Sarah menatap layar ponselnya dengan mata sayu khas bangun tidur. Tak langsung mandi atau pun sarapan, Ia lebih tertarik membaca berita menarik di beranda ponselnya.
'Keluarga bahagia. Nyonya Amora bersama sang suami tercinta menghabiskan waktu berlibur keliling Eropa. Pagi ini di kabarkan baru kembali setelah satu Minggu menghabiskan waktu untuk bersenang-senang.' Sarah merasa akhir-akhir ini ia mulai tertarik mencari tahu semua tentang Pak Devan, dan berita pagi ini membuat dadanya berdesir melihat bertapa bahagia dua manusia itu berlibur bersama. Tak ada masalah sebenarnya. Hanya saja ada rasa iri yang menyerukan dalam hatinya melihat Davin tengah berpelukan mesra dengan istrinya sembari berpose romantis di bawah pepohonan yang berguguran. "Huh, bahagia memang diperuntukkan untuk orang-orang berduit." Gumamnya. Semakin jarinya bergulir di layar ponsel semakin ia tertarik melihat Devan sang pria kaya yang memiliki kekayaan di mana-mana. Sarah jadi berpikir, bagaimana kalau dia di posisi Amora, pasti hidupnya sangat bahagia. "Apa aku terima saja tawaran dia ya? Ah... Tapi masa orang hebat seperti pak Davin mau sama aku yang gak ada cantik-cantiknya ini, pasti malam itu dia hanya ingin mengejekku saja. Benar juga kata Mbak Yara... Cewek dekil seperti aku mana mungkin bisa menyaingi orang se cantik mbak Amora." Rasanya masih terasa mimpi saat ia lagi dan lagi di pertemukan dengan pria itu. Tak ingin berpikir lagi ia memilih melempar ponselnya dengan kesal. Biarlah dia bekerja lebih giat lagi untuk masa depannya, dan lupakan semua tentang Devan yang tidak mungkin ia gapai. Jadi pelakor itu gak cukup mudah ternyata!! *** Satu bulan terlewati seperti biasa. Hanya saja bedanya Sarah bekerja dari sore sampai malam, dan siangnya ia akan tidur. Perubahan ini menarik perhatian orang-orang di sekelilingnya, gosip-gosip apnas mulai terdengar, meskipun begitu Sarah memilih acuh saja. "Pergi kerja kamu, Sarah?" Yuni muncul dari balik pintu kosnya sembari tersenyum kecil. "Eh, iya Mbak. Kenapa?" "Gak ada, cuma mau nyapa doang. Soalnya kita udah jarang ketemu ya," ujarnya sembari tersenyum. "Ngomong-ngomong kamu kerja apaan sih, kok pulang malam terus?" Sarah yang tidak curiga dengan jujur mengatakan, "aku kerja di sebuah klub malam, Mbak. Makanya pulang malam terus, kadang jam dua, jam tiga." Yuni merujar o saja. Tapi diam-diam dia senang, ternyata tebakannya benar. Kalau begini tak salah jika dia mengadukannya pada pemilik kos akan. "Ya udah, aku pergi ya Mbak. Udah pada sore, takut telat." "Oh, ya. Gak apa-apa, hati-hati ya." Sarah memilih menumpang ojek pengkolan untuk mengantarnya sampai tujuan, hari ini ia sedikit semangat pergi bekerja karena akan gajian. Tapi bar saja motor yang di tumpanginya berbelok di tikungan ada satu sedan mewah datang-datang langsung menghantam mereka. "Pak, awas!!!" Brakkk!!! Lagi-lagi kecelakaan di tempat yang sama. Sarah mengusap sikunya yang terasa nyeri, ah.. ternyata berdarah. Ingin sekali ia menangis rasanya, sakitnya luar biasa perih. "Aduh!! Kalau bawa motor hati-hati dong!!" Terikkan nyaring terdengar menarik antensi Sarah yang masih belum mampu bangun. "Kalian ini ya, pagi-pagi udah bikin hari saya sial. Mobil saya lecet, kalian mampu buat ganti rigi hah?!" "Kalau bicara yang benar mbak. Mbak yang salah sudah menabrak kami, kok malah playing victim." Ujar sang pemilik motor. "Orang miskin seperti kalian ini cuma tahu menyemak jalan saja. Tubuh kalian itu dengan mudah bisa saya bayar, kalian mampu gak ganti mobil mahal saya?!" "Astagfirullah!!" Sarah mengeram marah. Ia ingin membalas tapi tukang ojek tadi sudah menahannya, "jangan mbak. Mendingan kita pergi aja, orang kayak gini gak mau kalah. Kalau kita lawan yang ada kita yang masuk penjara." Uang bisa melakukan apapun, bahkan membayar hukum pun di zaman sekarang. Orang kaya selalu benar, meskipun mereka yang terluka tapi tetap harus mengalah. Sarah menatap nanar. Miskin benar-benar sangat buruk. Orang bisa berbicara sesuka hati, bahkan menganggap dirinya hanya seperti barang yang tak berharga. "Kenapa kalian diam? Sadar diri kalian, hah!!" "Huh... Iya mbak. Kami yang salah, kami minta maaf." "Nah gitu dong. Miskin itu sadar diri," ujar wanita milik mobil dengan pongah, "karena saya sedang baik hati gak akan saya permasalahkan. Saya bukan orang susah juga yang harus minta ganti rugi sama kalian," Diam. Sampai mobil itu menjauh mereka masih terpaku. Motor mereka pak Sopian terlihat rusak berarti harus dibawa ke bengkel. Sarah menatap tukang ojek pengkolan itu dengan prihatin. "Maaf ya pak, motornya rusak." "Udah lah neng, gak apa-apa. Masih untung kita gak di minta ganti rugi sama ibu-ibu tadi," "Kok bapak ngalah sih. Seharusnya bapak lawan aja tadi." "Kita gak akan menang neng. Orang kaya begitu mana tahu nasib kita, yang ada kita yang di tuntut nanti. Maaf, saya gak bisa antar Neng Sarah sampai tujuan." "Oh, gak apa-apa kok, pak. Ini, saya bantu sedikit untuk perbaikan motor bapak," Sarah menyerahkan selembar uang merah. Ia tahu tak seberapa tapi setidaknya sedikit membatu pria tua itu. "Wah, gak usah neng..." "Gak apa-apa, Pak. Ambil aja, saya ikhlas kok." "Baiklah, terima kasih. Kalau begitu saya pergi dulu," Sarah melihat kasihan, sudah berumur masih juga bekerja keras. Ia jadi ingat ayahnya, tapi sayang pria yang menjadi cinta pertamanya itu telah membuangnya demi istri barunya. Ia meringis pelan. Seakan lupa ia melihat sikunya lagi, ternyata darah dilukainya telah mengering tanpa ia sadari. Sarah baru menyadari juga, perutnya mendadak merasa sakit, ya tuhan... Kenapa sakitnya kambuh di saat yang tidak tepat seperti sekarang ini. Tin...tin...tin... Klakson mobil menyentak Sarah dari lamunan. Ia mendongak siapa yang kurang ajar mengangu dirinya yang sedang kesakitan begini. "Pak Devan?!"Apa ia harus terkejut sekarang. Bagaimana di tempat yang cukup sepi ini bisa-bisanya ia bertemu kembali dengan Pak Devan?"Kamu kenapa?" Sarah mengerjab saat tiba-tiba Devan mengambil tangannya dan memeriksa luka di kedua sikunya."Kamu terluka cukup parah. Kenapa tidak di obati?""Kenapa Pak Devan ada di sini?" Bukan menjawab ia balik bertanya, "lepas, pak! Nanti ada yang lihat," Devan hanya diam. Dia tak melepaskan Sarah, malah ia menarik gadis itu untuk masuk kedalam mobilnya. Awalnya Sarah menolak, tapi Devan bukan orang yang mudah di tolak dia tetap memaksa gadis itu mengikutinya."Masuk!""Tapi pak...""Udah, kamu gak usah membantah. Lihat itu pakaian mu sudah robek," ujarnya tetap mendorong tubuh Sarah memasuki mobilnya.Sarah hanya bisa pasrah. Padahal ia sudah ketar-ketir, melihat sikap Devan yang sok dekat ini membuat ia sedikit malu. Ia baru sadar ternyata pria itu sendiri yang menyetir mobilnya, bukan dengan supirnya yang tua kemarin."Eh, bapak mau bawa saya kemana?" "
Sarah merasa sangat senang saat pertama kali ia dapatkan gaji lagi, mana gajinya besar lagi. Lima juta, itu setara dengan gajinya dua bulan setengah di toko pakaian.Dengan uang ini ia bisa besok ke rumah sakit untuk memeriksa kesehatannya, syukur-syukur jika ada kabar baik. Tapi kalau tidak ia akan menabung uang ini untuk beberapa bulan kedelapan, ia berharap sakitnya masih bisa menunggu."Sarah, kamu mau pulang?" Dion datang saat Sarah sudah selesai menyapu lantai dan menyusun botol-botol yang berserakan di atas meja barr.Sarah mengambil tasnya setelah pekerjaan selesai, mereka keluar dari sana dan begitu juga dengan Dion. Waktu sudah menunjukkan waktu 3 pagi, cukup telat pulang dari biasanya karena Bar hari ini cukup ramain"Oh, iya kak. Kenapa?""Tidak. Aku dengar dari Yara kamu terluka, apa benar?"Sarah tersenyum mendengar perhatian kecil itu, "iya. Tadi kecelakaan lagi, jatuh dari motor. Tapi udah di obati kok, nih..." Ujarnya memberi tahu. Ia menunjukkan sikunya yang sudah d
Malam sudah berlalu, mungkin sebentar lagi suara azan subuh akan berkumandang. Sarah terduduk diam di pinggir ranjang tidur dengan tatapan kosong. Akhirnya ia melakukan juga hal yang di benci oleh penciptanya. Dosa yang mungkin di anggap orang-orang tak bisa di maafkan, tapi ia apa punya pilihan lain?Pria itu benar-benar melakukannya dengan sangat buruk. Di bawah keadaan mabuk ia merenggut kehormatannya lalu meninggalkannya begitu saja setelah selesai. Sarah benar-benar merasa dirinya seperti wanita bayaran. Benar-benar bajingan!Devan bahkan telah meninggalkannya setelah merengkuh madu yang selama ini ia jaga. Apakah pria itu puas?Sarah menarik nafas lelah. Bahkan seikat uang merah yang telah di lemparkan oleh Davin tak menarik lagi di matanya. Tak ada kebahagiaan, yang ada rasa sakit dari sisa percintaan yang tidak meninggalkan kesan baik sedikitpun."Benar-benar murahan kamu, Sar." Ia terkekeh kecil mencemooh dirinya sendiri. Ia mantap kosong noda darah yang masih membekas di al
Rasa sakit di area bawahnya membuat Sarah tak bisa pulang dengan motor. Ia terpaksa memesan taksi menuju kosannya, ia bahkan merasa malu sepanjang jalan saat supir taksi itu menatap curiga dirinya yang pulang dalam keadaan kacau begini.Bagaimana mana tidak, ia tak sempat sekedar mandi di Vila milik Devan. Ia memilih pergi setelah menggunakan pakaian kembali dan mencari ayahnya di pagi-pagi buta. Lagi-lagi ia semakin kacau setelah menangis di sepanjang jalan karena pertengkaran mereka.Meskipun berucap benci berkali-kali, dalam hatinya ia masih berharap kasih sayang ayahnya. Sarah sangat lelah, ia ingin menyerah saja.Taksi berhenti di gang menuju kosannya. Ia harus jalan kaki lagi untuk masuk ke dalam sana, namanya juga kos-kosan murah tentu saja tempatnya terpencil."Terimakasih, pak."Setelah itu ia segera turun. Tepat saat ia hampir sampai di depan kosannya ia terkejut melihat banyak orang yang berkumpul di depan tepat tinggalnya. Ada apa? Kenapa juga ada ibu kosnya yang kumpul d
"Mas, kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini sulit banget di hubungi." Amora merajuk, "biasanya kamu keluar kota juga ajak aku deh, kok sekarang aneh gini.""Aneh gimana?" Devan tersenyum kecil, "jangan berpikir macam-macam, dek. Mas kan kerja."Devan memeluk Amora, ia tahu istrinya sangat mudah luluh jika sudah di peluk dan di manja seperti ini. Meskipun di luar sikap Istrinya di kenal angkuh dan sombong, tapi jika di hadapan suaminya ia hanya wanita penurut. Meskipun beberapa kali juga membuat suaminya kesal sih, masalah baik di luar maupun di dalam rumah sikap keras kepalanya tidak akan pernah hilang."Aku gak akan pikir macam-macam kalau kamu tetap seperti biasa." Ujarnya cemberut. Devan terkekeh mendengar istrinya merajuk. Pelukannya semakin mengerat, membuat rasa nyaman."Ra...""Mmm..." Amora terus memejamkan matanya menikmati dekapan hangat sang suami."Mas mau tanya, kamu kapan siapnya ke dokter?" "Maksud mas? Ngapain kita kedokter, aku gak sakit kok," ujarnya. Devan mendengus, Is
Sarah menatap lembaran kertas di tangannya nanar. Ternyata benar di dunia ini tidak di letakkan adanya kebahagiaan untuknya. Sarah tertawa perih, kenapa perjalanan hidupnya begitu pahit."Aku bahkan harus menderita berkali-kali, tapi mengapa Tuhan memberi orang lain kebahagiaan begitu mudah."Andai dia tahu hidupnya akan semenyedihkan ini lebih baik ia ikut ibunya saja ke Surga. Ia merasa putus asa setia kali melihat ayahnya tak pernah lagi peduli, melihat orang-orang di sekelilingnya bahagia ia benar-benar merasa iri.'Kau hanya perlu memberiku seorang anak, maka aku akan membayarmu berapapun yang kamu minta.'Hanya dua tahun. Kita menikah selama dua tahun, dan setelah itu akan saya lepaskan kamu." Ujar Devan siang tadi.Sungguh sakit jika diingatkan lagi. Sekarang ia sudah tidak berhak lagi ada dirinya sendiri, harga dirinya telah di beli hanya dengan harga 500 juta.Tapi apa ia bisa menolak?Tentu saja tidak. Pria itu bahkan mengancam akan menyakitinya jika berani menolak, ia tidak
Jika cinta tak bisa lagi di jadikan pedoman dalam berumahtangga, tolong biarkan dirinya menikah tanpa cinta. Sarah mengambil kartu hitam yang di lemparkan Devan. Ia tersenyum senang, tapi sebenarnya ia tidak benar-benar bahagia. "Kamu bisa membeli apapun yang kamu mau dengan itu. Tapi ingat, jangan pernah kamu bercerita pada siapapun tentang pernikahan kita ini."Sarah tersenyum kecil, "gak masalah. Tapi aku mau Om menempati janji yang tadi.""Tentang ayah mu ya? Kamu tenang saja. Saya akan mengambil milikmu dengan mudah nanti," ujarnya.Sarah mengangguk mengerti. Tak masalah baginya Devan mengakui dia di depan publik atau tidak. Lagi pula perjanjian pernikahan mereka hanya dua tahun, jika ia hamil anaknya akan di ambil oleh Devan, tapi jika tidak juga perjanjian akan tetap berkahir."Dan satu lagi... Kamu segera berhenti bekerja di tempat itu. Saya tidak suka kamu di sentuh oleh pria lain!" Sarah mendelik. Dalam perjanjian gak ada seperti itu, bukankah dia di bebaskan untuk melaku
Amora mengepal erat tangannya. Masih terngiang terus ucapan ibu mertuanya yang ingin mencari wanita lain untuk suaminya, benar-benar tidak peduli dengan perasaan dia.Kenapa tidak ada yang mau mengerti dirinya? Lagi pula ini sudah zaman apa? Kenapa semua orang terus saja membahas anak? Di luar sana banyak yang tidak punya anak, mereka tetap bahagia. Bisa hidup bebas dan melakukan apa saja, Amora tidak mau di kekang, dia ingin selalu menikmati kebebasannya."Sialan! Kenapa hidup aku mereka yang atur. Anak, anak aja terus bahas. Gak mikir apa, aku gak suka anak kecil, aku gak mau nambah beban. Aku gak mau gara-gara anak tubuhku menjaga rusak. Akhhh!!!" Ia berteriak melepaskan rasa kesal yang sedari tadi menekan dadanya.Sungguh sesak membayangkan Devan akan bersama wanita lain. Bagaimana ia tidak akan rela jika harus berbagi suami, Devan hanya miliknya. Tapi jika harus mengandung dan merasakan sakit selama sembilan bulan ia juga rasanya tak sudi."Kamu kenapa, dek?"Devan keluar dari ka