Kini, wanita keturunan Indonesia-Belanda itu sedang meratapi nasibnya. Ia tatap kekayaan yang mengelilingi rumahnya itu, membayangkan jika sang kekasih benar-benar marah padanya. Pastinya ia tidak mungkin mendiami rumah itu lagi.
"Astaga ... kenapa hubunganku dan mas Nico menjadi rumit seperti ini! Dasar bocah kecil pembawa sial. Gara-gara Ezra aku tidak bisa tidur nyenyak," keluh Helena. Jangankan untuk tertidur, hatinya dipenuhi keresahan karena takut kekasihnya tiba-tiba pergi darinya."Helena?" Wanita yang sedang duduk di sofa ruangan utama bergegas bangkit, ia menyeka air matanya. Raut wajah kesedihan, diganti dengan senyum semringah. Suara itu sangat di kenal olehnya yang tak lain adalah Nico."M–mas?"Setelah membuka pintu, ia mendapati Nico yang langsung berlutut di depannya. "Maafkan aku, Helena. Ya, sekarang aku jujur padamu jika aku mempunyai istri tiga, tetapi kamu harus percaya padaku jika nantinya kamu menjadi istri terbaikku!"Bak disambar petir, jantung Helena berhenti seketika. Ia terbelalak, dengan netranya membulat sempurna. Sedikit memundurkan langkah untuk menjadi dari pria yang sedang berlutut padamu."Ti– tiga istri?" Derai air mata menemaninya berdiri membeku di depan Nico, tubuhnya mendadak lemas sampai akhirnya pandangan pun berubah gelap."Helena ... Helena!" Nico panik bukan kepalang melihat Helena pingsan di depannya."Helena, bangun sayang. Jangan membuatku panik seperti ini!" di belainya kening Helena dengan lembut oleh Nico, berharap sang kekasih terbangun dari pingsannya.Mendengar samar-samar suara yang memanggilnya, membuat Helena perlahan membuka mata. Helena menghela napas kasar, mendapati pria yang baru saja melukai hatinya."Akhirnya, kamu sadar juga!" Nico mengembalikan senyum semringah, ia kecup jemari lentik Helena, tetapi segera di tepis olehnya."Kamu pergi, Mas. Aku jijik melihatmu di sini," pekik Helena. Nico menggeleng."Jangan membuang waktuku, Mas!" Helena mendengus kesal seraya bangkit. Nico membujuknya, meraih jemari lentik itu untuk duduk kembali. "Baiklah. Aku akan mengatakan yang sebenarnya!"Ia menatap Helena dengan sendu, mungkin ini terakhir kali bertemu dengannya. "Pernikahan yang sudah tersusun rapi, kebahagiaan yang sudah menunggu kita, mungkin sebentar lagi akan sirna jika kamu menyerah, Helena.""Omong kosong apa lagi ini, Mas. Katakan! Sebenarnya kamu mempunyai berapa istri?" ujar Helena dengan nada tinggi."Apa kamu janji padaku jika sudah mengetahui semuanya, kamu tidak akan meninggalkanku?" tanya Nico dengan binar. Sungguh perasaannya sedang di guncang saat ini."Tidak ada janji di antara kita. Aku hanya meminta kepastian, bukan pengkhianatan seperti ini," keluh Helena menghela napas panjang.Wanita itu sudah lelah dengan pikiran yang terus bertanya-tanya. Hidupnya sudah terlanjur berantakan, tidak mungkin ia mengindahkan perjanjian yang sama sekali tidak masuk akal."A– aku mempunyai tiga istri."Helena tertegun, pendengarannya ternyata tidak salah mendengar ucapnya sejak tadi. "Tapi aku janji setelah kita menikah, aku akan mengutamakan mu. Mungkin jika kamu tidak terima, aku rela menceraikan ketiganya!"Helena bangkit, ia menyeka air mata yang terus mengalir. "Aku pikir Mas adalah pria yang setia. Mungkin jika benar apa yang di ucapkan, lebih baik batalkan saja pernikahan ini."Nico menggeleng cepat, pria itu meraih tangan calon istrinya. "Aku mohon jangan, Helena. Aku sudah terlanjur mencintaimu.""Dan aku sudah terlanjur kecewa padamu, Mas. Hanya karena aku, Mas tega menceraikan ketiga istrimu itu? Apa perkataan itu membuatku percaya? Mas pikir aku bodoh?" tanya Helena menggebu-gebu."Helena, seharusnya kamu tahu diri. Aku sudah memberikan semuanya padamu, aku tidak peduli hartaku, yang penting kamu senang!" seru Nico dengan nada tinggi, membuat Helena menggeleng."Memangnya kamu bisa hidup tanpa aku, Hel?" sindir Nico.Mengingat Helena dan Mateo saat belum mengenal Nico adalah keluarga sederhana. Apa yang di pakai saat ini, sebagian besar pemberian darinya. Sang anak pun yang sudah tubuh dewasa belum mendapatkan pekerjaan. Membuat Nico sangat yakin jika wanita di depannya berpikir keras untuk mempertahankan hartanya.Helena memasang senyum sinis. "Serendah itu aku di matamu, Mas? Kamu pikir aku takut jatuh miskin? Lebih baik aku hidup terlantar, daripada harus mempertahankan keegoisanmu!""Sekarang kamu pergi! Agar aku leluasa mengemas barang-barang ku di sini!" Nico menggeleng cepat, bergegas bangkit saat Helena akan melangkah pergi. "Ja– jangan seperti ini. Kamu tetap di sini, jangan pergi. Aku tidak mungkin mengambil apa pun yang sudah aku berikan!" "Aku akan pergi. Tolong tenangkan pikiranmu, Helena. Pikir baik-baik untuk membatalkan pesta pernikahan itu." Nico yang tak ingin melihat Helena pergi dari rumahnya, akhirnya ia mengalah. Pergi dan membiarkan Helena sendiri di kediaman yang sengaja ia beli untuknya.Baru saja sampai di halaman rumah tersebut, Nico mendadak menghamburkan senyum manisnya. Mendapatkan seorang pria muda yang sebaya dengan Ezra."Hai, Mateo." sapa Nico mendekatinya.Pria muda yang baru saja akan masuk ke dalam rumahnya, ia tersenyum manis kepada Nico. "Om mau pulang atau baru datang?" "Kamu ikut Om. Ada sesuatu yang harus kamu tahu." Tanpa membuang waktu banyak di halaman tersebut. Pria muda yang menggunakan kemeja kotak warna coklat masuk ke dalam mobil Nico. "Kita mau pergi ke mana, Om? Apa Mamah tahu jika aku ikut dengan Om?" tanyanya. Pikirannya tertuju kepada seorang wanita yang selalu mengurusnya sedari kecil sampai sekarang dengan baik.Nico yang sedang melajukan mobil mengangguk. "Om sudah minta izin padanya." Mungkin sekitar lima belas menit di perjalanan, keduanya sudah tiba di sebuah tempat. Tidak begitu ramai, sangat cocok untuk membicarakan sesuatu yang serius di tempat tersebut."Ada apa, Om?" tanyanya. Pria muda itu duduk di depan Nico, di hadapannya sudah terdapat secangkir kopi hangat untuk di nikmati yang baru saja Nico pesan."Ezra sengaja menghancurkan hubungan Om dan Tante. Ternyata diam-diam Mamamu dan Ezra menjalin kasih di belakang om," ujar Nico. Memasang raut wajah lesu. Padahal ia sedang mengelabuinya untuk terhasut ucapannya.Pemuda itu terbelalak. "Itu tidak mungkin, Om. Mamah begitu setia kepada Om.""Itu yang sebenarnya terjadi. Awalnya Om juga tidak percaya, tetapi Ezra sendiri yang mengatakannya!" Nico masih memasang raut wajah murung. "Sampai Ezra mengancam om untuk mengakui ketiga istri om, padahal semuanya sudah om ceraikan hanya demi Helena, Nak."Netra Nico berkaca-kaca. Memohon kepada pria muda di depannya. Tidak dengan hatinya yang bersorak, mudah sekali baginya menghasut Mateo agar percaya padanya."Tolong bantu Om untuk membujuk Helena," Nico terus memohon kepada pemuda itu."Aku akan mengatakan baik-baik kepada Mamah. Om tenang saja. Bila perlu, aku sendiri yang akan menemui Ezra," ujarnya. Nico mengangguk, hatinya sedikit lega mendapati seseorang yang pastinya bisa menolongnya."Besok, kamu datang saja ke rumahku atau ke kantor. Dia pasti berada di sana."Tidak sampai di situ, emosi yang memuncak masih di rasakan oleh Nico. Setelah ia pergi dari hadapan pemuda itu, ia bergegas menemui Ezra. Jam tangan menunjukkan angka 11 siang, itu tandanya sang anak masih berada di kantornya."Ezra ... Ezra!" Suara bariton yang menggema seisi perusahaannya, membuat beberapa karyawan begitu ketakutan mendapati Nico yang memasang raut wajah garang, tetapi Ezra tetap santai mengunci ruangannya."Ezra, kenapa kamu tega membuat ayah hancur seperti ini?" teriak Nico yang sudah berada di balik pintu ruangan Ezra. "Ezra, KELUAR!" begitu murkanya Nico saat ini kepada sang anak.Pria muda yang sedang santai duduk di kursi berputar, ia mematikan layar laptop di depannya. Akhirnya Ezra bangkit menemui sang Ayah. "Ada apa, hmm?" Ezra mengangkat kedua alisnya. Ia merasa puas, karena sudah pasti sang Ayah membongkar kebodohannya sendiri kepada Helena."Jangan terlalu percaya diri kamu bisa mendapatkan Helena begitu saja," pelik Nico menatap tajam kepada Ezra."De
"Lebih baik kamu pergi dari sini. Jangan sampai gara-gara tingkahmu, aku di permalukan di tempat kerjaku sendiri!" perintah Ezra."Urusan kamu denganku belum selesai!" Mateo masih memasang tatapan tajam. Ia mendengus kesal, yang akhirnya pergi meninggalkan Ezra. Pemuda yang kini menjabat sebagai CEO di perusahaan sang Ayah, ia kembali lagi duduk di kursi berputar. Sedikit memijit keningnya karena pening, ia tak habis pikir kepada sahabatnya yang seharusnya marah kepada Nico, bukan pada dirinya.Melanjutkan pekerjaannya pun sudah pusing, akhirnya Ezra bergegas pergi dari perusahaan itu."Selamat siang, Pak!" Seorang wanita sebagai karyawannya menyambut Ezra yang baru saja keluar dari ruangannya."Siang," jawab Ezra santai, la melanjutkan langkahnya, tetapi wanita itu mengejarnya."O, ya, Pak. lima belas menit lagi klien dari perusahaan sebelah akan datang." Mendengar ucapan wanita tersebut, Ezra menghentikan langkahnya."Wakilkan saja," sahut Ezra."Ta– tapi, Pak. Jika klien itu tidak
Mateo yang sama sekali tidak di cegah oleh beberapa satpam di rumah Ezra ia bergegas lari ke kamarnya. Nico membiarkan Mateo. Ia masuk ke kamar dengan perasannya diselimuti rasa gembira. "Kamu salah memilih Ayah menjadi pesaing mu, Zra!" Langit-langit kamar menjadi saksi melihat Nico menghamburkan senyum sumringahnya. "Ezra! Ezra!" Ezra menghela napas panjang. Suara bariton yang sangat ia kenal terdengar jelas di balik pintu. "Untuk apa Mateo datang menghampiriku di malam ini?" "Ezra!" Pria muda yang sudah menggunakan piyama putih perlahan bangkit. Sedikit berkaca dan ternyata ketampanannya masih terlihat tampan."Ada apa?"Mateo yang sudah menatap tajam padanya, langsung melayangkan satu pukulan kepada Ezra. "Di mana, Mamah?"Ezra meringis perih, mengusap pipi yang mendadak merah akibat perlakuan sahabatnya. "Kenapa kamu mencari Tante Helena di sini?" Bukannya menjawab, Mateo dengan keadaan emosinya melayangkan pukulan lagi kepada Ezra di pipi yang lain. "Katakan!""Apa maksud
Membayangkan kejadian malam tadi berjalan sempurna, membuat Nico di pagi hari ini begitu segar di sekujur tubuhnya. Ia berkaca sambil menyisir rambutnya yang sudah sebagian putih, ditemani senyum manis yang merias raut wajahnya. "Sebentar kita menikah, Helena. Sudah pasti Ezra kalah dalam permainan ini!"Ting!Terdapat notifikasi masuk dalam ponsel, ia bergegas mengambilnya yang tergeletak di atas ranjang.[Maaf, Tuan. Tadi malam kami tidak berhasil menculik nona Helena]Ia remas ponsel yang di genggamnya, dengan netra yang mendadak merah. "Sial!" umpat Nico. Deru nafasnya kembali memburu setelah membaca pesan dari salah satu asistennya.[Dasar goblok! Lalu, sekarang kemana Helena pergi?]Tak lama seseorang itu membalas pesannya.[Kami tidak tahu.]Nico yang kelabakan karena saling takutnya kehilangan Helena, ia langsung menelepon kekasihnya.Tuut!Tuut!Tuut!"Astaga!" Tak sampai di situ, Nico pun bergegas mengirim pesan padanya.[Helena. Cepat kamu datang ke rumahku. Jangan salahk
"Bisa jelaskan padaku, kenapa Tante bisa tahu pak Tua itu mempunyai tiga istri?" Helena menghela napas panjang, ia tak menjawab yang nyatanya sedang membuka kunci pintu rumah itu."Tante jelaskan di dalam." Ezra mengangguk. Mengikuti langkah Helena dan Mateo yang sudah di dalam rumah tersebut.Ezra bergidik, banyak sekali laba-laba bersarang di sudut ruangan itu. Melirik ke kanan dan ke kiri pun ia sedikit jijik untuk menduduki sofa kotor yang sudah di tempati Helena dan Mateo."Kamu jijik, ya? Sebentar!" Melihat keraguan dari raut wajah Ezra, Helena bergegas mengambil sehelai kain yang berada di dalam lemari. Di gelarnya salah satu sofa untuk di duduki Ezra.Ezra menyeringai. "Terima kasih, Tan.""Ok. Sekarang bisa jelaskan kepadaku?" tanya Ezra. Ia sebenarnya sudah tahu. Namun, mengingat kedekatannya dengan Helena sulit dicapai, pertanyaan itu hanya menjadi alasan saja."Baiklah ... Malam itu ada seseorang yang mengirim pesan kepada tante. Hingga akhirnya tante sendiri menemuinya d
Kali pertamanya Ezra senyum semringah di pagi yang cerah. Tidak lagi gusar berpikir keras untuk bersaing dengan Nico. Ia yakin jika Helena pasti akan memilihnya karena sang Ayah sudah mengecewakannya."Morning kiss, Tan!" Di ciumannya sebuah ponsel yang di dalamnya terpampang foto Helena. Ezra yang sudah berpakaian rapi, ia bergegas keluar dari tempat persembunyian di balik kamar.Ia duduk di meja makan sambil memakan sepotong roti yang di berikan selai coklat. Berharap bertemu dengan Nico, tetapi sudah lima belas menit lamanya ia menunggu sang Ayah, pria paruh baya itu belum juga menunjukkan batang hidungnya.Akhirnya Ezra bergegas pergi kantor. Ditemani jas berwarna navy, ia melajukan mobil dengan santai."Pak!" Saat Ezra memarkirkan mobil di gedung berlantai empat itu, baru saja keluar dari Mobil, seorang wanita memanggilnya dari belakang. Ezra menoleh."Ada apa?"Wanita itu mendengus kesal. Ia mendekati Ezra. "Mana uang tambahan untukku?" Ezra terkekeh, saking bahagianya ia samp
[Mas, memangnya siapa wanita yang akan kamu nikahi lagi?][Mas, aku di rumah tidak pergi ke mana-mana. Wanita siapa, Mas?][Mas! Sekarang kamu pulang atau aku yang pergi!]"Aarrghh! Kenapa hidupku rumit seperti ini!" Nico mengerang. Terjebak lagi oleh tingkahnya sendiri.Karena panik pria tua itu bergegas menghubungi istrinya satu per satu untuk di minta keterangan. Ia bertanyaan tujuannya mereka pergi Helena, tetapi sial. Ternyata seseorang yang sengaja Ezra perintahkan untuk mengirim pesan padanya, itu jebakan Ezra."Ezra!" Nico bergegas mendekati Ezra yang baru saja sampai di halaman rumahnya."Kita bicara serius di dalam, Zra!" Ezra mengangguk, mengekori langkah sang Ayah.Ayah dan anak tersebut duduk di sofa yang saling berhadapan. Tatapan Nico terlihat serius sekali membuat Ezra diam tak berkutik."Apa kamu benar cinta kepada Helena?" Ezra mengangguk santai."Berjuanglah untuk mendapatkan hatinya." Celetukan dari Nico, membuat Ezra mendongakkan kepala."Jelas saja aku akan lakuk
Mateo menggeleng cepat. "Kamu dan om Nico sama saja memandang kami rendah. Meskipun aku harus bekerja keras mencari pekerjaan, itu lebih baik daripada mengorbankan perasaan Mamah."Pria muda itu sangat kesal kepada sahabatnya. Karena terlalu sombong untuk membaca situasi. Tak mengingat jika takdir kebahagiaan pasti akan tertuju padanya.Ezra mengangguk perlahan, menatap punggung sahabatnya yang pergi begitu saja. Pria berusia dua puluh empat tahun itu pergi. Ia memang sengaja mengikuti Mateo, berharap bertemu dengan pujaan hatinya, tetapi sahabatnya hanya sendirian.Kerinduan semakin tertanam kepada Helena, akhirnya Ezra bergegas ke pedesaan itu.Sesampainya di rumah kotak sederhana dengan cat putih, Ezra segera mengetuk pintu. Tak lupa pakaiannya sudah di semprot parfum, agar Helena terpaku padanya."Uhuk ... Uhuk!" "Mateo, bau apa ini?" pria muda itu menyeringai."Loh, Ezra!" Bukanya senang, ternyata pujaan hatinya itu malah terbatuk-batuk. Mungkin mencium aroma parfumnya yang sang