Share

Bab. 6 Lidah ini terasa kelu

Tidak sampai di situ, emosi yang memuncak masih di rasakan oleh Nico. Setelah ia pergi dari hadapan pemuda itu, ia bergegas menemui Ezra. Jam tangan menunjukkan angka 11 siang, itu tandanya sang anak masih berada di kantornya.

"Ezra ... Ezra!" 

Suara bariton yang menggema seisi perusahaannya, membuat beberapa karyawan begitu ketakutan mendapati Nico yang memasang raut wajah garang, tetapi Ezra tetap santai mengunci ruangannya.

"Ezra, kenapa kamu tega membuat ayah hancur seperti ini?" teriak Nico yang sudah berada di balik pintu ruangan Ezra. 

"Ezra, KELUAR!" begitu murkanya Nico saat ini kepada sang anak.

Pria muda yang sedang santai duduk di kursi berputar, ia mematikan layar laptop di depannya. Akhirnya Ezra bangkit menemui sang Ayah. 

"Ada apa, hmm?" Ezra mengangkat kedua alisnya. Ia merasa puas, karena sudah pasti sang Ayah membongkar kebodohannya sendiri kepada Helena.

"Jangan terlalu percaya diri kamu bisa mendapatkan Helena begitu saja," pelik Nico menatap tajam kepada Ezra.

"Dengar! Meskipun saat ini Helena tau ketiga istriku, tetapi Ayah yakin secepatnya Helena akan kembali ke pelukan Ayah!" timpalnya kembali.

"Seyakin itu?" tanya Ezra santai. Pria muda jas hitam ini terlihat angkuh sekali menghadapi Nico.

"Bagaimana jika aku menghubungi istri Ayah satu persatu untuk membongkar kebusukan Ayah sendiri?" ancam Ezra. Ternyata bukan pesaing yang tepat untuk Nico saat ini.

"KAU!" Sentak Nico mengeluarkan semua emosi padanya. 

"Ayah sudah tua. Tidak baik marah-marah seperti itu," ledek Ezra. Ia masuk dan menutup kembali ruangannya dengan santai.

"EZRA!" Sentak kembali Nico, tak peduli banyak karyawan yang memperhatikannya.

****

Mateo— sahabat Ezra sekaligus anak Helena sudah termakan ucapan Nico. Hati yang begitu merindukan kedekatannya dengan Ezra, kini diganti dengan rasa kebencian padanya.

"Mah, apa yang terjadi?" Hati Mateo terenyuh, mendapati Helena yang sedang menangis duduk di sofa. 

Karena tidak mau memperlihatkan kesedihannya, Helena bergegas pergi ke dalam kamar.

"Mah!" bujuk Mateo di balik pintu.

Pecah tangisan Helena semakin keras. Mengeluarkan penyesalan apa yang ada di pikirannya saat ini. Melirik pakaiannya dan benda yang berada di kamar itu, justru membuat ia ingat kepada Nico. Karena sebagian besar adalah pemberian darinya.

"Mamah, katakan kepada Mateo?" bujuk Mateo tak menyerah.

Helena mengacuhkan pertanyaan dari sang anak. Ia pun bingung harus berkata apa, mengingat wanita itu tidak mau mengecewakan Mateo yang sudah merestui hubungan dengannya.

"Mamah, tolong buka pintu!" 

Ia pun bangkit dari duduknya di tepi ranjang, menyeka air mata yang tersisa di pipi seraya berjalan menghampiri Mateo.

"Ya?" tanya Helena terus menunduk.

"Ada apa?" Helena menggeleng.

"Katakan, Mah!"

"Mamah batal menikah dengan om Nico, Mateo. Maafkan Mamah." Helena langsung memeluk tubuh anaknya.

Lagi-lagi derai air mata menemani ke terpuruknya. Bahkan rasa sesak di dada sudah terasa, tetapi hanya dengan satu dekapan dengan Mateo, Helena bisa sedikit tenang.

"Apa benar Mamah punya hubungan dengan Ezra di belakang om Nico?" Helena melepas pelukannya, ia menatap Mateo seraya menggeleng.

"Jangan bohong, Mah!"

"Untuk apa Mamah berbohong. Sekarang Mamah sadar, jika Ezra mengatakan seperti itu karena melindungi Mamah." jawab Helena. Keduanya masih berdiri di depan pintu kamar Helena.

"Jadi, Mamah batal menikah karena Ezra mengatakan jika mamah kekasihnya kepada om Nico?" tanya Mateo, Helena menggeleng cepat.

"Bukan karena itu Mateo. mas Nico mengatakan—"

"Halah, sudahlah. Mamah jangan membelanya. Bukan berarti aku akan membelanya juga karena dia sahabatku, tetapi jika sudah seperti ini, aku tidak akan tinggal diam." Sergah Mateo memotong pembicaraan Helena. 

Ia menyimpulkan ucapannya sendiri yang akhirnya emosi membalut pikirannya kepada Ezra.

"Mateo ... kamu salah paham!" Teriak Helena berlari mengejar Mateo yang sudah melajukan mobil kencang. 

Ia menghentikan langkah di depan gerbang. Menatap mobil hitamnya sampai menghilang dari pandangannya. 

***

"Selamat siang! Ruangan pak Ezra ada di sebelah mana?" tanya Mateo kepada salah satu satpam di perusahaan itu.

"Untuk apa Mas mencarinya?" tanya balik pria berperut buncis itu. "Saya temannya. Ada pembicaraan penting yang harus di bahas!"

"Apa sudah menghubunginya lebih dulu?" tanyanya. Karena tidak bisa sembarangan orang datang menemui CEO di perusahaan itu. 

"Ayolah ... jika Bapak menyebut namaku, pasti Ezra akan membuka pintu lebar-lebar," umpat Mateo, tetapi satpam itu sama sekali tidak menggubrisnya.

"Pak!" Karena kesal akhirnya Mateo menerobos pintu utama perusahaan itu. Sampai satpam tersebut bergegas mengejarnya.

"Stop, Mas. Sebaiknya Mas pergi! Jika tidak mau di perlakukan kasar di sini." Satpam itu mencekal pergelangan Mateo, tetapi Mateo terus memberontak.

"Ezra! Ezra! Keluar kamu!" Sambil di tarik paksa oleh satpam itu, Mateo berteriak. Banyak karyawan menjadi saksi amarah Mateo yang sudah tidak terkendali.

Mendengar samar-samar suara seseorang memanggilnya, Ezra mengusap wajah kasar. 

"Siapa lagi?" keluh Ezra. Pekerjaan yang belum usai, akhirnya ditunda. Ia keluar dari ruangannya untuk menghampiri sumber suara.

"Pak, lepaskan! Biarkan sahabatmu masuk ke ruangan pribadi saya!" perintah Ezra.

Pria berperut buncit itu melepaskan cengkeramannya, membuat Mateo berlari mengejar Ezra yang berjalan lebih dulu ke ruangannya.

"Zra!" Ezra yang menduga jika Mateo akan marah padanya, ia tetap santai duduk di kursi berputar. Meskipun di depan pintu Mateo menatap tajam padanya.

"Duduk! Jaga etikamu di sini, Mateo!" Seorang pria muda yang mempertahankan kewibawaannya, tak mungkin membiarkan Mateo marah-marah seperti orang gila.

Mateo menghela napas kasar, mengendalikan emosinya yang sudah memuncak. Ia duduk di depan Ezra.

"Kenapa kamu bilang ke om Nico kalau kamu punya hubungan sama Mamahku?" tanya Mateo tanpa berbasa-basi.

Ezra menghela napas panjang.

"Karena ..." Ezra memotong ucapannya, menggaruk tengkuk yang tidak gatal sembari berpikir karena bingung. 

Ezra belum berani mengatakan cinta kepada Helena di depan sahabatnya. Takut nantinya Mateo marah dan sengaja menjauhinya.

"Mamahku dan om Nico layak bahagia, Ezra. Seharusnya kamu senang karena nantinya kita bisa jadi saudara!" ujar Mateo.

"Aku tidak mungkin merestuinya." Ezra berdiri berjalan beberapa langkah ke depan, membuat Mateo mengikutinya. 

"Jangan jadi benalu di dalam kehidupanku, Ezra!" pekik Mateo.

"Niatku hanya melindungi Tante Helena, Mateo," ujar Ezra lirih.

"Bukan melindungi, tapi menghancurkan!" Pekik Mateo seraya bangkit.

Ezra pun perlahan bangkit dan berusaha mengejar sahabatnya yang melangkah pergi. "Mateo, tolong percaya kepadaku. Ke depannya kamu akan mengerti apa yang aku lakukan."

Mateo menghentikan langkah, enggan untuk menoleh padanya. "Apa? Katakan saja dari sekarang!"

"Tidak bisa seperti itu. Yang jelas Ayahku tidak pantas untuk Ibumu!" 

"Alasannya?" tanya Mateo sembari menoleh dan mengernyitkan kening.

"Tidak ada alasan, tetapi kamu harus percaya padaku."

"Omong kosong macam apa itu, Ezra?" ucapan dari sahabatnya sama sekali tidak masuk akal bagi Mateo.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status