Apa ia harus terkejut sekarang. Bagaimana di tempat yang cukup sepi ini bisa-bisanya ia bertemu kembali dengan Pak Devan?
"Kamu kenapa?" Sarah mengerjab saat tiba-tiba Devan mengambil tangannya dan memeriksa luka di kedua sikunya. "Kamu terluka cukup parah. Kenapa tidak di obati?" "Kenapa Pak Devan ada di sini?" Bukan menjawab ia balik bertanya, "lepas, pak! Nanti ada yang lihat," Devan hanya diam. Dia tak melepaskan Sarah, malah ia menarik gadis itu untuk masuk kedalam mobilnya. Awalnya Sarah menolak, tapi Devan bukan orang yang mudah di tolak dia tetap memaksa gadis itu mengikutinya. "Masuk!" "Tapi pak..." "Udah, kamu gak usah membantah. Lihat itu pakaian mu sudah robek," ujarnya tetap mendorong tubuh Sarah memasuki mobilnya. Sarah hanya bisa pasrah. Padahal ia sudah ketar-ketir, melihat sikap Devan yang sok dekat ini membuat ia sedikit malu. Ia baru sadar ternyata pria itu sendiri yang menyetir mobilnya, bukan dengan supirnya yang tua kemarin. "Eh, bapak mau bawa saya kemana?" "Kamu tenang saja, duduk yang patuh." "Tapi saya mau pergi kerja..." Devan tak mengindahkan. Mobil melaju membelah jalan yang sepi, tak ada yang bersuara, bahkan Sarah hanya bisa memilin jari-jarinya gugup. Beberapa menit mobil berhenti di sebuah klinik. Devan melirik kearah Sarah. "Bagaimana tawaran saya?" "Eh?" "Kamu jangan pura-pura bodoh. Tapi sebelum itu ayo keluar, luka mu butuh diobati." Perintahnya. "Tidak usah, hanya luka kecil. Biar di obati nanti saja," "Kecil katamu? Kau ingin mati?!" Ada rasa hangat di hati Sarah mendapatkan perhatian kecil itu. Sudah lama sekali tak ada orang yang memperhatikan dirinya, terakhir saat ia masih kecil, saat ibunya masih sehat dan ayahnya masih mencintai dirinya. Tak butuh waktu lama. Akhirnya luka di kedua siku Sarah berhasil di obati orang dokter di sana, tak hanya itu, ternyata jatuh tadi juga menggores lutut dan betis kirinya. Padahal tadi ia tak merasakan apa-apa, setelah di obati baru terasa nyerinya. "Ayo, saya antarkan pulang." "Eh, gak usah. Saya mau kerja, pak. Gak pulang." "Keadaan seperti ini kamu masih mau bekerja? Kamu gila!" Eh? Kenapa dia di marahi. Kanapa juga pria ini harus perhatian padanya. Sarah mengeleng, bunag pikiran buruknya tentang Devan, dia harus fokus pada hidupnya sendiri. "Gak bisa. Saya harus pergi kerja. Tentang uang pengobatan saya, nanti saya ganti ya, pak." Devan tersenyum sinis, lalu berkata "kamu tahu tidak hari ini saya sengaja ingin mencari kamu?" "Ha?" Maksudnya bagaimana? Kenapa sampai Laki-laki ini mencarinya? "Untuk apa bapak cari saya?" Ia merasa cemas, "tengang malam itu... Saya minta maaf berbicara sembarang. Jadi..." "Berhenti. Kita tidak bisa membicarakannya di sini, ayo ikut saya." "Pak, saya gak bisa. Saya harus kerja," Sarah memohon. Meminta untuk di lepaskan, sunguh ia benar-benar merasa takut sekarang. Devan menghembuskan nafas kesal. Waktunya habis dengan sia-sia, gadis ini ia pikir dengan mudah dapat berbicara dengannya, siapa sangka akan sedikit ini. "Baiklah... Tapi nanti malam saya akan tunggu kamu, bagaimana?" Sarah ingin menolak, tapi melihat tatapan tajam Davin yang berhasil memakannya ia terpaksa mengangguk setuju. Melihat persetujuannya Devan tersenyum menyeringai. "Baiklah," "Bagus. Kalau begitu ayo... Saya akan antarkan kamu ke tempat kerjamu." "Tidak usah, saya..." "Saya tidak peduli penolakan kamu, Sarah. Turuti kata saya kalau mau baik-baik saja. Ingat satu hal, saya tidak suka penolakan!" Bentakan itu berhasil membuat nyali Sarah menciut, ia tak lagi membantah. Terpaksa mengikuti semua perintah Devan , seharusnya tidak begini kan? **** Di sebuah meja di restoran bintang lima. Amora tengah berkumpul dengan teman-teman arisanya, tawa bahagia sedari tadi terdengar di antara mereka mendengar cerita nyonya Amora. "Kamu beruntung banget dapat suami, Ra. Tuan Devan benar-benar pria kaya yang bicin, kamu selalu di manjakan olehnya. Beda sama kami ini, udah suami gak sekaya kamu, banyak main di luar lagi. Kalau gak masih saya, gak kuat aku." Delisa berujar dengan senyum manisnya. Delisa sendiri memiliki suami pengusaha juga, meskipun tak sekaya suami Amora. Hanya saja suaminya itu suka sekali main perempuan di luar sana meskipun sudah memiliki istri, jika bukan karena uang bulanan yang besar di berikan suaminya mana mau dia bertahan. "Ya, jangan di bandingkan dong, Del. Mas Devan itu untuk cinta mati sama aku, mana berani dia selingkuh." Ujarnya pongah. Ia sangat percaya Cinta Devan untuknya sangat besar. Pria itu selalu memanjakannya, apapun yang ia mau akan ia turuti. Ia yakin, sampai mati pun Devan akan selalu setia padanya. "Sombongnya!!! Tapi, sorry nih ya... Aku cuma tanya aja, jangan tersinggung ya." Pinta salah satu temannya yang lain yang bernama Rena. "Tanya aja," "Itu... Kamu kenapa gak mau punya anak sih, Ra? Kamu gak takut di masa depan suami Lo berubah pikiran?" Diam. Amora tersenyum masam. Pertanyaan sensitif ini sungguh tak cocok di tanyakan sekarang, ia jadi kesal kan. "Bukankah ini pilih? Aku tidak ingin menambah beban, anak hanya akan membuat aku repot dan merusak tubuhku. Aku gak butuh," Rena ingin bertanya lagi, tapi lekas di sikut oleh Melisa untuk segera diam. "Udahlah, ayo cerita lagi hal menyenangkan apa aja yang kamu lakukan di luar negeri, Ra. Mana tahu di masa depan kami punya kesempatan ke sana," Amora sudah tak mood, ia mengambil tasnya di atas meja. "Sorry... Udah siang, kita lanjutkan lain kali aja ya. Aku ada janji dengan salon langganan..." Semua diam membisu. Rena merasa bersalah sudah menyinggung Amora, kalau begitu sama saja ia menyulitkan dirinya sendiri. "Kamu, Ren. Kok tanya begituan sih, jadi merajuk kan. Kalau gini bisa-bisa dia gak suka sama kota... Bisa-bisa dia hancurin bisnis keluarga kita kalau menyinggung dia." "Ya mana aku tahu. Kok saya yang di salahkan. Lagi pula gitu aja ngambek, di selingkuhi suaminya baru tahu rasa. Sombog amat jadi orang!!" Rena ikut merasa kesal karena di salahkan oleh teman-temannya yang lain. "Udahlah, gak asik sama kalian. Saya pergi juga pamit lah." Semua orang juga tahu, menyinggung Amora sama saja mencari Maslah. Hanya saja Rena tak takut, keluarganya juga bukan orang miskin yang mudah di tindak. Lagi pula ia yakin perkataannya tak salah, andai tuan Devan ada di sini dia pasti setuju dengan ucapannya. Kau terlalu sombong, Amora. Aku ingin lihat bagaimana kalau kubuat ucapanmu menjadi kenyataan!!Sarah merasa sangat senang saat pertama kali ia dapatkan gaji lagi, mana gajinya besar lagi. Lima juta, itu setara dengan gajinya dua bulan setengah di toko pakaian.Dengan uang ini ia bisa besok ke rumah sakit untuk memeriksa kesehatannya, syukur-syukur jika ada kabar baik. Tapi kalau tidak ia akan menabung uang ini untuk beberapa bulan kedelapan, ia berharap sakitnya masih bisa menunggu."Sarah, kamu mau pulang?" Dion datang saat Sarah sudah selesai menyapu lantai dan menyusun botol-botol yang berserakan di atas meja barr.Sarah mengambil tasnya setelah pekerjaan selesai, mereka keluar dari sana dan begitu juga dengan Dion. Waktu sudah menunjukkan waktu 3 pagi, cukup telat pulang dari biasanya karena Bar hari ini cukup ramain"Oh, iya kak. Kenapa?""Tidak. Aku dengar dari Yara kamu terluka, apa benar?"Sarah tersenyum mendengar perhatian kecil itu, "iya. Tadi kecelakaan lagi, jatuh dari motor. Tapi udah di obati kok, nih..." Ujarnya memberi tahu. Ia menunjukkan sikunya yang sudah d
Malam sudah berlalu, mungkin sebentar lagi suara azan subuh akan berkumandang. Sarah terduduk diam di pinggir ranjang tidur dengan tatapan kosong. Akhirnya ia melakukan juga hal yang di benci oleh penciptanya. Dosa yang mungkin di anggap orang-orang tak bisa di maafkan, tapi ia apa punya pilihan lain?Pria itu benar-benar melakukannya dengan sangat buruk. Di bawah keadaan mabuk ia merenggut kehormatannya lalu meninggalkannya begitu saja setelah selesai. Sarah benar-benar merasa dirinya seperti wanita bayaran. Benar-benar bajingan!Devan bahkan telah meninggalkannya setelah merengkuh madu yang selama ini ia jaga. Apakah pria itu puas?Sarah menarik nafas lelah. Bahkan seikat uang merah yang telah di lemparkan oleh Davin tak menarik lagi di matanya. Tak ada kebahagiaan, yang ada rasa sakit dari sisa percintaan yang tidak meninggalkan kesan baik sedikitpun."Benar-benar murahan kamu, Sar." Ia terkekeh kecil mencemooh dirinya sendiri. Ia mantap kosong noda darah yang masih membekas di al
Rasa sakit di area bawahnya membuat Sarah tak bisa pulang dengan motor. Ia terpaksa memesan taksi menuju kosannya, ia bahkan merasa malu sepanjang jalan saat supir taksi itu menatap curiga dirinya yang pulang dalam keadaan kacau begini.Bagaimana mana tidak, ia tak sempat sekedar mandi di Vila milik Devan. Ia memilih pergi setelah menggunakan pakaian kembali dan mencari ayahnya di pagi-pagi buta. Lagi-lagi ia semakin kacau setelah menangis di sepanjang jalan karena pertengkaran mereka.Meskipun berucap benci berkali-kali, dalam hatinya ia masih berharap kasih sayang ayahnya. Sarah sangat lelah, ia ingin menyerah saja.Taksi berhenti di gang menuju kosannya. Ia harus jalan kaki lagi untuk masuk ke dalam sana, namanya juga kos-kosan murah tentu saja tempatnya terpencil."Terimakasih, pak."Setelah itu ia segera turun. Tepat saat ia hampir sampai di depan kosannya ia terkejut melihat banyak orang yang berkumpul di depan tepat tinggalnya. Ada apa? Kenapa juga ada ibu kosnya yang kumpul d
"Mas, kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini sulit banget di hubungi." Amora merajuk, "biasanya kamu keluar kota juga ajak aku deh, kok sekarang aneh gini.""Aneh gimana?" Devan tersenyum kecil, "jangan berpikir macam-macam, dek. Mas kan kerja."Devan memeluk Amora, ia tahu istrinya sangat mudah luluh jika sudah di peluk dan di manja seperti ini. Meskipun di luar sikap Istrinya di kenal angkuh dan sombong, tapi jika di hadapan suaminya ia hanya wanita penurut. Meskipun beberapa kali juga membuat suaminya kesal sih, masalah baik di luar maupun di dalam rumah sikap keras kepalanya tidak akan pernah hilang."Aku gak akan pikir macam-macam kalau kamu tetap seperti biasa." Ujarnya cemberut. Devan terkekeh mendengar istrinya merajuk. Pelukannya semakin mengerat, membuat rasa nyaman."Ra...""Mmm..." Amora terus memejamkan matanya menikmati dekapan hangat sang suami."Mas mau tanya, kamu kapan siapnya ke dokter?" "Maksud mas? Ngapain kita kedokter, aku gak sakit kok," ujarnya. Devan mendengus, Is
Sarah menatap lembaran kertas di tangannya nanar. Ternyata benar di dunia ini tidak di letakkan adanya kebahagiaan untuknya. Sarah tertawa perih, kenapa perjalanan hidupnya begitu pahit."Aku bahkan harus menderita berkali-kali, tapi mengapa Tuhan memberi orang lain kebahagiaan begitu mudah."Andai dia tahu hidupnya akan semenyedihkan ini lebih baik ia ikut ibunya saja ke Surga. Ia merasa putus asa setia kali melihat ayahnya tak pernah lagi peduli, melihat orang-orang di sekelilingnya bahagia ia benar-benar merasa iri.'Kau hanya perlu memberiku seorang anak, maka aku akan membayarmu berapapun yang kamu minta.'Hanya dua tahun. Kita menikah selama dua tahun, dan setelah itu akan saya lepaskan kamu." Ujar Devan siang tadi.Sungguh sakit jika diingatkan lagi. Sekarang ia sudah tidak berhak lagi ada dirinya sendiri, harga dirinya telah di beli hanya dengan harga 500 juta.Tapi apa ia bisa menolak?Tentu saja tidak. Pria itu bahkan mengancam akan menyakitinya jika berani menolak, ia tidak
Jika cinta tak bisa lagi di jadikan pedoman dalam berumahtangga, tolong biarkan dirinya menikah tanpa cinta. Sarah mengambil kartu hitam yang di lemparkan Devan. Ia tersenyum senang, tapi sebenarnya ia tidak benar-benar bahagia. "Kamu bisa membeli apapun yang kamu mau dengan itu. Tapi ingat, jangan pernah kamu bercerita pada siapapun tentang pernikahan kita ini."Sarah tersenyum kecil, "gak masalah. Tapi aku mau Om menempati janji yang tadi.""Tentang ayah mu ya? Kamu tenang saja. Saya akan mengambil milikmu dengan mudah nanti," ujarnya.Sarah mengangguk mengerti. Tak masalah baginya Devan mengakui dia di depan publik atau tidak. Lagi pula perjanjian pernikahan mereka hanya dua tahun, jika ia hamil anaknya akan di ambil oleh Devan, tapi jika tidak juga perjanjian akan tetap berkahir."Dan satu lagi... Kamu segera berhenti bekerja di tempat itu. Saya tidak suka kamu di sentuh oleh pria lain!" Sarah mendelik. Dalam perjanjian gak ada seperti itu, bukankah dia di bebaskan untuk melaku
Amora mengepal erat tangannya. Masih terngiang terus ucapan ibu mertuanya yang ingin mencari wanita lain untuk suaminya, benar-benar tidak peduli dengan perasaan dia.Kenapa tidak ada yang mau mengerti dirinya? Lagi pula ini sudah zaman apa? Kenapa semua orang terus saja membahas anak? Di luar sana banyak yang tidak punya anak, mereka tetap bahagia. Bisa hidup bebas dan melakukan apa saja, Amora tidak mau di kekang, dia ingin selalu menikmati kebebasannya."Sialan! Kenapa hidup aku mereka yang atur. Anak, anak aja terus bahas. Gak mikir apa, aku gak suka anak kecil, aku gak mau nambah beban. Aku gak mau gara-gara anak tubuhku menjaga rusak. Akhhh!!!" Ia berteriak melepaskan rasa kesal yang sedari tadi menekan dadanya.Sungguh sesak membayangkan Devan akan bersama wanita lain. Bagaimana ia tidak akan rela jika harus berbagi suami, Devan hanya miliknya. Tapi jika harus mengandung dan merasakan sakit selama sembilan bulan ia juga rasanya tak sudi."Kamu kenapa, dek?"Devan keluar dari ka
Devan tak tahu mengapa saat pikirannya gundah seperti ini malah datang ke Vila. Saat ia merasa sangat lelah ia masalah mengingat Sarah, gadis yang baru kemarin ia nikahkan, dan dia tinggalkan di malam pertama. Kali ini ia tanpa sadar merindunya, ia sekarang terbayang kembali bagaimana ia menghabiskan malam hebat bersama gadis itu, kali ini apakah ia bisa mengulanginya lagi."Om Devan?" Sarah terkejut saat pintu kamar terbuka. Ia yang sudah ingin pergi tidur terpaksa kembali duduk dengan kikuk."Kenapa wajah kamu begitu? Apa gak senang saya datang kemari?" Terang saja Sarah mengeleng. Ia bukannya tidak senang, hanya saja ia masih agak takut dengan pria ini. Ia lebih suka jika Devan tak datang, dan ia bisa bebas menikmati waktu sendiri di villa mewah ini."Malam ini, persiapkan dirimu." "Ha?" Sarah tak mengerti, bersiap kemana? "Memangnya kita akan kemana, Om?"Devan berdecak malas. Itu saja tak mengerti, "maksud saya, persiapkan malam ini. Saya ingin kamu melayani saya," ujarnya.