Share

Semakin Rumit

Malam itu, Riana mendengar deru mesin mobil Arga di depan rumah. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun seperti biasa, Arga pulang tanpa kabar. Ia masuk rumah dengan langkah berat, langsung menuju dapur, mengisi gelas dengan air tanpa melihat Riana yang duduk di sofa.

 

"Arga," panggil Riana, suaranya ragu. "Boleh kita bicara sebentar?"

 

Arga menenggak air dalam gelasnya sebelum menoleh sekilas ke arah Riana. "Sekarang?" tanyanya singkat.

 

Riana mengangguk. “Aku rasa kita perlu bicara. Ada banyak yang… tak pernah kita bahas.”

 

Arga menghela napas dan berjalan mendekat, lalu duduk di kursi yang berseberangan dengannya. "Baik. Bicara saja.”

 

Riana menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari kehangatan dalam sorot matanya yang dingin. “Kau selalu menghindariku, bersikap seolah-olah aku tak ada di sini. Apa kau benar-benar ingin pernikahan ini bertahan seperti ini?”

 

Arga tersenyum tipis, tapi tanpa kehangatan. “Riana, kita menikah karena permintaan orang lain. Kita bukan pasangan yang menikah karena cinta, kau tahu itu.”

 

Riana menahan napas. "Aku tahu, tapi aku tidak menyangka akan seperti ini. Seolah kita hanya dua orang asing yang kebetulan tinggal di rumah yang sama."

 

Arga memandangnya tajam. “Lalu, apa yang kau harapkan? Pertemanan? Kehangatan? Aku tak pernah berjanji untuk itu.”

 

"Aku tak meminta banyak. Hanya… ya, sikap yang lebih manusiawi. Kita bisa mencoba memulai sebagai teman, atau setidaknya tidak seperti ini—seperti orang asing," kata Riana, suaranya mengandung harapan.

 

Arga tertawa kecil, sinis. "Kau ingin mencoba berteman? Setelah semua ini?”

 

"Apa salahnya mencoba?" Riana menatapnya, tak ingin mengalah. "Kita sudah berada di situasi ini. Kau tak ingin sedikit pun berusaha?"

 

Arga terdiam, tatapannya mengamati wajah Riana. “Kau benar-benar percaya ini bisa berhasil?”

 

"Ya, kalau kita sama-sama berusaha," jawab Riana pelan, nyaris berbisik.

 

Untuk pertama kalinya, Arga terdiam cukup lama. Dia menatap Riana dengan sorot mata yang lebih lembut dari biasanya, meski hanya sesaat. "Aku tak pernah peduli pada hal-hal seperti ini sebelumnya, Riana."

 

"Itulah masalahnya, Arga. Kau terlalu sibuk menghindariku, tapi… kenapa kau menerimanya dari awal?" tanya Riana penasaran, ingin menggali sedikit lebih dalam. "Jika kau tak peduli, mengapa kau mengabulkan permintaan terakhir Cinta?”

 

Arga terdiam sejenak, sorot matanya berubah tajam. “Kau sungguh ingin tahu alasannya?”

 

Riana mengangguk. "Aku ingin tahu. Mungkin dengan begitu, aku bisa mengerti kenapa kau terus bersikap seperti ini."

 

Arga menghela napas panjang. “Aku menikahimu karena aku ingin menghormati Cinta. Dia... dia percaya bahwa pernikahan ini adalah cara terbaik untuk menjaga warisannya tetap hidup.”

 

Riana tercengang. "Warisannya?"

 

Arga mengangguk, tampak enggan mengungkap lebih banyak. “Dia ingin memastikan bahwa sesuatu yang ia bangun tak jatuh ke tangan yang salah. Tapi tak ada hubungannya dengan cinta atau perasaan semacam itu.”

 

“Tapi, kalau memang hanya itu alasanmu, kenapa tidak kau katakan dari awal?” tanya Riana, masih tak puas dengan jawabannya.

 

“Kau sudah tahu, Riana. Pernikahan ini bukan tentang perasaan,” ucap Arga datar, lalu bangkit dari kursinya, seolah menutup pembicaraan.

 

Riana bangkit dan berdiri di depannya, menghalangi jalannya. "Kalau begitu, izinkan aku bertanya satu hal lagi."

 

Arga mengangkat alis, terkejut dengan keberanian Riana. "Apa?"

 

"Kau masih menganggapku hanya sebagai beban wasiat itu?" tanyanya tajam. "Aku berusaha untuk mengenalmu, tapi kau terus menutup dirimu. Kau pernah mencoba mengenalku, Arga?”

 

Sorot mata Arga tampak lembut sejenak sebelum kembali menjadi dingin. “Kenapa? Apa yang kau harapkan, Riana?”

 

Riana menatapnya tak gentar. “Aku berharap kita bisa menjadi lebih dari sekadar beban satu sama lain.”

 

Untuk pertama kalinya, Arga tak langsung membalas. Dia hanya menatapnya dalam-dalam, seolah ingin mengatakan sesuatu yang tertahan. Tanpa sadar, dia mendekat, jaraknya dengan Riana hanya beberapa langkah. “Kau berpikir aku akan berubah hanya karena ini?”

 

"Aku tahu kau bukan orang yang peduli dengan hal kecil seperti itu," jawab Riana sambil berusaha menahan jantungnya yang berdebar. "Tapi setidaknya kita bisa saling menghormati."

 

Arga menghela napas panjang, seolah menyerah. “Baik. Kita lihat saja. Aku tak bisa menjanjikan apa pun, tapi… mungkin kita bisa memulainya dari sini.”

 

Riana mengangguk pelan, tersenyum tipis. "Terima kasih."

 

Arga membalas senyumnya, samar-samar. “Sudah malam. Kau sebaiknya istirahat.”

 

Dia berbalik dan berjalan ke kamarnya, meninggalkan Riana yang merasa hatinya lebih ringan. Meski kecil, itu adalah langkah pertama mereka.

 

Namun, ketika dia membuka pintu kamarnya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan tak bernama muncul lagi: *“Jangan terlalu percaya padanya, Riana. Kau belum tahu semuanya.”*

 

Riana menatap layar ponsel, terkejut dan khawatir. Siapa sebenarnya Arga? 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status