Sarah menatap lembaran kertas di tangannya nanar. Ternyata benar di dunia ini tidak di letakkan adanya kebahagiaan untuknya. Sarah tertawa perih, kenapa perjalanan hidupnya begitu pahit."Aku bahkan harus menderita berkali-kali, tapi mengapa Tuhan memberi orang lain kebahagiaan begitu mudah."Andai dia tahu hidupnya akan semenyedihkan ini lebih baik ia ikut ibunya saja ke Surga. Ia merasa putus asa setia kali melihat ayahnya tak pernah lagi peduli, melihat orang-orang di sekelilingnya bahagia ia benar-benar merasa iri.'Kau hanya perlu memberiku seorang anak, maka aku akan membayarmu berapapun yang kamu minta.'Hanya dua tahun. Kita menikah selama dua tahun, dan setelah itu akan saya lepaskan kamu." Ujar Devan siang tadi.Sungguh sakit jika diingatkan lagi. Sekarang ia sudah tidak berhak lagi ada dirinya sendiri, harga dirinya telah di beli hanya dengan harga 500 juta.Tapi apa ia bisa menolak?Tentu saja tidak. Pria itu bahkan mengancam akan menyakitinya jika berani menolak, ia tidak
Jika cinta tak bisa lagi di jadikan pedoman dalam berumahtangga, tolong biarkan dirinya menikah tanpa cinta. Sarah mengambil kartu hitam yang di lemparkan Devan. Ia tersenyum senang, tapi sebenarnya ia tidak benar-benar bahagia. "Kamu bisa membeli apapun yang kamu mau dengan itu. Tapi ingat, jangan pernah kamu bercerita pada siapapun tentang pernikahan kita ini."Sarah tersenyum kecil, "gak masalah. Tapi aku mau Om menempati janji yang tadi.""Tentang ayah mu ya? Kamu tenang saja. Saya akan mengambil milikmu dengan mudah nanti," ujarnya.Sarah mengangguk mengerti. Tak masalah baginya Devan mengakui dia di depan publik atau tidak. Lagi pula perjanjian pernikahan mereka hanya dua tahun, jika ia hamil anaknya akan di ambil oleh Devan, tapi jika tidak juga perjanjian akan tetap berkahir."Dan satu lagi... Kamu segera berhenti bekerja di tempat itu. Saya tidak suka kamu di sentuh oleh pria lain!" Sarah mendelik. Dalam perjanjian gak ada seperti itu, bukankah dia di bebaskan untuk melaku
Amora mengepal erat tangannya. Masih terngiang terus ucapan ibu mertuanya yang ingin mencari wanita lain untuk suaminya, benar-benar tidak peduli dengan perasaan dia.Kenapa tidak ada yang mau mengerti dirinya? Lagi pula ini sudah zaman apa? Kenapa semua orang terus saja membahas anak? Di luar sana banyak yang tidak punya anak, mereka tetap bahagia. Bisa hidup bebas dan melakukan apa saja, Amora tidak mau di kekang, dia ingin selalu menikmati kebebasannya."Sialan! Kenapa hidup aku mereka yang atur. Anak, anak aja terus bahas. Gak mikir apa, aku gak suka anak kecil, aku gak mau nambah beban. Aku gak mau gara-gara anak tubuhku menjaga rusak. Akhhh!!!" Ia berteriak melepaskan rasa kesal yang sedari tadi menekan dadanya.Sungguh sesak membayangkan Devan akan bersama wanita lain. Bagaimana ia tidak akan rela jika harus berbagi suami, Devan hanya miliknya. Tapi jika harus mengandung dan merasakan sakit selama sembilan bulan ia juga rasanya tak sudi."Kamu kenapa, dek?"Devan keluar dari ka
Devan tak tahu mengapa saat pikirannya gundah seperti ini malah datang ke Vila. Saat ia merasa sangat lelah ia masalah mengingat Sarah, gadis yang baru kemarin ia nikahkan, dan dia tinggalkan di malam pertama. Kali ini ia tanpa sadar merindunya, ia sekarang terbayang kembali bagaimana ia menghabiskan malam hebat bersama gadis itu, kali ini apakah ia bisa mengulanginya lagi."Om Devan?" Sarah terkejut saat pintu kamar terbuka. Ia yang sudah ingin pergi tidur terpaksa kembali duduk dengan kikuk."Kenapa wajah kamu begitu? Apa gak senang saya datang kemari?" Terang saja Sarah mengeleng. Ia bukannya tidak senang, hanya saja ia masih agak takut dengan pria ini. Ia lebih suka jika Devan tak datang, dan ia bisa bebas menikmati waktu sendiri di villa mewah ini."Malam ini, persiapkan dirimu." "Ha?" Sarah tak mengerti, bersiap kemana? "Memangnya kita akan kemana, Om?"Devan berdecak malas. Itu saja tak mengerti, "maksud saya, persiapkan malam ini. Saya ingin kamu melayani saya," ujarnya.
Sarah tahu ia seperti manusia lupa diri saat ini, bagaimana tidak seharian ini ia tanpa henti berbelanja menghabiskan uang suaminya. Beli ini dan itu tanpa lihat harga, bahkan pelayan di butik itu sampai di buat melongo.Sangat menyenangkan. Akhirnya ia merasakan juga menjadi kaya, banyak duit dan bisa berbuat apa saja, bahkan bisa membeli hal termahal sekali pun."Enak banget jadi orang kaya, ya. Pantas saja Amora begitu sombong selalu memamerkan koleksi barang mewahnya, ternyata semenyedihkan ini." Sarah bergumam lirih. Tidak apa-apa, kali ini ia ingin melupakannya segalanya. Ia ingin mencoba bahagia dengan apa yang ia korbankan, tentang masa depan akan akan serahkan pada takdirnya nanti."Baik, Nona. Belanjaan anda totalnya seratus tiga puluh juta. Mau bayar pake apa?" Tentu saja dengan penuh senyum Sarah menyerahkan kartu yang di berikut suaminya. Dengan satu gesekan semua selesai, bahkan ia mendapatkan tatapan memuja dari orang-orang di sana. Mungkin mereka pikir dia orang kaya
Angin berembus pelan membelai helaian rambut Sarah yang panjang. Di bawah cahaya bulan ia duduk termenung sendirian tanpa teman, ia memeluk selimut yang membukusnya memberi rasa hangat di kala malam semakin dingin.Kejadian tadi siang masih membuat ia termenung. Lagi-lagi ia mengingatkan bagaimana bahagianya Amora bersama Devan, ada rasa tak rela. Tapi lebih dari itu ia merasa berdosa pada wanita cantik itu, ia merasa bersalah telah mencuri suaminya diam-diam yang suatu saat mungkin melukai dia.Tapi apa dia salah?Devan yang menarik dirinya masuk dalam pernikahan mereka, pria itu sendiri yang menghadirkan duri dalam percintaanya. Lalu kenapa dia harus merasa kasihan?Sarah masih kacau. Duduk sendiri di kursi taman dan. Menatap bintang yang berkelap-kelip di atas sana, semua itu belum berhasil mengenyahkan pikirannya tentang kejadian tadi siang.Kenapa ia harus merasa sebersalah ini?"Uh... Seperti aku akan gila jika memikirkan ini." Sarah mengusap kasar wajahnya. "Apa yang kamu piki
Tak di sangka di rumah sakit ini ia malah tak sengaja bertemu dengan Mbak Yuni. Wanita itu tampak baru keluar dari ruang pemeriksaan dokter kandungan.Ada apa ini?Sarah tersenyum miring, secara garis besar sepertinya ia bisa menebak. Tak di sangka gadis yang dulu berteriak mengatai dirinya wanita kotor hari ini malah menjilat ludah sendiri."Apa yang kamu senyum kan?" "Gak ada. Aku hanya merasa heran, bukannya kamu masih belum menikah ya, kenapa bisa dan di ruang pemeriksaan ini?" Tebakan Sarah membuat wajah sinis Yuni seketika memucat. Ia terkejut saat tahu Sarah melihat ia keluar dari ruang pemeriksaan"Kamu bicara apa, jangan sembarang!""Sembarangan atau tidak itu kamu yang tahu, Mbak. Lagi pula lihat lah, perutmu yang menonjol itu, apa karena ini kamu sengaja memfitnah aku?" Sarah ingat sebelum ia terusir dari kosan ia sempat menemukan benda kecil yang di buang ke tempat sampah oleh Yuni. Saat ia bertanya Yuni lekas mengambil benda itu kembali.Jadi... Bisa jadi sih karena ra
Hari-hari berlalu begitu cepat, sudah hampir dua Minggu seja menikah. Sarah sudah menentukan kapan operasinya di lakukan, dokter sudah memberi jadwal padanya.Sedangkan suaminya? Ia tidak meminta izin, karena sejak terakhir kali Amora datang ke Vila, sejak itu pula Devan tak pernah datang lagi padanya. "Bi Asih," Sarah memangil wanita tau itu."Iya, Non Sarah. Ada apa panggil bibi?""Aku mau bicara, Bi."Sarah butuh izin, ia tidak bisa pergi begitu saja tanpa izin dari orang rumah. Satu-satunya pilihan ya memberi tahu Bibi Asih selaku orang kepercayaan suaminya."Ada apa, Non? Butuh sesuatu ya, biar bibi carikan.""Bukan, Bi. Sarah cuma mau bilang... Beberapa hari mungkin Sarah akan pergi," Wanita tua itu tentu saja terkejut. Mau kemana memangnya gadis ini, bagaimana pun ia di tugaskan menjaga istri majikannya ini. Ia yang bertanggung jawab selama Devan tidak ada, jadi ia harus"Non Sarah mau kemana?"Sarah mengeluarkan kertas pemeriksaan yang butuh izin dari keluarga. " Ini... Sara