"Ngapain lagi kamu di sini? Mau minta uang sama suami saya lagi?!" Teriakan nyaring memenuhi gendang telinga Sarah. Ia mendengus kesal menatap wanita di depannya.
Wanita yang dinikahi ayahnya tiga tahun lalu dan meninggalkan ibunya. Setahun berselang ibunya meninggal karena tak kuat menahan kesedihan. Yang lebih gilanya setelah ibunya meninggal ayahnya datang untuk mengambil semua uang dan harta benda ibunya tanpa meninggalkan apapun pada Sarah. Jika bukan karena sakitnya, ia tidak akan sudi datang bertemu dengan pria ini lagi. Tapi hati kecilnya masih berharap ada setitik rasa ayahnya untuk peduli padanya. "Apa salahnya aku minta uang, toh dia ayah aku juga. Kamu gak berhak ngelarang ya, Tan." "Halah, mau jadi benalu kamu. Gak ada uang satu sen buat kamu, kalau berani bapakmu itu kasih ku ceraikan saja dia sekalian!" Sarah mengusap dadanya, sunguh kerang ajar sekali mulut ibu tirinya ini, bahkan tidak takut mengatakan cerai hanya untuk menakuti suaminya. Mana bapaknya gak berani menegur sedikitpun lagi, Sarah menatap miris sang ayah. Padahal bersama ibunya dulu suka kali bentak-bentak, giliran sama istri mudanya aja gak berkutik sedikitpun. "Yah, ajarin kenapa istri ayah ini. Aku kesini cuma sekali setelah berbulan-bulan, apa gak ada kasih sayang ayah untuk aku sedikit pun? Bahkan menanyakan kabar ku aja enggak. Aku anak ayah bukan sih?" Pria yang di panggil ayah oleh Sarah itu menarik nafas panjang. "Udah lah, Sar. Ayah capek bertengkar dengan istri ayah cuma gara-gara kamu. Lagi pula kamu udah besar, udah bisa cari duit sendiri. Gak usah cari ayah lagi ya," Sungguh kejam sekali kata-katanya, Sarah benar-benar tak menyangka jawaban ayahnya seperti ini. Setidaknya pura-pura senang saja bertemu dengan dia apa salahnya? "Ayah buang aku demi keluarga baru ayah?" Sarah menatap hampa, "aku ke sini juga karena ayah rampas semua harta ibu. Aku gak akan kesusahan kayak gini kalau ayah memberikan uang peninggalan ibu padaku." "Uang apa?! Uang itu suamiku juga yang mencarinya dulu, kamu gak berhak mendapatkannya!" Pekik Rossi tak senang. "Benar kata istri ayah. Uang itu ayah juga yang hasilkan, ibu kamu dan kamu cuman tahu menikmatinya saja. Jadi jangan bilang ayah merampasnya dong, itu hak ayah." Ucapnya membuat dada Sarah semakin sesak. "Kamu dengar gak ucapan ayah kamu. Dia gak peduli sama kamu, jadi sadar diri dong. Jangan nyusahin orang lain." Sarah menatap nanar ayahnya yang pura-pura tak mendengar ucapan istrinya. Sekarang ia harus apa? Padahal ia kesini mau minta uang pada ayah untuk membeli obat, tapi malah begini jawabannya. "Ayah gak sayang lagi sama aku? Ayah aku sakit, aku butuh uang untuk berobat. Yah... Tolong lah, pinjam juga gak apa-apa. Kalau Sarah udah sehat nanti akan Sarah kembalikan." Ia memohon di kaki ayahnya, tapi lagi-lagi sang ayah menepis tangannya. "Gak ada uang, Sar. Uang peninggalan ibumu sudah ayah belikan perhiasan untuk istri ayah." Sakit sekali rasanya. Sarah tak tahu harus mengadu pada siapa lagi, tadinya harapan satu-satunya tinggal sang ayah, tapi malah mendapatkan penolakan. "Aku benci ayah! Di saat aku tak berdaya tak ada sedikitpun belas kasih mu, dimasa tuamu kalau sampai di buang istri mudamu ini jangan pernah cari aku. Aku benci ayah! Benci!!" Tak ingin lagi semakin sakit dengan jawaban ayahnya, Sarah berlari meninggalkan rumah mereka dengan perasaan penuh luka. Tidak apa-apa, ia masih punya waktu untuk bekerja lebih giat lagi agar bisa menabung uang untuk operasinya. Sarah yakin Tuhan tidak akan sia-sia, tuhan pasti akan memberinya umur yang panjang agar bisa membalas orang-orang yang telah menyakitinya. **** "Kamu kenapa? Kok lemas begitu," Sarah mengangguk lemah, iya merasa lemas sedari pagi. "Gak tahu, Mbak. Perutku rasanya gak nyaman." Pantas saja belakangan ini ia suka perut bagian bawah kirinya sering merasa sakit dan nyeri. Ternyata ia terkena usus buntu yang mengharuskan untuk di operasi, membayangkan itu membuat Sarah semakin lemas saja. "Mungkin itu karena sakit mu, makanya cepat berobat. Nanti tambah parah," ujar Mbak Yuni. Berobat ya? Sebenarnya ingin sekali ia melakukannya itu jika punya uang, sayang ia tidak punya banyak uang sekarang. Bayar dokter itu tidak mudah, jadi ia hanya bisa menunda dan menunda sampai tuhan menunjukkan jalan untuknya nanti. "Aku gak apa-apa kok, Mbak. Setelah istirahat sebentar pasti sembuh," "Mmm... Terserah kamu aja. Oh ya, tadi pak bos panggil kamu ke dalam." Sarah mengangguk. Ia segera menghampiri pak bosnya seperti yang di katakan oleh Yuni tadi. "Maaf, Pak. Anda memanggil saya?" "Aa...iya ya. Ayo duduk." Sarah merasa perasaannya tak enak. "Ada apa ya pak? Apa ada pekerjaan tambahan seperti kemarin?" tebaknya. "Oh, bukan. Kamu duduk dulu ya," Sarah menunggu dengan sabar. Ia terkejut melihat sang bos menyodorkan sebuah amplop yang bisa ia tebak isinya pasti uang yang mungkin tidak seberapa lembar. "Pak?" "Saya minta maaf, Sar. Tapi dengan terpaksa saya terpaksa memecat kamu," Deg. 'di pecat tapi mengapa? Dia merasa tak berbuat salah.' "Bapak bercanda kan? Saya gak berbuat salah, kenapa di pecat pak?" "Saya lagi pengurangan karyawan. Toko belakangan ini sepi, kamu pasti mengerti." Arham menyerahkan amplop tipis itu, "ini gaji kamu bulan ini, udah saya tambahin sedikit. Sekali lagi saya mohon maaf. Setelah ini kamu boleh langsung pulang, ya." Tidak!! Sarah merasa ini tidak benar. Padahal ia baru berharap pada pekerjaan ini untuk bisa menabung uang pengobatannya, tapi lagi-lagi harapannya pupus. Pekerjaan utamanya telah hilang, ia tidak tahu harus melakukan apa lagi. "Pak, apa tidak bisa di pikirkan lagi? Saya sangat butuh pekerjaan ini, tolong jangan pecat saya, pak." "Sekali lagi maaf, Sar. Saya gak bisa. Semua karyawan lain adalah karyawan lama, saya malah lebih tidak bisa memecat mereka." Ucapnya mencoba memberi pengertian, "lain waktu kalau saya kembali butuh karyawan, saya akan hubungi kamu lagi." 'ya tubuh. Mengapa begitu sulit!' Sarah keluar ruangan bosnya dengan wajah lesu. Tamat sudah hidupnya! Sekarang jangankan memikirkan untuk menabung uang, untuk makan saja pasti sulit di masa depan. Mencari pekerjaan tidak mudah, apalagi dirinya yang sedang sakit seperti sekarang ini, orang-orang pasti berpikir untuk menerimanya. **** Dengan langkah lesu Ia pergi meninggalkan toko. Kawan-kawannya bertanya, tapi Saras memilih diam saja dan pergi tanpa bersuara. Di tolak oleh ayahnya, dan sekarang di pecat dari pekerjaan. Ia tidak tahu penderitaan apa lagi setelah ini akan menimpanya. Ingin mencari pekerjaan di mana lagi dirinya, bekerja di tempat baru sama saja ia memulai dari awal lagi. "Apa aku minta kerja di klub saja ya. Mungkin aku bisa menjadi pekerjaan tetap di sana," mata Sarah berbinar memikirkannya. Ya, hanya satu ini harapannya. Ia berharap ada nasib baik untuk kali ini, jika tidak ia tak tahu bahwa lagi cari uang untuk bisa bertahan hidup di kota besar ini. Saat ia sibuk berpikir ia tak menyadari ada mobil yang hampir menabraknya. Ia terus melangkahkan sambil melamun, sampai tubuhnya terpental barulah ia menyadari kesalahannya. "Awas!!!" Brakkk!!!"Awas!!!"Brakkk!!!Terlambat. Sarah sudah terjatuh terpental ke tengah-tengah jalan. Untung mobil itu cepat berhenti jika tidak habislah dirinya. Rasa sakit di tubuhnya membuat Sarah sulit bangun, tapi lebih dari itu ia kesal mendengar ucap pengendara itu yang malah menyalahkannya."Aduh, Mbak. Kalau jalan hati-hati dong, masa gak lihat mobil mau lewat." "Aduh, pak. Saya yang terluka kok di marahi sih. Saharusnya situ yang hati-hati bawa mobil,""Kok salah saya, Mbak. Kan situ yang nyebrang gak lihat-lihat, anda sengaja ya mau cari keuntungan!" Tudingan itu membuat muka Sarah memerah marah. "Lambe mu, pak! Kalau ngomong jangan sembarang, saya yang terluka udah tangung jawab anda untuk mengobati saya. Ini salah anda ya!!" Balasnya berteriak marah. Terang saja pria itu bergidik ngeri melihat Sarah mulai mengamuk tak ingin di salahkan.Davin yang menunggu di dalam mobil segera turun. Ia melihat sopirnya tengah bertengkar dengan seorang gadis di pinggir jalan, ia mendengus kesal. Seger
"Iya iya. Udah di bantu gini aku juga udah senang kali. Apalagi kalau di terima," ujarnya tersenyum manis membuat Dion berdecak malas.Sarah di minta menunggu dulu, sedangkan Dion naik ke lantai paling atas tempat hiburan itu untuk menemui pemilik rumah hiburan ini.Tok...tok...tok.Tiga kali ketukan baru terdengar suara seorang pria tua untuk menyuruhnya masuk. Dion melangkah masuk, seperti yang dia duga bos besar sedang bersama wanita-wanita nya di sing bolong seperti ini."Maaf, tuan mengangu.""Dion... Tidak masalah, ada yang ingin kamu katakan?"Dian mengangguk. Ia mengatakan apa yang Sarah Samapi di bawah tadi. Lama pria paruh baya itu terlihat berpikir, mungkin sedang menimbang-nimbang posisi apa yang pantas ia berikan pada gadis muda itu.****"Bagiamana?" Sarah tak sabar. Bahkan Dion belum duduk, ia sudah bertanya penuh harap. "Bos nerima aku nggak? Gimana kak?""Sabar, Sar. Kamu di terima kok,""Alhamdulillah!""Tapi..."Eh, ada tapinya?Sarah urung merasa bahagia saat Dion
Devan tidak tahu mengapa tapi ia merasa dalam dua kali pertemuan gadis di hadapannya telah berhasil menarik perhatiannya. Saat koleganya menggoda gadis ini ada rasa tak rela yang ia rasakan, bukankah ini salah?Sarah?Nama ini membuat ia tersenyum sendiri. Ia masih ingat bagaimana dengan polosnya gadis itu menerima uang yang dia berikan dengan kurang ajarnya di pinggir jalan, malah dia tidak peduli dengan luka di tubuhnya dan menatap berbinar pada lembaran merah yang tidak seberapa itu.Dan hari ini ia kembali bertemu dengannya. Masih dengan polosnya gadis itu menatapnya berbinar, tanpa sadar ia mengucapkan pikiran gila itu."Kalau mau uangku apa kau siap menjadi ja*angku?"Sungguh ia tidak tahu mengapa lagi-lagi ia tidak memikirkan perasaan gadis itu, ia berucap dengan spontan. Ia pikir ia akan mendapatkan tamparan, siapa sangka dengan gilanya gadis itu malah membalas ucapannya."Om bisa bayar berapa agar aku bisa jadi simpanan mu?" Telak gadis itu dengan senyum menyeringai membuat i
Sarah menatap layar ponselnya dengan mata sayu khas bangun tidur. Tak langsung mandi atau pun sarapan, Ia lebih tertarik membaca berita menarik di beranda ponselnya.'Keluarga bahagia. Nyonya Amora bersama sang suami tercinta menghabiskan waktu berlibur keliling Eropa. Pagi ini di kabarkan baru kembali setelah satu Minggu menghabiskan waktu untuk bersenang-senang.'Sarah merasa akhir-akhir ini ia mulai tertarik mencari tahu semua tentang Pak Devan, dan berita pagi ini membuat dadanya berdesir melihat bertapa bahagia dua manusia itu berlibur bersama.Tak ada masalah sebenarnya. Hanya saja ada rasa iri yang menyerukan dalam hatinya melihat Davin tengah berpelukan mesra dengan istrinya sembari berpose romantis di bawah pepohonan yang berguguran."Huh, bahagia memang diperuntukkan untuk orang-orang berduit." Gumamnya.Semakin jarinya bergulir di layar ponsel semakin ia tertarik melihat Devan sang pria kaya yang memiliki kekayaan di mana-mana. Sarah jadi berpikir, bagaimana kalau dia di p
Apa ia harus terkejut sekarang. Bagaimana di tempat yang cukup sepi ini bisa-bisanya ia bertemu kembali dengan Pak Devan?"Kamu kenapa?" Sarah mengerjab saat tiba-tiba Devan mengambil tangannya dan memeriksa luka di kedua sikunya."Kamu terluka cukup parah. Kenapa tidak di obati?""Kenapa Pak Devan ada di sini?" Bukan menjawab ia balik bertanya, "lepas, pak! Nanti ada yang lihat," Devan hanya diam. Dia tak melepaskan Sarah, malah ia menarik gadis itu untuk masuk kedalam mobilnya. Awalnya Sarah menolak, tapi Devan bukan orang yang mudah di tolak dia tetap memaksa gadis itu mengikutinya."Masuk!""Tapi pak...""Udah, kamu gak usah membantah. Lihat itu pakaian mu sudah robek," ujarnya tetap mendorong tubuh Sarah memasuki mobilnya.Sarah hanya bisa pasrah. Padahal ia sudah ketar-ketir, melihat sikap Devan yang sok dekat ini membuat ia sedikit malu. Ia baru sadar ternyata pria itu sendiri yang menyetir mobilnya, bukan dengan supirnya yang tua kemarin."Eh, bapak mau bawa saya kemana?" "
Sarah merasa sangat senang saat pertama kali ia dapatkan gaji lagi, mana gajinya besar lagi. Lima juta, itu setara dengan gajinya dua bulan setengah di toko pakaian.Dengan uang ini ia bisa besok ke rumah sakit untuk memeriksa kesehatannya, syukur-syukur jika ada kabar baik. Tapi kalau tidak ia akan menabung uang ini untuk beberapa bulan kedelapan, ia berharap sakitnya masih bisa menunggu."Sarah, kamu mau pulang?" Dion datang saat Sarah sudah selesai menyapu lantai dan menyusun botol-botol yang berserakan di atas meja barr.Sarah mengambil tasnya setelah pekerjaan selesai, mereka keluar dari sana dan begitu juga dengan Dion. Waktu sudah menunjukkan waktu 3 pagi, cukup telat pulang dari biasanya karena Bar hari ini cukup ramain"Oh, iya kak. Kenapa?""Tidak. Aku dengar dari Yara kamu terluka, apa benar?"Sarah tersenyum mendengar perhatian kecil itu, "iya. Tadi kecelakaan lagi, jatuh dari motor. Tapi udah di obati kok, nih..." Ujarnya memberi tahu. Ia menunjukkan sikunya yang sudah d
Malam sudah berlalu, mungkin sebentar lagi suara azan subuh akan berkumandang. Sarah terduduk diam di pinggir ranjang tidur dengan tatapan kosong. Akhirnya ia melakukan juga hal yang di benci oleh penciptanya. Dosa yang mungkin di anggap orang-orang tak bisa di maafkan, tapi ia apa punya pilihan lain?Pria itu benar-benar melakukannya dengan sangat buruk. Di bawah keadaan mabuk ia merenggut kehormatannya lalu meninggalkannya begitu saja setelah selesai. Sarah benar-benar merasa dirinya seperti wanita bayaran. Benar-benar bajingan!Devan bahkan telah meninggalkannya setelah merengkuh madu yang selama ini ia jaga. Apakah pria itu puas?Sarah menarik nafas lelah. Bahkan seikat uang merah yang telah di lemparkan oleh Davin tak menarik lagi di matanya. Tak ada kebahagiaan, yang ada rasa sakit dari sisa percintaan yang tidak meninggalkan kesan baik sedikitpun."Benar-benar murahan kamu, Sar." Ia terkekeh kecil mencemooh dirinya sendiri. Ia mantap kosong noda darah yang masih membekas di al
Rasa sakit di area bawahnya membuat Sarah tak bisa pulang dengan motor. Ia terpaksa memesan taksi menuju kosannya, ia bahkan merasa malu sepanjang jalan saat supir taksi itu menatap curiga dirinya yang pulang dalam keadaan kacau begini.Bagaimana mana tidak, ia tak sempat sekedar mandi di Vila milik Devan. Ia memilih pergi setelah menggunakan pakaian kembali dan mencari ayahnya di pagi-pagi buta. Lagi-lagi ia semakin kacau setelah menangis di sepanjang jalan karena pertengkaran mereka.Meskipun berucap benci berkali-kali, dalam hatinya ia masih berharap kasih sayang ayahnya. Sarah sangat lelah, ia ingin menyerah saja.Taksi berhenti di gang menuju kosannya. Ia harus jalan kaki lagi untuk masuk ke dalam sana, namanya juga kos-kosan murah tentu saja tempatnya terpencil."Terimakasih, pak."Setelah itu ia segera turun. Tepat saat ia hampir sampai di depan kosannya ia terkejut melihat banyak orang yang berkumpul di depan tepat tinggalnya. Ada apa? Kenapa juga ada ibu kosnya yang kumpul d