Sarah tahu ia seperti manusia lupa diri saat ini, bagaimana tidak seharian ini ia tanpa henti berbelanja menghabiskan uang suaminya. Beli ini dan itu tanpa lihat harga, bahkan pelayan di butik itu sampai di buat melongo.Sangat menyenangkan. Akhirnya ia merasakan juga menjadi kaya, banyak duit dan bisa berbuat apa saja, bahkan bisa membeli hal termahal sekali pun."Enak banget jadi orang kaya, ya. Pantas saja Amora begitu sombong selalu memamerkan koleksi barang mewahnya, ternyata semenyedihkan ini." Sarah bergumam lirih. Tidak apa-apa, kali ini ia ingin melupakannya segalanya. Ia ingin mencoba bahagia dengan apa yang ia korbankan, tentang masa depan akan akan serahkan pada takdirnya nanti."Baik, Nona. Belanjaan anda totalnya seratus tiga puluh juta. Mau bayar pake apa?" Tentu saja dengan penuh senyum Sarah menyerahkan kartu yang di berikut suaminya. Dengan satu gesekan semua selesai, bahkan ia mendapatkan tatapan memuja dari orang-orang di sana. Mungkin mereka pikir dia orang kaya
Angin berembus pelan membelai helaian rambut Sarah yang panjang. Di bawah cahaya bulan ia duduk termenung sendirian tanpa teman, ia memeluk selimut yang membukusnya memberi rasa hangat di kala malam semakin dingin.Kejadian tadi siang masih membuat ia termenung. Lagi-lagi ia mengingatkan bagaimana bahagianya Amora bersama Devan, ada rasa tak rela. Tapi lebih dari itu ia merasa berdosa pada wanita cantik itu, ia merasa bersalah telah mencuri suaminya diam-diam yang suatu saat mungkin melukai dia.Tapi apa dia salah?Devan yang menarik dirinya masuk dalam pernikahan mereka, pria itu sendiri yang menghadirkan duri dalam percintaanya. Lalu kenapa dia harus merasa kasihan?Sarah masih kacau. Duduk sendiri di kursi taman dan. Menatap bintang yang berkelap-kelip di atas sana, semua itu belum berhasil mengenyahkan pikirannya tentang kejadian tadi siang.Kenapa ia harus merasa sebersalah ini?"Uh... Seperti aku akan gila jika memikirkan ini." Sarah mengusap kasar wajahnya. "Apa yang kamu piki
Tak di sangka di rumah sakit ini ia malah tak sengaja bertemu dengan Mbak Yuni. Wanita itu tampak baru keluar dari ruang pemeriksaan dokter kandungan.Ada apa ini?Sarah tersenyum miring, secara garis besar sepertinya ia bisa menebak. Tak di sangka gadis yang dulu berteriak mengatai dirinya wanita kotor hari ini malah menjilat ludah sendiri."Apa yang kamu senyum kan?" "Gak ada. Aku hanya merasa heran, bukannya kamu masih belum menikah ya, kenapa bisa dan di ruang pemeriksaan ini?" Tebakan Sarah membuat wajah sinis Yuni seketika memucat. Ia terkejut saat tahu Sarah melihat ia keluar dari ruang pemeriksaan"Kamu bicara apa, jangan sembarang!""Sembarangan atau tidak itu kamu yang tahu, Mbak. Lagi pula lihat lah, perutmu yang menonjol itu, apa karena ini kamu sengaja memfitnah aku?" Sarah ingat sebelum ia terusir dari kosan ia sempat menemukan benda kecil yang di buang ke tempat sampah oleh Yuni. Saat ia bertanya Yuni lekas mengambil benda itu kembali.Jadi... Bisa jadi sih karena ra
Hari-hari berlalu begitu cepat, sudah hampir dua Minggu seja menikah. Sarah sudah menentukan kapan operasinya di lakukan, dokter sudah memberi jadwal padanya.Sedangkan suaminya? Ia tidak meminta izin, karena sejak terakhir kali Amora datang ke Vila, sejak itu pula Devan tak pernah datang lagi padanya. "Bi Asih," Sarah memangil wanita tau itu."Iya, Non Sarah. Ada apa panggil bibi?""Aku mau bicara, Bi."Sarah butuh izin, ia tidak bisa pergi begitu saja tanpa izin dari orang rumah. Satu-satunya pilihan ya memberi tahu Bibi Asih selaku orang kepercayaan suaminya."Ada apa, Non? Butuh sesuatu ya, biar bibi carikan.""Bukan, Bi. Sarah cuma mau bilang... Beberapa hari mungkin Sarah akan pergi," Wanita tua itu tentu saja terkejut. Mau kemana memangnya gadis ini, bagaimana pun ia di tugaskan menjaga istri majikannya ini. Ia yang bertanggung jawab selama Devan tidak ada, jadi ia harus"Non Sarah mau kemana?"Sarah mengeluarkan kertas pemeriksaan yang butuh izin dari keluarga. " Ini... Sara
Devan tidak tahu ia senang atau harus sedih sekarang. Saat ajakan yang dari dulu sangat ia inginkan hari ini datang, tapi ia sudah terlanjur memilih jalan lain, jalan yang mungkin membuat banyak orang terluka.Devan mengusap wajah kasar. Sekarang bagaimana cara menyelesaikannya? Bagaimana cara ia memberi tahu ada rahim lain yang lebih ingin ia isi sekarang di bandingkan rahim istri sahnya sendiri Apa Amora bisa terima?Amora yang melihat suaminya tak menanggapi merasa kecewa, ia pikir Devan akan berbinar bahagia. Tapi siapa sangka pria itu malah terlihat lesu tak bersemangat. Amora menyentuh tangan suaminya, mencoba menarik perhatian Devan. Tapi lagi-lagi ia di tepis, Devan malah membuang muka membuat Amora sangat sedih."Mas... Kamu gak senang dengan keputusan aku?""Bukan,""Lalu mengapa kamu begini. Aku tahu wajah kamu gak menunjukkan kebahagiaan, kamu untuk gak cinta aku lagi? Gak mau anak dariku lagi?" "Hentikan, Ra. Lebih baik sekarang fokus aja pada kesembuhan kamu.""Mas, k
Cedera pada kakinya berangsur mulai membaik. Sedangkan di kepala, dokter mengatakan Amora hanya mengalami geger otak ringan, dua hari di rawat ia sudah di bolehkan pulang.Untuk sementara waktu Amora terpaksa harus duduk di kursi roda, sedangkan Devan dengan setia mendorongnya keluar rumah sakit. Mobil mereka telah menunggu di depan, Devan secara pribadi datang menjemput istrinya. "Mas, kenapa papa aku gak pernah jenguk ya? Selama dua hari ia tidak pernah datang. Apa kamu tidak memberi tahu dia?"Devan mengeleng, "tidak. Papa sedang melakukan perjalanan bisnis ke Singapura, aku gak mau membuat dia hawatir di sana."Melakukan perjalanan bisnis bukan hal yang mudah, butuh konsentrasi dan pikiran yang jernih untuk mengatur strategi agar bisa menarik minat investor. Devan tahu itu, jadi ia tidak mau menganggu waktu papa mertuanya dalam bekerja, lagi pula Amora juga tidak terluka parah."Sayang sekali, padahal aku sangat rindu sama Papa. Mas, bagaimana setelah aku sembuh kita liburan lagi
Sura musik memenuhi ruang dengan volume maksimal yang bahkan membuat jantung ikut bergetar. Susana terasa heboh, tubuh-tubuh meliuk liar di atas lantar, tawa dan detingan gelas silih berganti mengantarkan gemerlap malam hari ini.Di ruangan yang di penuh manusia ada seseorang yang terlihat tak bersemangat. Ia duduk di sudut ruangan, menatap setiap orang yang berpesta bahagia, matanya liar melihat setiap penjuru tapi sampai akhir ia tetap tak bisa menemukannya."Hay, sudah lama Lo nunggu?" Seseorang menepuk pundaknya, membuat pria tadi tersentak kaget."Ya," ia menjawab singkat, lalu kembali meneguk minuman yang tinggal sedikit di gelasnya."Udah lama gue gak pernah lihat Lo lagi di sini." Dion mengangkat botol minuman lalu menuangkan kembali ke gelas sang teman. "Masih berusaha cari dia?"Jaya tersedak minumannya, "sok tahu Lo," meskipun dia berkata begitu tapi tatapan matanya yang liar sudah dapat di tebak. Dion terkekeh kecil, ia menyodorkan ponselnya memperlihatkan sebuah foto yan
Jika ada yang berubah itu sudah pasti akan ada yang terjadi, Amora yakin ia tak salah lagi. Melihat suaminya yang selalu pulang malam dari kerja, terkadang juga gak pulang-pulang membuat rasa curiganya semakin tinggi.Padahal ia sudah berjanji mau untuk memiliki anak, tapi sikap Devan tak berubah. Malah semakin dingin dan menjaga jarak darinya, pikiran hadirnya wanita lain dalam hidup suaminya semakin kuat."Ma,"Ratna yang sedang duduk menonton televisi segera mengalihkan perhatiannya pada sang menantu."Kenapa, Ra?""Aku mau tanya... Mas Devan pernah cerita sesuatu gak?""Hah? Cerita apa maksud kamu?"Amora memilin jari-jarinya gugup, ia tahu ini tak pantas di tanyakan pada mertuanya sendiri, tapi mau bagaimana lagi ia terlanjur penasaran."Itu... Mas Devan selalu pulang malam dan terkadang juga gak pulang sampai berhari-hari. Ma, apa mas Devan punya wanita lain ya di luar sana?"Diam. Ratna tidak menjawab dengan lekas, ia menatap menantu sesaat lalu menarik nafas panjang. "Dia tid
"Kenapa kamu masih mau menuruti ucapan dia? Sarah apa dia mengancam mu?" Jaya datang pagi-pagi sekali, membuat kehebohan di Vila Devan ingin menemui Sarah.Untungnya devan sedang tak di sana, jadi Sarah bisa menemuinya sekarang. Jika tidak ia takut Devan berubah pikiran dan kembali melarang dirinya bertemu dengan anaknya. Sarah gak mau!"Aku kembali karena kemauan ku, Bang. Aku rasa ini yang terbaik,aku gak mau menyusahin kamu. Uang 500 juta bukanlah mudah di cari. Usahamu masih butuh modal yang banyak, Lagi pula om Devan berjanji akan membiarkan ku selalu bersama anakku, ini sudah cukup."Jaya mengeleng. "Tapi bagaimana dengan ku? Sarah, aku mencintaimu. Biar aku membayar hutang mu, setelah itu kita menikah dan hidup bahagia berdua." Pintanya.Sarah menolak. Bersama dengan Jay sekarang bukan waktu yang baik, meskipun uang telah di kembalikan ia tak yakin devan dengan mudah membuat anaknya bersama dengannya. Pria itu kaya, dia bisa berbuat apa saja. Lagi pula mereka berdua masih saumi
"Sar? Bagaimana, apa lebih baik?" "Mm... Sakitnya sudah berkurang. Aku gak tahu efek dari operasi sesar seperti ini. Huh... Bikin cemas aja.."Bagaimana tidak. Tiba-tiba bekas lukanya merasa nyeri hebat. Padahal ia hanya mencoba mengangkat air dengan ember tadi, siapa sangka akan jadi begini."Makanya kalau dilarang itu mengerti, Sar. Sakit gini siapa yang rugi, kamu juga kan." Tak lama suster datang lagi untuk Menganti infus. Sarah terpaksa dirawat dua hari kedepan, kata dokternya ada luka yang kembali terbuka. Untungnya tidak parah, hanya butuh penanganan dokter sebentar sampai luka itu menyatu kembali."Bang Jay, gimana kabar anakku disana ya?" "Sudahlah, Sar. Tunggu kamu pilih dulu, setelah itu aku janji akan bawa kamu menemui tuan kaya itu." Sarah menarik nafas lelah, "aku bahkan tidak berani berpikir seperti itu, Bang. Apa dia mau dengan kehadiran ku? Bagaimana kalau Nyonya Amora tak senang dan berbuat hal gila. Aku tidak ingin kemarahannya akan ia balas pada anakku." Jaya
Untuk berucap saja Malik sudah tak mampu. Ia sungguh malu setelah mendengar ucapan dokter tadi. Bagaimana bisa putranya yang telah ia besarkan dengan penuh kasih sayang bisa menjadi seperti ini. Sungguh picik sekali dia sebagai wanita tega membunuh anaknya sendiri hanya demi tubuh yang indah."Ayah benar-benar malu, Bun. Bagaimana bisa....ya tuhan. Kenapa dia bisa begitu kejam."Mayang yang telah mendengar penjelasan tentang putrinya tak henti menangis. Sebagai seorang ibu ia merasa sakit hati dengan melakukan putrinya sendiri, tapi sebagai ibunya tentu saja ia masih mencoba membela sang putri."Yah, lebih baik kita tanyakan dulu padanya. Dia pasti punya alasan melakukan itu," Melihat mertuanya masih mencoba membela putri mereka, Devan menjadi tak tertarik lagi. Ada hal penting yang lebih ingin ia lakukan, jadi ia segera berdiri "Ayah, Bunda. Dokter bilang Amora harus melakukan operasi secepatnya, jika tidak akan sangat muruk untuk dia. Masalah ini aku rasa kalian lebih baik yang m
Gila! Ini benar-benar gila. Bagaimana ia tidak bisa tahu ini semua pernah terjadi, dan ia seperti orang bodoh mempercayai Istrinya selama ini. apa sebegitu tak ingin Amora mengandung anaknya?"Aborsi? Kureta? Gila!! Ini hanya mimpi, sial!" Meskipun ia mencoba menolak, tapi ucapan dokter tadi sudah cukup membuat ia mau gila. Bagaimana bisa istri yang ia percayai selam ini pernah hamil? Apalagi sampai mengugurkan kandungannya, ia benar-benar tak bisa percaya."Devan, ada apa dengan mu, nak? Kenapa menarik rambutmu seperti itu?" Ratna sangat cemas melihat kelakuan putranya yang aneh. Ada apa?"Dokter bilang apa? Kenapa kamu jadi begini hah?" Tanya Ratna lagi. Tapi devan masih bungkam dengan mata yang telah memerah."Devan jawab Mama! Kamu kenapa sih, kok kamu aneh begini. Dan Amora... Apa kata dokter?"Devan tak tahu harus menjelaskan bagaimana. Air matanya berjatuhan, untuk pertama kalinya ia menangis setelah dewasa seperti ini. Ternyata kebohongan Amora benar-benar melukai harga dir
"Apa kamu bilang? Kenapa bisa pergi!!" Devan mencengkram erat pegangannya di meja, bagaimana bisa dia tiba-tiba hilang.Lama ini mendengar balasan orang di luar sana. Devan meremas ponselnya kuat, sial! Kenapa jadi begini."Tolong kamu Carikan dia!" Perintah Devan. Tidak sekarang. Ia dan bayinya masih membutuhkan gadis itu, jika dia pergi lalu ia pergi kemana. Sedangkan keluarga tak punya, ayahnya pun tak peduli dengan kehidupan gadis itu Tiba-tiba devan merasa cemas. Sarah sendirian di dunia ini, apalagi ia sedang sakit pasca operasi melahirkan malah pergi sendirian. "Ini salahku, seharusnya aku pergi ke rumah sakit setiap hari menjaganya. Ya Allah, apa yang terjadi pada gadis itu?"Devan lekas meningalkan kantor. Ia ingin menuju rumah sakit dan mencari sendiri keberadaan Istrinya. Untung-untung jika ia mendapatkan jejak, meskipun gadis itu tak mau kembali ia akan tetap memaksa.****"Apa? Dia sudah pergi?" Amora tidak bisa tidak bahagia mendengar kabar ini. "Kalau begitu bagus. K
Bagaikan bunga yang telah layu semua meningalkan dirinya. Sarah membuka mata pertama kali, ia berharap pertama kali yang ia lihat adalah Devan sang suami, tapi siapa sangka malah Jaya yang tengah tertidur di sampingnya.Saat ia ingat bergerak pria itu terbangun lebih dulu, ia terlihat bahagia mendapati Sarah telah bangun."Ya Allah... Kamu udah bangun. Tunggu sebentar, biar ku panggilkan dokter sekarang." Sarah menatap miris. Tak percaya malah mantan kekasihnya yang menjaganya, sedangkan suaminya dimana?"Dimana suamiku?"Jaya membeku saat suara kecil Sarah menanyai keberadaan suaminya. Ia harus jawab apa?Sedangkan Devan sudah beberapa hari tak datang ke sini menjaga Istrinya. Pria itu sepertinya masih terlalu sibuk dengan bayinya, sampai melupakan Sarah begitu saja."Kenapa kamu tak menjawab? Ahhh.... Kenapa perutku sakit sekali!!" Sarah merteriak perih saat merasakan perutnya sakit bercampur ngilu. "Astaghfirullah... Jangan gerak dulu, Sar. Luka operasi mu belum sembuh, tunggu do
"apa maksud, Mama? Bukankan dia baik-baik saja tadi pagi. Lalu kenapa sekarang malah operasi sesar secepat ini?"Padahal tadi pagi mereka masih berbicara seperti biasa. Lalu kenapa tiba-tiba istrinya malah kembali drop dan harus melakukan operasi sekarang?"Baiklah, aku akan datang sekarang." Lekas Devan mengambil kunci mobil, meningalkan kantor meskipun sebentar lagi sebenarnya harus menghadiri rapat, tapi ia tak peduli lagi.Perjalanan ternyata begitu tidak mulus, terjebak macet membuka Devan frustasi. Pikiran buruk telah memenuhi otaknya, bagaimana kalau anaknya kenapa-napa? Lalu sarah?"Hey! Lebih cepat lagi nyetirnya!" Teriaknya tak sabaran."Baik tuan..." Untungnya Lim menit kemudian mereka sampai di rumah sakit. Devan sudah lebih dulu meloncat sebelum mobil benar-benar berhenti, sepertinya ia benar-benar hawatir sekarang "Mama!!!" Ratna yang melihat kedatangan sang anak lekas berlari memeluknya. "Devan... Mama hawatir. Bagaimana kalau cucu Mama kenapa-napa?" Tangisan Ratna
POV DevanAku tau aku adalah lelaki yang egois. Demi memenuhi impian aku rela mengorbankan dua wanita, demi seorang anak aku rela membagi rasa dan mengorbankan perasaan mereka hanya untuk kesenangan ku.Aku melakukan ini karena terpaksa. Diumurku yang sudah hampir kepala empat ini impian punya anak sendiri membuat ku melupakan segalanya. Bermain di sore hari bersama anakku, berbelanja diakhiri pekan, pulang kerja ada yang berlari manyambutku dengan kaki kecilnya, impian demi impian ini sayangnya Amora tak bisa berikan.Kenapa?Aku juga tak mengerti. Dia selalu bilang tak siap hamil karena takut tubuhnya rusak, tapi entah mengapa aku tak mempercayai alasan itu seratus persen. Apa yang sebenarnya istriku sembunyikan?Meskipun sudah menikah delapan tahun lebih, tapi aku tak merasakan Amora benar-benar mencintai ku. Dia selalu senang saat diberikan materi, barang mewah dan liburan keluar negeri. Hanya sekedar itu. Lalu apa dia melakukan tugasnya sebagai seorang istri?Ya, hanya sebatas
"Ma, kenapa mama ninggalin Mas Devan sama wanita itu? Aku gak rela ya mereka berduaan di sana." Ratna memijit dahinya. Sungguh ia pusing menghadapi Amora yang tidak mau mengerti, bukan salah dia juga sih karena seorang istri pasti akan merasakan sakit hati melihat suaminya memiliki wanita lain. Ratna tahu itu. Karena dia juga pemerasannya dulu. Saat suaminya berkhianat bahkan ia sampai pergi meninggalkan rumah, untung Amora ini lebih kuat."Ra, mama minta tolong ya. Sabar sedikit lagi," pinta Ratna. "Kamu bilang tidak mau hamil kan, tidak mau tubuhmu rusak kan karena mengandung?"Deg! Amora dibuat mati kutu mendengarkan ucapan mertuanya."Dari mana mama tahu tentang ini?"Ratna tersenyum kecil, "Devan sudah cerita tadi saat kami di musholla rumah sakit. Jadi benar yang Devan bilang itu?" Amora tidak punya kesempatan lagi untuk berbohong, jadi ia mengangguk membenarkannya ucapan suaminya itu. "Maaf, ma. Dari dulu sampai sekarang aku takut hamil, aku gak tahu mengapa tapi aku benar-