Pagi itu, Riana tak tahan lagi dengan rasa penasaran yang menderanya sejak menemukan dokumen-dokumen mencurigakan di ruang kerja Arga. Beberapa catatan dan foto dari map hitam itu masih terbayang dalam benaknya. Semua informasi tentang bisnis-bisnis kecil yang belum pernah dia dengar serta foto-foto Arga bersama orang-orang asing, termasuk Tio, seakan memberi petunjuk tentang sesuatu yang besar, lebih besar daripada yang pernah dia bayangkan. Riana akhirnya nekat menghubungi Tio dan memintanya bertemu di kafe. Saat mereka duduk berhadapan di pojok kafe yang sepi, Tio membuka pembicaraan lebih dulu. “Jadi, kau benar-benar ingin tahu soal Arga?”“Aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana, Tio. Tapi aku menemukan beberapa dokumen aneh di ruang kerjanya,” Riana memulai dengan suara rendah, matanya menatap Tio penuh harap. “Ada foto kalian… dan beberapa bisnis yang kelihatannya bukan sesuatu yang biasa.”Tio tampak tegang, namun ia mencoba untuk tetap tenang. “Kau tak seharusnya melihat
Riana duduk sendirian di kamarnya, masih terguncang setelah pertemuannya dengan Arga dan Tio. Kata-kata Arga terus terngiang di kepalanya: *“Kau sudah terlibat terlalu jauh. Bahkan jika kau ingin pergi, aku tak akan membiarkanmu.”* Bayangan wajah dingin Arga membuat hatinya tergetar. Di balik pernikahan yang tampak sederhana, ada permainan berbahaya yang membuatnya merasa terjebak.Malam semakin larut, tetapi Riana tak bisa memejamkan mata. Ia harus mencari jawaban—ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dengan tekad yang bulat, ia membuka laptopnya dan mulai mencari berita lama tentang perusahaan Arga dan ayahnya, berharap menemukan petunjuk yang tersembunyi.Saat dia menggulir layar, ponselnya tiba-tiba bergetar. Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal: "Berhentilah mencari, atau kau akan menyesal."Jantung Riana berdegup kencang. Siapa yang mengirim pesan itu? Apakah orang ini tahu bahwa dia sedang mencoba mencari kebenaran? Riana menelan ludah, tetapi tidak membalas pesan ter
Malam itu, Riana mendengar deru mesin mobil Arga di depan rumah. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun seperti biasa, Arga pulang tanpa kabar. Ia masuk rumah dengan langkah berat, langsung menuju dapur, mengisi gelas dengan air tanpa melihat Riana yang duduk di sofa."Arga," panggil Riana, suaranya ragu. "Boleh kita bicara sebentar?"Arga menenggak air dalam gelasnya sebelum menoleh sekilas ke arah Riana. "Sekarang?" tanyanya singkat.Riana mengangguk. “Aku rasa kita perlu bicara. Ada banyak yang… tak pernah kita bahas.”Arga menghela napas dan berjalan mendekat, lalu duduk di kursi yang berseberangan dengannya. "Baik. Bicara saja.”Riana menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari kehangatan dalam sorot matanya yang dingin. “Kau selalu menghindariku, bersikap seolah-olah aku tak ada di sini. Apa kau benar-benar ingin pernikahan ini bertahan seperti ini?”Arga tersenyum tipis, tapi tanpa kehangatan. “Riana, kita menikah karena permintaan orang lain. Kita bukan pasangan yang men
Riana menatap Tio, merasakan ketegangan di udara. “Kau tahu sesuatu, Tio. Apa lagi yang harus aku ketahui tentang Arga?”Tio menghela napas panjang, matanya memancarkan kesedihan. “Cinta tidak hanya khawatir tentangmu, Riana. Dia tahu bahwa Arga terjebak dalam sesuatu yang lebih besar daripada sekadar bisnis. Ada pihak berbahaya yang tidak akan ragu untuk mengambil langkah ekstrem jika mereka merasa terancam.”“Pihak berbahaya?” Riana bergetar mendengar kata-kata itu. “Apa yang mereka inginkan dari Arga?”“Uang, kekuasaan… dan mungkin juga balas dendam. Arga bukan sekadar pengusaha biasa. Dia terlibat dalam permainan yang melibatkan banyak orang. Cinta percaya bahwa satu-satunya cara untuk melindungimu adalah dengan membuatmu berada di sisinya.”Riana merasa bingung. “Jadi, pernikahanku dengan Arga adalah cara untuk melindungiku dari hal-hal ini?”“Ya, tapi itu juga bisa menjadi penjara bagimu,” Tio menjawab dengan serius. “Kau harus berhati-hati. Arga bisa menjadi pelindungmu, tetapi
Riana terjaga di tengah malam, terbangun oleh suara ketukan halus di pintu. Hatinya berdegup kencang. Dengan hati-hati, ia mendekati pintu dan membukanya sedikit, berharap itu bukan Arga yang datang dengan wajah dingin seperti biasa. Namun, saat melihat Tio berdiri di sana, dia merasa lega meskipun wajah Tio tampak cemas.“Tio, ada apa?” Riana berbisik, berusaha tidak membangunkan Arga yang tidur di sebelahnya.“Aku butuh bicara denganmu,” jawab Tio dengan suara rendah. “Ini penting.”Riana melirik ke arah Arga, memastikan dia tidak terbangun, sebelum mengizinkan Tio masuk ke dalam kamar. Tio menutup pintu pelan-pelan, dan mereka berdua berdiri di sudut kamar yang gelap.“Ada perkembangan,” kata Tio, wajahnya serius. “Aku mendengar desas-desus bahwa pihak yang terlibat dengan Arga semakin agresif. Mereka tidak senang dengan keputusan yang diambilnya.”Riana merasa jantungnya berdegup kencang. “Apa maksudmu?”“Mereka merasa terancam karena Arga berusaha menjauh dari mereka,” Tio menjel
Riana berdiri kaku di samping Arga, pria yang kini resmi menjadi suaminya. Di antara suara tawa dan ucapan selamat dari para tamu, Riana hanya bisa merasa terjebak dalam suasana yang tidak diinginkannya. Momen ini, seharusnya menjadi hari bahagia, justru terasa menyesakkan. Ia mengingat wajah sahabatnya, Cinta, yang tidak berdaya di ranjang rumah sakit, meminta Riana untuk menikahi Arga yang merupankan tunangan Cinta sebelum semuanya terlambat. “Dia akan menjaga kamu, Riana. Aku percaya padanya,” kata Cinta dengan suara lemah. Permintaan terakhir itu membekas di hatinya, mendorongnya melangkah ke altar meski hatinya tidak sepenuhnya bersedia. Sementara itu, Arga berdiri di sampingnya dengan tatapan dingin yang menghindari kontak mata dengannya. Dia menatap tamu-tamu yang bersukacita, sementara Riana merasa seperti boneka dalam pertunjukan yang tidak pernah dia inginkan. Di sela-sela keramaian pesta, Arga mendekat padanya untuk pertama kalinya sejak upacara dimulai. “Kamu terlihat t
Keesokan harinya, Riana terbangun dengan perasaan campur aduk. Sebagian dari dirinya masih merasa tertekan setelah percakapan tegang dengan Arga. Dia menuju meja makan, di mana Arga sudah duduk dengan wajah datar, tenggelam dalam koran yang terbuka di depannya. Suasana di pagi yang seharusnya cerah ini terasa kelam dan penuh ketegangan.“Selamat pagi,” sapa Riana, berusaha menciptakan suasana yang lebih baik, meski suara hatinya bergetar.Arga mengangkat alisnya, tidak merespons, fokus pada koran yang tidak memberikan tanda-tanda minat. Riana merasa terabaikan, tetapi dia bertekad untuk mencoba lagi.“Apa kau tidak ingin membicarakan rencana ke depan kita?” tanya Riana, menunggu reaksi yang lebih positif.“Rencana? Kau pikir kita punya rencana?” Arga menjawab tanpa menatapnya. “Kita menjalani ini hanya untuk memenuhi wasiat.”“Ini rumah kita,” balas Riana, merasa jantungnya berdegup kencang. Kata-katanya terpaksa mengalir, berusaha menantang sikap acuh tak acuh suaminya.“Itu hanya ka