Share

Bab 7

Apa ia harus terkejut sekarang. Bagaimana di tempat yang cukup sepi ini bisa-bisanya ia bertemu kembali dengan Pak Devan?

"Kamu kenapa?" 

Sarah mengerjab saat tiba-tiba Devan mengambil tangannya dan memeriksa luka di kedua sikunya.

"Kamu terluka cukup parah. Kenapa tidak di obati?"

"Kenapa Pak Devan ada di sini?" Bukan menjawab ia balik bertanya, "lepas, pak! Nanti ada yang lihat," 

Devan hanya diam. Dia tak melepaskan Sarah, malah ia menarik gadis itu untuk masuk kedalam mobilnya. Awalnya Sarah menolak, tapi Devan bukan orang yang mudah di tolak dia tetap memaksa gadis itu mengikutinya.

"Masuk!"

"Tapi pak..."

"Udah, kamu gak usah membantah. Lihat itu pakaian mu sudah robek," ujarnya tetap mendorong tubuh Sarah memasuki mobilnya.

Sarah hanya bisa pasrah. Padahal ia sudah ketar-ketir, melihat sikap Devan yang sok dekat ini membuat ia sedikit malu. Ia baru sadar ternyata pria itu sendiri yang menyetir mobilnya, bukan dengan supirnya yang tua kemarin.

"Eh, bapak mau bawa saya kemana?" 

"Kamu tenang saja, duduk yang patuh."

"Tapi saya mau pergi kerja..."

Devan tak mengindahkan. Mobil melaju membelah jalan yang sepi, tak ada yang bersuara, bahkan Sarah hanya bisa memilin jari-jarinya gugup.

Beberapa menit mobil berhenti di sebuah klinik. Devan melirik kearah Sarah.

"Bagaimana tawaran saya?"

"Eh?"

"Kamu jangan pura-pura bodoh. Tapi sebelum itu ayo keluar, luka mu butuh diobati." Perintahnya.

"Tidak usah, hanya luka kecil. Biar di obati nanti saja,"

"Kecil katamu? Kau ingin mati?!" 

Ada rasa hangat di hati Sarah mendapatkan perhatian kecil itu. Sudah lama sekali tak ada orang yang memperhatikan dirinya, terakhir saat ia masih kecil, saat ibunya masih sehat dan ayahnya masih mencintai dirinya.

Tak butuh waktu lama. Akhirnya luka di kedua siku Sarah berhasil di obati orang dokter di sana, tak hanya itu, ternyata jatuh tadi juga menggores lutut dan betis kirinya. Padahal tadi ia tak merasakan apa-apa, setelah di obati baru terasa nyerinya.

"Ayo, saya antarkan pulang."

"Eh, gak usah. Saya mau kerja, pak. Gak pulang." 

"Keadaan seperti ini kamu masih mau bekerja? Kamu gila!" 

Eh? Kenapa dia di marahi. Kanapa juga pria ini harus perhatian padanya. Sarah mengeleng, bunag pikiran buruknya tentang Devan, dia harus fokus pada hidupnya sendiri.

"Gak bisa. Saya harus pergi kerja. Tentang uang pengobatan saya, nanti saya ganti ya, pak."

Devan tersenyum sinis, lalu berkata "kamu tahu tidak hari ini saya sengaja ingin mencari kamu?"

"Ha?"

Maksudnya bagaimana? Kenapa sampai Laki-laki ini mencarinya?

"Untuk apa bapak cari saya?" Ia merasa cemas, "tengang malam itu... Saya minta maaf berbicara sembarang. Jadi..."

"Berhenti. Kita tidak bisa membicarakannya di sini, ayo ikut saya."

"Pak, saya gak bisa. Saya harus kerja," Sarah memohon. Meminta untuk di lepaskan, sunguh ia benar-benar merasa takut sekarang.

Devan menghembuskan nafas kesal. Waktunya habis dengan sia-sia, gadis ini ia pikir dengan mudah dapat berbicara dengannya, siapa sangka akan sedikit ini.

"Baiklah... Tapi nanti malam saya akan tunggu kamu, bagaimana?"

Sarah ingin menolak, tapi melihat tatapan tajam Davin yang berhasil memakannya ia terpaksa mengangguk setuju. Melihat persetujuannya Devan tersenyum menyeringai.

"Baiklah,"

"Bagus. Kalau begitu ayo... Saya akan antarkan kamu ke tempat kerjamu."

"Tidak usah, saya..."

"Saya tidak peduli penolakan kamu, Sarah. Turuti kata saya kalau mau baik-baik saja. Ingat satu hal, saya tidak suka penolakan!"

Bentakan itu berhasil membuat nyali Sarah menciut, ia tak lagi membantah. Terpaksa mengikuti semua perintah Devan , seharusnya tidak begini kan?

****

Di sebuah meja di restoran bintang lima. Amora tengah berkumpul dengan teman-teman arisanya, tawa bahagia sedari tadi terdengar di antara mereka mendengar cerita nyonya Amora.

"Kamu beruntung banget dapat suami, Ra. Tuan Devan benar-benar pria kaya yang bicin, kamu selalu di manjakan olehnya. Beda sama kami ini, udah suami gak sekaya kamu, banyak main di luar lagi. Kalau gak masih saya, gak kuat aku." Delisa berujar dengan senyum manisnya. 

Delisa sendiri memiliki suami pengusaha juga, meskipun tak sekaya suami Amora. Hanya saja suaminya itu suka sekali main perempuan di luar sana meskipun sudah memiliki istri, jika bukan karena uang bulanan yang besar di berikan suaminya mana mau dia bertahan.

"Ya, jangan di bandingkan dong, Del. Mas Devan itu untuk cinta mati sama aku, mana berani dia selingkuh." Ujarnya pongah. 

Ia sangat percaya Cinta Devan untuknya sangat besar. Pria itu selalu memanjakannya, apapun yang ia mau akan ia turuti. Ia yakin, sampai mati pun Devan akan selalu setia padanya.

"Sombongnya!!! Tapi, sorry nih ya... Aku cuma tanya aja, jangan tersinggung ya." Pinta salah satu temannya yang lain yang bernama Rena. 

"Tanya aja,"

"Itu... Kamu kenapa gak mau punya anak sih, Ra? Kamu gak takut di masa depan suami Lo berubah pikiran?"

Diam.

Amora tersenyum masam. Pertanyaan sensitif ini sungguh tak cocok di tanyakan sekarang, ia jadi kesal kan.

"Bukankah ini pilih? Aku tidak ingin menambah beban, anak hanya akan membuat aku repot dan merusak tubuhku. Aku gak butuh,"

Rena ingin bertanya lagi, tapi lekas di sikut oleh Melisa untuk segera diam. "Udahlah, ayo cerita lagi hal menyenangkan apa aja yang kamu lakukan di luar negeri, Ra. Mana tahu di masa depan kami punya kesempatan ke sana,"

Amora sudah tak mood, ia mengambil tasnya di atas meja. "Sorry... Udah siang, kita lanjutkan lain kali aja ya. Aku ada janji dengan salon langganan..." 

Semua diam membisu. Rena merasa bersalah sudah menyinggung Amora, kalau begitu sama saja ia menyulitkan dirinya sendiri.

"Kamu, Ren. Kok tanya begituan sih, jadi merajuk kan. Kalau gini bisa-bisa dia gak suka sama kota... Bisa-bisa dia hancurin bisnis keluarga kita kalau menyinggung dia."

"Ya mana aku tahu. Kok saya yang di salahkan. Lagi pula gitu aja ngambek, di selingkuhi suaminya baru tahu rasa. Sombog amat jadi orang!!" Rena ikut merasa kesal karena di salahkan oleh teman-temannya yang lain. "Udahlah, gak asik sama kalian. Saya pergi juga pamit lah."

Semua orang juga tahu, menyinggung Amora sama saja mencari Maslah. Hanya saja Rena tak takut, keluarganya juga bukan orang miskin yang mudah di tindak. Lagi pula ia yakin perkataannya tak salah, andai tuan Devan ada di sini dia pasti setuju dengan ucapannya.

Kau terlalu sombong, Amora. Aku ingin lihat bagaimana kalau kubuat ucapanmu menjadi kenyataan!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status