Devan tak tahu mengapa saat pikirannya gundah seperti ini malah datang ke Vila. Saat ia merasa sangat lelah ia masalah mengingat Sarah, gadis yang baru kemarin ia nikahkan, dan dia tinggalkan di malam pertama. Kali ini ia tanpa sadar merindunya, ia sekarang terbayang kembali bagaimana ia menghabiskan malam hebat bersama gadis itu, kali ini apakah ia bisa mengulanginya lagi."Om Devan?" Sarah terkejut saat pintu kamar terbuka. Ia yang sudah ingin pergi tidur terpaksa kembali duduk dengan kikuk."Kenapa wajah kamu begitu? Apa gak senang saya datang kemari?" Terang saja Sarah mengeleng. Ia bukannya tidak senang, hanya saja ia masih agak takut dengan pria ini. Ia lebih suka jika Devan tak datang, dan ia bisa bebas menikmati waktu sendiri di villa mewah ini."Malam ini, persiapkan dirimu." "Ha?" Sarah tak mengerti, bersiap kemana? "Memangnya kita akan kemana, Om?"Devan berdecak malas. Itu saja tak mengerti, "maksud saya, persiapkan malam ini. Saya ingin kamu melayani saya," ujarnya.
Sarah tahu ia seperti manusia lupa diri saat ini, bagaimana tidak seharian ini ia tanpa henti berbelanja menghabiskan uang suaminya. Beli ini dan itu tanpa lihat harga, bahkan pelayan di butik itu sampai di buat melongo.Sangat menyenangkan. Akhirnya ia merasakan juga menjadi kaya, banyak duit dan bisa berbuat apa saja, bahkan bisa membeli hal termahal sekali pun."Enak banget jadi orang kaya, ya. Pantas saja Amora begitu sombong selalu memamerkan koleksi barang mewahnya, ternyata semenyedihkan ini." Sarah bergumam lirih. Tidak apa-apa, kali ini ia ingin melupakannya segalanya. Ia ingin mencoba bahagia dengan apa yang ia korbankan, tentang masa depan akan akan serahkan pada takdirnya nanti."Baik, Nona. Belanjaan anda totalnya seratus tiga puluh juta. Mau bayar pake apa?" Tentu saja dengan penuh senyum Sarah menyerahkan kartu yang di berikut suaminya. Dengan satu gesekan semua selesai, bahkan ia mendapatkan tatapan memuja dari orang-orang di sana. Mungkin mereka pikir dia orang kaya
Angin berembus pelan membelai helaian rambut Sarah yang panjang. Di bawah cahaya bulan ia duduk termenung sendirian tanpa teman, ia memeluk selimut yang membukusnya memberi rasa hangat di kala malam semakin dingin.Kejadian tadi siang masih membuat ia termenung. Lagi-lagi ia mengingatkan bagaimana bahagianya Amora bersama Devan, ada rasa tak rela. Tapi lebih dari itu ia merasa berdosa pada wanita cantik itu, ia merasa bersalah telah mencuri suaminya diam-diam yang suatu saat mungkin melukai dia.Tapi apa dia salah?Devan yang menarik dirinya masuk dalam pernikahan mereka, pria itu sendiri yang menghadirkan duri dalam percintaanya. Lalu kenapa dia harus merasa kasihan?Sarah masih kacau. Duduk sendiri di kursi taman dan. Menatap bintang yang berkelap-kelip di atas sana, semua itu belum berhasil mengenyahkan pikirannya tentang kejadian tadi siang.Kenapa ia harus merasa sebersalah ini?"Uh... Seperti aku akan gila jika memikirkan ini." Sarah mengusap kasar wajahnya. "Apa yang kamu piki
Tak di sangka di rumah sakit ini ia malah tak sengaja bertemu dengan Mbak Yuni. Wanita itu tampak baru keluar dari ruang pemeriksaan dokter kandungan.Ada apa ini?Sarah tersenyum miring, secara garis besar sepertinya ia bisa menebak. Tak di sangka gadis yang dulu berteriak mengatai dirinya wanita kotor hari ini malah menjilat ludah sendiri."Apa yang kamu senyum kan?" "Gak ada. Aku hanya merasa heran, bukannya kamu masih belum menikah ya, kenapa bisa dan di ruang pemeriksaan ini?" Tebakan Sarah membuat wajah sinis Yuni seketika memucat. Ia terkejut saat tahu Sarah melihat ia keluar dari ruang pemeriksaan"Kamu bicara apa, jangan sembarang!""Sembarangan atau tidak itu kamu yang tahu, Mbak. Lagi pula lihat lah, perutmu yang menonjol itu, apa karena ini kamu sengaja memfitnah aku?" Sarah ingat sebelum ia terusir dari kosan ia sempat menemukan benda kecil yang di buang ke tempat sampah oleh Yuni. Saat ia bertanya Yuni lekas mengambil benda itu kembali.Jadi... Bisa jadi sih karena ra
Hari-hari berlalu begitu cepat, sudah hampir dua Minggu seja menikah. Sarah sudah menentukan kapan operasinya di lakukan, dokter sudah memberi jadwal padanya.Sedangkan suaminya? Ia tidak meminta izin, karena sejak terakhir kali Amora datang ke Vila, sejak itu pula Devan tak pernah datang lagi padanya. "Bi Asih," Sarah memangil wanita tau itu."Iya, Non Sarah. Ada apa panggil bibi?""Aku mau bicara, Bi."Sarah butuh izin, ia tidak bisa pergi begitu saja tanpa izin dari orang rumah. Satu-satunya pilihan ya memberi tahu Bibi Asih selaku orang kepercayaan suaminya."Ada apa, Non? Butuh sesuatu ya, biar bibi carikan.""Bukan, Bi. Sarah cuma mau bilang... Beberapa hari mungkin Sarah akan pergi," Wanita tua itu tentu saja terkejut. Mau kemana memangnya gadis ini, bagaimana pun ia di tugaskan menjaga istri majikannya ini. Ia yang bertanggung jawab selama Devan tidak ada, jadi ia harus"Non Sarah mau kemana?"Sarah mengeluarkan kertas pemeriksaan yang butuh izin dari keluarga. " Ini... Sara
Devan tidak tahu ia senang atau harus sedih sekarang. Saat ajakan yang dari dulu sangat ia inginkan hari ini datang, tapi ia sudah terlanjur memilih jalan lain, jalan yang mungkin membuat banyak orang terluka.Devan mengusap wajah kasar. Sekarang bagaimana cara menyelesaikannya? Bagaimana cara ia memberi tahu ada rahim lain yang lebih ingin ia isi sekarang di bandingkan rahim istri sahnya sendiri Apa Amora bisa terima?Amora yang melihat suaminya tak menanggapi merasa kecewa, ia pikir Devan akan berbinar bahagia. Tapi siapa sangka pria itu malah terlihat lesu tak bersemangat. Amora menyentuh tangan suaminya, mencoba menarik perhatian Devan. Tapi lagi-lagi ia di tepis, Devan malah membuang muka membuat Amora sangat sedih."Mas... Kamu gak senang dengan keputusan aku?""Bukan,""Lalu mengapa kamu begini. Aku tahu wajah kamu gak menunjukkan kebahagiaan, kamu untuk gak cinta aku lagi? Gak mau anak dariku lagi?" "Hentikan, Ra. Lebih baik sekarang fokus aja pada kesembuhan kamu.""Mas, k
Cedera pada kakinya berangsur mulai membaik. Sedangkan di kepala, dokter mengatakan Amora hanya mengalami geger otak ringan, dua hari di rawat ia sudah di bolehkan pulang.Untuk sementara waktu Amora terpaksa harus duduk di kursi roda, sedangkan Devan dengan setia mendorongnya keluar rumah sakit. Mobil mereka telah menunggu di depan, Devan secara pribadi datang menjemput istrinya. "Mas, kenapa papa aku gak pernah jenguk ya? Selama dua hari ia tidak pernah datang. Apa kamu tidak memberi tahu dia?"Devan mengeleng, "tidak. Papa sedang melakukan perjalanan bisnis ke Singapura, aku gak mau membuat dia hawatir di sana."Melakukan perjalanan bisnis bukan hal yang mudah, butuh konsentrasi dan pikiran yang jernih untuk mengatur strategi agar bisa menarik minat investor. Devan tahu itu, jadi ia tidak mau menganggu waktu papa mertuanya dalam bekerja, lagi pula Amora juga tidak terluka parah."Sayang sekali, padahal aku sangat rindu sama Papa. Mas, bagaimana setelah aku sembuh kita liburan lagi
Sura musik memenuhi ruang dengan volume maksimal yang bahkan membuat jantung ikut bergetar. Susana terasa heboh, tubuh-tubuh meliuk liar di atas lantar, tawa dan detingan gelas silih berganti mengantarkan gemerlap malam hari ini.Di ruangan yang di penuh manusia ada seseorang yang terlihat tak bersemangat. Ia duduk di sudut ruangan, menatap setiap orang yang berpesta bahagia, matanya liar melihat setiap penjuru tapi sampai akhir ia tetap tak bisa menemukannya."Hay, sudah lama Lo nunggu?" Seseorang menepuk pundaknya, membuat pria tadi tersentak kaget."Ya," ia menjawab singkat, lalu kembali meneguk minuman yang tinggal sedikit di gelasnya."Udah lama gue gak pernah lihat Lo lagi di sini." Dion mengangkat botol minuman lalu menuangkan kembali ke gelas sang teman. "Masih berusaha cari dia?"Jaya tersedak minumannya, "sok tahu Lo," meskipun dia berkata begitu tapi tatapan matanya yang liar sudah dapat di tebak. Dion terkekeh kecil, ia menyodorkan ponselnya memperlihatkan sebuah foto yan