Share

Misteri dan Rahasia

Keesokan harinya, Riana terbangun dengan perasaan campur aduk. Sebagian dari dirinya masih merasa tertekan setelah percakapan tegang dengan Arga. Dia menuju meja makan, di mana Arga sudah duduk dengan wajah datar, tenggelam dalam koran yang terbuka di depannya. Suasana di pagi yang seharusnya cerah ini terasa kelam dan penuh ketegangan.

“Selamat pagi,” sapa Riana, berusaha menciptakan suasana yang lebih baik, meski suara hatinya bergetar.

Arga mengangkat alisnya, tidak merespons, fokus pada koran yang tidak memberikan tanda-tanda minat. Riana merasa terabaikan, tetapi dia bertekad untuk mencoba lagi.

“Apa kau tidak ingin membicarakan rencana ke depan kita?” tanya Riana, menunggu reaksi yang lebih positif.

 

“Rencana? Kau pikir kita punya rencana?” Arga menjawab tanpa menatapnya. “Kita menjalani ini hanya untuk memenuhi wasiat.”

 

“Ini rumah kita,” balas Riana, merasa jantungnya berdegup kencang. Kata-katanya terpaksa mengalir, berusaha menantang sikap acuh tak acuh suaminya.

 

“Itu hanya kata-kata,” jawab Arga, menolak memberi ruang untuk pembicaraan lebih lanjut.

 

Riana terdiam, hatinya terasa nyeri. Dia ingin menggali lebih dalam, tetapi Arga seakan mengunci dirinya dalam dunia yang dingin dan tidak peduli. “Tapi kita harus berusaha. Kita sudah menikah, Arga,” katanya, dengan nada yang penuh harapan.

 

“Nikah bukan berarti kita harus berbagi hidup,” Arga menegaskan, suaranya tegas.

 

Riana menunduk, berusaha menahan air matanya. “Tapi ini bukan hidup yang kuinginkan! Aku tidak bisa terus-menerus berusaha untuk menjangkau orang yang tidak mau menjangkau balik!”

 

Arga menatapnya tajam. “Jika kau merasa terjebak, itu masalahmu. Aku tidak bisa membantumu.”

 

Riana merasa terjepit, kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hatinya. “Kau tidak mau mencoba? Setidaknya memberi kita kesempatan?”

 

“Tidak ada yang perlu dicoba. Ini semua hanya ilusi,” jawab Arga dengan dingin, seolah perasaannya tak memiliki tempat di hatinya.

 

Ketegangan di antara mereka semakin memanas. Malamnya, saat Arga pulang larut malam, Riana tidak bisa menahan diri untuk bertanya. Dia sudah menunggu, menyusun kata-kata yang ingin dia ucapkan.

 

“Arga, kau ke mana saja?” ucap Riana, berusaha memperlihatkan perhatian, meski rasa cemas menggerogoti dirinya.

 

“Apakah ada yang kau sembunyikan dari aku?” tanyanya, berani menantang meski hatinya berdebar.

 

“Apa yang kau maksud?” Arga membalas defensif, namun nada suaranya menunjukkan ketidaknyamanan.

 

“Banyak hal yang kau lakukan tanpa memberitahu aku. Aku hanya ingin tahu. Kita sudah menikah, setidaknya kau bisa jujur padaku!” Riana mengungkapkan isi hatinya, merasa putus asa.

 

“Riana, jangan mulai dengan pertanyaan yang tidak perlu. Kita sudah sepakat untuk menjalani ini tanpa menuntut,” jawab Arga, suaranya kaku dan menolak untuk melibatkan diri lebih dalam.

 

“Ini bukan hidup yang kuinginkan! Aku tidak bisa terus-menerus berusaha untuk menjangkau orang yang tidak mau menjangkau balik!” Riana merasa suaranya semakin tinggi, penuh emosi yang terpendam.

 

Arga menatapnya tajam. “Sekali lagi ku katakan, jika kau merasa terjebak, itu masalahmu. Aku tidak bisa membantumu.”

 

Keesokan harinya, Riana merasa hatinya semakin berat. Dia mencari tahu lebih banyak tentang Arga. Dia bertanya kepada teman-teman mereka, menggali informasi tentang bisnis gelap yang mungkin melibatkan Arga. Riana merasa bertekad untuk menemukan kebenaran, terlepas dari risiko yang mungkin dihadapi.

 

Malam itu, Riana menunggu Arga pulang. Dia merasakan ketegangan di udara, dan saat Arga melangkah masuk, suasana di antara mereka kembali mencekam.

 

“Kau harus memberi tahu aku, Arga. Apa yang sebenarnya kau lakukan?” tanyanya dengan berani, meski rasa takut mulai menyusup.

 

Arga tampak terkejut. “Apa kau tidak puas dengan hidup kita yang sekarang?” jawabnya, mencoba mengalihkan perhatian.

 

“Karena aku peduli padamu! Tapi aku tidak bisa tinggal di sini, merasa terjebak dalam kebohongan!” Riana menjawab tegas, berusaha menegaskan keberaniannya.

 

“Dengar, Riana. Aku tidak memiliki kewajiban untuk menjelaskan apapun padamu. Kita tidak lebih dari dua orang asing yang terikat oleh wasiat,” Arga menjawab sinis, seakan menutup semua peluang untuk saling memahami.

 

Riana merasa hatinya semakin hancur. “Apa kau tidak mau berusaha?”

 

“Riana, jangan berharap berlebihan. Kita bukan orang yang saling mengenal. Berhenti mengganguku,” Arga menjawab dengan suara penuh kebencian.

 

Setelah kejadian itu, Riana tidak bisa tidur. Di tengah kesunyian, dia kembali mendapati pesan misterius yang muncul di ponselnya. “Jangan percaya pada Arga. Dia bukan orang yang kau kira,” bunyi pesan itu, memperingatkan Riana.

 

Ketegangan semakin memuncak, dan Riana menyadari bahwa pernikahan ini lebih rumit dari yang pernah dia bayangkan. Dia tahu, dia harus mencari tahu lebih banyak sebelum semuanya terlambat. Riana merasa terperangkap dalam jaring kebohongan yang semakin mengikatnya.

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status