Kali pertamanya Ezra senyum semringah di pagi yang cerah. Tidak lagi gusar berpikir keras untuk bersaing dengan Nico. Ia yakin jika Helena pasti akan memilihnya karena sang Ayah sudah mengecewakannya."Morning kiss, Tan!" Di ciumannya sebuah ponsel yang di dalamnya terpampang foto Helena. Ezra yang sudah berpakaian rapi, ia bergegas keluar dari tempat persembunyian di balik kamar.Ia duduk di meja makan sambil memakan sepotong roti yang di berikan selai coklat. Berharap bertemu dengan Nico, tetapi sudah lima belas menit lamanya ia menunggu sang Ayah, pria paruh baya itu belum juga menunjukkan batang hidungnya.Akhirnya Ezra bergegas pergi kantor. Ditemani jas berwarna navy, ia melajukan mobil dengan santai."Pak!" Saat Ezra memarkirkan mobil di gedung berlantai empat itu, baru saja keluar dari Mobil, seorang wanita memanggilnya dari belakang. Ezra menoleh."Ada apa?"Wanita itu mendengus kesal. Ia mendekati Ezra. "Mana uang tambahan untukku?" Ezra terkekeh, saking bahagianya ia samp
[Mas, memangnya siapa wanita yang akan kamu nikahi lagi?][Mas, aku di rumah tidak pergi ke mana-mana. Wanita siapa, Mas?][Mas! Sekarang kamu pulang atau aku yang pergi!]"Aarrghh! Kenapa hidupku rumit seperti ini!" Nico mengerang. Terjebak lagi oleh tingkahnya sendiri.Karena panik pria tua itu bergegas menghubungi istrinya satu per satu untuk di minta keterangan. Ia bertanyaan tujuannya mereka pergi Helena, tetapi sial. Ternyata seseorang yang sengaja Ezra perintahkan untuk mengirim pesan padanya, itu jebakan Ezra."Ezra!" Nico bergegas mendekati Ezra yang baru saja sampai di halaman rumahnya."Kita bicara serius di dalam, Zra!" Ezra mengangguk, mengekori langkah sang Ayah.Ayah dan anak tersebut duduk di sofa yang saling berhadapan. Tatapan Nico terlihat serius sekali membuat Ezra diam tak berkutik."Apa kamu benar cinta kepada Helena?" Ezra mengangguk santai."Berjuanglah untuk mendapatkan hatinya." Celetukan dari Nico, membuat Ezra mendongakkan kepala."Jelas saja aku akan lakuk
Mateo menggeleng cepat. "Kamu dan om Nico sama saja memandang kami rendah. Meskipun aku harus bekerja keras mencari pekerjaan, itu lebih baik daripada mengorbankan perasaan Mamah."Pria muda itu sangat kesal kepada sahabatnya. Karena terlalu sombong untuk membaca situasi. Tak mengingat jika takdir kebahagiaan pasti akan tertuju padanya.Ezra mengangguk perlahan, menatap punggung sahabatnya yang pergi begitu saja. Pria berusia dua puluh empat tahun itu pergi. Ia memang sengaja mengikuti Mateo, berharap bertemu dengan pujaan hatinya, tetapi sahabatnya hanya sendirian.Kerinduan semakin tertanam kepada Helena, akhirnya Ezra bergegas ke pedesaan itu.Sesampainya di rumah kotak sederhana dengan cat putih, Ezra segera mengetuk pintu. Tak lupa pakaiannya sudah di semprot parfum, agar Helena terpaku padanya."Uhuk ... Uhuk!" "Mateo, bau apa ini?" pria muda itu menyeringai."Loh, Ezra!" Bukanya senang, ternyata pujaan hatinya itu malah terbatuk-batuk. Mungkin mencium aroma parfumnya yang sang
"Memangnya kenapa?" tanya Helena tanpa rasa curiga."Tante mau temani Ezra makan di luar, gak?" Helena cepat menggeleng."Makanan ini saja belum habis, Zra. Kalau kamu masih lapar, makan semuanya." Helena melirik makanan di depannya masih berserakan. Tersisa banyak sekali, ayam bakar dan pizza, apalagi dua piring spageti belum di sentuh. Ia pun bingung akan menaruhnya di mana. Karena belum mempunyai kulkas di rumah itu.Ezra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung harus mencari alasan apalagi untuk membawa pujaan hatinya pergi bermain. "Hmm ... kita ke kuburan Ibu?" Helena terbelalak."Malam? Kamu mau uji nyali?" Ezra terkekeh puas. "Hmm ... Kuburan Ibu ada di kota sebelah, Tan. Kalau besok kita berangkat, pasti akan lelah di perjalanan."Mendiang ibu Ezra di makamkan di kota kelahirannya. Karena yang asli warga negara Indonesia itu adalah Ibunya. Sedangkan Nico warga asing dari Turki. Beruntung ketampanan Ezra dominan warga asing , membuat ia sebenarnya di gemari para wanita
Ezra tertawa terbahak-bahak di dalam kamar, setelah membaca pesan seseorang yang sengaja ia suruh untuk mengikuti Mateo.[Bagaimana? Apa Dia sudah masuk rumah sakit?]Ezra kembali mengirim pesan pada seseorang yang di perintahkan karena penasaran. Tak lama ia membalasnya.[Aku tidak mengikuti permintaanmu, Pak. Di sini ramai, bisa-bisa aku habis di pukuli mangsa.]Ezra semakin tertawa, ia merasa puas sekali. "Ezra di lawan!" Ia mengangkat kerah bajunya angkuh. Lalu berdiri, berkaca di cermin yang retak. Menatap ketampanannya yang jambang tipis itu semakin lebat, akhirnya sebelum pergi ke kantor Ezra mengikis rambut di pipinya itu."Nah, pacarnya tante Helena, 'kan jadi lebih tampan." Ia mengibaskan poni rambutnya. Sedikit mengangkat kedua alisnya. Baginya, ia sangat tampan untuk penampilannya saat ini.Tas hitam yang jinjing Ezra menemaninya pergi ke kantor, menggunakan kendaraan setianya yaitu mobil keluaran terbaru di tahun ini yang berwarna hitam. "Doakan aku, ya, Tan. Aku lagi be
Bulu kuduk Helena terasa merinding. Ia segera bangkit, tetapi pergelangan tangannya di cekal oleh seseorang yang berbisik padanya. "Mau ke mana, Tan?"Mendadak gorden terbuka dengan sendirinya. Helena tercengang, mendapati pria muda tampan yang sangat ia kenal. "Ezra?"Ezra mengangguk. "Makanlah!"Dengan santainya, ia mengambil Kentang goreng yang dipotong panjang, Helena masih terpaku dengan ketampanan pria muda yang duduk di depannya. "Ngapain menjebak Tante di sini?"Ezra gerak cepat meraih kembali tangan Helena yang akan bangkit. "Aku suruh Tante makan, bukan Marah-marah."Helena mendengus kesal, cengkeraman dari Ezra sangat erat, membuat ia sulit melangkah pergi. Akhirnya Helena duduk kembali. "Aaaaaa ..." Helena menyingkirkan tangan Ezra yang menjulurkan sesuap nasi padanya."Tante udah makan. Ezra, biarkan Tante pergi!" Pekik Helena, sekuat tenaga menepis tangan kekarnya dan bergegas pergi.Ezra berusaha berlari untuk mengejarnya, tetapi baru sampai depan pintu ia sudah lelah
Helena menggaruk tengkuk yang tidak gatal, ia bingung mendapatkan pertanyaan dari anak semata wayangnya.Di pikirannya, Mateo akan marah jika saat ini Helena menyepakati bekerja di perusahaan Ezra— sahabatnya itu."Tadi aku gak sengaja ketemu Tante Helena di jalan. Memangnya kamu tega liat Mamah kamu jalan sendirian? Akhirnya aku mengantarkan Tante pulang." Celetukan dari Ezra, membuat Helena menghela napas panjang. Karena pikirannya sudah lelah untuk berputar mencari solusi.Tanpa meninggikan gengsinya, akhirnya Mateo duduk di samping Helena yang berhadapan dengan Ezra. "Bagaimana? udah dapet kerja belum?" tanya Ezra berbasa-basi. Mateo menggeleng."Masa tadi ada yang bilang kalau aku buronan," keluh Mateo, Ezra mengulum senyumnya. Mengingat seorang wanita yang ia suruh untuk mengikuti Mateo benar-benar cerdik."Tan, Dede gemes pulang dulu, ya? tadi malem habis lembur soalnya. Jadi, belum istirahat sama sekali," pamit Ezra.Setelah menghabiskan sepiring nasi beserta lauk pauknya, Ezr
"Halo, Ca, tolong belikan pelumas di apotek."Wanita yang sedang duduk menghadap layar laptop mengernyitkan kening. "untuk apa, Pak?""Potong gaji 50% kalau kamu banyak tanya. O, ya, aku juga tidak segan memotong gajimu sebesar 70% kalau kamu banyak ngomong ke karyawan yang lain!" jawab seorang pria di seberang telepon, bahkan ia sendiri yang mematikan sambungannya.Wanita berpakaian seksi itu mendengus kesal, perintah dari sang bos membuatnya malu. Tidak mungkin seorang gadis membeli benda cairan seperti jelly itu."Apa katanya?" tanya temannya."Udah ayo ikut aku." Ia pun menarik pergelangan tangannya untuk bergegas mengabulkan permintaan sang bos.****"Aww ... Zra, sakit! Pelan-pelan.""Ii-iya, Tan. Sebentar lagi masuk.""Ahhh ... Zra. Ini kulit Tante udah berdarah. Jangan di paksa in, ah. Nanti malah robek!""Tantenya jangan tegang, jangan ditarik. Ok, aku akan berhenti. Tunggu sampai pelumas itu datang!"Deg!Kedua karyawan yang mendengar suara aneh dibalik pintu terperanjat. Men
Akhirnya setelah Helena mengizinkan keduanya pulang ke rumah yang sempat ia huni, Aca dan Mateo terbebas oleh rengekan bayi terutama perintah Ezra. Kini tepat pukul 8 malam, pasangan suami-istri itu sedang berduduk santai sambil menonton siaran televisi. Pasangan baru itu terlihat sedang menikmati masa pengawalan yang indah. Namun, sekilas keindahan itu mendadak sirna saat Aca mengingat kedua orang tuanya. “Jangan besok, Ca. Kita cari waktu yang pas,” tegur Mateo, ia keberatan mengikuti permintaan Aca yang menginginkan pulang ke kampung halamannya. Wanita berbaju dress hitam selutut itu mendengus kesal seraya melihat kedua tangannya di dada. “Aku khawatir kepada orang tuaku, Mateo. Jika kamu tidak bisa pergi, biarkan aku sendiri yang pulang.”Mateo menggeleng cepat. “Untuk sekarang ini kamu bisa Videocall. Kamu itu tanggung jawabku, tidak mungkin aku membiarkan kamu pergi begitu saja.”Akhirnya karena rasa rindu yang sulit terbendung, Aca segera meraih ponselnya untuk menghubungi k
Emosi yang sudah memuncak menyelimuti perasaan Helena, membuat Ezra saat ini tidak bisa berkutik. Akhirnya pria itu membawa sang istri ke dalam ruangan bayinya. Sesaat derai air mata membasahi pipi Helena. Begitu nyeri rasanya di dada, melihat bayi yang tak berdaya Tergeletak ditemani beberapa alat medis yang tertempel di dada serta perutnya. “Kau tega melihat bayi ini, Zra?” Isak tangis Helena menjadi-jadi. Ia terus mencecar suaminya karena perbuatannya atas kesengajaan Ezra membuang asinya. Tiga tim medis itu hanya diam karena tidak tahu apa-apa. Mereka berisi di belakang pasangan yang sedang berdebat.Helena belai pipi bayi mungil itu, derai air matanya terus bercucuran seakan ingin sekali menggendongnya. “Kau memang Bubukan dari hasil benih suamiku. Namun, kau tidak perlu khawatir. Akan ada aku yang selalu menemanimu setiap saat.”Seketika Helena menoleh kepada tiga tim medis yang sengaja Ezra perintahkan untuk menemani bayinya. “Kapan Bayiku bisa keluar dari box ini?”“Setelah
“Bagaimana, Pak? Jika ada kendala terkait pasien segera hubungi kami,” Ujar seorang tim medis yang ikut ke rumah megah itu. Selain membantu memasangkan alat yang akan ditempelkan ke badan sang bayi, nantinya ketiga tim medis itu diperintahkan untuk mengontrol keadaan Helena dan bayi tersebut. Ezra perhatikan alat medis yang terkait sempurna di badan bayi laki-lakinya, seketika ia mengangguk. “Besok pukul 6 pagi kalian datang ke sini. Rawat bayi sampai pukul 6 sore.”Lagi-lagi permintaan Ezra membuat tiga tim medis itu keberatan. “Maaf, Pak. Kita juga ada pekerjaan di rumah sakit.”“Tidak ada alasan. Saya sudah meminta izin kepada rumah sakit.” Nyatanya, biaya sekitar 1milyar sudah masuk ke pihak rumah sakit. Selain untuk menyewa alat medis di sana, pun tiga tim medis dan beberapa dokter sudah ia jadwalkan untuk menjaga kondisi Helena dan Bayinya agar terjamin pulih dengan baik.“Ba– baik, Pak. Kami akan kembali rapat waktu.” Pamit ketiga tim medis itu lalu bergegas pergi. Kini ruma
Kejadian menakutkan untuk Ezra akhirnya datang juga. Begitu cemasnya saat melihat brankar yang terdapat Helena di atasnya beranjak memasuki ruangan operasi. Dokter memutuskan untuk Helena melakukan tindakan Caesar, selain janinya prematur daya tahan tubuh Helena pun lemah. Tak banyak berpikir akhirnya Ezra menyetujui saran dari Dokter wanita beralmamater putih itu. Helena justru bersikap tenang, karena Ezra selalu di sampingnya. Jarum infusan serta beberapa alat medis terpasang di tubuhnya. Namun, Helena sesaat terkekeh melihat Ezra menangis sambil mengusap-usap keningnya. “Kamu tenang, Suamiku. Aku akan baik-baik saja.” Ezra tertegun. Ia lirik bagian perut istrinya yang mulai ditutup kain berwarna hijau. “A– aku takut, istriku. Pokoknya kamu rileks, ada aku di sini.”“Jika Bapak takut, Bapak Keluar saja. Istri Bapak pasti baik-baik saja.” Ezra menggeleng cepat. “Aku tidak mungkin meninggalkannya. Pokoknya jangan sampai istriku terluka!”Ujaran dari Ezra mengundang tawa para Dokter
“Kenapa mereka berpikir seperti itu? Padahal aku sama sekali tidak pernah memaksa Ezra untuk memberikan asetnya padaku. Dari dulu, kau pun tahu Ezra selalu mengejar-ngejar Mama.” Gerutu Mateo sesampainya di rumah. Pria berjas hitam itu begitu kepada sang istri, karena Aca terus menahannya untuk sabar. Padahal emosinya sudah memuncak, mungkin jika tidak ada Aca di sana, bibir beberapa karyawan itu sudah di sumpel menggunakan sempak olehnya. Aca menghela napas panjang sambil duduk di depan suaminya, ia tidak mungkin membiarkan Mateo mencoreng nama baiknya di sana. Mengingat kini jabatannya sudah menjadi CEO yang pastinya harus bersikap dermawan. “Aku pun menyadari jika Mamah sudah nenek-nenek, tetapi mereka tidak tahu bagaimana kita berusaha menolak permintaan Ezra!” “Mateo, lihat perlakuan Ezra. Apa dia langsung marah dalam menyikapi permasalahan seperti ini? Kamu seharusnya sabar, jangan sampai emosi itu membawa nama baikmu tercoreng di pabrik.” Celetukan dari Aca, membuat Mateo
Sebagai pria muda yang hidup sebatang kara, bagi Ezra ia harus mempererat hubungannya dengan sang istri, terutama kepada Mateo selaku anak tirinya dan kerabat dekatnya.Kini Ezra yang sedari dulu dikelilingi harta berlimpah, sama sekali tidak merasa rugi. Baginya melihat Helena bahagia menjadi istrinya pun ia sudah merasa puas. Yang dikejar olehnya ialah ketenangan dan kedamaian di lubuk hatinya, mengingat saat Nico dan Ibundanya masih ada, ia seperti pemuda gelandangan yang haus akan perhatian. Namun, secuil pun Ezra tidak mempunyai dendam kepada kedua orang tuanya, justru kobaran semangatnya semakin memuncak saat ini. Ia harus membuktikan jika dirinya bisa berdiri karena perjuangannya, bahkan bisa memberikan kebahagiaan yang layak kepada anak dan Istrinya. “Terima kasih, Suamiku. Aku pikir kamu memang benar-benar sudah tidak membutuhkan Mateo.” Ujar Helena kegirangan sambil mengusap lembut pipi Ezra yang sedang mengendarai mobil. “Aku bukan pria yang sengaja menyembunyikan kepemi
“Loh, maksudnya apa ini, Mateo?” tanya Aca terbelalak. Sama dengan Mateo yang netranya membulat sempurna. “Sepertinya kita masuk perangkap Ezra lagi.” Pasangan yang masih menggunakan piyama itu bergegas keluar. Rasa khawatirnya kepada Helena tiba-tiba hilang, tergantikan dengan keheranan. Kini keduanya sudah berada di halaman perusahaannya. Nuansanya jauh berbeda. Baru saja sampai di depan pintu, banyak sekali beberapa balon serta bunga yang menghias berkeliling.Mateo mendengus kesal, sudah lelah ia tertipu oleh Ezra yang mengatakan jika mamahnya sedang dalam bahaya. “Pak, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Mateo kepada salah satu satpam di sana. Pria berbaju serba hitam itu hanya menggeleng, lalu beranjak pergi begitu santai. Mateo pun mendekati dua teman yang berada di depan pintu itu yang tak lain Kila dan Kelvin diikuti Aca. “Ada apa ini? Di mana Ezra dan Mamah?” tanya Mateo kepada Kila. Wanita berambut Dora itu melirik kepada Kelvin yang justru mendadak pergi begitu saja.
“Terima kasih.” Aca yang masih memejamkan mata mendapatkan sambaran kecupan yang mengenai keningnya dari pria perkasa yang baru menjelajahi tubuhnya. Deru napasnya Aca masih bergemuruh, ia terlentang di atas ranjang ditemani keringat karena malam pertama. Sekujur tubuh terasa nyeri, apalagi di bagian mahkotanya yang berdenyut dan terasa panas. Mateo yang baru selesai membersihkan bagian tubuhnya, sambil menggunakan pakaian melirik kepada sang istri. Seketika hatinya terenyuh, mengingat rintihan dan desahan suara Aca yang masih terngiang di pikirannya. Setelah piyama hitam membalut tubuhnya, Mateo beranjak mendekati Aca. Ia usap anak rambut sang istri yang menutupi matanya. “Ca, masih sakit, ya?”Aca mengangguk, tetapi tidak membuka matanya. “Aku bantu bersihkan tubuhmu, bagaimana?” tawar Mateo.Perlahan Aca membuka matanya. Ia tatap wajah tampan Mateo yang terlihat lebih segar dengan pucuk rambutnya masih basah. “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”Aca menghela napas pajang. Ia perlah
Dua pasang mata saling tatap. Bak seperti pangeran dan putri penampilan Mateo dan Aca malam ini. Jemari lentik Aca menggelantung ke leher Mateo, sedang jemari kekar pria tampan itu berada di pinggang sang istri. Mereka menari di tengah-tengah para tamu undangan malam. Menikmati lantunan musik yang mendamaikan hati. Bahkan banyaknya lampu warna-warni mengelilingi ruangan megah itu, mendukung keharmonisan keduanya. Sungguh, selain bahagia karena akhirnya bertemu kembali dengan sang papa, Aca pun senang mendapati kenyamanan yang sulit terungkap kan.“Selamat, ya, Ca!” Aca sedikit terkejut ia menoleh ke belakang saat seseorang tiba-tiba merangkulnya. Sesaat ia menghela napas pajang, bahkan menghamburkan senyum manisnya. “Terima kasih, Kila.” Aca pun melepaskan pelukannya dengan Mateo, ia memilih duduk di bangku kosong dengan wanita tersebut. Ya, tak lain yang datalah ialah Kila. Dua gadis yang sempat berseteru, perlahan hubungan mereka mulai membaik. Semua berawal dari Aca yang membu