Pagi hari.Meja makan sunyi, suara denting sendok dua manusia yang menikmati sarapan itu saja yang terdengar.Saat akhirnya sarapan itu selesai, Effendy bicara setelah meletakkan serbet. "Aku sudah mengatur jadwal pemeriksaan kandunganmu dengan dokter Lia. Besok pagi kita bisa kesana."Ashley tampak terkejut, "Tidak..." Dia tegugu sebentar lalu memperjelas ucapannya. "Maksudku, aku sudah punya dokter kebanggaan Bimantara, kau tidak perlu memusingkan itu.""Anak yang ada di dalam perutmu adalah anakku, Ly. Aku yang bertanggungjawab dengan itu.""Kamu bahkan tidak menikahiku," ketus Ashley. "Sesulit itukah mengikrarkan bersama denganku di sisa umurmu? Kita bukan orang asing, Chislon. Kita telah dekat sejak lama. Namun mengapa kini kau memperlakukan aku seperti ini?""I loved you." Ujar Effendy, namun itu terasa menyakitkan di telinga Ashley ketika menyadari kalimat yang digunakan tunangannya adalah past tense."Namun sekarang, aku tidak punya perasaan berlebih untukmu, Ly. Aku menyayang
Hari itu cukup cerah setelah hujan beberapa hari. Memasuki bulan Juni memang langit sering muram seharian. Ele memanfaatkan cuaca yang baik itu untuk pergi ke toko perlengkapan bayi yang terkenal di kotanya. Perutnya sudah berusia tiga bulan, sudah agak membuncit meski tidak begitu kentara.Eleanor mengendarai mobilnya sendirian, saat dia tiba di depan toko tersebut, langit yang cerah telah berubah mendung dan mulai menumpahkan gerimis.Dia keluar dari mobil dan melindungi kepalanya dengan tas tangannya, sedikit berlarian ke arah toko tersebut.Dia menghela napas lega karna berhasil masuk dan menghindari hujan. Toko cukup sepi, mungkin karna cuaca. Ele bergerak ke arah stand perlengkapan lahiran lebih dulu, namun wanita itu harus bergerak mundur secara refleks saat menyaksikan ada sepasang sejoli yang dikenalinya tengah berada didekat stand yang dia tuju.Sepasang Tuan dan Nyonya Abimanyu.Ele memutar badan, memutuskan untuk beralih ke bagian toko yang lain. Dia berputar-putar sebent
"Darimana?" Miranti menyapa begitu suaminya muncul di ruang tv, wajah Tristan tampak kelelahan."Restoran," jawab pria itu dengan terburu-buru dan tampak tidak niat, bergerak menuju kamar mereka untuk membersihkan diri.Miranti melirik jam, sudah pukul 08.00 malam. Dia bangkit dari duduknya dan menyusul sang suami. Ketika dia tiba di kamar, Tristan telah berada di dalam kamar mandi. Suara gemericik air terdengar dari sana. Wanita itu, membuka walk in closet dan mengambilkan pakaian ganti, menaruhnya di atas tempat tidur.Tak lama kemudian, Tristan keluar, tanpa banyak basi-basi langsung mengenakan piyama yang disiapkan istrinya."Kamu menemui Eleanor?" Tanya Miranti pelan. Tristan mengangguk. "Ya.""Urusan pekerjaan?"Tristan menatap istrinya, "kamu mencurigai ku?""Wanita itu sudah pandai mengelola usahanya sendiri, dia tidak perlu lagi bantuanmu.""Maksud kamu apa, Mir?" Tristan menghela napa gusar. Miranti menatap suaminya dengan dalam, "tidakkah kamu sedikit menghargai perasaanku
Eleanor terjaga tiba-tiba, merasa mual menerpa dirinya. Dia bergerak bangkit dan menuju kamar mandi, memuntahkan isi perutnya. Setelah merasa agak baikan, Ele membasuh wajahnya di wastafel. Saat itulah dia mendengar bunyi bel, seseorang mengunjungi dirinya.Wanita itu menyeret langkahnya ke pintu, lalu mengecek siapa yang berkunjung malam malam begini melalui lubang intip."Mbak Mira?" gumam Ele, sedikit kebingungan. Tanpa curiga, dia membuka pintu, menyaksikan presensi Miranti berdiri menatapnya dengan wajah yang sedikit sembab. Satu tangannya berada di dalam saku celana."Boleh aku masuk?" tanya Miranti, tanpa ekspresi.Ele diam sejenak, lalu mengangguk, "Silakan Mbak."Miranti beranjak masuk, Ele menutup pintu, mengikuti langkah wanita itu yang berjalan menuju sofa yang ada disana.Eleanor membuatkan segelas minuman hangat, menyajikannya di depan Miranti yang masih diam."Apa kabar, Mbak?" tanya Ele, memecah hening."Buruk." jawab Miranti dengan pandangan tajam. Matanya menatap per
Semenjak insiden dimana Miranti nyaris membahayakan nyawanya, Tristan tak menghubungi Ele lagi. Wanita itu juga sebenarnya tidak masalah dan justru merasa bersyukur, berharap hubungan kedua suami istri itu akan lantas membaik. Tristan memang editornya, namun Ele sudah mulai mempekerjakan editor pengganti semenjak satu bulan yang lalu dengan persetujuan pria itu sendiri, mengingat Tristan juga harus mengurus bisnis yang lain.Beberapa bulan berlalu, kini kandungan Ele telah berusia tujuh bulan. Dia mulai merasakan banyak kesusahan dalam beraktivitas dan mulai mengenakan pakaian atau sepatu yang tidak terlalu ribet. Hari itu, saat Ele baru saja usai dari kantor Hadasa Publish, dia bertemu dengan Tristan di parkiran. Laki-laki itu bersandar di kap mobilnya dan tersenyum melihat kemunculan Eleanor.Ele sedikit terkejut, ini adalah pertama kalinya dia berdua dengan Tristan lagi setelah beberapa bulan terakhir. Mereka hanya berkomunikasi lewat chat, dan itupun hanya hal penting saja yang u
Mengapa sesakit ini?Effendy menahan rasa nyeri yang menyerang batinnya, dia memutar tubuh, berusaha melanjutkan langkahnya. Effendy sudah berada di rumah sakit ini sejak dua jam lalu, menjenguk ayahanda Ashley yang mengalami serangan jantung ringan. Dia hanya keluar sebentar ke restoran terdekat untuk makan siang, dan saat dia kembali, tak dinyana dia harus melihat pemandangan yang menyakitkan Eleanor mengandung anak Tristan. Secepat itukah Ele melupakan dirinya?Effendy masih berusaha memperbaiki perasaannya saat dia akhirnya tiba di ruang VVIP yang menjadi ruang rawat ayah dari tunangannya.Cakrawibowo, ayah Ashley itu terbaring di atas ruang rawat, masih tertidur pulas setelah dilakukan penanganan.Isterinya, Nyonya Bimantara duduk di sofa yang ada dalam ruangan itu, membaca sebuah buku."Ashley belum tiba?" Dewi Bimantara tampak menyorot punggung Effendy, berharap Putri semata wayangnya itu datang.Effendy menggeleng. Dewi tak banyak bicara. "Papa sudah membaik, kamu bisa kembali
Bau minyak kayu putih tercium tajam, memicu organ sensorik Eleanor aktif kembali. Perempuan yang tengah berbadan dua itu membuka mata, mendapati dirinya berada di kamar sang bunda. Dia menyaksikan di sana ada bundanya dan Tristan yang setia duduk di atas kursi rotan."Nah, sudah sadar. Mau minum, Nak?" Tanya Darmawati. Ele mengangguk, Tristan membantunya duduk, sedang sang bunda menyodorkan segelas air ke arah bibir Ele dengan sabar.Ele meneguknya sekali, lalu airmata berlomba membasahi wajahnya. Wanita itu terisak dalam diam."Ada yang sakit?" Tristan tampak cemas, duduk di sisi ranjang."Mas, sebaiknya Mas kembali dulu, Mbak Miranti pasti sedang mencari." Ujar Ele, mengusap airmatanya, "Aku tidak sakit,"Tristan menggeleng dengan keras kepala, "Tidak, aku tidak mungkin ninggalin kamu.""Ada saya, Pak. Tenanglah, Ele aman disini," ujar Darmawati dengan senyum lembut. Tristan terdiam sebentar, dia menatap Ele yang diam saja dengan pandangan kosong, lalu akhirnya Tristan mengangguk."
Terkadang, perempuan frustasi adalah sebuah sarana yang mudah digunakan. Ashley menyadari hal itu dengan baik. Dia dapat melihat perempuan didepannya itu memiliki sorot nanar dan nyaris tidak punya semangat hidup."Miranti Sumanegoro, benar kan?" Ashley bertanya memastikan. Wanita di hadapannya yang duduk di seberang meja kafe beraroma membangkit selera itu mengangguk. Miranti, istri dari Tristan."Saya kenal Anda," ucap Miranti, dengan sikap yang acuh dan tidak begitu berminat. "Anda adalah putri dari konglomerat Bimantara.""Anda tidak salah," angguk Ashley. Miranti menatap perut Ashley, "Saya lihat Anda sedang mengandung." Wajahnya semakin muram, "Selamat." Lanjutnya."Anda mungkin mengenal saya sebagai nona Bimantara, namun sebenarnya saya sudah memiliki tunangan, dia adalah Chislon Abimanyu, mantan suami Eleanor, wanita yang dekat dengan suamimu."Mata Miranti membesar, dia mendengus, "Saya muak mendengar nama perempuan sialan itu."Ashley dapat melihat, kecemburuan, rasa sakit h