Share

Bab 2

"Ngapain lagi kamu di sini? Mau minta uang sama suami saya lagi?!" Teriakan nyaring memenuhi gendang telinga Sarah. Ia mendengus kesal menatap wanita di depannya. 

Wanita yang dinikahi ayahnya tiga tahun lalu dan meninggalkan ibunya. Setahun berselang ibunya meninggal karena tak kuat menahan kesedihan. Yang lebih gilanya setelah ibunya meninggal ayahnya datang untuk mengambil semua uang dan harta benda ibunya tanpa meninggalkan apapun pada Sarah.

Jika bukan karena sakitnya, ia tidak akan sudi datang bertemu dengan pria ini lagi. Tapi hati kecilnya masih berharap ada setitik rasa ayahnya untuk peduli padanya.

"Apa salahnya aku minta uang, toh dia ayah aku juga. Kamu gak berhak ngelarang ya, Tan."

"Halah, mau jadi benalu kamu. Gak ada uang satu sen buat kamu, kalau berani bapakmu itu kasih ku ceraikan saja dia sekalian!"

Sarah mengusap dadanya, sunguh kerang ajar sekali mulut ibu tirinya ini, bahkan tidak takut mengatakan cerai hanya untuk menakuti suaminya. Mana bapaknya gak berani menegur sedikitpun lagi, Sarah menatap miris sang ayah. Padahal bersama ibunya dulu suka kali bentak-bentak, giliran sama istri mudanya aja gak berkutik sedikitpun.

"Yah, ajarin kenapa istri ayah ini. Aku kesini cuma sekali setelah berbulan-bulan, apa gak ada kasih sayang ayah untuk aku sedikit pun? Bahkan menanyakan kabar ku aja enggak. Aku anak ayah bukan sih?" 

Pria yang di panggil ayah oleh Sarah itu menarik nafas panjang. "Udah lah, Sar. Ayah capek bertengkar dengan istri ayah cuma gara-gara kamu. Lagi pula kamu udah besar, udah bisa cari duit sendiri. Gak usah cari ayah lagi ya," 

Sungguh kejam sekali kata-katanya, Sarah benar-benar tak menyangka jawaban ayahnya seperti ini. Setidaknya pura-pura senang saja bertemu dengan dia apa salahnya?

"Ayah buang aku demi keluarga baru ayah?" Sarah menatap hampa, "aku ke sini juga karena ayah rampas semua harta ibu. Aku gak akan kesusahan kayak gini kalau ayah memberikan uang peninggalan ibu padaku."

"Uang apa?! Uang itu suamiku juga yang mencarinya dulu, kamu gak berhak mendapatkannya!" Pekik Rossi tak senang.

"Benar kata istri ayah. Uang itu ayah juga yang hasilkan, ibu kamu dan kamu cuman tahu menikmatinya saja. Jadi jangan bilang ayah merampasnya dong, itu hak ayah." Ucapnya membuat dada Sarah semakin sesak.

"Kamu dengar gak ucapan ayah kamu. Dia gak peduli sama kamu, jadi sadar diri dong. Jangan nyusahin orang lain."

Sarah menatap nanar ayahnya yang pura-pura tak mendengar ucapan istrinya. Sekarang ia harus apa? Padahal ia kesini mau minta uang pada ayah untuk membeli obat, tapi malah begini jawabannya.

"Ayah gak sayang lagi sama aku? Ayah aku sakit, aku butuh uang untuk berobat. Yah... Tolong lah, pinjam juga gak apa-apa. Kalau Sarah udah sehat nanti akan Sarah kembalikan." Ia memohon di kaki ayahnya, tapi lagi-lagi sang ayah menepis tangannya.

"Gak ada uang, Sar. Uang peninggalan ibumu sudah ayah belikan perhiasan untuk istri ayah."

Sakit sekali rasanya. Sarah tak tahu harus mengadu pada siapa lagi, tadinya harapan satu-satunya tinggal sang ayah, tapi malah mendapatkan penolakan.

"Aku benci ayah! Di saat aku tak berdaya tak ada sedikitpun belas kasih mu, dimasa tuamu kalau sampai di buang istri mudamu ini jangan pernah cari aku. Aku benci ayah! Benci!!"

Tak ingin lagi semakin sakit dengan jawaban ayahnya, Sarah berlari meninggalkan rumah mereka dengan perasaan penuh luka. 

Tidak apa-apa, ia masih punya waktu untuk bekerja lebih giat lagi agar bisa menabung uang untuk operasinya. Sarah yakin Tuhan tidak akan sia-sia, tuhan pasti akan memberinya umur yang panjang agar bisa membalas orang-orang yang telah menyakitinya.

****

"Kamu kenapa? Kok lemas begitu," 

Sarah mengangguk lemah, iya merasa lemas sedari pagi. "Gak tahu, Mbak. Perutku rasanya gak nyaman."

Pantas saja belakangan ini ia suka perut bagian bawah kirinya sering merasa sakit dan nyeri. Ternyata ia terkena usus buntu yang mengharuskan untuk di operasi, membayangkan itu membuat Sarah semakin lemas saja.

"Mungkin itu karena sakit mu, makanya cepat berobat. Nanti tambah parah," ujar Mbak Yuni. 

Berobat ya?

Sebenarnya ingin sekali ia melakukannya itu jika punya uang, sayang ia tidak punya banyak uang sekarang. Bayar dokter itu tidak mudah, jadi ia hanya bisa menunda dan menunda sampai tuhan menunjukkan jalan untuknya nanti.

"Aku gak apa-apa kok, Mbak. Setelah istirahat sebentar pasti sembuh,"

"Mmm... Terserah kamu aja. Oh ya, tadi pak bos panggil kamu ke dalam." Sarah mengangguk. Ia segera menghampiri pak bosnya seperti yang di katakan oleh Yuni tadi.

"Maaf, Pak. Anda memanggil saya?"

"Aa...iya ya. Ayo duduk."

Sarah merasa perasaannya tak enak. "Ada apa ya pak? Apa ada pekerjaan tambahan seperti kemarin?" tebaknya.

"Oh, bukan. Kamu duduk dulu ya,"

Sarah menunggu dengan sabar. Ia terkejut melihat sang bos menyodorkan sebuah amplop yang bisa ia tebak isinya pasti uang yang mungkin tidak seberapa lembar.

"Pak?"

"Saya minta maaf, Sar. Tapi dengan terpaksa saya terpaksa memecat kamu,"

Deg.

'di pecat tapi mengapa? Dia merasa tak berbuat salah.'

"Bapak bercanda kan? Saya gak berbuat salah, kenapa di pecat pak?" 

"Saya lagi pengurangan karyawan. Toko belakangan ini sepi, kamu pasti mengerti." Arham menyerahkan amplop tipis itu, "ini gaji kamu bulan ini, udah saya tambahin sedikit. Sekali lagi saya mohon maaf. Setelah ini kamu boleh langsung pulang, ya."

Tidak!!

Sarah merasa ini tidak benar. Padahal ia baru berharap pada pekerjaan ini untuk bisa menabung uang pengobatannya, tapi lagi-lagi harapannya pupus. Pekerjaan utamanya telah hilang, ia tidak tahu harus melakukan apa lagi.

"Pak, apa tidak bisa di pikirkan lagi? Saya sangat butuh pekerjaan ini, tolong jangan pecat saya, pak."

"Sekali lagi maaf, Sar. Saya gak bisa. Semua karyawan lain adalah karyawan lama, saya malah lebih tidak bisa memecat mereka." Ucapnya mencoba memberi pengertian, "lain waktu kalau saya kembali butuh karyawan, saya akan hubungi kamu lagi."

'ya tubuh. Mengapa begitu sulit!'

Sarah keluar ruangan bosnya dengan wajah lesu. Tamat sudah hidupnya!

Sekarang jangankan memikirkan untuk menabung uang, untuk makan saja pasti sulit di masa depan. Mencari pekerjaan tidak mudah, apalagi dirinya yang sedang sakit seperti sekarang ini, orang-orang pasti berpikir untuk menerimanya.

****

Dengan langkah lesu Ia pergi meninggalkan toko. Kawan-kawannya bertanya, tapi Saras memilih diam saja dan pergi tanpa bersuara. 

Di tolak oleh ayahnya, dan sekarang di pecat dari pekerjaan. Ia tidak tahu penderitaan apa lagi setelah ini akan menimpanya. Ingin mencari pekerjaan di mana lagi dirinya, bekerja di tempat baru sama saja ia memulai dari awal lagi.

"Apa aku minta kerja di klub saja ya. Mungkin aku bisa menjadi pekerjaan tetap di sana," mata Sarah berbinar memikirkannya. 

Ya, hanya satu ini harapannya. Ia berharap ada nasib baik untuk kali ini, jika tidak ia tak tahu bahwa lagi cari uang untuk bisa bertahan hidup di kota besar ini.

Saat ia sibuk berpikir ia tak menyadari ada mobil yang hampir menabraknya. Ia terus melangkahkan sambil melamun, sampai tubuhnya terpental barulah ia menyadari kesalahannya.

"Awas!!!"

Brakkk!!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status