[Mas, memangnya siapa wanita yang akan kamu nikahi lagi?][Mas, aku di rumah tidak pergi ke mana-mana. Wanita siapa, Mas?][Mas! Sekarang kamu pulang atau aku yang pergi!]"Aarrghh! Kenapa hidupku rumit seperti ini!" Nico mengerang. Terjebak lagi oleh tingkahnya sendiri.Karena panik pria tua itu bergegas menghubungi istrinya satu per satu untuk di minta keterangan. Ia bertanyaan tujuannya mereka pergi Helena, tetapi sial. Ternyata seseorang yang sengaja Ezra perintahkan untuk mengirim pesan padanya, itu jebakan Ezra."Ezra!" Nico bergegas mendekati Ezra yang baru saja sampai di halaman rumahnya."Kita bicara serius di dalam, Zra!" Ezra mengangguk, mengekori langkah sang Ayah.Ayah dan anak tersebut duduk di sofa yang saling berhadapan. Tatapan Nico terlihat serius sekali membuat Ezra diam tak berkutik."Apa kamu benar cinta kepada Helena?" Ezra mengangguk santai."Berjuanglah untuk mendapatkan hatinya." Celetukan dari Nico, membuat Ezra mendongakkan kepala."Jelas saja aku akan lakuk
Mateo menggeleng cepat. "Kamu dan om Nico sama saja memandang kami rendah. Meskipun aku harus bekerja keras mencari pekerjaan, itu lebih baik daripada mengorbankan perasaan Mamah."Pria muda itu sangat kesal kepada sahabatnya. Karena terlalu sombong untuk membaca situasi. Tak mengingat jika takdir kebahagiaan pasti akan tertuju padanya.Ezra mengangguk perlahan, menatap punggung sahabatnya yang pergi begitu saja. Pria berusia dua puluh empat tahun itu pergi. Ia memang sengaja mengikuti Mateo, berharap bertemu dengan pujaan hatinya, tetapi sahabatnya hanya sendirian.Kerinduan semakin tertanam kepada Helena, akhirnya Ezra bergegas ke pedesaan itu.Sesampainya di rumah kotak sederhana dengan cat putih, Ezra segera mengetuk pintu. Tak lupa pakaiannya sudah di semprot parfum, agar Helena terpaku padanya."Uhuk ... Uhuk!" "Mateo, bau apa ini?" pria muda itu menyeringai."Loh, Ezra!" Bukanya senang, ternyata pujaan hatinya itu malah terbatuk-batuk. Mungkin mencium aroma parfumnya yang sang
"Memangnya kenapa?" tanya Helena tanpa rasa curiga."Tante mau temani Ezra makan di luar, gak?" Helena cepat menggeleng."Makanan ini saja belum habis, Zra. Kalau kamu masih lapar, makan semuanya." Helena melirik makanan di depannya masih berserakan. Tersisa banyak sekali, ayam bakar dan pizza, apalagi dua piring spageti belum di sentuh. Ia pun bingung akan menaruhnya di mana. Karena belum mempunyai kulkas di rumah itu.Ezra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung harus mencari alasan apalagi untuk membawa pujaan hatinya pergi bermain. "Hmm ... kita ke kuburan Ibu?" Helena terbelalak."Malam? Kamu mau uji nyali?" Ezra terkekeh puas. "Hmm ... Kuburan Ibu ada di kota sebelah, Tan. Kalau besok kita berangkat, pasti akan lelah di perjalanan."Mendiang ibu Ezra di makamkan di kota kelahirannya. Karena yang asli warga negara Indonesia itu adalah Ibunya. Sedangkan Nico warga asing dari Turki. Beruntung ketampanan Ezra dominan warga asing , membuat ia sebenarnya di gemari para wanita
Ezra tertawa terbahak-bahak di dalam kamar, setelah membaca pesan seseorang yang sengaja ia suruh untuk mengikuti Mateo.[Bagaimana? Apa Dia sudah masuk rumah sakit?]Ezra kembali mengirim pesan pada seseorang yang di perintahkan karena penasaran. Tak lama ia membalasnya.[Aku tidak mengikuti permintaanmu, Pak. Di sini ramai, bisa-bisa aku habis di pukuli mangsa.]Ezra semakin tertawa, ia merasa puas sekali. "Ezra di lawan!" Ia mengangkat kerah bajunya angkuh. Lalu berdiri, berkaca di cermin yang retak. Menatap ketampanannya yang jambang tipis itu semakin lebat, akhirnya sebelum pergi ke kantor Ezra mengikis rambut di pipinya itu."Nah, pacarnya tante Helena, 'kan jadi lebih tampan." Ia mengibaskan poni rambutnya. Sedikit mengangkat kedua alisnya. Baginya, ia sangat tampan untuk penampilannya saat ini.Tas hitam yang jinjing Ezra menemaninya pergi ke kantor, menggunakan kendaraan setianya yaitu mobil keluaran terbaru di tahun ini yang berwarna hitam. "Doakan aku, ya, Tan. Aku lagi be
Bulu kuduk Helena terasa merinding. Ia segera bangkit, tetapi pergelangan tangannya di cekal oleh seseorang yang berbisik padanya. "Mau ke mana, Tan?"Mendadak gorden terbuka dengan sendirinya. Helena tercengang, mendapati pria muda tampan yang sangat ia kenal. "Ezra?"Ezra mengangguk. "Makanlah!"Dengan santainya, ia mengambil Kentang goreng yang dipotong panjang, Helena masih terpaku dengan ketampanan pria muda yang duduk di depannya. "Ngapain menjebak Tante di sini?"Ezra gerak cepat meraih kembali tangan Helena yang akan bangkit. "Aku suruh Tante makan, bukan Marah-marah."Helena mendengus kesal, cengkeraman dari Ezra sangat erat, membuat ia sulit melangkah pergi. Akhirnya Helena duduk kembali. "Aaaaaa ..." Helena menyingkirkan tangan Ezra yang menjulurkan sesuap nasi padanya."Tante udah makan. Ezra, biarkan Tante pergi!" Pekik Helena, sekuat tenaga menepis tangan kekarnya dan bergegas pergi.Ezra berusaha berlari untuk mengejarnya, tetapi baru sampai depan pintu ia sudah lelah
Helena menggaruk tengkuk yang tidak gatal, ia bingung mendapatkan pertanyaan dari anak semata wayangnya.Di pikirannya, Mateo akan marah jika saat ini Helena menyepakati bekerja di perusahaan Ezra— sahabatnya itu."Tadi aku gak sengaja ketemu Tante Helena di jalan. Memangnya kamu tega liat Mamah kamu jalan sendirian? Akhirnya aku mengantarkan Tante pulang." Celetukan dari Ezra, membuat Helena menghela napas panjang. Karena pikirannya sudah lelah untuk berputar mencari solusi.Tanpa meninggikan gengsinya, akhirnya Mateo duduk di samping Helena yang berhadapan dengan Ezra. "Bagaimana? udah dapet kerja belum?" tanya Ezra berbasa-basi. Mateo menggeleng."Masa tadi ada yang bilang kalau aku buronan," keluh Mateo, Ezra mengulum senyumnya. Mengingat seorang wanita yang ia suruh untuk mengikuti Mateo benar-benar cerdik."Tan, Dede gemes pulang dulu, ya? tadi malem habis lembur soalnya. Jadi, belum istirahat sama sekali," pamit Ezra.Setelah menghabiskan sepiring nasi beserta lauk pauknya, Ezr
"Halo, Ca, tolong belikan pelumas di apotek."Wanita yang sedang duduk menghadap layar laptop mengernyitkan kening. "untuk apa, Pak?""Potong gaji 50% kalau kamu banyak tanya. O, ya, aku juga tidak segan memotong gajimu sebesar 70% kalau kamu banyak ngomong ke karyawan yang lain!" jawab seorang pria di seberang telepon, bahkan ia sendiri yang mematikan sambungannya.Wanita berpakaian seksi itu mendengus kesal, perintah dari sang bos membuatnya malu. Tidak mungkin seorang gadis membeli benda cairan seperti jelly itu."Apa katanya?" tanya temannya."Udah ayo ikut aku." Ia pun menarik pergelangan tangannya untuk bergegas mengabulkan permintaan sang bos.****"Aww ... Zra, sakit! Pelan-pelan.""Ii-iya, Tan. Sebentar lagi masuk.""Ahhh ... Zra. Ini kulit Tante udah berdarah. Jangan di paksa in, ah. Nanti malah robek!""Tantenya jangan tegang, jangan ditarik. Ok, aku akan berhenti. Tunggu sampai pelumas itu datang!"Deg!Kedua karyawan yang mendengar suara aneh dibalik pintu terperanjat. Men
"Aku bukan buronan! Memangnya Bapak tahu dari siapa perkataan tidak benar itu?" cecar Mateo kepada seorang pria paruh baya, pemilik toko roti di sebuah pasar swalayan.Semenjak Helena pergi dari rumah, Mateo pun pergi karena jenuh. Niatnya hanya ingin menghirup udara segar, sesekali mengunjungi toko yang ramai, berharap ia mendapatkan pekerjaan. Namun, tak di sangka banyak sekali yang mengatakan jika Mateo adalah seorang buronan. Entah kasus apa, membuat Mateo mengamuk di pasar tersebut."Kami juga gak tahu. Yang jelas kemarin di setiap sudut pasar, ada yang menempelkan kertas ini!" Seorang pria memberikan selembar kertas kepada Mateo, karena amarah Mateo yang menggelegar, mengundang orang-orang berdatangan.'PERINGATAN! JANGAN COBA-COBA MENERIMA ORANG DI BAWAH INI. BERDALIH MENCARI PEKERJAAN. IA HANYA PURA-PURA, NAMANYA MATEO YANG SEBENARNYA ADALAH BURONAN POLISI.'Mateo meremas kertas bertulisan itu, bahkan foto nya pun terpampang nyata di sana, netranya semakin merah padam dengan ta