Tidak sampai di situ, emosi yang memuncak masih di rasakan oleh Nico. Setelah ia pergi dari hadapan pemuda itu, ia bergegas menemui Ezra. Jam tangan menunjukkan angka 11 siang, itu tandanya sang anak masih berada di kantornya.
"Ezra ... Ezra!" Suara bariton yang menggema seisi perusahaannya, membuat beberapa karyawan begitu ketakutan mendapati Nico yang memasang raut wajah garang, tetapi Ezra tetap santai mengunci ruangannya."Ezra, kenapa kamu tega membuat ayah hancur seperti ini?" teriak Nico yang sudah berada di balik pintu ruangan Ezra. "Ezra, KELUAR!" begitu murkanya Nico saat ini kepada sang anak.Pria muda yang sedang santai duduk di kursi berputar, ia mematikan layar laptop di depannya. Akhirnya Ezra bangkit menemui sang Ayah. "Ada apa, hmm?" Ezra mengangkat kedua alisnya. Ia merasa puas, karena sudah pasti sang Ayah membongkar kebodohannya sendiri kepada Helena."Jangan terlalu percaya diri kamu bisa mendapatkan Helena begitu saja," pelik Nico menatap tajam kepada Ezra."Dengar! Meskipun saat ini Helena tau ketiga istriku, tetapi Ayah yakin secepatnya Helena akan kembali ke pelukan Ayah!" timpalnya kembali."Seyakin itu?" tanya Ezra santai. Pria muda jas hitam ini terlihat angkuh sekali menghadapi Nico."Bagaimana jika aku menghubungi istri Ayah satu persatu untuk membongkar kebusukan Ayah sendiri?" ancam Ezra. Ternyata bukan pesaing yang tepat untuk Nico saat ini."KAU!" Sentak Nico mengeluarkan semua emosi padanya. "Ayah sudah tua. Tidak baik marah-marah seperti itu," ledek Ezra. Ia masuk dan menutup kembali ruangannya dengan santai."EZRA!" Sentak kembali Nico, tak peduli banyak karyawan yang memperhatikannya.****Mateo— sahabat Ezra sekaligus anak Helena sudah termakan ucapan Nico. Hati yang begitu merindukan kedekatannya dengan Ezra, kini diganti dengan rasa kebencian padanya."Mah, apa yang terjadi?" Hati Mateo terenyuh, mendapati Helena yang sedang menangis duduk di sofa. Karena tidak mau memperlihatkan kesedihannya, Helena bergegas pergi ke dalam kamar."Mah!" bujuk Mateo di balik pintu.Pecah tangisan Helena semakin keras. Mengeluarkan penyesalan apa yang ada di pikirannya saat ini. Melirik pakaiannya dan benda yang berada di kamar itu, justru membuat ia ingat kepada Nico. Karena sebagian besar adalah pemberian darinya."Mamah, katakan kepada Mateo?" bujuk Mateo tak menyerah.Helena mengacuhkan pertanyaan dari sang anak. Ia pun bingung harus berkata apa, mengingat wanita itu tidak mau mengecewakan Mateo yang sudah merestui hubungan dengannya."Mamah, tolong buka pintu!" Ia pun bangkit dari duduknya di tepi ranjang, menyeka air mata yang tersisa di pipi seraya berjalan menghampiri Mateo."Ya?" tanya Helena terus menunduk."Ada apa?" Helena menggeleng."Katakan, Mah!""Mamah batal menikah dengan om Nico, Mateo. Maafkan Mamah." Helena langsung memeluk tubuh anaknya.Lagi-lagi derai air mata menemani ke terpuruknya. Bahkan rasa sesak di dada sudah terasa, tetapi hanya dengan satu dekapan dengan Mateo, Helena bisa sedikit tenang."Apa benar Mamah punya hubungan dengan Ezra di belakang om Nico?" Helena melepas pelukannya, ia menatap Mateo seraya menggeleng."Jangan bohong, Mah!""Untuk apa Mamah berbohong. Sekarang Mamah sadar, jika Ezra mengatakan seperti itu karena melindungi Mamah." jawab Helena. Keduanya masih berdiri di depan pintu kamar Helena."Jadi, Mamah batal menikah karena Ezra mengatakan jika mamah kekasihnya kepada om Nico?" tanya Mateo, Helena menggeleng cepat."Bukan karena itu Mateo. mas Nico mengatakan—""Halah, sudahlah. Mamah jangan membelanya. Bukan berarti aku akan membelanya juga karena dia sahabatku, tetapi jika sudah seperti ini, aku tidak akan tinggal diam." Sergah Mateo memotong pembicaraan Helena. Ia menyimpulkan ucapannya sendiri yang akhirnya emosi membalut pikirannya kepada Ezra."Mateo ... kamu salah paham!" Teriak Helena berlari mengejar Mateo yang sudah melajukan mobil kencang. Ia menghentikan langkah di depan gerbang. Menatap mobil hitamnya sampai menghilang dari pandangannya. ***"Selamat siang! Ruangan pak Ezra ada di sebelah mana?" tanya Mateo kepada salah satu satpam di perusahaan itu."Untuk apa Mas mencarinya?" tanya balik pria berperut buncis itu. "Saya temannya. Ada pembicaraan penting yang harus di bahas!""Apa sudah menghubunginya lebih dulu?" tanyanya. Karena tidak bisa sembarangan orang datang menemui CEO di perusahaan itu. "Ayolah ... jika Bapak menyebut namaku, pasti Ezra akan membuka pintu lebar-lebar," umpat Mateo, tetapi satpam itu sama sekali tidak menggubrisnya."Pak!" Karena kesal akhirnya Mateo menerobos pintu utama perusahaan itu. Sampai satpam tersebut bergegas mengejarnya."Stop, Mas. Sebaiknya Mas pergi! Jika tidak mau di perlakukan kasar di sini." Satpam itu mencekal pergelangan Mateo, tetapi Mateo terus memberontak."Ezra! Ezra! Keluar kamu!" Sambil di tarik paksa oleh satpam itu, Mateo berteriak. Banyak karyawan menjadi saksi amarah Mateo yang sudah tidak terkendali.Mendengar samar-samar suara seseorang memanggilnya, Ezra mengusap wajah kasar. "Siapa lagi?" keluh Ezra. Pekerjaan yang belum usai, akhirnya ditunda. Ia keluar dari ruangannya untuk menghampiri sumber suara."Pak, lepaskan! Biarkan sahabatmu masuk ke ruangan pribadi saya!" perintah Ezra.Pria berperut buncit itu melepaskan cengkeramannya, membuat Mateo berlari mengejar Ezra yang berjalan lebih dulu ke ruangannya."Zra!" Ezra yang menduga jika Mateo akan marah padanya, ia tetap santai duduk di kursi berputar. Meskipun di depan pintu Mateo menatap tajam padanya."Duduk! Jaga etikamu di sini, Mateo!" Seorang pria muda yang mempertahankan kewibawaannya, tak mungkin membiarkan Mateo marah-marah seperti orang gila.Mateo menghela napas kasar, mengendalikan emosinya yang sudah memuncak. Ia duduk di depan Ezra."Kenapa kamu bilang ke om Nico kalau kamu punya hubungan sama Mamahku?" tanya Mateo tanpa berbasa-basi.Ezra menghela napas panjang."Karena ..." Ezra memotong ucapannya, menggaruk tengkuk yang tidak gatal sembari berpikir karena bingung. Ezra belum berani mengatakan cinta kepada Helena di depan sahabatnya. Takut nantinya Mateo marah dan sengaja menjauhinya."Mamahku dan om Nico layak bahagia, Ezra. Seharusnya kamu senang karena nantinya kita bisa jadi saudara!" ujar Mateo."Aku tidak mungkin merestuinya." Ezra berdiri berjalan beberapa langkah ke depan, membuat Mateo mengikutinya. "Jangan jadi benalu di dalam kehidupanku, Ezra!" pekik Mateo."Niatku hanya melindungi Tante Helena, Mateo," ujar Ezra lirih."Bukan melindungi, tapi menghancurkan!" Pekik Mateo seraya bangkit.Ezra pun perlahan bangkit dan berusaha mengejar sahabatnya yang melangkah pergi. "Mateo, tolong percaya kepadaku. Ke depannya kamu akan mengerti apa yang aku lakukan."Mateo menghentikan langkah, enggan untuk menoleh padanya. "Apa? Katakan saja dari sekarang!""Tidak bisa seperti itu. Yang jelas Ayahku tidak pantas untuk Ibumu!" "Alasannya?" tanya Mateo sembari menoleh dan mengernyitkan kening."Tidak ada alasan, tetapi kamu harus percaya padaku.""Omong kosong macam apa itu, Ezra?" ucapan dari sahabatnya sama sekali tidak masuk akal bagi Mateo."Lebih baik kamu pergi dari sini. Jangan sampai gara-gara tingkahmu, aku di permalukan di tempat kerjaku sendiri!" perintah Ezra."Urusan kamu denganku belum selesai!" Mateo masih memasang tatapan tajam. Ia mendengus kesal, yang akhirnya pergi meninggalkan Ezra. Pemuda yang kini menjabat sebagai CEO di perusahaan sang Ayah, ia kembali lagi duduk di kursi berputar. Sedikit memijit keningnya karena pening, ia tak habis pikir kepada sahabatnya yang seharusnya marah kepada Nico, bukan pada dirinya.Melanjutkan pekerjaannya pun sudah pusing, akhirnya Ezra bergegas pergi dari perusahaan itu."Selamat siang, Pak!" Seorang wanita sebagai karyawannya menyambut Ezra yang baru saja keluar dari ruangannya."Siang," jawab Ezra santai, la melanjutkan langkahnya, tetapi wanita itu mengejarnya."O, ya, Pak. lima belas menit lagi klien dari perusahaan sebelah akan datang." Mendengar ucapan wanita tersebut, Ezra menghentikan langkahnya."Wakilkan saja," sahut Ezra."Ta– tapi, Pak. Jika klien itu tidak
Mateo yang sama sekali tidak di cegah oleh beberapa satpam di rumah Ezra ia bergegas lari ke kamarnya. Nico membiarkan Mateo. Ia masuk ke kamar dengan perasannya diselimuti rasa gembira. "Kamu salah memilih Ayah menjadi pesaing mu, Zra!" Langit-langit kamar menjadi saksi melihat Nico menghamburkan senyum sumringahnya. "Ezra! Ezra!" Ezra menghela napas panjang. Suara bariton yang sangat ia kenal terdengar jelas di balik pintu. "Untuk apa Mateo datang menghampiriku di malam ini?" "Ezra!" Pria muda yang sudah menggunakan piyama putih perlahan bangkit. Sedikit berkaca dan ternyata ketampanannya masih terlihat tampan."Ada apa?"Mateo yang sudah menatap tajam padanya, langsung melayangkan satu pukulan kepada Ezra. "Di mana, Mamah?"Ezra meringis perih, mengusap pipi yang mendadak merah akibat perlakuan sahabatnya. "Kenapa kamu mencari Tante Helena di sini?" Bukannya menjawab, Mateo dengan keadaan emosinya melayangkan pukulan lagi kepada Ezra di pipi yang lain. "Katakan!""Apa maksud
Membayangkan kejadian malam tadi berjalan sempurna, membuat Nico di pagi hari ini begitu segar di sekujur tubuhnya. Ia berkaca sambil menyisir rambutnya yang sudah sebagian putih, ditemani senyum manis yang merias raut wajahnya. "Sebentar kita menikah, Helena. Sudah pasti Ezra kalah dalam permainan ini!"Ting!Terdapat notifikasi masuk dalam ponsel, ia bergegas mengambilnya yang tergeletak di atas ranjang.[Maaf, Tuan. Tadi malam kami tidak berhasil menculik nona Helena]Ia remas ponsel yang di genggamnya, dengan netra yang mendadak merah. "Sial!" umpat Nico. Deru nafasnya kembali memburu setelah membaca pesan dari salah satu asistennya.[Dasar goblok! Lalu, sekarang kemana Helena pergi?]Tak lama seseorang itu membalas pesannya.[Kami tidak tahu.]Nico yang kelabakan karena saling takutnya kehilangan Helena, ia langsung menelepon kekasihnya.Tuut!Tuut!Tuut!"Astaga!" Tak sampai di situ, Nico pun bergegas mengirim pesan padanya.[Helena. Cepat kamu datang ke rumahku. Jangan salahk
"Bisa jelaskan padaku, kenapa Tante bisa tahu pak Tua itu mempunyai tiga istri?" Helena menghela napas panjang, ia tak menjawab yang nyatanya sedang membuka kunci pintu rumah itu."Tante jelaskan di dalam." Ezra mengangguk. Mengikuti langkah Helena dan Mateo yang sudah di dalam rumah tersebut.Ezra bergidik, banyak sekali laba-laba bersarang di sudut ruangan itu. Melirik ke kanan dan ke kiri pun ia sedikit jijik untuk menduduki sofa kotor yang sudah di tempati Helena dan Mateo."Kamu jijik, ya? Sebentar!" Melihat keraguan dari raut wajah Ezra, Helena bergegas mengambil sehelai kain yang berada di dalam lemari. Di gelarnya salah satu sofa untuk di duduki Ezra.Ezra menyeringai. "Terima kasih, Tan.""Ok. Sekarang bisa jelaskan kepadaku?" tanya Ezra. Ia sebenarnya sudah tahu. Namun, mengingat kedekatannya dengan Helena sulit dicapai, pertanyaan itu hanya menjadi alasan saja."Baiklah ... Malam itu ada seseorang yang mengirim pesan kepada tante. Hingga akhirnya tante sendiri menemuinya d
Kali pertamanya Ezra senyum semringah di pagi yang cerah. Tidak lagi gusar berpikir keras untuk bersaing dengan Nico. Ia yakin jika Helena pasti akan memilihnya karena sang Ayah sudah mengecewakannya."Morning kiss, Tan!" Di ciumannya sebuah ponsel yang di dalamnya terpampang foto Helena. Ezra yang sudah berpakaian rapi, ia bergegas keluar dari tempat persembunyian di balik kamar.Ia duduk di meja makan sambil memakan sepotong roti yang di berikan selai coklat. Berharap bertemu dengan Nico, tetapi sudah lima belas menit lamanya ia menunggu sang Ayah, pria paruh baya itu belum juga menunjukkan batang hidungnya.Akhirnya Ezra bergegas pergi kantor. Ditemani jas berwarna navy, ia melajukan mobil dengan santai."Pak!" Saat Ezra memarkirkan mobil di gedung berlantai empat itu, baru saja keluar dari Mobil, seorang wanita memanggilnya dari belakang. Ezra menoleh."Ada apa?"Wanita itu mendengus kesal. Ia mendekati Ezra. "Mana uang tambahan untukku?" Ezra terkekeh, saking bahagianya ia samp
[Mas, memangnya siapa wanita yang akan kamu nikahi lagi?][Mas, aku di rumah tidak pergi ke mana-mana. Wanita siapa, Mas?][Mas! Sekarang kamu pulang atau aku yang pergi!]"Aarrghh! Kenapa hidupku rumit seperti ini!" Nico mengerang. Terjebak lagi oleh tingkahnya sendiri.Karena panik pria tua itu bergegas menghubungi istrinya satu per satu untuk di minta keterangan. Ia bertanyaan tujuannya mereka pergi Helena, tetapi sial. Ternyata seseorang yang sengaja Ezra perintahkan untuk mengirim pesan padanya, itu jebakan Ezra."Ezra!" Nico bergegas mendekati Ezra yang baru saja sampai di halaman rumahnya."Kita bicara serius di dalam, Zra!" Ezra mengangguk, mengekori langkah sang Ayah.Ayah dan anak tersebut duduk di sofa yang saling berhadapan. Tatapan Nico terlihat serius sekali membuat Ezra diam tak berkutik."Apa kamu benar cinta kepada Helena?" Ezra mengangguk santai."Berjuanglah untuk mendapatkan hatinya." Celetukan dari Nico, membuat Ezra mendongakkan kepala."Jelas saja aku akan lakuk
Mateo menggeleng cepat. "Kamu dan om Nico sama saja memandang kami rendah. Meskipun aku harus bekerja keras mencari pekerjaan, itu lebih baik daripada mengorbankan perasaan Mamah."Pria muda itu sangat kesal kepada sahabatnya. Karena terlalu sombong untuk membaca situasi. Tak mengingat jika takdir kebahagiaan pasti akan tertuju padanya.Ezra mengangguk perlahan, menatap punggung sahabatnya yang pergi begitu saja. Pria berusia dua puluh empat tahun itu pergi. Ia memang sengaja mengikuti Mateo, berharap bertemu dengan pujaan hatinya, tetapi sahabatnya hanya sendirian.Kerinduan semakin tertanam kepada Helena, akhirnya Ezra bergegas ke pedesaan itu.Sesampainya di rumah kotak sederhana dengan cat putih, Ezra segera mengetuk pintu. Tak lupa pakaiannya sudah di semprot parfum, agar Helena terpaku padanya."Uhuk ... Uhuk!" "Mateo, bau apa ini?" pria muda itu menyeringai."Loh, Ezra!" Bukanya senang, ternyata pujaan hatinya itu malah terbatuk-batuk. Mungkin mencium aroma parfumnya yang sang
"Memangnya kenapa?" tanya Helena tanpa rasa curiga."Tante mau temani Ezra makan di luar, gak?" Helena cepat menggeleng."Makanan ini saja belum habis, Zra. Kalau kamu masih lapar, makan semuanya." Helena melirik makanan di depannya masih berserakan. Tersisa banyak sekali, ayam bakar dan pizza, apalagi dua piring spageti belum di sentuh. Ia pun bingung akan menaruhnya di mana. Karena belum mempunyai kulkas di rumah itu.Ezra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung harus mencari alasan apalagi untuk membawa pujaan hatinya pergi bermain. "Hmm ... kita ke kuburan Ibu?" Helena terbelalak."Malam? Kamu mau uji nyali?" Ezra terkekeh puas. "Hmm ... Kuburan Ibu ada di kota sebelah, Tan. Kalau besok kita berangkat, pasti akan lelah di perjalanan."Mendiang ibu Ezra di makamkan di kota kelahirannya. Karena yang asli warga negara Indonesia itu adalah Ibunya. Sedangkan Nico warga asing dari Turki. Beruntung ketampanan Ezra dominan warga asing , membuat ia sebenarnya di gemari para wanita