Leona bisa mencium sesuatu yang tidak biasa dari gelagat Markus. Sejak saat berbicara di telepon dengannya, pria itu bahkan sudah sangat jauh berbeda dari biasanya.
Walau bibirnya berkata 'sayang', tetapi Leona tahu kalau hati dan mata pria itu tidak sedang bersamanya.
"Kenapa kau diam saja sejak tadi, Leona? Tadi kau memintaku untuk cepat pulang, tapi sekarang kau sama sekali tidak mau bicara denganku," ucap Markus pelan.
Leona tidak menjawab.
Wanita ini bahkan memalingkan wajahnya.
Dia bisa merasakan bagaimana sekarang wajahnya sedang memanas.
Sama panasnya dengan hatinya yang terluka karena menyadari kalau Markus tidak lagi menginginkan dia.
"Leona, Sayang ...." Markus berjongkok di hadapan sang istri berharap kalau dengan cara seperti ini dia bisa berbicara dengan Leona.
Leona tidak ingin melihat bagaimana tatapan Markus saat ini.
Walau pria itu mendongak untuk bisa melihat bagaimana kejelasan wajahnya, tetapi dia mencoba untuk memejamkan mata agar pria ini tahu kalau sekarang dia sedang marah.
"Leona, apa aku berbuat salah padamu?" tanya Markus lembut. Dia mengambil kedua tangan Leona lalu mengelusnya dengan lembut.
Leona menggigit bibir bawahnya.
Mendengar Markus yang berkata dengan begitu lembut dan gerakannya yang begitu halus, sebenarnya sudah mulai menggugah perasaan wanita ini agar mau bicara dengan suaminya.
Akan tetapi, entah mengapa sebuah bisikan datang sehingga membuatnya sama sekali tidak ingin menyahuti satu pun ucapan Markus.
"Kalau kau bungkam terus seperti ini, memangnya kau kira aku akan bisa mengerti apa yang sedang kau rasakan?" sembur Markus dengan nada bicaranya yang sedikit ditinggikan.
Leona menoleh padanya karena hal itu.
Tatapan mata wanita ini mengisyaratkan kalau ada hal penting yang sepertinya harus dikatakan pada pria yang sekarang sedang mengiba, tetapi masih bisa berbicara keras dengannya.
"Aku ingin bicara sesuatu yang sangat penting denganmu, Markus!" seru Leona. Air matanya tumpah ruah begitu saja ketika mengatakan hal itu.
Markus mengusap buliran bening yang mengalir membasahi wajah cantik Leona. Dia bisa melihat adanya kepedihan dari balik sorot mata wanita yang telah bersama dengannya selama bertahun-tahun itu.
"Katakan saja semuanya ingin kau katakan, Leona. Aku siap mendengarnya karena itulah tugasku sebagai suamimu," jawab Markus lembut walau dia terkejut bukan main melihat Leona tiba-tiba menangis.
Leona menguatkan hatinya.
Dia sama sekali tidak boleh goyah pada sikap lembut yang saat ini begitu manis di hadapannya.
"Panggilkan dulu Ibu. Ini adalah hal penting, jadi harus aku sampaikan di depan kalian berdua," pinta Leona.
Markus sedikit heran mendengar apa yang diinginkan oleh sang istri, tetapi demi membuat Leona tetap bicara, sepertinya dia tidak boleh membantah dan langsung harus menurutinya.
Pria itu kemudian dengan cepat keluar dari kamar dan mendorong kursi roda ibunya untuk masuk kembali ke kamar di mana Leona sekarang sedang duduk di dekat jendela.
Wajah Elizabeth terlihat begitu berbeda dari biasanya. Dia seakan tahu kalau ada hal buruk yang akan terjadi pada pernikahan putranya ini.
"Ada apa, Leona? Katanya kau ingin bicara dengan Ibu dan juga Markus ...." Belum sempat Elizabeth menuntaskan kalimatnya, tiba-tiba Leona bersimpuh dan berlutut di hadapan wanita yang duduk di kursi roda itu.
Leona kemudian menangis terisak di atas kedua lutut wanita yang menjadi mertuanya yang begitu baik selama ini.
"Kenapa kau menangis seperti ini, Leona?" tanya Elizabeth. Dia lantas mengusap lembut punggung Leona meskipun bingung dengan sikap menantunya ini.
Markus berusaha untuk membuat Leona berdiri, tetapi sepertinya semua itu sia-sia karena Leona masih ingin dalam posisi yang seperti ini sedikit lebih lama lagi.
Pria tampan ini kemudian membiarkan sang istri larut dalam tangisannya. Dia ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi pada Leona sampai dia melakukan hal seperti ini.
"Leona, bicaralah dan jangan pendam semuanya sendiri," suruh Elizabeth.
Leona mendongak.
Wanita ini yang sedang berurai air mata kemudian memandang wajah mertuanya yang begitu baik dan juga selalu menyayanginya selama ini.
"Ibu ... aku benar-benar minta maaf karena sepertinya sekarang aku sudah tidak bisa lagi menahan semuanya. A-aku ...."
Wanita ini menjeda ucapannya.
Dia mengusap air mata yang membasahi pipinya lalu mengambil napas dalam-dalam.
"Katakan, Leona. Apa yang ingin kau katakan padaku dan juga Ibu?" sela Markus.
Leona tidak menjawab ucapan pria itu.
Wanita ini kemudian kembali memandangi sorot mata teduh ibu mertuanya.
"Sekarang adalah yang saat yang tepat untukku untuk mundur dari pernikahan ini, Ibu. Maaf karena sepertinya aku tidak bisa lagi mendampingi Markus untuk menjadi seorang istri ...."
Deg!
Jantung Markus seakan berhenti berdetak ketika mendengar bagaimana sang istri mengatakan hal itu.
Terlebih lagi dengan ekspresi Elizabeth yang sama sekali tidak menyangka kalau Leona akan mengatakan hal itu di hadapannya dan juga putranya.
"A-apa maksudnya, Leona?" tanya Elizabeth dengan terbata. Ini seperti sebuah candaan yang tidak lucu baginya.
Leona kembali terisak. Kali ini bahkan Markus sudah bersimpuh bersama dengannya dan bersebelahan. Pria itu memandangi wajah istrinya dan mencoba untuk mencari kebenaran dari pernyataannya tadi.
"Kenapa begitu mudah kau mengatakan ingin mundur menjadi istriku sementara pernikahan yang kita jalani sudah bertahun-tahun usianya, Sayang? Kau sedang bercanda, kan!" seru Markus penuh tanya. Ini tidak semudah apa yang dibayangkan olehnya.
Leona menggelengkan kepalanya.
Wanita ini kemudian mengatur napasnya agar dia tidak lagi tersengal-sengal seperti tadi. Bahkan, Leona yang telah memantapkan hati kemudian mengangkat kepalanya.
"Aku ingin kita bercerai, Markus. Aku sudah tidak bisa lagi mendampingimu!" seru Leona tanpa jeda, tanpa pikiran, dan tanpa melihat wajah Markus.
Markus terbelalak mendengarnya. "Jangan bercanda. Jangan mengatakan hal sembarangan seperti itu di hadapanku dan juga Ibu!" teriaknya.
Pria ini kemudian memegang kedua pundak sang istri. Dia memutar tubuh Leona agar sekarang bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi wajahnya.
Leona menatap nanar ke arah Markus.
"Hubungan ini sudah tidak sehat lagi, Markus. Sekarang aku akan merelakanmu dan sepertinya aku tidak bisa lagi bertahan dalam rumah tangga yang seperti ini," ucap Leona pelan, nyaris berbisik.
Deg!
Lagi-lagi ucapan Leona membuat Markus tidak bisa menahan debaran jantungnya yang begitu kencang.
Ada masalah apa dengan istrinya sampai dengan tiba-tiba tanpa adanya hujan ataupun angin, bisa-bisanya dia meminta cerai?
"Kenapa kau mengatakan hal seperti itu di saat rumah tangga kita baik-baik saja, Leona? Apa kau tidak memikirkan bagaimana perasaanku dan juga perasaan ibu?" tanya Markus penuh penekanan. Tangannya masih memegang pundak Leona dengan begitu erat.
Leona menggelengkan kepalanya. "Rumah tangga yang sehat? Pernikahan yang bahagia? Jangan berhayal, Markus. Aku adalah wanita tidak sempurna yang tidak bisa memberimu keturunan! Berhenti mengatakan kalau pernikahan kita ini baik-baik saja!" teriaknya.
Markus menahan emosinya. Bagaimana bisa Leona berpikir seperti itu di saat dia sudah mengalah untuk tidak mencari istri lainnya demi bisa mendapatkan keturunan?
"Jangan mengelak lagi dan jangan kira kalau aku tidak tahu apa-apa, Markus. Sekarang semua di antara kita sudah selesai. Aku sudah mati rasa dan sepertinya kisah kita memang harus berakhir!" ucap Leona lirih. Dia mengambil sesuatu yang sejak tadi disembunyikan dibalik punggungnya dan memberikannya dengan tangan bergetar pada pria yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan kosong.
*****Sebuah amplop coklat tebal kini telah dipegang oleh Markus. Pria ini sama sekali tidak menduga kalau istrinya akan memberikan dia sebuah benda yang isi di dalamnya pun tidak diketahui olehnya. "Apa ini, Leona?" tanya Markus. Leona tersenyum getir. "Bukalah dan lihat bersama dengan Ibu. Aku yakin kalau kau akan mengetahui kalau sudah melihat dan memeriksa isinya." Markus mengikuti apa yang disuruh oleh istrinya. Pria ini kemudian perlahan membuka amplop coklat tebal itu. Rasanya tidak karuan ketika dia mengeluarkan beberapa buah foto yang sudah tercetak dengan ukuran yang sebesar amplop coklat itu. Ibunya sendiri pun sama sekali tidak menyangka ketika dia mengambil benda yang dipegang oleh Markus itu dan melihat bagaimana tampilan wajah putranya bersama dengan seorang wanita muda. "B-bagaimana bisa?" tanya Markus dengan mata berkaca-kaca dan melihat ke arah Leona sekarang. "Kau bertanya padaku bagaimana bisa, Markus? Bukankah seharusnya itu adalah pertanyaan yang aku tujukan pada
Markus begitu gundah gulana karena ternyata Leona begitu kekeh dengan keputusannya yang tidak ingin mempertahankan rumah tangga mereka. Pria ini bahkan memukul tembok beberapa kali karena dia merasa sangat sakit hati dengan apa yang diinginkan oleh istri tercintanya itu. Sudah beberapa hari Leona tidak mau berbicara dengannya dan dia hanya akan masuk kembali ke kamar setelah semua urusannya selesai. Dia tidak peduli pada Markus yang harus tidur di kamar tamu dan pergi ke kantor dengan perasaan kacau. Siksaan ini nyata diberikan oleh Leona untuknya dalam beberapa hari. Bahkan, Markus tidak menghubungi Catherine sama sekali dan seakan lupa padanya. "Aku hanya ingin bersenang-senang dengan seseorang dan itu hanyalah bersifat sementara saja. Kenapa kau malah berpikiran sempit dan mengira kalau aku telah membuka hati untuk wanita itu, Leona?" Pria ini mengeram dengan emosinya yang tertahan. Ingin sekali dia melampiaskan kemarahannya pada seseorang, tetapi dia tidak tahu harus kepada
Leona benar-benar melakukan sesuatu yang di luar batas perkiraan siapa pun yang ada di ruangan itu. Sekarang mereka begitu terkejut karena sosok seorang wanita cantik yang berusia muda kini hadir di antara perbincangan Leona dan suaminya. Markus sendiri sama sekali tidak habis pikir karena sekarang sosok dari wanita yang beberapa malam telah menghabiskan waktu untuk bertempur dengannya, kini sedang terduduk dengan wajah yang tertunduk dan tidak berani diangkat. "Seperti yang sudah aku katakan padamu tadi, Markus. Kalau kau sama sekali tidak bisa menerima permintaanku untuk bercerai, maka wanita yang saat ini hadir di antara kita harus segera kau nikahi!" suruh Leona dengan begitu santai seakan dia tidak memikirkan bagaimana perasaan Markus dan juga ibunya sekarang. Pria tampan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Jangan bicara ngawur dan berhenti membahas mengenai perceraian! Memangnya kau kira untuk menikah dengan orang lain akan semudah itu?" "Apanya yang susah di saat ka
Catherine menatap wajah ibunya yang begitu sendu dan terbaring dengan begitu lemah di atas brangkar. Pikirannya kini melanglang buana pada saat tadi dia harus diinterogasi oleh istri dari seorang pria yang telah merenggut keperawanannya. Catherine sama sekali tidak ingin menikah dengan Markus Hans. Dia benar-benar tidak ingin menjadi seorang wanita yang harus berada di antara rumah tangga orang lain. "Ibu, ayo bangunlah. Aku benar-benar butuh masukan darimu. Aku benar-benar butuh teman untuk berbagi keluh kesahku," bisik Catherine terisak. "Apa Ibu tahu betapa menderitanya aku sejak Ibu koma seperti ini? Rasanya begitu menyesakkan. Hatiku sakit, Bu." "Seseorang datang dan mengisi hidupku. Lalu, sekarang situasinya menjadi semakin rumit karena aku harus menjadi seseorang yang menghancurkan kehidupan pernikahan orang lain. Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Di tengah isak tangisnya, sebuah tangan besar dan hangat tanpa terasa menyentuh pundaknya. Catherine terperanjat. Wani
Pria ini sekarang memutar tubuhnya.Mencoba untuk menatap wajah Chaterine lebih jelas lagi dan mencari kejujuran dari binar mata gadis cantik itu."Apa kau serius dengan keputusanmu?" tanya Markus penuh penekanan. "Apa kau sama sekali tidak mau memikirkan bagaimana nasib ibumu? Apa kau akan tetap bersikap egois dengan mementingkan dirimu sendiri?"Pertanyaan Markus ini sukses membuat Catherine terdiam.Kenapa dia harus ada dalam situasi yang tidak menguntungkan dan juga membuat dia merasakan sesak yang begitu sakit di dadanya.Dia merasa sangat susah untuk bernapas.Bahkan, rasanya setiap kali Markus mengungkit tentang masalah ibunya membuat hati Catherine terasa begitu sakit seakan ada ribuan jarum tajam yang sedang menghujamnya."Pikirkan sekali lagi tawaranku dan juga pikirkan bagaimana nasib ibumu kalau kamu tetap bersih keras untuk mementingkan egomu sendiri, Cathy!" saran Markus. Ya, dia sedang mencoba untuk memberikan saran yang sesuai dengan kepentingannya.Catherine tersenyum
Wajah wanita cantik ini memerah. Dia tidak menyangka kalau di usianya yang akan memasuki dua puluh dua tahun, dia harus mengalami dilema terbesar di hidupnya. "Jadi, aku sama sekali tidak punya pilihan lain lagi?" tanya wanita yang wajahnya memerah ini. Seorang wanita yang bersama dengannya duduk berhadapan lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Catherine. Kau mulai sekarang harus mengikuti semua perkataanku agar bisa mendapatkan apa yang sangat kau inginkan." "Apa kau yakin kalau dengan melakukan hal itu maka aku bisa mendapatkan apa yang aku mau termasuk ponsel baru?" tanya wanita yang ternyata bernama Catherine itu. "Kau jangan meragukanku karena aku sudah sangat terbiasa akan hal ini, Cathy. Ayolah, ini bukanlah sesuatu yang susah! Kau hanya perlu tidur dengannya sesekali dalam seminggu. Ah, kalau misalnya dia mau minta lebih, kau tinggal melayaninya!" papar wanita yang masih duduk dengan santai itu. Wajah Catherine semakin memerah. Dia sama sekali tidak bisa menerima apa yang
Catherine sama sekali tidak bisa memaksakan dirinya. Dia yang saat ini sedang ditindih oleh Markus, sepertinya sama sekali tidak memiliki pilihan lain. Wanita ini sangat ingin pergi dari dekapan hangat pria ini, tetapi semakin dia memberontak maka tubuhnya akan semakin menuntut sesuatu yang lebih lagi dari pria tampan yang sekarang sedang menenangkan dirinya. "Menangislah saat kau ingin menangis karena untuk kedepannya kau sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk itu!" bisik Markus. Setelah dengan puas lidahnya menari-nari di sekujur tubuh Catherine, rupanya pria ini masih melakukan hal yang lain. Catherine tidak tahu karena ini adalah pengalaman pertama baginya. Di mana dia hanya bisa memasrahkan diri ketika dia telah menyerahkan dirinya kepada seorang Markus, membiarkan pria itu menjamah seluruh tubuhnya. "Kau adalah sugar baby, Sayang. Kau adalah mainan yang bisa aku permainkan kapan aku inginkan." Markus semakin meringas dengan semua hal yang saat ini sedang menguasai diri
Theresia begitu terkejut ketika melihat penampakan Catherine yang baru saja memasuki kamar apartemen kecil mereka. Wanita itu terlihat tanpa nyawa dan pandangannya juga sangat kosong. Keceriaan di wajahnya terlihat pias dan sepertinya dia tidak lagi bisa tersenyum dengan ceria seperti biasanya. "Apa kau baik-baik saja, Cath?" tanya Theresia yang begitu khawatir pada kondisi sahabatnya. Catherine tidak menjawab. Dia berjalan memulai dengan sedikit mengangkang lalu terduduk diam di sofa. Theresia mengikutinya dan duduk di sebelahnya dengan pandangan begitu cemas. "Apa semalam sudah terjadi?" tanya wanita itu. Catherine menoleh ke arah Theresia dengan wajah datarnya. Sejurus kemudian pandangannya kembali ke depan dan dia mengangguk pelan. Theresia mengerti arti dari jawaban yang diberikan oleh Catherine itu. Wanita ini kemudian memegang tangan sahabatnya lalu mengelusnya dengan begitu lembut. "Ini pasti sangat berat bagimu, Cath. Tapi, kau sama sekali tidak punya pilihan. Jadi