Eleanor merasa tubuhnya mendadak kaku. Dia mundur sebentar, mencari kekuatannya, lalu menatap mata biru suaminya, "Mengapa?"Effendy menimbang-nimbang, lalu dengan berat dia menjawab, "Ashley hamil anakku."Eleanor tak banyak bereaksi, gadis itu diam, pandangannya menurun dan berubah redup. Dia merasa huyung, karnanya Ele memutuskan untuk duduk di atas kursi yang ada di dekatnya."Kamu dan dia..." "Aku minta maaf," Ele terlalu linglung, bahkan tak menyadari ketika Effendy telah berlutut di depannya, menatap penuh permohonan, "Aku minta maaf." Ulang Effendy.Matanya mendadak panas, Ele keheranan dengan dirinya yang akhir-akhir ini tidak dapat mengendalikan diri. Dengan bibir gemetar, dia berusaha bersuara. "Kau yakin itu anakmu? Maksudku... Kalian...""Itu anakku, Ele."Pupus. Segala harapannya untuk tetap bersama dengan lelaki yang telah merebut separuh hatinya itu pupus sudah. Ele tak melihat apapun, dia merasa segala sesuatu gelap untuk sesaat. Lama, mereka terdiam tanpa kata. Keh
Hari itu nyatanya tiba juga, tepat seminggu setelah Effendy membicarakan perceraian dengan Eleanor, surat itu pun sampai. Effendy tak di sana, hanya Ele seorang diri didalam kamarnya menatapi lembar pengesahan status pisah mereka. Lama, dia tercenung. Ele tak menaruh perhatian sedikitpun dengan pernyataan bahwa Effendy akan tetap bertanggungjawab secara nafkah setelah mereka bercerai. Pikirannya, terasa kosong. Eleanor mengangkat tangannya, menandatangani surat itu dengan sekali gerak, lalu berdiri.Dia menatap sekeliling kamarnya sebentar, lalu meraih kopernya yang sudah dia siapkan sejak tadi. Dengan langkah yang dikuatkan, Ele keluar dari kamarnya, melihat Maritha dan para maid yang lain telah berdiri di depan kamarnya dengan ekspresi prihatin."Selamat berpisah, Nyonya," mata Maritha tampak memerah. "Saya berharap Anda selalu berbahagia." "Terimakasih, Rith. Terimakasih juga karna sudah banyak membantuku selama ini." Ele memeluk maid yang paling dekat dengannya itu lalu menoleh
Eleanor membuka mata, menyaksikan dirinya telah berada di ruangan yang mudah dikenalinya sebagai kamar rumah sakit. Bau rumah sakit selalu khas untuk mengirimkan informasi ke otaknya. Tangannya di selundupi infus, membuat Ele berusaha mengingat apa yang membawanya kesini.Tristan ada dalam ruangan itu, menatapnya dengan pandangan yang rumit. Laki-laki itu bahkan tak tersenyum ketika melihat Ele telah sadar."Anemiaku kambuh," ujar Ele dengan pandangan ke langit-langit. Tristan mendekat ke ranjangnya, kali itulah Ele melihat laki-laki itu mencoba tersenyum saat menatapnya. "Aku ingin memberitahu sebuah kabar, aku harap kamu tidak kaget," ujarnya pula. Ekspresinya terlihat muram."Apa yang hendak Mas sampaikan?"Tristan menarik nafas sejenak. "Kamu hamil, sudah lima Minggu."Eleanor terdiam sesaat, dia mencoba bergerak duduk meski kepalanya masih sedikit terasa pening. Hamil? Lima Minggu?Itu adalah anak Effendy. Ele tahu. Tapi sekonyong-konyong dia merasa tak berdaya, kaget, dan bingu
Eleanor masih menatap alamat yang diberikan Sang Bunda. Dia menaruh Carikan kertas itu dan kemudian melangkah menyiapkan segelas coklat panas untuk membangkitkan moodnya.Alamat ibu kandungnya yang ditinggalkan pada sang Bunda tampaknya berada di kompleks perumahan elit, kediaman para borjuis.Jika ibunya berasal dari keluarga kaya, lantas mengapakah dia ditinggalkan di panti asuhan? Ataukah ibunya sebangsa perempuan penjilat yang menikahi laki-laki karna harta, sedang Eleanor hanyalah sebuah kesalahan ketika perempuan itu masih melarat?Eleanor menyesap coklat panasnya. Lagi, dia meraih kertas alamat yang di letakkan di atas meja.Ujaran sang bunda melintas dalam benaknya. 'Tidakkah dia ingin melihat rupa wanita yang telah melahirkannya?'Eleanor menarik napas, "Baik, aku rasa aku harus menemuinya."***Ele turun dari mobilnya miliknya, menatap sebuah bangunan besar yang boleh di katakan sebagai mansion, dengan pagar-pagar tinggi putih berjeruji. Dia berdecak, mengapa harus berpikir
Ashley sungguh menginginkan pernikahan. Bukan pertunangan. Dia tidak habis pikir dengan Effendy yang tidak langsung melamar dirinya, namun malah melangsungkan pertunangan lebih dulu.Acara pertunangan itu telah dilaksanakan, Ashley dan Effendy telah kembali di satu mobil yang sama. Effendy tidak menyetir. Laki-laki itu menunduk memeriksa tabnya di jok belakang dan bahkan tidak bicara. Di sampingnya Ashley duduk dengan airmuka dongkol. Kendaraan berjalan dengan kecepatan sedang, di supiri oleh Pak Rizal, salah satu supir kepercayaan Abimanyu. Mereka berhenti di sebuah rumah, bukan Kediaman utama Abimanyu. Itu adalah rumah yang lain, tak kalah bagusnya dengan kediaman utama."Apa ini?" Ashley menoleh menatap Effendy dengan heran, ketika kendaraan mereka akhirnya berhenti, dan sang sopir membukakan pintu sisinya lebih dulu.Effendy menatap Ashley, "rumahmu." Dengan jawaban pendek itu Effendy keluar dari mobilntanpa menunggu pintu di bukakan. Ashley ikut turun keluar dengan ekspresi mar
Pagi hari.Meja makan sunyi, suara denting sendok dua manusia yang menikmati sarapan itu saja yang terdengar.Saat akhirnya sarapan itu selesai, Effendy bicara setelah meletakkan serbet. "Aku sudah mengatur jadwal pemeriksaan kandunganmu dengan dokter Lia. Besok pagi kita bisa kesana."Ashley tampak terkejut, "Tidak..." Dia tegugu sebentar lalu memperjelas ucapannya. "Maksudku, aku sudah punya dokter kebanggaan Bimantara, kau tidak perlu memusingkan itu.""Anak yang ada di dalam perutmu adalah anakku, Ly. Aku yang bertanggungjawab dengan itu.""Kamu bahkan tidak menikahiku," ketus Ashley. "Sesulit itukah mengikrarkan bersama denganku di sisa umurmu? Kita bukan orang asing, Chislon. Kita telah dekat sejak lama. Namun mengapa kini kau memperlakukan aku seperti ini?""I loved you." Ujar Effendy, namun itu terasa menyakitkan di telinga Ashley ketika menyadari kalimat yang digunakan tunangannya adalah past tense."Namun sekarang, aku tidak punya perasaan berlebih untukmu, Ly. Aku menyayang
Hari itu cukup cerah setelah hujan beberapa hari. Memasuki bulan Juni memang langit sering muram seharian. Ele memanfaatkan cuaca yang baik itu untuk pergi ke toko perlengkapan bayi yang terkenal di kotanya. Perutnya sudah berusia tiga bulan, sudah agak membuncit meski tidak begitu kentara.Eleanor mengendarai mobilnya sendirian, saat dia tiba di depan toko tersebut, langit yang cerah telah berubah mendung dan mulai menumpahkan gerimis.Dia keluar dari mobil dan melindungi kepalanya dengan tas tangannya, sedikit berlarian ke arah toko tersebut.Dia menghela napas lega karna berhasil masuk dan menghindari hujan. Toko cukup sepi, mungkin karna cuaca. Ele bergerak ke arah stand perlengkapan lahiran lebih dulu, namun wanita itu harus bergerak mundur secara refleks saat menyaksikan ada sepasang sejoli yang dikenalinya tengah berada didekat stand yang dia tuju.Sepasang Tuan dan Nyonya Abimanyu.Ele memutar badan, memutuskan untuk beralih ke bagian toko yang lain. Dia berputar-putar sebent
"Darimana?" Miranti menyapa begitu suaminya muncul di ruang tv, wajah Tristan tampak kelelahan."Restoran," jawab pria itu dengan terburu-buru dan tampak tidak niat, bergerak menuju kamar mereka untuk membersihkan diri.Miranti melirik jam, sudah pukul 08.00 malam. Dia bangkit dari duduknya dan menyusul sang suami. Ketika dia tiba di kamar, Tristan telah berada di dalam kamar mandi. Suara gemericik air terdengar dari sana. Wanita itu, membuka walk in closet dan mengambilkan pakaian ganti, menaruhnya di atas tempat tidur.Tak lama kemudian, Tristan keluar, tanpa banyak basi-basi langsung mengenakan piyama yang disiapkan istrinya."Kamu menemui Eleanor?" Tanya Miranti pelan. Tristan mengangguk. "Ya.""Urusan pekerjaan?"Tristan menatap istrinya, "kamu mencurigai ku?""Wanita itu sudah pandai mengelola usahanya sendiri, dia tidak perlu lagi bantuanmu.""Maksud kamu apa, Mir?" Tristan menghela napa gusar. Miranti menatap suaminya dengan dalam, "tidakkah kamu sedikit menghargai perasaanku
Tiga hari berlalu, Eleanor yang menyibukkan diri merawat Kaisar memilih untuk tidak menaruh harapan besar. Dia hanya ingin melihat, sejauh apakah usaha Effendy mematahkan dugaan perselingkuhan yang dia saksikan.Menepati janjinya, pagi itu Effendy kembali datang ke kediaman Winata.Namun kali itu, dia tidak sendirian, melainkan bersama perempuan Indo-Prancis yang Ele kenali sebagai Irliana. Perempuan yang berciuman dengan suaminya.Gemma membawa Kaisar bermain -main ke taman, Gemmi turut nimbrung bersama kakaknya ke sana.Di ruang tamu, Eleanor duduk bersama Ayahnya. Sedang Anita memilih untuk tidak turut campur. Dia tidak menampakan dirinya di ruang tamu.Sultan mempersilakan Effendy dan Irliana duduk. Memindai sosok Irliana sejenak, lalu laki laki itu bicara. "Saya mendengar, putri saya meminta Anda memberikan bukti kalau Anda memang tidak berselingkuh."Effendy mengangguk, "Ini Irliana, perempuan yang merupakan sahabat masa kecil saya, juga yang disalahpahami sebagai selingkuhan sa
Effendy tahu bahwa Sultan Winata adalah salah satu orang terpandang yang cukup famous di negeri ini. Yang membuat dia terkejut, adalah kenyataan yang dia terima bahwa Eleanor adalah putri Sultan Winata bersama dengan Dewi Bimantara. Kedua orangtua dari istrinya ternyata masih hidup.Sekembalinya ke kediaman, Effendy di kabarkan oleh salah satu maid bahwa ada sebuah paket untuknya. Ketika dia membuka, itu adalah surat perceraian, yang menunggu tanda tangannya.Secepat itu?Effendy meremas kertas itu dan membuangnya ke sembarang arah. Dia tidak akan Sudi menandatangi surat perceraian itu. Chislon merasa hatinya menjadi dingin dan sakit, dia merasa Eleanor tengah membalasnya. Dulu, dia yang melayangkan surat cerai pada istrinya.Effendy tak ingin menunggu waktu yang lama, dengan mengendarai mobilnya, Chislon menuju kediaman Sultan Winata. Dia tidak merasa kesulitan karna alamat itu begitu gampang dia peroleh dari Mahesa.Kediaman Sultan Winata masuk dalam kawasan elit. Ketika ia turun da
Berita tentang Adallard Quentin yang melakukan kekerasan pada istrinya langsung menjadi konsumsi publik, perihal semua perlakuannya yang terekam di siarkan langsung ke sosial media.Kepolisian Indonesia akhirnya menyerahkan kasus itu pada Polisi Prancis. Berbeda dengan sebelumnya, polisi Prancis tidak bisa berbuat banyak atau menutup mata karna tekanan publik.Irliana kembali ke Prancis untuk menghadiri sidang putusan dan juga untuk pengajuan perceraian terhadap suaminya. Dia berjanji pada Effendy akan kembali ke Indonesia setelah urusannya selesai. Dia berharap, Effendy juga bisa segera menemukan keberadaan Eleanor. Wanita itu tak henti-hentinya mengucapkan terimakasih dan maaf berulangkali.Effendy melepasnya di bandara, hanya mengangguk atas semua ucapan ucapan Irliana."Kabari aku jika sudah menemukan istrimu, aku akan kembali ke Indonesia untuk membantu menjelaskan semuanya... Aku juga ingin meminta maaf secara langsung padanya..." Itu adalah ucapan terakhir Irliana sebelum beran
Harapan Effendy meredup, sampai keesokan hari, istri dan anaknya tidak pulang ke rumah. Sedang Irliana untuk sementara dia izinkan tinggal di kediaman utama agar bisa langsung memberikan klarifikasi jika Ele kembali sewaktu-waktu.Eleanor bak di telan bumi, ponselnya tidak dapat di hubungi. Effendy sampai menggunakan nomor baru untuk menghubungi, namun tetap tidak bisa. Itu menandakan kalau Ele mungkin sudah berganti nomor saat itu juga.Ketika Chislon memutuskan untuk datang ke panti asuhan ke esokan harinya, dia tidak menemukan Eleanor di sana, bahkan menurut sang bunda, Ele tidak datang ke sana sama sekali.Rasa bersalah, marah, cemas dan khawatir membuat Chislon merasa tidak tenang. Dia berdiri di balkonnya, mengerahkan orang-orangnya untuk mencari keberadaan sang istri."Aku benar-benar minta maaf, Chislon." Irliana menghampiri Chislon yang berdiri di balkon lantai dua. Laki laki itu baru saja mengecek laporan dari orang-orangnya yang masih nihil."Sekalipun kamu meminta maaf rib
Ketika Effendy tiba di rumah yang di tempati Irliana, dia melihat sosok Adallard yang berdiri bersandar di sisi mobil miliknya. Laki laki dengan cambang halus yang menghiasi dagunya itu tersenyum miring ketika berhadapan dengan sosok Effendy.Keduanya berhadapan -hadapan dengan tinggi tubuh yang tampak setara. "Effendy Chislon Abimanyu," eja Adallard menilai laki-laki di hadapannya dari atas sampai bawah. Dia membuka mulutnya dan berbicara dalam bahasa Prancis, dengan suara rendah dan manipulatif. "Aku sudah tahu, kamu, memang Chislon yang itu. Sahabat masa kecil istriku...." "Irliana tidak suka dengan kehadiranmu." Tandas Chislon dalam bahasa Prancis."Siapa yang perduli," Adallard mengangkat bahu dan tertawa pendek. "Seberapa kuatpun kamu berusaha melindunginya, apakah kamu pikir hukum akan melindungi seorang laki laki yang menyembunyikan seorang wanita dari suaminya?""Kamu tidak pantas menjadi suaminya." Effendy tersenyum sinis, menghunus lawan bicaranya dengan pandangan tajam l
Effendy terbangun pagi itu, menyadari dia tertidur semalaman sembari memeluk istrinya. Eleanor masih lelap, wanita itu sepertinya tidak sadar membalas pelukan suaminya. Laki-laki itu sudah bermaksud membereskan permasalahan mereka hari ini. Dia tidak bisa membiarkan Ele dalam persepsi salah tentangnya lebih lama.Dia mengusap rambut Eleanor, mencium dahinya. Saat itu, Ele terbangun. Sang istri tampak terkejut menyadari posisi mereka dan langsung melepaskan diri, menjauh lalu perlahan bangun dari tempat tidur.Sebelum Effendy bicara apapun, Ele telah bergerak masuk ke dalam kamar mandi.Effendy hanya bisa menghela napas kasar. Dia pelan bangkit, bermaksud mengecek bayinya lebih dulu. Nyatanya Kaisar belum bangun. Ketika dia kembali ke kamarnya, Eleanor sudah keluar dari kamar mandi.Merasa Ele masih belum bisa di ajak bicara, Effendy akhirnya masuk ke kamar mandi. Dia berencana tidak akan ke kantor hari ini. Saat Effendy keluar, dia mendapati istrinya tak lagi ada di sana. Selagi ia me
Ketika ia terbangun, Effendy lekas membasuh wajahnya, lalu bermaksud keluar untuk kembali mencari ponselnya. Itu baru menjelang pukul enam pagi.Effendy melihat Irliana berada di dapur, sibuk memasak sesuatu. Mungkin sarapan pagi. Ketika dia melihat Effendy, Irli mendekat dan menyodorkan sebuah benda dari balik celemeknya."Ini ponselmu, aku lihat ketinggalan di pantry," kata Irli pula. Effendy sedikit berpikir, semalam ia mencari sampai kesana, namun dia tidak menemukan gawai tersebut di meja pantry. Atau dia hanya kurang memperhatikan?"Terimakasih," sambut Effendy pula. Irli menjadi lebih diam."Kamu sudah akan kembali?" Tanya wanita itu setelah kesunyian mengendap di antara mereka beberapa ketika."Ya,"Irli terdiam sejenak, "Aku membuatkan sarapan untukmu, apa tidak bisa menunggu?"Tak tega melihat wanita itu semakin kecewa, Effendy mengangguk. Lagipula itu hanya nasi goreng, lima menit kemudian telah matang.Maka keduanya pun sarapan di meja makan dengan duduk berhadapan muka. S
Supermarket terdekat dari rumah yang ditempati Irliana bukan supermarket besar. Wanita itu akhirnya memilih pergi berbelanja untuk mengisi waktu. Selain itu, Irliana adalah seorang yang suka memasak dengan tangannya sendiri.Penjagaan dari para guard Abimanyu masih terus ketat di sekitarnya, namun tidak membuatnya risih. Lagipula, setiap keluar Irli selalu menggunakan topi, kacamata dan masker supaya dia tidak di kenali. Wanita itu menyusup di salah stand dan mulai memilih sayuran.Di sampingnya, mendekat seorang lelaki dengan keranjang troli, mulai turut memilih sayuran. Irli tidak menatap atau memerhatikan sosok di sampingnya. Dia memilih fokus memilah milah sayuran untuk menu yang di masaknya malam ini. Irli merasa antusias, dia ingin mengundang Effendy nanti."Begitu manis, pasti suami Anda bahagia punya istri seperti Anda." Seseorang berbicara dalam bahasa Prancis.Seperti mendengar suara dari neraka, Irli tersentak. Suara serak dan manipulatif itu sangat di kenalnya. Dia menole
Beberapa hari berlalu dengan normal. Akhir-akhir ini Effendy pulang ke rumah tepat waktu, bahkan dia mengambil cuti dua hari untuk membawa Ele dan Kaisar berjalan-jalan, menghabiskan waktu bersama istri dan anaknya. Meski kecurigaan Ele mengendur, namun dia tetap tak lantas berhenti lama sekali.Pagi itu, Effendy memutuskan ke kantor karna ada meeting tentang pemetaan program di Maluku, mengenai usaha tambang Ab Gallia yang ada di sana.Ketika dia mandi, Ele tengah merapikan seprei. Saat dia menimbang akan mengganti seprei itu dengan yang baru, wanita itu melihat layar ponsel suaminya menyala. Effendy terbiasa menaruh ponselnya di nakas dekat tempat tidur. Terbawa penasaran, Ele mendekat dan melihat notifikasi.[Kapan mengunjungiku? Aku bosan.]Kata terakhir di bubuhi emoticon sedih. Ele membaca nama yang tertera di sana. Irry L.Siapa Irry L?Eleanor melihat ke arah pintu kamar mandi nun di sana, masih mendengarkan bunyi shower yang menderu tanda suaminya masih dalam aktivitas mandin