Semenjak insiden dimana Miranti nyaris membahayakan nyawanya, Tristan tak menghubungi Ele lagi. Wanita itu juga sebenarnya tidak masalah dan justru merasa bersyukur, berharap hubungan kedua suami istri itu akan lantas membaik. Tristan memang editornya, namun Ele sudah mulai mempekerjakan editor pengganti semenjak satu bulan yang lalu dengan persetujuan pria itu sendiri, mengingat Tristan juga harus mengurus bisnis yang lain.Beberapa bulan berlalu, kini kandungan Ele telah berusia tujuh bulan. Dia mulai merasakan banyak kesusahan dalam beraktivitas dan mulai mengenakan pakaian atau sepatu yang tidak terlalu ribet. Hari itu, saat Ele baru saja usai dari kantor Hadasa Publish, dia bertemu dengan Tristan di parkiran. Laki-laki itu bersandar di kap mobilnya dan tersenyum melihat kemunculan Eleanor.Ele sedikit terkejut, ini adalah pertama kalinya dia berdua dengan Tristan lagi setelah beberapa bulan terakhir. Mereka hanya berkomunikasi lewat chat, dan itupun hanya hal penting saja yang u
Mengapa sesakit ini?Effendy menahan rasa nyeri yang menyerang batinnya, dia memutar tubuh, berusaha melanjutkan langkahnya. Effendy sudah berada di rumah sakit ini sejak dua jam lalu, menjenguk ayahanda Ashley yang mengalami serangan jantung ringan. Dia hanya keluar sebentar ke restoran terdekat untuk makan siang, dan saat dia kembali, tak dinyana dia harus melihat pemandangan yang menyakitkan Eleanor mengandung anak Tristan. Secepat itukah Ele melupakan dirinya?Effendy masih berusaha memperbaiki perasaannya saat dia akhirnya tiba di ruang VVIP yang menjadi ruang rawat ayah dari tunangannya.Cakrawibowo, ayah Ashley itu terbaring di atas ruang rawat, masih tertidur pulas setelah dilakukan penanganan.Isterinya, Nyonya Bimantara duduk di sofa yang ada dalam ruangan itu, membaca sebuah buku."Ashley belum tiba?" Dewi Bimantara tampak menyorot punggung Effendy, berharap Putri semata wayangnya itu datang.Effendy menggeleng. Dewi tak banyak bicara. "Papa sudah membaik, kamu bisa kembali
Bau minyak kayu putih tercium tajam, memicu organ sensorik Eleanor aktif kembali. Perempuan yang tengah berbadan dua itu membuka mata, mendapati dirinya berada di kamar sang bunda. Dia menyaksikan di sana ada bundanya dan Tristan yang setia duduk di atas kursi rotan."Nah, sudah sadar. Mau minum, Nak?" Tanya Darmawati. Ele mengangguk, Tristan membantunya duduk, sedang sang bunda menyodorkan segelas air ke arah bibir Ele dengan sabar.Ele meneguknya sekali, lalu airmata berlomba membasahi wajahnya. Wanita itu terisak dalam diam."Ada yang sakit?" Tristan tampak cemas, duduk di sisi ranjang."Mas, sebaiknya Mas kembali dulu, Mbak Miranti pasti sedang mencari." Ujar Ele, mengusap airmatanya, "Aku tidak sakit,"Tristan menggeleng dengan keras kepala, "Tidak, aku tidak mungkin ninggalin kamu.""Ada saya, Pak. Tenanglah, Ele aman disini," ujar Darmawati dengan senyum lembut. Tristan terdiam sebentar, dia menatap Ele yang diam saja dengan pandangan kosong, lalu akhirnya Tristan mengangguk."
Terkadang, perempuan frustasi adalah sebuah sarana yang mudah digunakan. Ashley menyadari hal itu dengan baik. Dia dapat melihat perempuan didepannya itu memiliki sorot nanar dan nyaris tidak punya semangat hidup."Miranti Sumanegoro, benar kan?" Ashley bertanya memastikan. Wanita di hadapannya yang duduk di seberang meja kafe beraroma membangkit selera itu mengangguk. Miranti, istri dari Tristan."Saya kenal Anda," ucap Miranti, dengan sikap yang acuh dan tidak begitu berminat. "Anda adalah putri dari konglomerat Bimantara.""Anda tidak salah," angguk Ashley. Miranti menatap perut Ashley, "Saya lihat Anda sedang mengandung." Wajahnya semakin muram, "Selamat." Lanjutnya."Anda mungkin mengenal saya sebagai nona Bimantara, namun sebenarnya saya sudah memiliki tunangan, dia adalah Chislon Abimanyu, mantan suami Eleanor, wanita yang dekat dengan suamimu."Mata Miranti membesar, dia mendengus, "Saya muak mendengar nama perempuan sialan itu."Ashley dapat melihat, kecemburuan, rasa sakit h
Eleanor tengah menyiram bunga-bunga Melur di halaman panti, ketika sebuah mobil mewah berhenti di tepian jalan. Wanita itu menghentikan aktivitasnya, menyaksikan seorang perempuan paruh baya turun dari mobil dari kursi penumpang.Lalu emosi asing yang tidak disukainya menguasai hati. Ele memperhatikan sosok perempuan itu berjalan mendekat ke arahnya. Dia tidak suka melihat wanita ini, wanita yang dua bulan lalu datang dan mengklaim diri sebagai ibunya, namun juga menolaknya."Selamat pagi," sapa Dewi Bimantara, dia mencoba tersenyum meski itu pada akhirnya terlihat canggung. Matanya menatap wajah Ele lamat-lamat, lalu turun ke perut besar wanita itu. Kenapa dia baru sadar kalau Ele sedang hamil?"Selamat pagi, Anda mencari siapa, Nyonya?" Balas Ele sembari menatap wanita itu sekilas.Saat itu, keluarlah Darmawati yang sudah mendeteksi kedatangan tamu dari suara mobil tadi. "Saya mencari kamu," ungkap Dewi, lalu dia menoleh ke arah Darmawati, meminta persetujuan lewat gerakan matanya.
"Apa yang Nyonya inginkan?"Ele menatap ibu kandungnya dengan ekspresi datar. "Sekarang ibu tahu kalau aku masih bertahan hidup. Lalu, Nyonya mau apa?"Dewi Bimantara terdiam. "Tidakkah... Kamu ingin memanggilku Mama?"Ele mengernyit. "Saya tidak berniat. Itu terasa aneh di lidah saya...""Apakah itu artinya kamu menolakku sebagai ibumu?" Mata Dewi berkaca, namun Ele tak tampak terusik."Saya memaafkan Anda." Ujar Ele akhirnya, suaranya melembut. "Tapi saya tidak bisa memanggil Anda sebagai Mama, saya cukup tahu saja jika Anda adalah ibu kandung saya. Saya juga adalah sebuah kesalahan. Jika saya masuk ke dalam kehidupan Nyonya sekarang, bisa saja saya menghancurkan rumah tangga Nyonya yang sempurna. Kehadiran saya tak beda dengan 21 tahun yang lalu, saya tetaplah suatu ancaman bagi rumah tangga Nyonya. Maka demi kebaikan bersama, maka anggaplah..." Ele terhenyak sebentar, sorot matanya meredup. "Anggaplah kita tidak saling kenal. Saya tidak ingin kehidupan Nyonya nantinya akan tersoro
Ashley berbaring di pangkuan Effendy, mendengus kesal melihat tunangannya masih menatap tabnya tanpa terusik sedikitpun. Perut palsunya sudah membuncit, untunglah dia menggunakan perut kulit dengan buatan mahal, sehingga ketika seseorang menyentuh itu akan terasa perut sungguhan."Kamu tidak menyentuh perutku? Hmm?" Ashley menjalari wajah Effendy dengan jarinya, mengagumi profil tampan pria itu yang selalu tampak tanpa cela dari sudut manapun.Effendy bergeming sedikit, dia mengulurkan tangannya, mengusap perut Ashley. Dia sudah sering melakukannya akhir akhir ini."Dia tidak menendang," gumam Effendy, suaranya pelan , dia juga tidak mengatakan kalimat itu dengan serius. "Biasanya bukannya di usia kehamilan seperti ini bayinya akan menendang? Aku biasa melihatnya di iklan saat masih anak-anak.""Biasanya nendang kok, cuma kebetulan saja pas di sentuh kamu tidak," jawab Ashley, mengatur ekspresi sesantai mungkin. "Malam ini tidur bersamaku, mau?"Effendy menyingkirkan tangan Ashley yan
Dewi Bimantara bulan main kecewanya. Wanita itu bahkan masuk ke mansion kediaman Bimantara dengan linglung sehingga para maid langsung menyapa untuk memastikan sang nyonya baik-baik saja. Dewi hanya menggeleng-gelengkan kepala, lalu bertanya dengan suara lemah."Dimana Tuan?""Tuan sedang berada di ruang kerjanya, Nyonya."Dewi mengangguk pelan. Cakra memang sudah lebih banyak kerja di rumah karna tubuhnya yang rentan sakit akhir akhir ini.Dewi menghempaskan tubuh di atas sofa di ruang tamu maha luas itu, tak dapat memalingkan diri dari kebohongan anaknya.Ashley mencurangi Chislon, sehingga lelaki itu melepas isterinya. Eleanor. Mengingat Ele, putrinya yang lain, Dewi teringat akan kehamilan wanita itu. Tidak pernah dia tanyakan siapa ayah dari anak putrinya, karna merasa khawatir Eleanor tidak akan suka di tanyai. Namun melihat pada timeline dan usia kandungan Ele yang sudah membesar, apakah itu anaknya Chislon? Memikirkannya, membuat Dewi semakin pusing.Saat itu, pintu depan man