Devan tidak tahu mengapa tapi ia merasa dalam dua kali pertemuan gadis di hadapannya telah berhasil menarik perhatiannya. Saat koleganya menggoda gadis ini ada rasa tak rela yang ia rasakan, bukankah ini salah?
Sarah? Nama ini membuat ia tersenyum sendiri. Ia masih ingat bagaimana dengan polosnya gadis itu menerima uang yang dia berikan dengan kurang ajarnya di pinggir jalan, malah dia tidak peduli dengan luka di tubuhnya dan menatap berbinar pada lembaran merah yang tidak seberapa itu. Dan hari ini ia kembali bertemu dengannya. Masih dengan polosnya gadis itu menatapnya berbinar, tanpa sadar ia mengucapkan pikiran gila itu. "Kalau mau uangku apa kau siap menjadi ja*angku?" Sungguh ia tidak tahu mengapa lagi-lagi ia tidak memikirkan perasaan gadis itu, ia berucap dengan spontan. Ia pikir ia akan mendapatkan tamparan, siapa sangka dengan gilanya gadis itu malah membalas ucapannya. "Om bisa bayar berapa agar aku bisa jadi simpanan mu?" Telak gadis itu dengan senyum menyeringai membuat ia merasa tertantang. Seharusnya ia jijik. Seharusnya ia menatap remeh gadis itu begitu mudah meminta harga atas dirinya sendiri. Tapi tidak... Perhatikan Devan benar-benar telah di tarik oleh gadisnya membuat ia membalas. "Berapa yang kamu mau..." *** Sarah mengusap peluh di dahinya. Malam ini ia mendapatkan jatah membersihkan tempat ini setelah acara selesai dan pelanggan pulang, ada juga yang menginap dan memesan kamar khusus di sini. "Sarah, kamu buang sampah di luar ya. Biar botol-botol minuman ini aku yang simpan." Perintah teman sesama pelayan di sana. "Baik," Sarah mengambil kantong sampah itu. Ia harus membuangnya ke depan agar nanti siang mobil khusus pengambil sampah datang membawanya. Padahal waktu sudah menunjukkan dua dini hari, tapi ia tak belum pulang. Padahal tubuhnya masih merasa sakit akibat luka kemarin, tapi ia tetap memaksa dirinya agar bisa tetap bekerja. Pakaiannya telah berganti ke semula, pakaian seksi itu sebenarnya membuat ia tak nyaman. "Kamu belum pulang?" Deg! Tubuh Sarah mematung. Ia merasa darah memanas mendengar suara berat seseorang menyapanya, apa ia salah dengar? "Tuan Devan?" "Jadi kamu benar-benar bekerja di sini ya," itu bukan pertanyaan tapi lebih pernyataan pria itu pada dirinya sendiri. "Bosan menjadi pelayan, makanya kamu menawari diri pada saya?" Sarah semakin membeku. Malam yang gelap membuat ia merasa sedikit lebih baik menyembuhkan wajahnya yang sudah terlihat memucat. Ya, dia sedang merasa takut dengan pria kaya ini, ia takut perkataannya beberapa waktu lalu telah menyingsing laki-laki ini. Devan mendekat, ia mengelus dengan ringan rambut lurus Sarah. Senyum manis tersinggung di bibir tebalnya yang penuh. "Ini," Satu kartu di sodorkan di hadapan Sarah. Gadis itu belum mengerti, ia hanya mengeryit bingung. "Itu kartu nama saya, jika keputusan kamu benar-benar sudah bulat hubungi saya." "Saya..." Tak selesai menjawabnya Davin sudah lebih dulu menyelip kartu tipis itu di telapak tangan Sarah. "Jangan menolaknya jika kau sendiri yang menginginkannya. Saya bisa memberikan apapun yang kamu mau asalkan kau mampu membuat saya puas." Sekali lagi Devan mengusap surai hitam Sarah yang malam itu di gerai dengan indahnya. Setelahnya ia pergi meninggalkan Sarah yang masih terdiam mematung syok. Sampai pinggang lebar itu berlaku memasuki mobilnya dan pergi tanpa meninggalkan bayangannya lagi, Sarah masih diam mematung dengan tatapan kosong. 'pilihan macam apa ini?' "Sarah! Ayo cepat, kamu kok lama banget sih cuma buang sampah segitu. Kamu mau pulang lebih malam." Hardik Yara yang tiba-tiba datang. Salah satu pelayan senior di klub ini. "Maaf, mbak." "Udah sana. Kerja kok lelet banget sih." Yara menatap kesal, "saya yang capek. Kamu malah asik- asik ngobrol." "Eh?" Sarah tidak tahu jika Mbak Yara melihat dirinya yang berbicara dengan Davin tadi. "Maksud mbak apa?" "Gak usah berlagak polos. Satu hari baru mulai kerja di lantai atas, kamu udah dapat mangsa baru aja. Tapi aku ingatin ya, Sar... Pria yang kamu goda tadi adalah pak Davin orang kaya di kota ini, dan dia sudah memiliki istri secantik Nyonya Amora! Kamu sadari diri aja lah, menjauh kalau gak mau hancur nantinya." Yara terkekeh sinis. Menatap Sarah yang masih juniornya itu penuh penghakiman, ia benci ada gadis lain yang baru datang mengalahkan dirinya yang telah lama bekerja disini.Sarah menatap layar ponselnya dengan mata sayu khas bangun tidur. Tak langsung mandi atau pun sarapan, Ia lebih tertarik membaca berita menarik di beranda ponselnya.'Keluarga bahagia. Nyonya Amora bersama sang suami tercinta menghabiskan waktu berlibur keliling Eropa. Pagi ini di kabarkan baru kembali setelah satu Minggu menghabiskan waktu untuk bersenang-senang.'Sarah merasa akhir-akhir ini ia mulai tertarik mencari tahu semua tentang Pak Devan, dan berita pagi ini membuat dadanya berdesir melihat bertapa bahagia dua manusia itu berlibur bersama.Tak ada masalah sebenarnya. Hanya saja ada rasa iri yang menyerukan dalam hatinya melihat Davin tengah berpelukan mesra dengan istrinya sembari berpose romantis di bawah pepohonan yang berguguran."Huh, bahagia memang diperuntukkan untuk orang-orang berduit." Gumamnya.Semakin jarinya bergulir di layar ponsel semakin ia tertarik melihat Devan sang pria kaya yang memiliki kekayaan di mana-mana. Sarah jadi berpikir, bagaimana kalau dia di p
Apa ia harus terkejut sekarang. Bagaimana di tempat yang cukup sepi ini bisa-bisanya ia bertemu kembali dengan Pak Devan?"Kamu kenapa?" Sarah mengerjab saat tiba-tiba Devan mengambil tangannya dan memeriksa luka di kedua sikunya."Kamu terluka cukup parah. Kenapa tidak di obati?""Kenapa Pak Devan ada di sini?" Bukan menjawab ia balik bertanya, "lepas, pak! Nanti ada yang lihat," Devan hanya diam. Dia tak melepaskan Sarah, malah ia menarik gadis itu untuk masuk kedalam mobilnya. Awalnya Sarah menolak, tapi Devan bukan orang yang mudah di tolak dia tetap memaksa gadis itu mengikutinya."Masuk!""Tapi pak...""Udah, kamu gak usah membantah. Lihat itu pakaian mu sudah robek," ujarnya tetap mendorong tubuh Sarah memasuki mobilnya.Sarah hanya bisa pasrah. Padahal ia sudah ketar-ketir, melihat sikap Devan yang sok dekat ini membuat ia sedikit malu. Ia baru sadar ternyata pria itu sendiri yang menyetir mobilnya, bukan dengan supirnya yang tua kemarin."Eh, bapak mau bawa saya kemana?" "
Sarah merasa sangat senang saat pertama kali ia dapatkan gaji lagi, mana gajinya besar lagi. Lima juta, itu setara dengan gajinya dua bulan setengah di toko pakaian.Dengan uang ini ia bisa besok ke rumah sakit untuk memeriksa kesehatannya, syukur-syukur jika ada kabar baik. Tapi kalau tidak ia akan menabung uang ini untuk beberapa bulan kedelapan, ia berharap sakitnya masih bisa menunggu."Sarah, kamu mau pulang?" Dion datang saat Sarah sudah selesai menyapu lantai dan menyusun botol-botol yang berserakan di atas meja barr.Sarah mengambil tasnya setelah pekerjaan selesai, mereka keluar dari sana dan begitu juga dengan Dion. Waktu sudah menunjukkan waktu 3 pagi, cukup telat pulang dari biasanya karena Bar hari ini cukup ramain"Oh, iya kak. Kenapa?""Tidak. Aku dengar dari Yara kamu terluka, apa benar?"Sarah tersenyum mendengar perhatian kecil itu, "iya. Tadi kecelakaan lagi, jatuh dari motor. Tapi udah di obati kok, nih..." Ujarnya memberi tahu. Ia menunjukkan sikunya yang sudah d
Malam sudah berlalu, mungkin sebentar lagi suara azan subuh akan berkumandang. Sarah terduduk diam di pinggir ranjang tidur dengan tatapan kosong. Akhirnya ia melakukan juga hal yang di benci oleh penciptanya. Dosa yang mungkin di anggap orang-orang tak bisa di maafkan, tapi ia apa punya pilihan lain?Pria itu benar-benar melakukannya dengan sangat buruk. Di bawah keadaan mabuk ia merenggut kehormatannya lalu meninggalkannya begitu saja setelah selesai. Sarah benar-benar merasa dirinya seperti wanita bayaran. Benar-benar bajingan!Devan bahkan telah meninggalkannya setelah merengkuh madu yang selama ini ia jaga. Apakah pria itu puas?Sarah menarik nafas lelah. Bahkan seikat uang merah yang telah di lemparkan oleh Davin tak menarik lagi di matanya. Tak ada kebahagiaan, yang ada rasa sakit dari sisa percintaan yang tidak meninggalkan kesan baik sedikitpun."Benar-benar murahan kamu, Sar." Ia terkekeh kecil mencemooh dirinya sendiri. Ia mantap kosong noda darah yang masih membekas di al
Rasa sakit di area bawahnya membuat Sarah tak bisa pulang dengan motor. Ia terpaksa memesan taksi menuju kosannya, ia bahkan merasa malu sepanjang jalan saat supir taksi itu menatap curiga dirinya yang pulang dalam keadaan kacau begini.Bagaimana mana tidak, ia tak sempat sekedar mandi di Vila milik Devan. Ia memilih pergi setelah menggunakan pakaian kembali dan mencari ayahnya di pagi-pagi buta. Lagi-lagi ia semakin kacau setelah menangis di sepanjang jalan karena pertengkaran mereka.Meskipun berucap benci berkali-kali, dalam hatinya ia masih berharap kasih sayang ayahnya. Sarah sangat lelah, ia ingin menyerah saja.Taksi berhenti di gang menuju kosannya. Ia harus jalan kaki lagi untuk masuk ke dalam sana, namanya juga kos-kosan murah tentu saja tempatnya terpencil."Terimakasih, pak."Setelah itu ia segera turun. Tepat saat ia hampir sampai di depan kosannya ia terkejut melihat banyak orang yang berkumpul di depan tepat tinggalnya. Ada apa? Kenapa juga ada ibu kosnya yang kumpul d
"Mas, kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini sulit banget di hubungi." Amora merajuk, "biasanya kamu keluar kota juga ajak aku deh, kok sekarang aneh gini.""Aneh gimana?" Devan tersenyum kecil, "jangan berpikir macam-macam, dek. Mas kan kerja."Devan memeluk Amora, ia tahu istrinya sangat mudah luluh jika sudah di peluk dan di manja seperti ini. Meskipun di luar sikap Istrinya di kenal angkuh dan sombong, tapi jika di hadapan suaminya ia hanya wanita penurut. Meskipun beberapa kali juga membuat suaminya kesal sih, masalah baik di luar maupun di dalam rumah sikap keras kepalanya tidak akan pernah hilang."Aku gak akan pikir macam-macam kalau kamu tetap seperti biasa." Ujarnya cemberut. Devan terkekeh mendengar istrinya merajuk. Pelukannya semakin mengerat, membuat rasa nyaman."Ra...""Mmm..." Amora terus memejamkan matanya menikmati dekapan hangat sang suami."Mas mau tanya, kamu kapan siapnya ke dokter?" "Maksud mas? Ngapain kita kedokter, aku gak sakit kok," ujarnya. Devan mendengus, Is
Sarah menatap lembaran kertas di tangannya nanar. Ternyata benar di dunia ini tidak di letakkan adanya kebahagiaan untuknya. Sarah tertawa perih, kenapa perjalanan hidupnya begitu pahit."Aku bahkan harus menderita berkali-kali, tapi mengapa Tuhan memberi orang lain kebahagiaan begitu mudah."Andai dia tahu hidupnya akan semenyedihkan ini lebih baik ia ikut ibunya saja ke Surga. Ia merasa putus asa setia kali melihat ayahnya tak pernah lagi peduli, melihat orang-orang di sekelilingnya bahagia ia benar-benar merasa iri.'Kau hanya perlu memberiku seorang anak, maka aku akan membayarmu berapapun yang kamu minta.'Hanya dua tahun. Kita menikah selama dua tahun, dan setelah itu akan saya lepaskan kamu." Ujar Devan siang tadi.Sungguh sakit jika diingatkan lagi. Sekarang ia sudah tidak berhak lagi ada dirinya sendiri, harga dirinya telah di beli hanya dengan harga 500 juta.Tapi apa ia bisa menolak?Tentu saja tidak. Pria itu bahkan mengancam akan menyakitinya jika berani menolak, ia tidak
Jika cinta tak bisa lagi di jadikan pedoman dalam berumahtangga, tolong biarkan dirinya menikah tanpa cinta. Sarah mengambil kartu hitam yang di lemparkan Devan. Ia tersenyum senang, tapi sebenarnya ia tidak benar-benar bahagia. "Kamu bisa membeli apapun yang kamu mau dengan itu. Tapi ingat, jangan pernah kamu bercerita pada siapapun tentang pernikahan kita ini."Sarah tersenyum kecil, "gak masalah. Tapi aku mau Om menempati janji yang tadi.""Tentang ayah mu ya? Kamu tenang saja. Saya akan mengambil milikmu dengan mudah nanti," ujarnya.Sarah mengangguk mengerti. Tak masalah baginya Devan mengakui dia di depan publik atau tidak. Lagi pula perjanjian pernikahan mereka hanya dua tahun, jika ia hamil anaknya akan di ambil oleh Devan, tapi jika tidak juga perjanjian akan tetap berkahir."Dan satu lagi... Kamu segera berhenti bekerja di tempat itu. Saya tidak suka kamu di sentuh oleh pria lain!" Sarah mendelik. Dalam perjanjian gak ada seperti itu, bukankah dia di bebaskan untuk melaku