Riana terjaga di tengah malam, terbangun oleh suara ketukan halus di pintu. Hatinya berdegup kencang. Dengan hati-hati, ia mendekati pintu dan membukanya sedikit, berharap itu bukan Arga yang datang dengan wajah dingin seperti biasa. Namun, saat melihat Tio berdiri di sana, dia merasa lega meskipun wajah Tio tampak cemas.“Tio, ada apa?” Riana berbisik, berusaha tidak membangunkan Arga yang tidur di sebelahnya.“Aku butuh bicara denganmu,” jawab Tio dengan suara rendah. “Ini penting.”Riana melirik ke arah Arga, memastikan dia tidak terbangun, sebelum mengizinkan Tio masuk ke dalam kamar. Tio menutup pintu pelan-pelan, dan mereka berdua berdiri di sudut kamar yang gelap.“Ada perkembangan,” kata Tio, wajahnya serius. “Aku mendengar desas-desus bahwa pihak yang terlibat dengan Arga semakin agresif. Mereka tidak senang dengan keputusan yang diambilnya.”Riana merasa jantungnya berdegup kencang. “Apa maksudmu?”“Mereka merasa terancam karena Arga berusaha menjauh dari mereka,” Tio menjel
Malam semakin larut, dan Riana masih duduk di sofa ruang tamu, menanti kepulangan Arga. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun tubuhnya tak juga beranjak ke kamar. Kecemasan membelenggunya sejak pertemuannya dengan Tio beberapa hari lalu. Bayangan kata-kata Tio terus membayangi benaknya, membuat Riana semakin curiga bahwa Arga menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang pernah ia duga.Tak lama kemudian, suara deru mobil Arga terdengar dari luar. Riana merapikan rambutnya dan berdiri, berusaha untuk bersikap setenang mungkin. Pintu rumah terbuka, dan Arga masuk dengan wajah lelah. Ia tampak terkejut melihat Riana masih terjaga.“Kau belum tidur?” tanya Arga singkat, nada suaranya terdengar hambar.Riana hanya mengangguk, mencoba mengendalikan degup jantungnya yang terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. “Ada hal yang ingin kubicarakan denganmu,” jawabnya dengan tenang, meski rasa gugup mulai menyeruak.Arga menghela napas, lalu berjalan dan duduk di kursi di hadapannya.
Hari-hari berlalu dengan penuh ketegangan. Setelah malam ketika Arga mengungkapkan sebagian masa lalunya, Riana merasa ada yang berubah dalam perasaannya. Meski mengetahui bahaya yang mengintai, ada sisi dirinya yang mulai mencoba memahami Arga. Namun, di balik usahanya untuk percaya, kecurigaan perlahan tumbuh, menebarkan rasa tidak aman di hatinya.Suatu malam, Riana terbangun karena suara-suara pelan dari luar kamar. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Rasa kantuknya lenyap, berganti dengan rasa penasaran yang mendorongnya untuk keluar dari kamar. Ia melangkah dengan hati-hati menuju ruang kerja Arga, sumber suara yang tadi mengusiknya. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat Arga berbicara di telepon, wajahnya tampak serius, bahkan sedikit gelisah.Riana tidak bisa mendengar apa yang Arga bicarakan, tapi setiap gerak-gerik pria itu membuat rasa curiga di hatinya semakin tumbuh. Setelah bebe
Riana mulai merasa putus asa. Setiap upaya untuk lebih mengenal Arga hanya berakhir dengan penolakan dan kata-kata dingin. Rasanya seperti mencoba meraih sesuatu yang tak terlihat. Namun, jauh di dalam hati, Riana masih berharap ada sisi lain dari Arga yang bisa dia temukan—sisi yang tidak diselimuti oleh misteri dan jarak.Malam itu, Riana sedang di kamarnya ketika terdengar suara pintu depan yang terbanting keras. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan suasana rumah yang sebelumnya sunyi tiba-tiba berubah mencekam. Riana keluar dari kamarnya dan melihat Arga yang berjalan sempoyongan, aroma alkohol yang tajam memenuhi udara di sekitarnya.“Arga?” panggil Riana, sedikit khawatir.Arga menoleh, dan untuk pertama kalinya, Riana melihat ekspresi kelelahan di wajahnya, tatapan yang penuh dengan kepedihan dan keputusasaan. Wajahnya yang biasanya dingin tampak lain malam ini—seolah seluruh beban hidupnya terungkap tanpa perlu kata-kata. Dia mengabaikan Riana dan berjalan menuju rua
Keesokan harinya, Riana bangun dengan perasaan campur aduk. Pikirannya terus kembali pada kejadian tadi malam, saat Arga tiba-tiba mencium dirinya. Riana ingin meyakinkan dirinya bahwa ciuman itu lebih dari sekadar pelampiasan emosi atau akibat pengaruh alkohol, tapi sikap dingin Arga seolah menjadi tembok yang tak bisa ia lewati. Di ruang makan, Arga sudah duduk di meja dengan wajah serius, membaca laporan yang terbuka di depannya. Meski terlihat seperti biasa—tegas dan dingin—Riana menangkap jejak kelelahan yang tersembunyi dalam sorot matanya. Sejenak ia ragu apakah harus menyapanya, tapi Riana sadar bahwa mereka perlu membicarakan apa yang terjadi. Dengan langkah pelan, Riana duduk di kursi di hadapan Arga. Ia menatap Arga, berharap pria itu akan mulai bicara terlebih dahulu. Namun, saat beberapa menit berlalu dalam keheningan yang kaku, Riana akhirnya menghela napas panjang dan memberanikan diri.“Arga…” panggilnya, suaranya terdengar lembut namun penuh keinginan untuk mengurai
Sejak Arga mengungkapkan sebagian kecil dari masa lalunya, Riana merasa terombang-ambing dalam lautan emosi yang rumit. Arga memang telah membuka dirinya, namun hanya sekadar menunjukkan kepingan yang tak utuh, menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Semakin dalam ia mencoba mengerti, semakin kuat perasaan bahwa ada satu sosok yang terus membayangi hubungan mereka—sosok yang tak akan pernah hilang, yaitu Cinta.Riana duduk di sofa sambil memandangi foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Setiap kali ia melihat senyum yang dipaksakan pada wajah mereka di foto itu, ia teringat akan alasan mengapa pernikahan ini terjadi. Mereka menikah bukan karena cinta, melainkan karena sebuah janji yang harus ditepati. Janji yang diberikan kepada Cinta, sahabatnya sekaligus tunangan Arga.Malam itu, ketika Arga baru pulang dan tengah duduk di meja makan, Riana memberanikan diri untuk membahas sesuatu yang selama ini ia simpan dalam hatinya.“Arga…” panggilnya pelan.Arga mendon
Riana berdiri kaku di samping Arga, pria yang kini resmi menjadi suaminya. Di antara suara tawa dan ucapan selamat dari para tamu, Riana hanya bisa merasa terjebak dalam suasana yang tidak diinginkannya. Momen ini, seharusnya menjadi hari bahagia, justru terasa menyesakkan. Ia mengingat wajah sahabatnya, Cinta, yang tidak berdaya di ranjang rumah sakit, meminta Riana untuk menikahi Arga yang merupankan tunangan Cinta sebelum semuanya terlambat. “Dia akan menjaga kamu, Riana. Aku percaya padanya,” kata Cinta dengan suara lemah. Permintaan terakhir itu membekas di hatinya, mendorongnya melangkah ke altar meski hatinya tidak sepenuhnya bersedia. Sementara itu, Arga berdiri di sampingnya dengan tatapan dingin yang menghindari kontak mata dengannya. Dia menatap tamu-tamu yang bersukacita, sementara Riana merasa seperti boneka dalam pertunjukan yang tidak pernah dia inginkan. Di sela-sela keramaian pesta, Arga mendekat padanya untuk pertama kalinya sejak upacara dimulai. “Kamu terlihat t
Keesokan harinya, Riana terbangun dengan perasaan campur aduk. Sebagian dari dirinya masih merasa tertekan setelah percakapan tegang dengan Arga. Dia menuju meja makan, di mana Arga sudah duduk dengan wajah datar, tenggelam dalam koran yang terbuka di depannya. Suasana di pagi yang seharusnya cerah ini terasa kelam dan penuh ketegangan.“Selamat pagi,” sapa Riana, berusaha menciptakan suasana yang lebih baik, meski suara hatinya bergetar.Arga mengangkat alisnya, tidak merespons, fokus pada koran yang tidak memberikan tanda-tanda minat. Riana merasa terabaikan, tetapi dia bertekad untuk mencoba lagi.“Apa kau tidak ingin membicarakan rencana ke depan kita?” tanya Riana, menunggu reaksi yang lebih positif.“Rencana? Kau pikir kita punya rencana?” Arga menjawab tanpa menatapnya. “Kita menjalani ini hanya untuk memenuhi wasiat.”“Ini rumah kita,” balas Riana, merasa jantungnya berdegup kencang. Kata-katanya terpaksa mengalir, berusaha menantang sikap acuh tak acuh suaminya.“Itu hanya ka
Sejak Arga mengungkapkan sebagian kecil dari masa lalunya, Riana merasa terombang-ambing dalam lautan emosi yang rumit. Arga memang telah membuka dirinya, namun hanya sekadar menunjukkan kepingan yang tak utuh, menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Semakin dalam ia mencoba mengerti, semakin kuat perasaan bahwa ada satu sosok yang terus membayangi hubungan mereka—sosok yang tak akan pernah hilang, yaitu Cinta.Riana duduk di sofa sambil memandangi foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Setiap kali ia melihat senyum yang dipaksakan pada wajah mereka di foto itu, ia teringat akan alasan mengapa pernikahan ini terjadi. Mereka menikah bukan karena cinta, melainkan karena sebuah janji yang harus ditepati. Janji yang diberikan kepada Cinta, sahabatnya sekaligus tunangan Arga.Malam itu, ketika Arga baru pulang dan tengah duduk di meja makan, Riana memberanikan diri untuk membahas sesuatu yang selama ini ia simpan dalam hatinya.“Arga…” panggilnya pelan.Arga mendon
Keesokan harinya, Riana bangun dengan perasaan campur aduk. Pikirannya terus kembali pada kejadian tadi malam, saat Arga tiba-tiba mencium dirinya. Riana ingin meyakinkan dirinya bahwa ciuman itu lebih dari sekadar pelampiasan emosi atau akibat pengaruh alkohol, tapi sikap dingin Arga seolah menjadi tembok yang tak bisa ia lewati. Di ruang makan, Arga sudah duduk di meja dengan wajah serius, membaca laporan yang terbuka di depannya. Meski terlihat seperti biasa—tegas dan dingin—Riana menangkap jejak kelelahan yang tersembunyi dalam sorot matanya. Sejenak ia ragu apakah harus menyapanya, tapi Riana sadar bahwa mereka perlu membicarakan apa yang terjadi. Dengan langkah pelan, Riana duduk di kursi di hadapan Arga. Ia menatap Arga, berharap pria itu akan mulai bicara terlebih dahulu. Namun, saat beberapa menit berlalu dalam keheningan yang kaku, Riana akhirnya menghela napas panjang dan memberanikan diri.“Arga…” panggilnya, suaranya terdengar lembut namun penuh keinginan untuk mengurai
Riana mulai merasa putus asa. Setiap upaya untuk lebih mengenal Arga hanya berakhir dengan penolakan dan kata-kata dingin. Rasanya seperti mencoba meraih sesuatu yang tak terlihat. Namun, jauh di dalam hati, Riana masih berharap ada sisi lain dari Arga yang bisa dia temukan—sisi yang tidak diselimuti oleh misteri dan jarak.Malam itu, Riana sedang di kamarnya ketika terdengar suara pintu depan yang terbanting keras. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan suasana rumah yang sebelumnya sunyi tiba-tiba berubah mencekam. Riana keluar dari kamarnya dan melihat Arga yang berjalan sempoyongan, aroma alkohol yang tajam memenuhi udara di sekitarnya.“Arga?” panggil Riana, sedikit khawatir.Arga menoleh, dan untuk pertama kalinya, Riana melihat ekspresi kelelahan di wajahnya, tatapan yang penuh dengan kepedihan dan keputusasaan. Wajahnya yang biasanya dingin tampak lain malam ini—seolah seluruh beban hidupnya terungkap tanpa perlu kata-kata. Dia mengabaikan Riana dan berjalan menuju rua
Hari-hari berlalu dengan penuh ketegangan. Setelah malam ketika Arga mengungkapkan sebagian masa lalunya, Riana merasa ada yang berubah dalam perasaannya. Meski mengetahui bahaya yang mengintai, ada sisi dirinya yang mulai mencoba memahami Arga. Namun, di balik usahanya untuk percaya, kecurigaan perlahan tumbuh, menebarkan rasa tidak aman di hatinya.Suatu malam, Riana terbangun karena suara-suara pelan dari luar kamar. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Rasa kantuknya lenyap, berganti dengan rasa penasaran yang mendorongnya untuk keluar dari kamar. Ia melangkah dengan hati-hati menuju ruang kerja Arga, sumber suara yang tadi mengusiknya. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat Arga berbicara di telepon, wajahnya tampak serius, bahkan sedikit gelisah.Riana tidak bisa mendengar apa yang Arga bicarakan, tapi setiap gerak-gerik pria itu membuat rasa curiga di hatinya semakin tumbuh. Setelah bebe
Malam semakin larut, dan Riana masih duduk di sofa ruang tamu, menanti kepulangan Arga. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun tubuhnya tak juga beranjak ke kamar. Kecemasan membelenggunya sejak pertemuannya dengan Tio beberapa hari lalu. Bayangan kata-kata Tio terus membayangi benaknya, membuat Riana semakin curiga bahwa Arga menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang pernah ia duga.Tak lama kemudian, suara deru mobil Arga terdengar dari luar. Riana merapikan rambutnya dan berdiri, berusaha untuk bersikap setenang mungkin. Pintu rumah terbuka, dan Arga masuk dengan wajah lelah. Ia tampak terkejut melihat Riana masih terjaga.“Kau belum tidur?” tanya Arga singkat, nada suaranya terdengar hambar.Riana hanya mengangguk, mencoba mengendalikan degup jantungnya yang terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. “Ada hal yang ingin kubicarakan denganmu,” jawabnya dengan tenang, meski rasa gugup mulai menyeruak.Arga menghela napas, lalu berjalan dan duduk di kursi di hadapannya.
Riana terjaga di tengah malam, terbangun oleh suara ketukan halus di pintu. Hatinya berdegup kencang. Dengan hati-hati, ia mendekati pintu dan membukanya sedikit, berharap itu bukan Arga yang datang dengan wajah dingin seperti biasa. Namun, saat melihat Tio berdiri di sana, dia merasa lega meskipun wajah Tio tampak cemas.“Tio, ada apa?” Riana berbisik, berusaha tidak membangunkan Arga yang tidur di sebelahnya.“Aku butuh bicara denganmu,” jawab Tio dengan suara rendah. “Ini penting.”Riana melirik ke arah Arga, memastikan dia tidak terbangun, sebelum mengizinkan Tio masuk ke dalam kamar. Tio menutup pintu pelan-pelan, dan mereka berdua berdiri di sudut kamar yang gelap.“Ada perkembangan,” kata Tio, wajahnya serius. “Aku mendengar desas-desus bahwa pihak yang terlibat dengan Arga semakin agresif. Mereka tidak senang dengan keputusan yang diambilnya.”Riana merasa jantungnya berdegup kencang. “Apa maksudmu?”“Mereka merasa terancam karena Arga berusaha menjauh dari mereka,” Tio menjel
Riana menatap Tio, merasakan ketegangan di udara. “Kau tahu sesuatu, Tio. Apa lagi yang harus aku ketahui tentang Arga?”Tio menghela napas panjang, matanya memancarkan kesedihan. “Cinta tidak hanya khawatir tentangmu, Riana. Dia tahu bahwa Arga terjebak dalam sesuatu yang lebih besar daripada sekadar bisnis. Ada pihak berbahaya yang tidak akan ragu untuk mengambil langkah ekstrem jika mereka merasa terancam.”“Pihak berbahaya?” Riana bergetar mendengar kata-kata itu. “Apa yang mereka inginkan dari Arga?”“Uang, kekuasaan… dan mungkin juga balas dendam. Arga bukan sekadar pengusaha biasa. Dia terlibat dalam permainan yang melibatkan banyak orang. Cinta percaya bahwa satu-satunya cara untuk melindungimu adalah dengan membuatmu berada di sisinya.”Riana merasa bingung. “Jadi, pernikahanku dengan Arga adalah cara untuk melindungiku dari hal-hal ini?”“Ya, tapi itu juga bisa menjadi penjara bagimu,” Tio menjawab dengan serius. “Kau harus berhati-hati. Arga bisa menjadi pelindungmu, tetapi
Malam itu, Riana mendengar deru mesin mobil Arga di depan rumah. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun seperti biasa, Arga pulang tanpa kabar. Ia masuk rumah dengan langkah berat, langsung menuju dapur, mengisi gelas dengan air tanpa melihat Riana yang duduk di sofa."Arga," panggil Riana, suaranya ragu. "Boleh kita bicara sebentar?"Arga menenggak air dalam gelasnya sebelum menoleh sekilas ke arah Riana. "Sekarang?" tanyanya singkat.Riana mengangguk. “Aku rasa kita perlu bicara. Ada banyak yang… tak pernah kita bahas.”Arga menghela napas dan berjalan mendekat, lalu duduk di kursi yang berseberangan dengannya. "Baik. Bicara saja.”Riana menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari kehangatan dalam sorot matanya yang dingin. “Kau selalu menghindariku, bersikap seolah-olah aku tak ada di sini. Apa kau benar-benar ingin pernikahan ini bertahan seperti ini?”Arga tersenyum tipis, tapi tanpa kehangatan. “Riana, kita menikah karena permintaan orang lain. Kita bukan pasangan yang men
Riana duduk sendirian di kamarnya, masih terguncang setelah pertemuannya dengan Arga dan Tio. Kata-kata Arga terus terngiang di kepalanya: *“Kau sudah terlibat terlalu jauh. Bahkan jika kau ingin pergi, aku tak akan membiarkanmu.”* Bayangan wajah dingin Arga membuat hatinya tergetar. Di balik pernikahan yang tampak sederhana, ada permainan berbahaya yang membuatnya merasa terjebak.Malam semakin larut, tetapi Riana tak bisa memejamkan mata. Ia harus mencari jawaban—ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dengan tekad yang bulat, ia membuka laptopnya dan mulai mencari berita lama tentang perusahaan Arga dan ayahnya, berharap menemukan petunjuk yang tersembunyi.Saat dia menggulir layar, ponselnya tiba-tiba bergetar. Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal: "Berhentilah mencari, atau kau akan menyesal."Jantung Riana berdegup kencang. Siapa yang mengirim pesan itu? Apakah orang ini tahu bahwa dia sedang mencoba mencari kebenaran? Riana menelan ludah, tetapi tidak membalas pesan ter