"Aku mau bicara," ucapan Effendy yang pelan itu secara otomatis mengaktifkan mode serius di antara mereka. Mereka berada di dalam kamar Effendy, duduk berhadapan di sofa biru gelatik yang ada di sana. Ele menyukai wangi tubuh Effendy, dia merasa heran dengan dirinya sendiri. Rasanya dia ingin memeluk dan menghidu bau itu dari sosok suaminya secara puas. "Aku minta maaf," tegas Effendy seraya menatap netra coklat gelap Eleanor. Ele meremat tangannya tanpa sadar. "Maaf untuk apa?" Tanyanya, sedikit gemetar. Bayangan malam itu kembali singgah di benaknya, bercampur dengan dorongan untuk memeluk dan mencium wangi tubuh suaminya. Ele merasa heran dengan dirinya sendiri."Aku tahu itu melukai kamu, aku benar-benar tidak sadar saat aku melakukan itu," gumam Effendy pula. Tatapan matanya menurun, " Kamu bisa membenciku, tapi aku bisa mengatakan bahwa itu hanyalah ketidaksengajaan, dan aku benar-benar minta maaf, Eleanor.""Aku..." Ele mengigit bibir bagian dalamnya, merasa parasnya sudah me
Effendy tidak bisa melukiskan perasaan apa yang muncul di dadanya mendengar pengakuan Ashley. Itu seperti perasaan tenggelam dimana tidak ada yang mengulurkan tangan untuknya.Laki-laki itu terdiam. Ashley berdiri dan menatap matanya, menyerahkan sebuah surat dokter yang masih terlipat rapi. "Aku hamil, Mi amor." Ashley meraih tangan Effendy yang masih terdiam kaku, meletakkannya di perutnya yang rata, "Dan ini adalah anakmu.""Kenapa ini bisa terjadi?" Chislon menggumam, merasa frustasi. Dia membuka surat dokter pemberian Ashley, mendapati pernyataan bahwa wanita di hadapannya positif hamil."Kamu tanya kenapa? Kita melalui malam yang panas, Chislon. Bagaimana bisa kamu menanyakan mengapa ini bisa terjadi?" Ashley menampakan ekspresi marah, dia meraup wajah Effendy lembut, menatap sepasang mata laki-laki itu dengan lekat, "Ini adalah anakmu, Chislon. Apakah kamu tega membiarkan anakmu terhina sebagai anak yang lahir tanpa ayah? Anak yang lahir dalam hubungan yang tanpa ikatan?"Effen
Eleanor merasa tubuhnya mendadak kaku. Dia mundur sebentar, mencari kekuatannya, lalu menatap mata biru suaminya, "Mengapa?"Effendy menimbang-nimbang, lalu dengan berat dia menjawab, "Ashley hamil anakku."Eleanor tak banyak bereaksi, gadis itu diam, pandangannya menurun dan berubah redup. Dia merasa huyung, karnanya Ele memutuskan untuk duduk di atas kursi yang ada di dekatnya."Kamu dan dia..." "Aku minta maaf," Ele terlalu linglung, bahkan tak menyadari ketika Effendy telah berlutut di depannya, menatap penuh permohonan, "Aku minta maaf." Ulang Effendy.Matanya mendadak panas, Ele keheranan dengan dirinya yang akhir-akhir ini tidak dapat mengendalikan diri. Dengan bibir gemetar, dia berusaha bersuara. "Kau yakin itu anakmu? Maksudku... Kalian...""Itu anakku, Ele."Pupus. Segala harapannya untuk tetap bersama dengan lelaki yang telah merebut separuh hatinya itu pupus sudah. Ele tak melihat apapun, dia merasa segala sesuatu gelap untuk sesaat. Lama, mereka terdiam tanpa kata. Keh
Hari itu nyatanya tiba juga, tepat seminggu setelah Effendy membicarakan perceraian dengan Eleanor, surat itu pun sampai. Effendy tak di sana, hanya Ele seorang diri didalam kamarnya menatapi lembar pengesahan status pisah mereka. Lama, dia tercenung. Ele tak menaruh perhatian sedikitpun dengan pernyataan bahwa Effendy akan tetap bertanggungjawab secara nafkah setelah mereka bercerai. Pikirannya, terasa kosong. Eleanor mengangkat tangannya, menandatangani surat itu dengan sekali gerak, lalu berdiri.Dia menatap sekeliling kamarnya sebentar, lalu meraih kopernya yang sudah dia siapkan sejak tadi. Dengan langkah yang dikuatkan, Ele keluar dari kamarnya, melihat Maritha dan para maid yang lain telah berdiri di depan kamarnya dengan ekspresi prihatin."Selamat berpisah, Nyonya," mata Maritha tampak memerah. "Saya berharap Anda selalu berbahagia." "Terimakasih, Rith. Terimakasih juga karna sudah banyak membantuku selama ini." Ele memeluk maid yang paling dekat dengannya itu lalu menoleh
Eleanor membuka mata, menyaksikan dirinya telah berada di ruangan yang mudah dikenalinya sebagai kamar rumah sakit. Bau rumah sakit selalu khas untuk mengirimkan informasi ke otaknya. Tangannya di selundupi infus, membuat Ele berusaha mengingat apa yang membawanya kesini.Tristan ada dalam ruangan itu, menatapnya dengan pandangan yang rumit. Laki-laki itu bahkan tak tersenyum ketika melihat Ele telah sadar."Anemiaku kambuh," ujar Ele dengan pandangan ke langit-langit. Tristan mendekat ke ranjangnya, kali itulah Ele melihat laki-laki itu mencoba tersenyum saat menatapnya. "Aku ingin memberitahu sebuah kabar, aku harap kamu tidak kaget," ujarnya pula. Ekspresinya terlihat muram."Apa yang hendak Mas sampaikan?"Tristan menarik nafas sejenak. "Kamu hamil, sudah lima Minggu."Eleanor terdiam sesaat, dia mencoba bergerak duduk meski kepalanya masih sedikit terasa pening. Hamil? Lima Minggu?Itu adalah anak Effendy. Ele tahu. Tapi sekonyong-konyong dia merasa tak berdaya, kaget, dan bingu
Eleanor masih menatap alamat yang diberikan Sang Bunda. Dia menaruh Carikan kertas itu dan kemudian melangkah menyiapkan segelas coklat panas untuk membangkitkan moodnya.Alamat ibu kandungnya yang ditinggalkan pada sang Bunda tampaknya berada di kompleks perumahan elit, kediaman para borjuis.Jika ibunya berasal dari keluarga kaya, lantas mengapakah dia ditinggalkan di panti asuhan? Ataukah ibunya sebangsa perempuan penjilat yang menikahi laki-laki karna harta, sedang Eleanor hanyalah sebuah kesalahan ketika perempuan itu masih melarat?Eleanor menyesap coklat panasnya. Lagi, dia meraih kertas alamat yang di letakkan di atas meja.Ujaran sang bunda melintas dalam benaknya. 'Tidakkah dia ingin melihat rupa wanita yang telah melahirkannya?'Eleanor menarik napas, "Baik, aku rasa aku harus menemuinya."***Ele turun dari mobilnya miliknya, menatap sebuah bangunan besar yang boleh di katakan sebagai mansion, dengan pagar-pagar tinggi putih berjeruji. Dia berdecak, mengapa harus berpikir
Ashley sungguh menginginkan pernikahan. Bukan pertunangan. Dia tidak habis pikir dengan Effendy yang tidak langsung melamar dirinya, namun malah melangsungkan pertunangan lebih dulu.Acara pertunangan itu telah dilaksanakan, Ashley dan Effendy telah kembali di satu mobil yang sama. Effendy tidak menyetir. Laki-laki itu menunduk memeriksa tabnya di jok belakang dan bahkan tidak bicara. Di sampingnya Ashley duduk dengan airmuka dongkol. Kendaraan berjalan dengan kecepatan sedang, di supiri oleh Pak Rizal, salah satu supir kepercayaan Abimanyu. Mereka berhenti di sebuah rumah, bukan Kediaman utama Abimanyu. Itu adalah rumah yang lain, tak kalah bagusnya dengan kediaman utama."Apa ini?" Ashley menoleh menatap Effendy dengan heran, ketika kendaraan mereka akhirnya berhenti, dan sang sopir membukakan pintu sisinya lebih dulu.Effendy menatap Ashley, "rumahmu." Dengan jawaban pendek itu Effendy keluar dari mobilntanpa menunggu pintu di bukakan. Ashley ikut turun keluar dengan ekspresi mar
Pagi hari.Meja makan sunyi, suara denting sendok dua manusia yang menikmati sarapan itu saja yang terdengar.Saat akhirnya sarapan itu selesai, Effendy bicara setelah meletakkan serbet. "Aku sudah mengatur jadwal pemeriksaan kandunganmu dengan dokter Lia. Besok pagi kita bisa kesana."Ashley tampak terkejut, "Tidak..." Dia tegugu sebentar lalu memperjelas ucapannya. "Maksudku, aku sudah punya dokter kebanggaan Bimantara, kau tidak perlu memusingkan itu.""Anak yang ada di dalam perutmu adalah anakku, Ly. Aku yang bertanggungjawab dengan itu.""Kamu bahkan tidak menikahiku," ketus Ashley. "Sesulit itukah mengikrarkan bersama denganku di sisa umurmu? Kita bukan orang asing, Chislon. Kita telah dekat sejak lama. Namun mengapa kini kau memperlakukan aku seperti ini?""I loved you." Ujar Effendy, namun itu terasa menyakitkan di telinga Ashley ketika menyadari kalimat yang digunakan tunangannya adalah past tense."Namun sekarang, aku tidak punya perasaan berlebih untukmu, Ly. Aku menyayang