"Ada apa ya? Tiba-tiba perasaan ku tidak enak begini. Tiba-tiba juga langsung teringat dengan Maya. Seharusnya jam segini aku sudah tertidur karena pengaruh dari obat. Tapi aku malah belum bisa memejamkan mata. Sebenarnya ada apa dengan Maya? Atau jangan-jangan Maya sedang..." "Auw," Tiba-tiba saja, dada ayah Doni terasa sedikit sesak. Entah apa yang tengah terjadi pada ayah Doni saat ini. Apakah penyakitnya kembuh kembali atau hanya sesak biasa. Yang jelas, perasaan ayah Doni kini sulit dijelaskan. Pikirannya terus menuju pada putri semata wayangnya, Maya. ***Esok hari. Hari ini seharusnya Maya tengah bahagia karena acara kencan pertamanya di malam minggu. Namun, acara yang mereka rencanakan harus gagal setelah kejadian yang diciptakan oleh Bryan. Maya yang biasanya bangun pagi dan penuh semangat untuk menyambut pagi hari, kini terlihat lesu. Terduduk di pinggiran ranjang dengan wajah ditekuk, mata sembab karena kebanyakan menangis semalam. Weekend ini sungguh, Maya benar-benar
"Udah selesai belum, sayang?" tanya Bryan pada Maya. Maya menghela nafas lalu menghampiri Bryan. "Sudah kok," Maya tersenyum manis pada Bryan. "Ya ampun cantiknya, istri aku ini. Mau kemana sih?" goda Bryan. "Kan mau kencan sama ayang, hehe!" "Gemasnya! Ayo jalan!" Bryan menggandeng tangan Maya lalu mereka berjalan beriringan. Mama Indah dan Papa Putra tak henti-hentinya menatap pasangan yang lagi dilanda asmara itu. Sudah pasti mereka sangat terkejut melihat mereka berdua terlihat begitu mesra. Bryan dengan gagahnya menggandeng tangan Maya yang begitu cantik pagi ini. "Ma, Papa nggak salah lihat kan?" bisik papa Putra pada mama Indah dengan mata yang terus tertuju ke arah Bryan dan Maya. "Mama kira, Mama yang udah rabun, Pa. Ternyata, Papa juga melihat pemandangan itu?" sahut mama Indah lirih. "Memangnya, Mama sedang lihat apa?" tanya Papa Putra memastikan. "Lihat Pangeran dan Putri lagi jalan menuju kita. Oh tidak! Maksudnya, Bryan dan Maya yang begitu mesra, Pa!" jawab Ma
“Jadi, ayah saya harus segera melakukan operasi, Dok?” “Iya, demi kebaikan pasien.”“Lakukan yang terbaik untuk ayah saya, Dok! Saya mohon!” pinta Maya pada dokter yang menangani ayahnya. “Baik, persiapkan biayanya ya! Kalo begitu saya permisi!” Setelah berbincang dengan dokter, Maya pun pergi ke ruangan tempat ayahnya dirawat. Maya benar-benar bingung, bagaimana caranya mendapatkan uang untuk biaya operasi ayahnya.“Ayah, bertahan ya! Maya janji bakal berusaha semampu Maya untuk kesembuhan, Ayah. Ayah harus ingat kebersamaan kita selama ini. Pasti, Ayah nggak bakal tega ninggalin Maya!"Saat Maya tengah beranalog sendiri, tiba-tiba,"Saya akan membiayai semua biaya rumah sakit ayah kamu, asalkan kamu mau melakukan apa yang saya perintahkan!" Seseorang mengeluarkan sebuah kalimat dari arah belakang Maya.Maya sontak langsung menengok ke arah suara, terlihat seorang ibu tua seumuran dengan ayahnya. Ia pun langsung mengusap air matanya yang sempat lolos dari kelopak matanya tadi."Ma
Maya datang untuk memenuhi perintah mama Indah, seperti kesepakatan kemarin saat di rumah sakit. Bryan semakin takut karena kekasihnya tak kunjung datang. Jika dihitung ini sudah lebih dari lima menit. Karena waktu semakin bertambah dan kekasih Bryan yang tak kunjung datang, akhirnya Bryan terpaksa menikah dengan Maya. Pernikahan mereka pun segera dilangsungkan.***"Sini kamu!" sentak Bryan. "A-aku?" Maya menunjuk dirinya sendiri. "Iya kamu lah, siapa lagi? Di sini cuma ada kamu! Apa kamu buta sampai-sampai tidak bisa melihat kondisi disekitar kamu!" bentak Bryan. "I-iya maaf, Ma-Mas," "Lancang sekali kamu memanggil ku dengan sebutan 'Mas'? Oh, ternyata kamu memang benar-benar percaya diri sekali ya? Dasar perempuan murahan!" Bryan terus mengeluarkan kalimat yang menyakiti hati Maya. Maya bingung dengan semua kalimat yang keluar dari mulut suaminya, Bryan. Apa salahnya jika dia memanggil Bryan dengan sebutan itu? Bukankah Bryan seorang lelaki dan lebih tua dari dirinya? Bukanka
"Ekhem! Bryan, istri kamu mana?" tanya papa Putra. "Di kamar, Pa!" jawab Bryan enteng. "Kenapa nggak bareng sama kamu?" tanya Papa Putra lagi dengan ekspresi penuh selidik. "Dia ketiduran mungkin!" jawab Bryan lalu mulai mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Suasana hening sejenak. Bryan yang semula sibuk lalu berhenti dan mengamati keadaan sekitar, mengapa keadaan menjadi sepi tanpa suara. "Kenapa pada ngeliatin aku seperti itu? Enggak, Ma, Pa! Aku beneran nggak ngapa-ngapain dia kok, jangan berburuk sangka sama aku lah!" ucap Bryan yang terlihat begitu santai. Mama Indah dan Papa Putra kompak hanya mengangkat kedua bahu mereka masing-masing. Padahal kekeadaan yang sebenarnya adalah Maya tengah menderita saat ini. Di dalam kamar ia sedang kebingungan untuk meminta bantuan pada siapa? "Aku lelah, tetapi aku tidak boleh menyentuh apa pun. Lalu bagaimana caranya aku beristirahat? Bagaimana pula caraku mandi? Handuk saja tidak ada apalagi pakaian untuk ganti. Akh, perutku terasa
BRAK!!! "A-aku kenapa, Mas?" tanya Maya lirih. Bryan mendekat pada Maya. "Jangan pernah mengadu apa pun pada mama dan papa! Awas aja kalo kamu ngomong yang macam-macam! Apalagi soal kejadian yang semalam! " Bryan langsung meninggalkan Maya sendiri di dalam kamarkamar setelah mengeluarkan kalimat ancaman itu. Lagi dan lagi Maya menghela napas panjang. Baru juga siuman tetapi dirinya sudah mendapat ancaman dari suaminya. "Sabar, semua ini demi ayah. Aku pasti bisa lewati semua ini karena Tuhan tidak akan menguji hambanya di atas batas kemampuan hambanya kan? Ya, aku memang tidak pernah mengharapkan sebuah pernikahan yang seperti ini tapi mau bagaimana pun semua ini sudah terjadi. Mau tidak mau aku harus bisa menerima semuanya. Semoga perlahan suami ku bisa menerima kehadiran ku dan pernikahan kita berjalan sesuai semestinya. Aku sangat berharap akan hal itu karena aku tidak mau mengalami kegagalan dalam hal pernikahan." Maya terus bermonolog sendiri. Kepala Maya masih terasa berat
"Maya, mama sebenarnya sudah mencari tahu siapa kamu, rumah tinggal kamu, sekolah kamu dan keluarga kamu. Ya pokoknya semua yang berkaitan sama kamu lah. Terus mama juga tahu bahwa kamu baru saja lulus SMA kemarin kan? Nah, mama sama papa sudah sepakat untuk menyekolahkan kamu ke jenjang yang lebih tinggi. Bagaimana sayang, kamu mau kan?" ujar mama Indah pada Maya. Sekolah ke jenjang yang lebih tinggi? Jelas itu adalah impian Maya sedari kecil. Menjadi dokter adalah cita-citanya. Alasan Maya bercita-cita menjadi dokter adalah ayah dan ibunya. Melihat ayahnya yang sering sakit-sakitan juga ibunya yang meninggal karena kecelakaan tabrak lari. Karena penanganannya yang kurang cepat atau bisa dibilang terlambat, ibunya meninggal saat baru saja tiba di rumah sakit. Ibunya diduga kehabisan banyak darah karena benturan keras di bagian kepalanya. Maya begitu penasaran, bagaimana bisa mama mertuanya mendapat informasi tentang dirinya. "Bagaimana bisa, Mama tahu informasi tentang aku? Mama j
Mama Indah melepaskan pelukannya pada Maya. Ia tersenyum pada Maya. "Kamu kemarin gagal kan menjenguk ayah kamu gara-gara, Bryan?" tanya mama Indah. "Em, kemarin aku...""Udah, mama tahu kok kalo kemarin Bryan banyak mau. Dia nyuruh kamu ini itu kan? Jangan bohong sama mama, mama tahu kamu menutupi kelakuan Bryan sama mama. Sekarang kita ke rumah sakit ya, mama temani kamu nungguin ayah yang akan operasi nanti!" "Operasi? Ah iya, Maya sampe lupa soal operasi ayah, Ma. Tapi bukankah harusnya operasinya kemarin ya, Ma?" tanya Maya bingung. "Iya, tapi kemarin kebetulan dokter yang akan menangani operasi ayah kamu nggak ada, jadi operasinya dilakukan hari ini. Ayo siap-siap ke rumah sakit sekarang!" "Oh gitu, ya udah Maya ke kamar buat siap-siap dulu ya, Ma!" pamit Maya. "Iya, sayang!" Tiba-tiba saja, papa Putra datang menghampiri mama Indah. "Jadi ke rumah sakit kan, Ma?" tanya papa Putra. "Iya, Pa. Papa jadi ikut kan?" "Jadi kok, kebetulan Papa lagi nggak ada kerjaan juga dika