Dering suara ponsel mengangu tidur seorang gadis muda yang terlihat baru saja memejamkan matanya. ia melenguh malas, tapi tetap bangun dengan wajah lelah.
"Cepat banget jam 8, padahal aku baru tidur." Iya lah, tadi malam ia tidur jam 4 subuh. Ia segera bangkit dari kasur tipis yang menjadi alas tidurnya. Ya, begitulah hidup Sarah. Tinggal di kontrakan kecil dan tidur beralaskan kasur santai. Ia tidak punya uang untuk membeli kasur yang lebih empuk, bisa makan aja ia udah bersyukur banget. Setelah merasa cukup santai ia berjalan ke kamar mandi belakang, kamar mandi yang menjadi tempat seluruh penghuni kos untuk membersihkan badan. "Udah bangun, Sar? Tumben lambat sekarang. Biasanya jam 6 subuh kamu udah siap berangkat kerja." Sapa seorang gadis yang juga ngekos di tempat itu. "Ya gini lah. Aku lembur kemarin, jadi hari ini masuk jam setengah sembilan." Jawabnya, "aku pake kamar mandi duluan ya." "Ya, pakek aja. Aku udah siap kok." Sarah bukan tidak memiliki keluarga sebenarnya. ia masih punya ayah dan juga ayahnya tinggal di kota yang sama dengannya. Hanya saja memang dasar laki-laki itu tidak bertanggung jawab, setelah ibunya meninggal dia menikah dengan istri barunya dan membuang Sarah tanpa belas kasih. Bahkan memberi uang jajan saya selama dua tahun ini tidak pernah, jangankan memberi uang harta peninggalan ibunya saja ia rampas untuk istri mudanya. **** Dalam waktu dua puluh menit Sarah selesai bersiap. Pakai baju kemeja dan celana Levis itu cukup pas di tubuhnya membuat kecantikannya terpancar keluar. Andai saja dia bersekolah tinggi pasti mendapatkan pekerjaan yang lebih baik Dia hanya gadis yang tamat SMA, memiliki ijazah rendah begitu ia hanya mampu bekerja di toko pakaian. Untuk mencari uang tambahan ia juga menambah jop akhir pekan ke klub malam menjadi pelayan. Ya, seperti itulah hidupnya. Syukur tak bersyukurnya ia terpaksa harus tetap menjalani kehidupan keras di kota besar ini. Sepuluh menit perjalanan ia berhasil sampai di toko tempatnya bekerja. Sarah sedikit berlari agar bisa cepat sampai untuk membantu teman-temannya yang lain membuka toko. "Wah, telat kamu Sar?" Sarah menyengir, "gimana gak, mbak. Semalam pak bos suruh aku balik jam 3 subuh." "Hah! Serius?" "Iya. Aku sama Agus di tahan di gudang buat catat barang yang baru sampai. Tapi lumayan sih, dapat uang lembur. "Skate-kate... Kalau aku gak peduli uang lembur, waktu istirahat ku lebih penting." Benar sih. Waktu istirahat itu lebih penting, itu kan kata orang yang punya uang. Bagi dia dapat duit lebih penting dari pada tidur, toh ini hanya sekali-sekali. Bekerja seperti biasa dari pagi sampai jam delapan malam, dan malam akan di ganti sif oleh laki-laki. Karena hari ini hari Sabtu, berarti akhir pekan ia akan lanjut ke klub malam untuk menjadi pelayan. Mana kurang tidur, kerja banyak. Sarah menatap nanar dirinya yang semakin hari semakin kurus. "Padahal umurku baru 22 tahun, tapi udah keliatan dewasa banget. Ya Allah... Apa aku jual diri aja ya, biar banyak duit." Terkadang hidup susah membuat ia berpikir gila. Tapi untuk menjadi wanita penghibur ia takut, selain pandangan orang buruk padanya ia juga takut terkena penyakit menular. Untung selama ini bekerja di klub malam tidak ada yang menganggunya. Meskipun ada sentuhan-sentuhan dikit yang tidak bisa ia hindari. "Kamu langsung ke Klub itu, Sar?" Agus datang menghampiri Sarah, "kerena searah yuk aku antar sekalian." "Serius? Kamu ngapain ke arah sana. Bukannya rumah kamu berlawan arah ya?" "Mau ke rumah nenek. Ayok, sekalian aku antar." Tentu saja Sarah tak menolak. Dengan begini ia bisa menghemat ongkos tujuh ribu perak. Kan lumayan untuk ia beli makanan nanti. **** Sedangkan di tempat lain, seorang wanita cantik terlihat sedang tengah sibuk membawa barang belanjaannya. Meskipun hari sudah cukup malam tak membuat semangatnya surut untuk menghambur-hamburkan uang. Jika di sana Sarah setengah mati mencari uang maka berbeda dengan Amora yang sesuka hati menghamburkan uang suaminya. Apapun yang ia inginkan dengan mudah ia dapatkan, dari kecil ia tidak merasakan apa itu artinya susah. Dia adalah seorang putri dari orang tuanya dan sekarang menjadi ratu satu-satunya di istana suaminya. "Kamu! Tolong bawa belanjaan saya ini," perintahnya pada salah satu pegawai mall sembari menyerahkan barang belanjaannya yang super banyak. "Baik, nyonya." Padahal dari lantai satu ke parkiran gak terlalu jauh, tapi ya ia tentu saja malas bersusah-susah membawa barangnya itu jika ada pelayan yang bisa membantu. Jangan sampai telapak tangannya yang halus memerah karena kantong belanjaan itu, pikir Amora. Mobil mewah, berpenampilan glamor. Itu sudah menjadi ciri khas seorang Amora. Dari kecil selalu berkecukupan, bahkan sekarang ia menikah dengan laki-laki kaya di kota ini, semua orang tak akan berani menyinggungnya jika tahu Nama suaminya. Sampai di rumah ia telah di sambut oleh suaminya yang ternyata pulang kerja terlebih dahulu, Amora gegas mendekati sang suami dan memeluk suaminya. "Mas, aku kangen. Kok pulang gak kasih kabar, kalau tau kan aku gak akan keluar hari ini." Rengekan manja terdengar dari bibir tipisnya yang merah menggoda. Devan melepaskan pelukan istrinya dengan lembut, "hanya kebetulan pekerjaan cepat selesai. Kamu dari mana sayang?" Jawabnya basa-basi, padahal ia bisa menebak dengan mudah. Amora sudah biasa menerima perlakuan seperti ini, ia hadapan Devan akan bersikap begitu manja. Ia tahu semua pria itu suka wanita yang manja dan wanita yang menggoda Lagi pula Devan bukan suami yang dingin, ia juga terkadang bersikap lembut dan manja padanya. Hanya saja akhir-akhir ini Devan berubah sedikit acuh, mungkin karena pernikahan mereka yang sudah memasuki usia delapan tahun, membuat dia merasa sedikit jenuh. Tapi tak Masalah, Amora akan selalu menarik perhatian suaminya. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi wanita satu-satunya untuk Devan di masa depan. "Aku akan menyiapkan air hangat untukmu, mas. Kamu pasti capek." "Tidak perlu, Aku sudah meminta bibi melakukannya." Amora kecewa penolakan sang suami. Tapi ia tak Patang menyerah, "kalau begitu aku akan siapkan makan malam untuk mu... Kali ini tolong jangan menolaknya," Devan tersenyum kecil, "baiklah." Delapan tahun berumah tangga sebenarnya Davin merasa jenuh, apalagi setelah ia tahu istrinya tak ingin memiliki anak. Rasa kecewa jelas ada, tapi ia tidak bisa memaksa juga. Karena itulah ia melampiaskan pada pekerjaan, beharap dengan begitu bisa melupakan urusan rumah tangganya. Dulu, di awal pernikahan mereka Davin dan Amora memiliki hubungan yang romantis. Saling mencintai meskipun mereka menikah karena perjodohan. Tapi belakangan ini tanpa terasa ada jarak yang menjauhi mereka, sikap keras kepala Amora yang tak ingin hamil karena takut gendut membuat Davin muak. Devan menatap Amora beberapa saat, setelahnya ia memilih masuk kedalam kamar untuk membersihkan diri. **** Sedangkan di tempat lain Sarah tengah berdiri terdiam ketakutan. Bagaimana tidak, tadi ia sempat pingsan saat sedang bekerja di klub. Tidak tahu siapa yang membawanya ke rumah sakit, tapi ucapan dokter membuat ia sangat terkejut. "Sakit? Operasi?" Dua kata itu membuat kepala kecilnya pening. Bagaimana tidak, ia baru saja tahu bahwa dirinya terkena usus buntu yang butuh operasi. Uang dari mana? "Aku harus cari ayah. Bagaimana pun dia pasti mau memberi aku uang." Ya, hanya itu tempatnya mengadu sekarang. Ia tidak punya sanak saudara, hanya ayahnya. Ia berharap pria itu mau membantunya."Ngapain lagi kamu di sini? Mau minta uang sama suami saya lagi?!" Teriakan nyaring memenuhi gendang telinga Sarah. Ia mendengus kesal menatap wanita di depannya. Wanita yang dinikahi ayahnya tiga tahun lalu dan meninggalkan ibunya. Setahun berselang ibunya meninggal karena tak kuat menahan kesedihan. Yang lebih gilanya setelah ibunya meninggal ayahnya datang untuk mengambil semua uang dan harta benda ibunya tanpa meninggalkan apapun pada Sarah.Jika bukan karena sakitnya, ia tidak akan sudi datang bertemu dengan pria ini lagi. Tapi hati kecilnya masih berharap ada setitik rasa ayahnya untuk peduli padanya."Apa salahnya aku minta uang, toh dia ayah aku juga. Kamu gak berhak ngelarang ya, Tan.""Halah, mau jadi benalu kamu. Gak ada uang satu sen buat kamu, kalau berani bapakmu itu kasih ku ceraikan saja dia sekalian!"Sarah mengusap dadanya, sunguh kerang ajar sekali mulut ibu tirinya ini, bahkan tidak takut mengatakan cerai hanya untuk menakuti suaminya. Mana bapaknya gak berani men
"Awas!!!"Brakkk!!!Terlambat. Sarah sudah terjatuh terpental ke tengah-tengah jalan. Untung mobil itu cepat berhenti jika tidak habislah dirinya. Rasa sakit di tubuhnya membuat Sarah sulit bangun, tapi lebih dari itu ia kesal mendengar ucap pengendara itu yang malah menyalahkannya."Aduh, Mbak. Kalau jalan hati-hati dong, masa gak lihat mobil mau lewat." "Aduh, pak. Saya yang terluka kok di marahi sih. Saharusnya situ yang hati-hati bawa mobil,""Kok salah saya, Mbak. Kan situ yang nyebrang gak lihat-lihat, anda sengaja ya mau cari keuntungan!" Tudingan itu membuat muka Sarah memerah marah. "Lambe mu, pak! Kalau ngomong jangan sembarang, saya yang terluka udah tangung jawab anda untuk mengobati saya. Ini salah anda ya!!" Balasnya berteriak marah. Terang saja pria itu bergidik ngeri melihat Sarah mulai mengamuk tak ingin di salahkan.Davin yang menunggu di dalam mobil segera turun. Ia melihat sopirnya tengah bertengkar dengan seorang gadis di pinggir jalan, ia mendengus kesal. Seger
"Iya iya. Udah di bantu gini aku juga udah senang kali. Apalagi kalau di terima," ujarnya tersenyum manis membuat Dion berdecak malas.Sarah di minta menunggu dulu, sedangkan Dion naik ke lantai paling atas tempat hiburan itu untuk menemui pemilik rumah hiburan ini.Tok...tok...tok.Tiga kali ketukan baru terdengar suara seorang pria tua untuk menyuruhnya masuk. Dion melangkah masuk, seperti yang dia duga bos besar sedang bersama wanita-wanita nya di sing bolong seperti ini."Maaf, tuan mengangu.""Dion... Tidak masalah, ada yang ingin kamu katakan?"Dian mengangguk. Ia mengatakan apa yang Sarah Samapi di bawah tadi. Lama pria paruh baya itu terlihat berpikir, mungkin sedang menimbang-nimbang posisi apa yang pantas ia berikan pada gadis muda itu.****"Bagiamana?" Sarah tak sabar. Bahkan Dion belum duduk, ia sudah bertanya penuh harap. "Bos nerima aku nggak? Gimana kak?""Sabar, Sar. Kamu di terima kok,""Alhamdulillah!""Tapi..."Eh, ada tapinya?Sarah urung merasa bahagia saat Dion
Devan tidak tahu mengapa tapi ia merasa dalam dua kali pertemuan gadis di hadapannya telah berhasil menarik perhatiannya. Saat koleganya menggoda gadis ini ada rasa tak rela yang ia rasakan, bukankah ini salah?Sarah?Nama ini membuat ia tersenyum sendiri. Ia masih ingat bagaimana dengan polosnya gadis itu menerima uang yang dia berikan dengan kurang ajarnya di pinggir jalan, malah dia tidak peduli dengan luka di tubuhnya dan menatap berbinar pada lembaran merah yang tidak seberapa itu.Dan hari ini ia kembali bertemu dengannya. Masih dengan polosnya gadis itu menatapnya berbinar, tanpa sadar ia mengucapkan pikiran gila itu."Kalau mau uangku apa kau siap menjadi ja*angku?"Sungguh ia tidak tahu mengapa lagi-lagi ia tidak memikirkan perasaan gadis itu, ia berucap dengan spontan. Ia pikir ia akan mendapatkan tamparan, siapa sangka dengan gilanya gadis itu malah membalas ucapannya."Om bisa bayar berapa agar aku bisa jadi simpanan mu?" Telak gadis itu dengan senyum menyeringai membuat i
Sarah menatap layar ponselnya dengan mata sayu khas bangun tidur. Tak langsung mandi atau pun sarapan, Ia lebih tertarik membaca berita menarik di beranda ponselnya.'Keluarga bahagia. Nyonya Amora bersama sang suami tercinta menghabiskan waktu berlibur keliling Eropa. Pagi ini di kabarkan baru kembali setelah satu Minggu menghabiskan waktu untuk bersenang-senang.'Sarah merasa akhir-akhir ini ia mulai tertarik mencari tahu semua tentang Pak Devan, dan berita pagi ini membuat dadanya berdesir melihat bertapa bahagia dua manusia itu berlibur bersama.Tak ada masalah sebenarnya. Hanya saja ada rasa iri yang menyerukan dalam hatinya melihat Davin tengah berpelukan mesra dengan istrinya sembari berpose romantis di bawah pepohonan yang berguguran."Huh, bahagia memang diperuntukkan untuk orang-orang berduit." Gumamnya.Semakin jarinya bergulir di layar ponsel semakin ia tertarik melihat Devan sang pria kaya yang memiliki kekayaan di mana-mana. Sarah jadi berpikir, bagaimana kalau dia di p
Apa ia harus terkejut sekarang. Bagaimana di tempat yang cukup sepi ini bisa-bisanya ia bertemu kembali dengan Pak Devan?"Kamu kenapa?" Sarah mengerjab saat tiba-tiba Devan mengambil tangannya dan memeriksa luka di kedua sikunya."Kamu terluka cukup parah. Kenapa tidak di obati?""Kenapa Pak Devan ada di sini?" Bukan menjawab ia balik bertanya, "lepas, pak! Nanti ada yang lihat," Devan hanya diam. Dia tak melepaskan Sarah, malah ia menarik gadis itu untuk masuk kedalam mobilnya. Awalnya Sarah menolak, tapi Devan bukan orang yang mudah di tolak dia tetap memaksa gadis itu mengikutinya."Masuk!""Tapi pak...""Udah, kamu gak usah membantah. Lihat itu pakaian mu sudah robek," ujarnya tetap mendorong tubuh Sarah memasuki mobilnya.Sarah hanya bisa pasrah. Padahal ia sudah ketar-ketir, melihat sikap Devan yang sok dekat ini membuat ia sedikit malu. Ia baru sadar ternyata pria itu sendiri yang menyetir mobilnya, bukan dengan supirnya yang tua kemarin."Eh, bapak mau bawa saya kemana?" "
Sarah merasa sangat senang saat pertama kali ia dapatkan gaji lagi, mana gajinya besar lagi. Lima juta, itu setara dengan gajinya dua bulan setengah di toko pakaian.Dengan uang ini ia bisa besok ke rumah sakit untuk memeriksa kesehatannya, syukur-syukur jika ada kabar baik. Tapi kalau tidak ia akan menabung uang ini untuk beberapa bulan kedelapan, ia berharap sakitnya masih bisa menunggu."Sarah, kamu mau pulang?" Dion datang saat Sarah sudah selesai menyapu lantai dan menyusun botol-botol yang berserakan di atas meja barr.Sarah mengambil tasnya setelah pekerjaan selesai, mereka keluar dari sana dan begitu juga dengan Dion. Waktu sudah menunjukkan waktu 3 pagi, cukup telat pulang dari biasanya karena Bar hari ini cukup ramain"Oh, iya kak. Kenapa?""Tidak. Aku dengar dari Yara kamu terluka, apa benar?"Sarah tersenyum mendengar perhatian kecil itu, "iya. Tadi kecelakaan lagi, jatuh dari motor. Tapi udah di obati kok, nih..." Ujarnya memberi tahu. Ia menunjukkan sikunya yang sudah d
Malam sudah berlalu, mungkin sebentar lagi suara azan subuh akan berkumandang. Sarah terduduk diam di pinggir ranjang tidur dengan tatapan kosong. Akhirnya ia melakukan juga hal yang di benci oleh penciptanya. Dosa yang mungkin di anggap orang-orang tak bisa di maafkan, tapi ia apa punya pilihan lain?Pria itu benar-benar melakukannya dengan sangat buruk. Di bawah keadaan mabuk ia merenggut kehormatannya lalu meninggalkannya begitu saja setelah selesai. Sarah benar-benar merasa dirinya seperti wanita bayaran. Benar-benar bajingan!Devan bahkan telah meninggalkannya setelah merengkuh madu yang selama ini ia jaga. Apakah pria itu puas?Sarah menarik nafas lelah. Bahkan seikat uang merah yang telah di lemparkan oleh Davin tak menarik lagi di matanya. Tak ada kebahagiaan, yang ada rasa sakit dari sisa percintaan yang tidak meninggalkan kesan baik sedikitpun."Benar-benar murahan kamu, Sar." Ia terkekeh kecil mencemooh dirinya sendiri. Ia mantap kosong noda darah yang masih membekas di al