburan Ibu ada di kota sebelah, Tan. Kalau besok kita berangkat, pasti akan lelah di perjalanan."Mendiang ibu Ezra di makamkan di kota kelahirannya. Karena yang asli warga negara Indonesia itu adalah Ibunya. Sedangkan Nico warga asing dari Turki. Beruntung ketampanan Ezra dominan warga asing , membuat ia sebenarnya di gemari para wanita
Akhirnya setelah Helena mengizinkan keduanya pulang ke rumah yang sempat ia huni, Aca dan Mateo terbebas oleh rengekan bayi terutama perintah Ezra. Kini tepat pukul 8 malam, pasangan suami-istri itu sedang berduduk santai sambil menonton siaran televisi. Pasangan baru itu terlihat sedang menikmati masa pengawalan yang indah. Namun, sekilas keindahan itu mendadak sirna saat Aca mengingat kedua orang tuanya. “Jangan besok, Ca. Kita cari waktu yang pas,” tegur Mateo, ia keberatan mengikuti permintaan Aca yang menginginkan pulang ke kampung halamannya. Wanita berbaju dress hitam selutut itu mendengus kesal seraya melihat kedua tangannya di dada. “Aku khawatir kepada orang tuaku, Mateo. Jika kamu tidak bisa pergi, biarkan aku sendiri yang pulang.”Mateo menggeleng cepat. “Untuk sekarang ini kamu bisa Videocall. Kamu itu tanggung jawabku, tidak mungkin aku membiarkan kamu pergi begitu saja.”Akhirnya karena rasa rindu yang sulit terbendung, Aca segera meraih ponselnya untuk menghubungi k
Emosi yang sudah memuncak menyelimuti perasaan Helena, membuat Ezra saat ini tidak bisa berkutik. Akhirnya pria itu membawa sang istri ke dalam ruangan bayinya. Sesaat derai air mata membasahi pipi Helena. Begitu nyeri rasanya di dada, melihat bayi yang tak berdaya Tergeletak ditemani beberapa alat medis yang tertempel di dada serta perutnya. “Kau tega melihat bayi ini, Zra?” Isak tangis Helena menjadi-jadi. Ia terus mencecar suaminya karena perbuatannya atas kesengajaan Ezra membuang asinya. Tiga tim medis itu hanya diam karena tidak tahu apa-apa. Mereka berisi di belakang pasangan yang sedang berdebat.Helena belai pipi bayi mungil itu, derai air matanya terus bercucuran seakan ingin sekali menggendongnya. “Kau memang Bubukan dari hasil benih suamiku. Namun, kau tidak perlu khawatir. Akan ada aku yang selalu menemanimu setiap saat.”Seketika Helena menoleh kepada tiga tim medis yang sengaja Ezra perintahkan untuk menemani bayinya. “Kapan Bayiku bisa keluar dari box ini?”“Setelah
“Bagaimana, Pak? Jika ada kendala terkait pasien segera hubungi kami,” Ujar seorang tim medis yang ikut ke rumah megah itu. Selain membantu memasangkan alat yang akan ditempelkan ke badan sang bayi, nantinya ketiga tim medis itu diperintahkan untuk mengontrol keadaan Helena dan bayi tersebut. Ezra perhatikan alat medis yang terkait sempurna di badan bayi laki-lakinya, seketika ia mengangguk. “Besok pukul 6 pagi kalian datang ke sini. Rawat bayi sampai pukul 6 sore.”Lagi-lagi permintaan Ezra membuat tiga tim medis itu keberatan. “Maaf, Pak. Kita juga ada pekerjaan di rumah sakit.”“Tidak ada alasan. Saya sudah meminta izin kepada rumah sakit.” Nyatanya, biaya sekitar 1milyar sudah masuk ke pihak rumah sakit. Selain untuk menyewa alat medis di sana, pun tiga tim medis dan beberapa dokter sudah ia jadwalkan untuk menjaga kondisi Helena dan Bayinya agar terjamin pulih dengan baik.“Ba– baik, Pak. Kami akan kembali rapat waktu.” Pamit ketiga tim medis itu lalu bergegas pergi. Kini ruma
Kejadian menakutkan untuk Ezra akhirnya datang juga. Begitu cemasnya saat melihat brankar yang terdapat Helena di atasnya beranjak memasuki ruangan operasi. Dokter memutuskan untuk Helena melakukan tindakan Caesar, selain janinya prematur daya tahan tubuh Helena pun lemah. Tak banyak berpikir akhirnya Ezra menyetujui saran dari Dokter wanita beralmamater putih itu. Helena justru bersikap tenang, karena Ezra selalu di sampingnya. Jarum infusan serta beberapa alat medis terpasang di tubuhnya. Namun, Helena sesaat terkekeh melihat Ezra menangis sambil mengusap-usap keningnya. “Kamu tenang, Suamiku. Aku akan baik-baik saja.” Ezra tertegun. Ia lirik bagian perut istrinya yang mulai ditutup kain berwarna hijau. “A– aku takut, istriku. Pokoknya kamu rileks, ada aku di sini.”“Jika Bapak takut, Bapak Keluar saja. Istri Bapak pasti baik-baik saja.” Ezra menggeleng cepat. “Aku tidak mungkin meninggalkannya. Pokoknya jangan sampai istriku terluka!”Ujaran dari Ezra mengundang tawa para Dokter
“Kenapa mereka berpikir seperti itu? Padahal aku sama sekali tidak pernah memaksa Ezra untuk memberikan asetnya padaku. Dari dulu, kau pun tahu Ezra selalu mengejar-ngejar Mama.” Gerutu Mateo sesampainya di rumah. Pria berjas hitam itu begitu kepada sang istri, karena Aca terus menahannya untuk sabar. Padahal emosinya sudah memuncak, mungkin jika tidak ada Aca di sana, bibir beberapa karyawan itu sudah di sumpel menggunakan sempak olehnya. Aca menghela napas panjang sambil duduk di depan suaminya, ia tidak mungkin membiarkan Mateo mencoreng nama baiknya di sana. Mengingat kini jabatannya sudah menjadi CEO yang pastinya harus bersikap dermawan. “Aku pun menyadari jika Mamah sudah nenek-nenek, tetapi mereka tidak tahu bagaimana kita berusaha menolak permintaan Ezra!” “Mateo, lihat perlakuan Ezra. Apa dia langsung marah dalam menyikapi permasalahan seperti ini? Kamu seharusnya sabar, jangan sampai emosi itu membawa nama baikmu tercoreng di pabrik.” Celetukan dari Aca, membuat Mateo
Sebagai pria muda yang hidup sebatang kara, bagi Ezra ia harus mempererat hubungannya dengan sang istri, terutama kepada Mateo selaku anak tirinya dan kerabat dekatnya.Kini Ezra yang sedari dulu dikelilingi harta berlimpah, sama sekali tidak merasa rugi. Baginya melihat Helena bahagia menjadi istrinya pun ia sudah merasa puas. Yang dikejar olehnya ialah ketenangan dan kedamaian di lubuk hatinya, mengingat saat Nico dan Ibundanya masih ada, ia seperti pemuda gelandangan yang haus akan perhatian. Namun, secuil pun Ezra tidak mempunyai dendam kepada kedua orang tuanya, justru kobaran semangatnya semakin memuncak saat ini. Ia harus membuktikan jika dirinya bisa berdiri karena perjuangannya, bahkan bisa memberikan kebahagiaan yang layak kepada anak dan Istrinya. “Terima kasih, Suamiku. Aku pikir kamu memang benar-benar sudah tidak membutuhkan Mateo.” Ujar Helena kegirangan sambil mengusap lembut pipi Ezra yang sedang mengendarai mobil. “Aku bukan pria yang sengaja menyembunyikan kepemi
“Loh, maksudnya apa ini, Mateo?” tanya Aca terbelalak. Sama dengan Mateo yang netranya membulat sempurna. “Sepertinya kita masuk perangkap Ezra lagi.” Pasangan yang masih menggunakan piyama itu bergegas keluar. Rasa khawatirnya kepada Helena tiba-tiba hilang, tergantikan dengan keheranan. Kini keduanya sudah berada di halaman perusahaannya. Nuansanya jauh berbeda. Baru saja sampai di depan pintu, banyak sekali beberapa balon serta bunga yang menghias berkeliling.Mateo mendengus kesal, sudah lelah ia tertipu oleh Ezra yang mengatakan jika mamahnya sedang dalam bahaya. “Pak, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Mateo kepada salah satu satpam di sana. Pria berbaju serba hitam itu hanya menggeleng, lalu beranjak pergi begitu santai. Mateo pun mendekati dua teman yang berada di depan pintu itu yang tak lain Kila dan Kelvin diikuti Aca. “Ada apa ini? Di mana Ezra dan Mamah?” tanya Mateo kepada Kila. Wanita berambut Dora itu melirik kepada Kelvin yang justru mendadak pergi begitu saja.
“Terima kasih.” Aca yang masih memejamkan mata mendapatkan sambaran kecupan yang mengenai keningnya dari pria perkasa yang baru menjelajahi tubuhnya. Deru napasnya Aca masih bergemuruh, ia terlentang di atas ranjang ditemani keringat karena malam pertama. Sekujur tubuh terasa nyeri, apalagi di bagian mahkotanya yang berdenyut dan terasa panas. Mateo yang baru selesai membersihkan bagian tubuhnya, sambil menggunakan pakaian melirik kepada sang istri. Seketika hatinya terenyuh, mengingat rintihan dan desahan suara Aca yang masih terngiang di pikirannya. Setelah piyama hitam membalut tubuhnya, Mateo beranjak mendekati Aca. Ia usap anak rambut sang istri yang menutupi matanya. “Ca, masih sakit, ya?”Aca mengangguk, tetapi tidak membuka matanya. “Aku bantu bersihkan tubuhmu, bagaimana?” tawar Mateo.Perlahan Aca membuka matanya. Ia tatap wajah tampan Mateo yang terlihat lebih segar dengan pucuk rambutnya masih basah. “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”Aca menghela napas pajang. Ia perlah
Dua pasang mata saling tatap. Bak seperti pangeran dan putri penampilan Mateo dan Aca malam ini. Jemari lentik Aca menggelantung ke leher Mateo, sedang jemari kekar pria tampan itu berada di pinggang sang istri. Mereka menari di tengah-tengah para tamu undangan malam. Menikmati lantunan musik yang mendamaikan hati. Bahkan banyaknya lampu warna-warni mengelilingi ruangan megah itu, mendukung keharmonisan keduanya. Sungguh, selain bahagia karena akhirnya bertemu kembali dengan sang papa, Aca pun senang mendapati kenyamanan yang sulit terungkap kan.“Selamat, ya, Ca!” Aca sedikit terkejut ia menoleh ke belakang saat seseorang tiba-tiba merangkulnya. Sesaat ia menghela napas pajang, bahkan menghamburkan senyum manisnya. “Terima kasih, Kila.” Aca pun melepaskan pelukannya dengan Mateo, ia memilih duduk di bangku kosong dengan wanita tersebut. Ya, tak lain yang datalah ialah Kila. Dua gadis yang sempat berseteru, perlahan hubungan mereka mulai membaik. Semua berawal dari Aca yang membu