Share

Terpaksa jadi pelakor
Terpaksa jadi pelakor
Author: Ara putri

Bab 1

Dering suara ponsel mengangu tidur seorang gadis muda yang terlihat baru saja memejamkan matanya. ia melenguh malas, tapi tetap bangun dengan wajah lelah.

"Cepat banget jam 8, padahal aku baru tidur." Iya lah, tadi malam ia tidur jam 4 subuh. 

Ia segera bangkit dari kasur tipis yang menjadi alas tidurnya. Ya, begitulah hidup Sarah. Tinggal di kontrakan kecil dan tidur beralaskan kasur santai. Ia tidak punya uang untuk membeli kasur yang lebih empuk, bisa makan aja ia udah bersyukur banget.

Setelah merasa cukup santai ia berjalan ke kamar mandi belakang, kamar mandi yang menjadi tempat seluruh penghuni kos untuk membersihkan badan.

"Udah bangun, Sar? Tumben lambat sekarang. Biasanya jam 6 subuh kamu udah siap berangkat kerja." Sapa seorang gadis yang juga ngekos di tempat itu.

"Ya gini lah. Aku lembur kemarin, jadi hari ini masuk jam setengah sembilan." Jawabnya, "aku pake kamar mandi duluan ya."

"Ya, pakek aja. Aku udah siap kok."

Sarah bukan tidak memiliki keluarga sebenarnya. ia masih punya ayah dan juga ayahnya tinggal di kota yang sama dengannya. Hanya saja memang dasar laki-laki itu tidak bertanggung jawab, setelah ibunya meninggal dia menikah dengan istri barunya dan membuang Sarah tanpa belas kasih. Bahkan memberi uang jajan saya selama dua tahun ini tidak pernah, jangankan memberi uang harta peninggalan ibunya saja ia rampas untuk istri mudanya.

****

Dalam waktu dua puluh menit Sarah selesai bersiap. Pakai baju kemeja dan celana Levis itu cukup pas di tubuhnya membuat kecantikannya terpancar keluar. Andai saja dia bersekolah tinggi pasti mendapatkan pekerjaan yang lebih baik

Dia hanya gadis yang tamat SMA, memiliki ijazah rendah begitu ia hanya mampu bekerja di toko pakaian. Untuk mencari uang tambahan ia juga menambah jop akhir pekan ke klub malam menjadi pelayan.

Ya, seperti itulah hidupnya. Syukur tak bersyukurnya ia terpaksa harus tetap menjalani kehidupan keras di kota besar ini.

Sepuluh menit perjalanan ia berhasil sampai di toko tempatnya bekerja. Sarah sedikit berlari agar bisa cepat sampai untuk membantu teman-temannya yang lain membuka toko.

"Wah, telat kamu Sar?" 

Sarah menyengir, "gimana gak, mbak. Semalam pak bos suruh aku balik jam 3 subuh."

"Hah! Serius?" 

"Iya. Aku sama Agus di tahan di gudang buat catat barang yang baru sampai. Tapi lumayan sih, dapat uang lembur.

"Skate-kate... Kalau aku gak peduli uang lembur, waktu istirahat ku lebih penting." 

Benar sih. Waktu istirahat itu lebih penting, itu kan kata orang yang punya uang. Bagi dia dapat duit lebih penting dari pada tidur, toh ini hanya sekali-sekali.

Bekerja seperti biasa dari pagi sampai jam delapan malam, dan malam akan di ganti sif oleh laki-laki. Karena hari ini hari Sabtu, berarti akhir pekan ia akan lanjut ke klub malam untuk menjadi pelayan.

Mana kurang tidur, kerja banyak. Sarah menatap nanar dirinya yang semakin hari semakin kurus. 

"Padahal umurku baru 22 tahun, tapi udah keliatan dewasa banget. Ya Allah... Apa aku jual diri aja ya, biar banyak duit." 

Terkadang hidup susah membuat ia berpikir gila. Tapi untuk menjadi wanita penghibur ia takut, selain pandangan orang buruk padanya ia juga takut terkena penyakit menular. Untung selama ini bekerja di klub malam tidak ada yang menganggunya. Meskipun ada sentuhan-sentuhan dikit yang tidak bisa ia hindari.

"Kamu langsung ke Klub itu, Sar?" Agus datang menghampiri Sarah, "kerena searah yuk aku antar sekalian."

"Serius? Kamu ngapain ke arah sana. Bukannya rumah kamu berlawan arah ya?"

"Mau ke rumah nenek. Ayok, sekalian aku antar." 

Tentu saja Sarah tak menolak. Dengan begini ia bisa menghemat ongkos tujuh ribu perak. Kan lumayan untuk ia beli makanan nanti.

****

Sedangkan di tempat lain, seorang wanita cantik terlihat sedang tengah sibuk membawa barang belanjaannya. Meskipun hari sudah cukup malam tak membuat semangatnya surut untuk menghambur-hamburkan uang.

Jika di sana Sarah setengah mati mencari uang maka berbeda dengan Amora yang sesuka hati menghamburkan uang suaminya. Apapun yang ia inginkan dengan mudah ia dapatkan, dari kecil ia tidak merasakan apa itu artinya susah. Dia adalah seorang putri dari orang tuanya dan sekarang menjadi ratu satu-satunya di istana suaminya.

"Kamu! Tolong bawa belanjaan saya ini," perintahnya pada salah satu pegawai mall sembari menyerahkan barang belanjaannya yang super banyak. 

"Baik, nyonya."

Padahal dari lantai satu ke parkiran gak terlalu jauh, tapi ya ia tentu saja malas bersusah-susah membawa barangnya itu jika ada pelayan yang bisa membantu. Jangan sampai telapak tangannya yang halus memerah karena kantong belanjaan itu, pikir Amora.

Mobil mewah, berpenampilan glamor. Itu sudah menjadi ciri khas seorang Amora. Dari kecil selalu berkecukupan, bahkan sekarang ia menikah dengan laki-laki kaya di kota ini, semua orang tak akan berani menyinggungnya jika tahu Nama suaminya.

Sampai di rumah ia telah di sambut oleh suaminya yang ternyata pulang kerja terlebih dahulu, Amora gegas mendekati sang suami dan memeluk suaminya.

"Mas, aku kangen. Kok pulang gak kasih kabar, kalau tau kan aku gak akan keluar hari ini." Rengekan manja terdengar dari bibir tipisnya yang merah menggoda.

Devan melepaskan pelukan istrinya dengan lembut, "hanya kebetulan pekerjaan cepat selesai. Kamu dari mana sayang?" Jawabnya basa-basi, padahal ia bisa menebak dengan mudah.

Amora sudah biasa menerima perlakuan  seperti ini, ia hadapan Devan akan bersikap begitu manja. Ia tahu semua pria itu suka wanita yang manja dan wanita yang menggoda Lagi pula Devan bukan suami yang dingin, ia juga terkadang bersikap lembut dan manja padanya. Hanya saja akhir-akhir ini Devan berubah sedikit acuh, mungkin karena pernikahan mereka yang sudah memasuki usia delapan tahun, membuat dia merasa sedikit jenuh.

Tapi tak Masalah, Amora akan selalu menarik perhatian suaminya. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi wanita satu-satunya untuk Devan di masa depan.

"Aku akan menyiapkan air hangat untukmu, mas. Kamu pasti capek."

"Tidak perlu, Aku sudah meminta bibi melakukannya." 

Amora kecewa penolakan sang suami. Tapi ia tak Patang menyerah, "kalau begitu aku akan siapkan makan malam untuk mu... Kali ini tolong jangan menolaknya," 

Devan tersenyum kecil, "baiklah."

Delapan tahun berumah tangga sebenarnya Davin merasa jenuh, apalagi setelah ia tahu istrinya tak ingin memiliki anak. Rasa kecewa jelas ada, tapi ia tidak bisa memaksa juga. Karena itulah ia melampiaskan pada pekerjaan, beharap dengan begitu bisa melupakan urusan rumah tangganya.

Dulu, di awal pernikahan mereka Davin dan Amora memiliki hubungan yang romantis. Saling mencintai meskipun mereka menikah karena perjodohan. Tapi belakangan ini tanpa terasa ada jarak yang menjauhi mereka, sikap keras kepala Amora yang tak ingin hamil karena takut gendut membuat Davin muak.

Devan menatap Amora beberapa saat, setelahnya ia memilih masuk kedalam kamar untuk membersihkan diri. 

****

Sedangkan di tempat lain Sarah tengah berdiri terdiam ketakutan. Bagaimana tidak, tadi ia sempat pingsan saat sedang bekerja di klub. Tidak tahu siapa yang membawanya ke rumah sakit, tapi ucapan dokter membuat ia sangat terkejut.

"Sakit? Operasi?"

Dua kata itu membuat kepala kecilnya pening. Bagaimana tidak, ia baru saja tahu bahwa dirinya terkena usus buntu yang butuh operasi. 

Uang dari mana?

"Aku harus cari ayah. Bagaimana pun dia pasti mau memberi aku uang." Ya, hanya itu tempatnya mengadu sekarang. Ia tidak punya sanak saudara, hanya ayahnya. Ia berharap pria itu mau membantunya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status