Mama Indah melepaskan pelukannya pada Maya. Ia tersenyum pada Maya.
"Kamu kemarin gagal kan menjenguk ayah kamu gara-gara, Bryan?" tanya mama Indah."Em, kemarin aku...""Udah, mama tahu kok kalo kemarin Bryan banyak mau. Dia nyuruh kamu ini itu kan? Jangan bohong sama mama, mama tahu kamu menutupi kelakuan Bryan sama mama. Sekarang kita ke rumah sakit ya, mama temani kamu nungguin ayah yang akan operasi nanti!""Operasi? Ah iya, Maya sampe lupa soal operasi ayah, Ma. Tapi bukankah harusnya operasinya kemarin ya, Ma?" tanya Maya bingung."Iya, tapi kemarin kebetulan dokter yang akan menangani operasi ayah kamu nggak ada, jadi operasinya dilakukan hari ini. Ayo siap-siap ke rumah sakit sekarang!""Oh gitu, ya udah Maya ke kamar buat siap-siap dulu ya, Ma!" pamit Maya."Iya, sayang!"Tiba-tiba saja, papa Putra datang menghampiri mama Indah."Jadi ke rumah sakit kan, Ma?" tanya papa Putra."Iya, Pa. Papa jadi ikut kan?""Jadi kok, kebetulan Papa lagi nggak ada kerjaan juga dikantor!""Oke deh kalo gitu!"***Operasi ayah Maya berjalan dengan lancar. Ayah Maya atau biasa dipanggil Ayah Doni itu telah melewati masa kritisnya.Kini, mereka sedang berkumpul bersama. Ayah Doni sebenarnya masih tak percaya jika putri semata wayangnya itu telah menikah. Apalagi pernikahan itu terjadi saat dirinya sedang tak sadarkan diri."Ayah masih nggak percaya kalo kamu sudah menikah, Nak!" Ayah Doni menggenggam tangan Maya dan menatap manik mata Maya untuk mencari jawaban di sana.Maya tersenyum pada ayahnya dan meyakinkan bahwa ia memang benar-benar sudah menikah."Ayah, Maya memang benar sudah menikah. Maaf karena Maya menikah saat Ayah tidak sadarkan diri tapi semua serba mendadak, Yah!" ucap Maya yang merasa bersalah pada ayahnya."Em, baiklah tapi mengapa harus mendadak? Setahu ayah, kamu tidak pernah dekat dengan laki-laki sebelumnya. Apa kamu selama ini berpacaran tanpa sepengetahuan ayah?" tanya ayah Doni penasaran."Bukan begitu, Ayah! Kami memang kenal belum lama ini kok, Ayah. Tapi suami Maya benar-benar serius, makanya ia ingin segera menikah dengan Maya. Apalagi melihat kondisi, Ayah seperti ini jadi dia berpikir ingin menjaga Maya dan bertanggung jawab soal kesembuhan, Ayah. Baik banget kan menantu, Ayah?"Mengapa Maya berbohong? Jelas ia tak ingin ayahnya tahu kejadian yang sebenarnya. Dia juga tidak ingin membuat ayahnya bersedih jika tahu suami Maya tidak menerima kehadiran Maya bahkan bisa dikatakan jahat pada Maya."Baiklah, Ayah tahu sekarang alasannya. Lalu kemana suami kamu sekarang? Dia tidak datang menjenguk ayah?""Di-dia...,""Dia sedang istirahat di rumah, Pak! Em, sebenarnya anak saya juga habis terkena musibah beberapa hari lalu yang mengakibatkan ia lumpuh sementara. Ya, sebenarnya pernikahan mereka ini terjadi juga karena saya ingin ada yang mengurus anak saya, Pak. Maaf karena semua serba mendadak dan tidak memberitahu, Bapak terlebih dahulu!" potong Papa Putra."Iya, Pak! Kami benar-benar minta maaf karena tidak meminta restu terlebih dahulu pada, Bapak!" imbuh mama Indah."Ya ampun, jadi seperti itu. Ya ya, tidak apa-apa, Pak, Bu, saya mengerti keadaannya. Sekarang yang terpenting adalah mereka sudah resmi menjadi sepasang suami istri, semoga pernikahan mereka langgeng dan berjalan dengan baik kedepannya. Mengingat Maya ini adalah anak saya satu-satunya jadi saya ingin yang terbaik untuk dia!""Syukurlah, jika semuanya sudah bisa menerima pernikahan ini. Saya janji akan memperlakukan Maya seperti anak saya sendiri, Pak. Saya dan istri saya juga sangat senang dengan kehadiran Maya di dalam keluarga saya, karena kami jadi punya anak perempuan yang cantik, ya kan Ma?""Iya benar banget, Pa! Karena dari dulu kami ingin sekali punya anak perempuan, Pak! Jadi waktu Maya datang rasanya kita punya anak perempuan gitu, seneng banget jadinya!" sahut mama Indah."Alhamdulillah, saya senang mendengarnya. Saya juga senang jadi punya anak laki-laki. Saya jadi ingin cepat-cepat bertemu dengan menantu saya yang baik hati itu. Pasti dia sangat tampan dan bijaksana!" ucap Ayah Doni dengan senyum tulusnya."Ayah tenang saja, nanti pasti bertemu kalo, Ayah pulang dari sini!" ujar Maya.Disaat yang lain sedang berada di rumah sakit, di tempat lain Bryan sedang termenung di samping kolam yang berada di dalam rumahnya.Seharusnga ia berada di kantor saat ini, akan tetapi ia memutuskan untuk pulang lebih cepat. Sebenarnya ia tidak benar-benar ingin pergi ke kantor apalagi dengan keadaan dia yang masih menggunakan kursi roda.Bryan hanya menghindari suasana rumah yang menurutnya menyebalkan. Dia juga menghindari perintah mamanya yang meminta dirinya untuk menemani Maya pergi belanja kebutuhan Maya."Aku sebenarnya males juga ke kantor kalo bukan terpaksa. Lagian mama ada-ada aja, ngapain nyuruh aku buat nemenin dia belanja? Udah tahu, anaknya nggak bisa jalan begini!" gerutu Bryan.Masih duduk di kursi roda miliknya, Bryan kembali termenung dengan sebuah foto yang menampilkan seorang wanita cantik terjaga di tangan kanannya."Kamu kemana si, sayang? Apa benar yang dikatakan mama kalo kamu pergi ninggalin aku karena keadaan aku yang seperti ini sekarang? Aku tak percaya itu! Mama bohong kan? Itu semua tidak benar kan? Kita saling mencintai, saling menyayangi. Kita punya mimpi untuk hidup bersama hingga tua nanti. Yang aku tahu kamu menerima aku apa adanya jadi tidak mungkin kamu ninggalin aku. Tapi kenapa kamu tidak datang disaat hari pernikahan kita? Kamu kemana? Aku nungguin kamu, sampe akhirnya aku terpaksa menikah dengan perempuan pilihan mama. Argh! Aku tak mengerti semua ini!" Bryan merobek foto itu lalu membuangnya ke dalam kolam.Bryan begitu frustasi karena keadaannya ditambah kekasihnya yang menghilang entah kemana.***Waktu malam pun datang. Setelah makan malam bersama, mereka kembali ke kamar masing-masing.Maya teringat jika dirinya dilarang keras untuk menyentuh ranjang itu kembali. Ia berpikir keras untuk tidur di mana malam ini. Sempat terpikir jika ia akan tidur di salah satu kamar pelayan yang kosong."Mau kemana kamu?" tanya Bryan saat melihat Maya akan pergi dari kamar."Em, aku mau ke kamar pelayan, Mas!""Ngapain ke sana? Mau pamer kalo kamu nggak boleh tidur di sini gitu? Biar mama dan papa tahu kalo aku larang kamu buat tidur di ranjang gitu?" ketus Bryan."Bukan begitu maksud aku, tapi,""Sudah cukup! Aku nggak butuh penjelasan kamu! Kamu tidur di kursi panjang itu saja! Nih bantalnya!" Bryan melemparkan satu bantal tepat mengenai wajah Maya."Baik, Mas!" Maya hanya bisa pasrah mengikuti perintah Bryan.Mereka berdua sama-sama berbaring. Mencoba memejamkan mata tapi tak ada yang bisa tidur.Beberapa menit kemudian, Bryan melongok ke arah Maya.'Apa dia sudah tertidur? Enak sekali dia bisa tidur dengan nyenyak! Tidak akan aku biarkan itu terjadi!' batin Bryan."Ekhem! Apa kamu sudah tidur gadis bodoh?" teriak Bryan.Maya mendengar ucapan Bryan. Lalu menengok ke arah Bryan."Aku?" tanya Maya pada Bryan."Iya lah, siapa lagi? Sini kamu!" pinta Bryan.Dengan cepat, Maya bangun lalu mendekat pada Bryan."Naik!" pinta Bryan lagi."Naik? Tapi kan aku tidak boleh menyentuh ranjang ini, Mas?""Tidak usah membantah! Cepat naik!" Bryan menarik tangan Maya dengan keras."Iya, aku naik!" Maya sudah berada di ranjang lalu dia harus apa."Sudah! Aku harus apa?" tanya Maya dengan sedikit takut karena mengingat kejadian tadi pagi saat Bryan mandi."Melayani lah! Aku tidak bisa tidur, jadi kamu harus membuatku bisa tertidur. Bagaimanapun caranya!" jawab Bryan."Ma-maksud,kamu apa, Mas? Aku benar-benar tidak mengerti!""Aku tidak mau tahu, kamu harus membuat ku puas dan bisa tertidur dengan nyenyak malam ini!" tegas Bryan.'Aku harus melakukan apa?' Maya nampak berpikir keras untuk itu."Woy, malah diem! Cepat lakukan sekarang!" Bryan menarik tangan Maya.Maya menghela napas panjang. Lalu mumulai memijit pelan tubuh Bryan.Bryan menikmatinya, perlahan ia mulai memejamkan matanya."Hem, bilang aja kalo mau dipijit sih, pake acara bentak-bentak dulu!" gumam Maya sedikit heran dengan suaminya."Kamu ngedumel hah? Nggak ikhlas melayani suami?" Bryan membuka matanya kembali.Deg!Bersambung..."Kamu ngedumel hah? Nggak ikhlas melayani suami?" Bryan membuka matanya kembali. Deg! "Ah, eng-enggak, Mas, bukan nggak ikhlas. Aku ikhlas kok, cuma heran aja sama sikap kamu, kenapa nggak langsung bilang aja dengan baik-baik gitu!" ucap Maya sedikit takut jika Bryan tetap marah. Bryan merubah posisinya menjadi duduk. Perlahan ia mendekatkan wajahnya pada Maya. Melihat Maya dari atas hingga bawah. Seperti sedang mencari sesuatu di sana. "Yah, aku rasa memang pantas jika kamu banyak disukai lelaki. Pasti tarifnya mahal kan?" Bryan memegang tangan Maya lalu menatap Maya dengan intens. Ucapan Bryan benar-benar menyakiti hati Maya kali ini. Setelah memaksa dirinya untuk melakukan pekerjaan yang perintahkan oleh Bryan lalu ia masih dituduh untuk hal yang tidak pernah ia lakukan. "Lepas! Dengarkan ini baik-baik ya, Mas! Aku bukan perempuan murahan! Aku juga tidak pernah melayani laki-laki manapun seperti yang kamu tuduhkan itu! Aku tidak pernah menjual diri pada siapa pun! Kamu menger
"A-ayah? Maksudnya apa, Pa, Ma?" Bola mata Bryan bergerak ke kanan dan ke kiri, melihat ke arah mama dan papanya. "Iya, ayahnya Maya habis melakukan operasi dan lagi proses pemulihan, Bryan. Ayah mertua kamu itu, nanti kamu ikut jengukin Beliau! Kemarin kamu ditanyain waktu Beliau habis operasi. Pokoknya kamu harus jaga sikap kamu di depan ayahnya Maya, jangan sampai kamu membuat Beliau kecewa!" ujar Papa Putra. "Oh begitu, ya udah nanti Bryan ikut dan ya, sebagai rasa hormat Bryan kepada orang yang lebih tua, Bryan bakal jaga sikap kok, Pa!" "Bagus lah, kalo gitu!" ***Bryan, Maya, mama Indah dan papa Putra telah sampai di rumah sakit. Ini pertama kalinya Bryan bertemu dengan ayah mertuanya. "Ayah, Maya datang lagi buat jenguk, Ayah!" ucap Maya dengan tersenyum. "Em, ayah juga senang kamu datang lagi, Nak!" ayah Doni juga tersenyum membalas Maya. "Bagaimana, Pak, sudah lebih baik dari kemarin?" tanya papa Putra. "Alhamdulillah, sudah lebih baik, Pak, kata Dokter besok siang
"Hah? Cucu?" Bryan dan Maya saling pandang. Mengapa mama Indah malah mengira jika mereka ingin pergi kencan atau bulan madu. "Bukan, Ma! Kita nanti mau jemput ayah dari rumah sakit, kan ayah nanti sudah boleh pulang, Ma!" ungkap Bryan. "Oh, kirain hehe. Ya sudah lah, gak apa-apa deh. Tapi nanti pergi bulan madu ya? Mama sama papa udah pengin gendong cucu loh. Eh tapi Maya mau kuliah lagi kan? Hem, gimana ya?" "Itu urusan gampang, Ma! Nanti kita pikirin masalah itu kok, jangan khawatir!" ucap Bryan. Maya melihat ke arah Bryan. Maya bingung apa yang Bryan maksud sebenarnya. Perihal bulan madu yang akan dibahas atau masalah Maya yang ingin berkuliah. "Baiklah, Mama tunggu kabar baiknya aja deh!" celetuk mama lalu tertawa kecil. "Hem, Mama ada-ada aja. Ya udah, Bryan udah selesai makan terus mau berangkat ke kantor sebentar sebelum jemput ayahnya Maya!" ujar Bryan. "Kamu tunggu aku di rumah ya! Aku ke kantor cuma sebentar aja kok!" pinta Bryan pada Maya. "Iya, Mas," "Semangat ke
Pagi-pagi sekali, Maya telah bangun dan menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan Bryan, apalagi sekarang Bryan telah kembali bekerja dengan rutin. "Aku udah siapin air untuk mandi kamu, Mas!" ucap Maya pada Bryan yang baru saja bangun. "Ya, aku akan mandi sekarang! Tolong ambilkan handuk milik ku!" pinta Bryan pada Maya. "Ya, sebentar ya, Mas!" Maya pun langsung pergi untuk mengambil handuk milik Bryan. Tak lama kemudian, Maya kembali membawa handuk lalu memberikannya pada Bryan. "Ini, Mas! Ayo aku bantu kamu mandi sekalian!" Maya pun mendorong kursi roda milik Bryan. "Apa karena kejadian dua hari ini, kamu jadi berpikir bahwa aku telah mencintai kamu? Sebenarnya aku masih belum bisa mencintai kamu tapi aku sudah mulai melakukan,-" "Iya, aku tahu itu kok, Mas!" Maya memotong ucapan Bryan. Maya membuang napas kasar. "Aku tidak berpikir seperti itu, tapi apa aku salah jika aku mengharapkan semua itu? Bagaimana pun juga kita sudah menjadi sepasang suami istri bukan? Aku juga pu
Beberapa hari telah berlalu. Maya dan Bryan semakin dekat sesuai dengan perjanjian mereka tempo lalu. Maya akan terus mengurus Bryan hingga Bryan sembuh. Sedangkan Bryan akan menentukan pilihan apa yang akan diambil. Apakah akan bercerai atau tetap melanjutkan pernikahan mereka yang artinya dia harus menerima Maya sebagai istrinya. Keadaan Bryan semakin membaik, Maya, mama Indah dan papa Putra pun senang dan berharap Bryan bisa berjalan kembali seperti semula. Pagi ini, seperti biasa Bryan akan pergi ke kantor dan itu artinya Maya harus menyiapkan dan mengurus semua keperluan Bryan. "Mas, nanti aku sudah mulai masuk kuliah!" ucap Maya sembari merapikan dasi Bryan. "Ya sudah, memangnya aku harus apa?" respon Bryan terlihat cuek dan biasa saja. "Enggak harus apa-apa juga, aku cuma bilang aja sih!" balas Maya lalu dirinya bersiap untuk mandi. "Hem," Sepeninggalan Maya, Kevin terdiam. 'Aku harus menyembunyikan hal ini dari semuanya untuk sementara waktu. Aku belum siap jika nanti
"BUGH!" Maya langsung menghajar salah satu siswa tersebut. Rasanya ia sungguh tak terima karena mereka telah menghina suaminya. Jika mereka hanya menghinanya, ia tak akan mempermasalahkan itu karena dari dulu juga ia sering dihina. "Aww! Apa-apaan kamu berani sekali menghajar ku? Aku laporkan juga kamu ke pihak kampus!" Siswa itu meringis kesakitan lalu tak terima dengan perlakuan Maya dan mengancam Maya untuk melaporkannya pada pihak kampus. "Laporin aja kalo berani! Aku nggak takut sama sekali!" Tanpa rasa takut, Maya justru menantang balik siswa tersebut. "Oke, awas aja kamu!" Siswa itu pun pergi begitu saja meninggalkan Maya, Bryan dan supir. "Dih, sok banget sih? Beraninya main lapor-lapor aja! Kalo berani tuh di ring! Adu skill! Dasar payah!" ejek Maya pada siswa itu. "Maya, kamu apa-apaan sih? Baru juga pertama kali masuk sekolah udah buat ulah saja!" omel Bryan. "Siapa yang buat ulah? Orang dia duluan yang mulai kok!" kilah Maya membela diri. "Kamu mau sekolah atau ma
"Aih, Ma tadi Maya berantem sama siswa di kampusnya tahu?!" "Hah, apa?" Mama Indah kaget dan benar-benar tak percaya sama ucapan Bryan. "Dih, nggak percaya kan? Tuh tanya sama supir Bryan biar jelas!" cetus Bryan. "Hem, oke oke, nanti mama nanya sama supir kamu. Tapi kenapa kok bisa berantem?" tanya mama Indah penasaran. "Gara-gara ada yang hina Bryan, Ma! Sebenarnya Bryan ikut turun itu karena Bryan mau bertemu dengan salah satu dosen di sana, maksud Bryan itu biar ada yang mengawasi Maya gitu loh. Gini-gini, Bryan juga suami yang baik dan pengertian tahu, Ma!" cetus Bryan. "Oh ya ya, mama paham maksud kamu. Ikh tumben kamu pinter, gitu dong jadi anak mama yang baik. Kan jadi bangga kalo gini, coba aja kalo oon kaya dulu, beeeuh, mama rasanya pengin buang kamu ke laut tahu nggak sih? Kesel mama tuh, jadi agak nyesel punya anak kaya kamu!" oceh mama Indah. "Hem, tapi sekarang enggak kan? Bryan udah jadi anak yang baik, kan? Tapi menurut mama, Maya cinta nggak sih sama, Bryan?"
Bryan dan Leon sontak melihat ke arah sumber suara. "Astaga!!!""Kenapa pada kaget begitu? Kaya lihat hantu saja!" "Lah memang kaya hantu, Tiba-tiba nongol setelah lama menghilang tanpa pamit tanpa kabar!" cibir Leon. "Hem, aku bisa jelaskan semuanya, Bryan!" "Aku nggak peduli apa pun tentang kamu!" tegas Bryan. "Sayang, aku mohon dengerin aku dulu ya! Plis, sayang!" "Enggak ada yang perlu dijelaskan lagi, dan enggak ada lagi ada panggilan sayang!" Bryan kembali menegaskan kalimat itu pada perempuan yang ada di depannya itu. "A-apa maksudnya? Aku calon istri kamu loh, Bryan! Emang apa salahnya dengan panggilan sayang itu? Bukankah sejak dulu kamu senang dengan panggilan itu? Ayo lah, plis jangan seperti ini aku mohon!" Perempuan itu kembali memohon pada Bryan. "Apa lagi sih? Kita sudah tidak terikat dengan hubungan itu lagi! Semenjak kamu pergi dan nggak datang di hari dimana pernikahan kita seharusnya berlangsung. Kemana kamu selama ini, hah?" pekik Bryan. "Aku bisa jelasin
"Udah selesai belum, sayang?" tanya Bryan pada Maya. Maya menghela nafas lalu menghampiri Bryan. "Sudah kok," Maya tersenyum manis pada Bryan. "Ya ampun cantiknya, istri aku ini. Mau kemana sih?" goda Bryan. "Kan mau kencan sama ayang, hehe!" "Gemasnya! Ayo jalan!" Bryan menggandeng tangan Maya lalu mereka berjalan beriringan. Mama Indah dan Papa Putra tak henti-hentinya menatap pasangan yang lagi dilanda asmara itu. Sudah pasti mereka sangat terkejut melihat mereka berdua terlihat begitu mesra. Bryan dengan gagahnya menggandeng tangan Maya yang begitu cantik pagi ini. "Ma, Papa nggak salah lihat kan?" bisik papa Putra pada mama Indah dengan mata yang terus tertuju ke arah Bryan dan Maya. "Mama kira, Mama yang udah rabun, Pa. Ternyata, Papa juga melihat pemandangan itu?" sahut mama Indah lirih. "Memangnya, Mama sedang lihat apa?" tanya Papa Putra memastikan. "Lihat Pangeran dan Putri lagi jalan menuju kita. Oh tidak! Maksudnya, Bryan dan Maya yang begitu mesra, Pa!" jawab Ma
"Ada apa ya? Tiba-tiba perasaan ku tidak enak begini. Tiba-tiba juga langsung teringat dengan Maya. Seharusnya jam segini aku sudah tertidur karena pengaruh dari obat. Tapi aku malah belum bisa memejamkan mata. Sebenarnya ada apa dengan Maya? Atau jangan-jangan Maya sedang..." "Auw," Tiba-tiba saja, dada ayah Doni terasa sedikit sesak. Entah apa yang tengah terjadi pada ayah Doni saat ini. Apakah penyakitnya kembuh kembali atau hanya sesak biasa. Yang jelas, perasaan ayah Doni kini sulit dijelaskan. Pikirannya terus menuju pada putri semata wayangnya, Maya. ***Esok hari. Hari ini seharusnya Maya tengah bahagia karena acara kencan pertamanya di malam minggu. Namun, acara yang mereka rencanakan harus gagal setelah kejadian yang diciptakan oleh Bryan. Maya yang biasanya bangun pagi dan penuh semangat untuk menyambut pagi hari, kini terlihat lesu. Terduduk di pinggiran ranjang dengan wajah ditekuk, mata sembab karena kebanyakan menangis semalam. Weekend ini sungguh, Maya benar-benar
PRANG!!! Bryan membanting ponselnya ke meja makan yang terbuat dari kaca. Karena benturan yang keras, membuat meja kaca itu melantar. Namun, suara keras itu muncul karena ponsel Bryan juga mengenai piring di meja itu. Piring itu pecah sehingga mengeluarkan suara dan itu membuat Maya memutuskan untuk kembali ke ruang makan. "Mas Bryan?!" pekik Maya. Bryan langsung menoleh ke Maya. Dilihatnya Maya tengah berdiri tak jauh darinya. Dengan satu tangan menutup mulutnya. Bryan masih tidak sadar bahwa dirinya tengah berdiri tegak sekarang. Sedangkan Maya sungguh masih tak percaya dengan pemandangan yang ada di depannya ini. Maya berpikir apakah ini semua mimpi atau memang Bryan yang sengaja membohongi dirinya. "Kamu udah sembuh, Mas?" tanya Maya sembari berjalan mendekat pada Bryan. "Ah, a-aku?" Bryan seketika melihat dirinya sendiri dan sadar bahwa dirinya tengah berdiri tegak. "Kamu bohong sama aku, Mas tentang kebenaran ini?" tanya Maya lagi. "A-aku bisa jelasin soal ini, May!" Bry
Suasana hening seketika, mereka kembali melakukan kegiatan makan malam. Namun tiba-tiba saja, "Ma, apa benar dulu Mama yang suruh Rania untuk pergi ninggalin Bryan?" "Hah?" Seketika mama Indah dan papa Putra terkaget. Bagaimana bisa Bryan tiba-tiba membahas soal Rania dan bertanya semacam itu pada mamanya. Dan bukan hanya mama Indah dan papa Putra saja yang kaget, Maya juga ikut kaget sekaligus bingung. Maya bingung, siapa itu Rania sebenarnya. Apa begitu penting bagi Bryan, atau jangan-jangan Rania itu adalah mantan kekasih Bryan yang gagal menikah dengannya itu. "Kamu apa-apa sih, Bryan? Kamu tiba-tiba nanya kaya gitu ke mama, seolah-olah kalo mama adalah penyebab bubarnya hubungan kalian berdua!" cerca Mama Indah tak habis pikir dengan Bryan. "Ya, Bryan emang penasaran soal itu, Ma!" "Lagian kamu kok keterlaluan sih, bahas masalah mantan alias masa lalu di depan istri kamu yang jelas-jelas masa depan kamu sekarang sampe nanti!" omel Papa Putra pada Bryan yang juga kesal kare
'Kamu harus pergi dari sini sekarang juga! Karena anak ku tidak membutuhkan kamu di sini!' Rania. "SHIT!!!" Bryan mengusap wajahnya kasar. "Apa maksud dari semua ini? Dia tiba-tiba saja muncul di kehidupan ku lagi setelah menghilang begitu saja dan dia malah berusaha menjelek-jelekkan mama di depan ku. Terus maksud dia kirim seperti tadi itu apa? Apa maksud dia, itu adalah suruhan dari mama untuk dia? Tapi aku nggak percaya kalo seperti itu! Argh, gila lama-lama kalo begini!"Bryan menghapus pesan dari Rania. Lalu dia menyuruh supir untuk pergi ke tempat penjualan ponsel. Bryan memang berniat untuk membelikan ponsel untuk istrinya, Maya.Maya memang tidak memiliki ponsel selama ini. Bryan sempat penasaran karena tidak pernah melihat Maya memegang atau main ponsel di mana pun. Akhirnya Bryan bertanya dan memang benar jika Maya tidak pernah membeli ponsel sebelumnya. Sejak kejadian itu, Bryan semakin merasa bersalah karena pada awal-awal pernikahan dia selalu menuduh Maya yang tidak-
Bryan dan Leon sontak melihat ke arah sumber suara. "Astaga!!!""Kenapa pada kaget begitu? Kaya lihat hantu saja!" "Lah memang kaya hantu, Tiba-tiba nongol setelah lama menghilang tanpa pamit tanpa kabar!" cibir Leon. "Hem, aku bisa jelaskan semuanya, Bryan!" "Aku nggak peduli apa pun tentang kamu!" tegas Bryan. "Sayang, aku mohon dengerin aku dulu ya! Plis, sayang!" "Enggak ada yang perlu dijelaskan lagi, dan enggak ada lagi ada panggilan sayang!" Bryan kembali menegaskan kalimat itu pada perempuan yang ada di depannya itu. "A-apa maksudnya? Aku calon istri kamu loh, Bryan! Emang apa salahnya dengan panggilan sayang itu? Bukankah sejak dulu kamu senang dengan panggilan itu? Ayo lah, plis jangan seperti ini aku mohon!" Perempuan itu kembali memohon pada Bryan. "Apa lagi sih? Kita sudah tidak terikat dengan hubungan itu lagi! Semenjak kamu pergi dan nggak datang di hari dimana pernikahan kita seharusnya berlangsung. Kemana kamu selama ini, hah?" pekik Bryan. "Aku bisa jelasin
"Aih, Ma tadi Maya berantem sama siswa di kampusnya tahu?!" "Hah, apa?" Mama Indah kaget dan benar-benar tak percaya sama ucapan Bryan. "Dih, nggak percaya kan? Tuh tanya sama supir Bryan biar jelas!" cetus Bryan. "Hem, oke oke, nanti mama nanya sama supir kamu. Tapi kenapa kok bisa berantem?" tanya mama Indah penasaran. "Gara-gara ada yang hina Bryan, Ma! Sebenarnya Bryan ikut turun itu karena Bryan mau bertemu dengan salah satu dosen di sana, maksud Bryan itu biar ada yang mengawasi Maya gitu loh. Gini-gini, Bryan juga suami yang baik dan pengertian tahu, Ma!" cetus Bryan. "Oh ya ya, mama paham maksud kamu. Ikh tumben kamu pinter, gitu dong jadi anak mama yang baik. Kan jadi bangga kalo gini, coba aja kalo oon kaya dulu, beeeuh, mama rasanya pengin buang kamu ke laut tahu nggak sih? Kesel mama tuh, jadi agak nyesel punya anak kaya kamu!" oceh mama Indah. "Hem, tapi sekarang enggak kan? Bryan udah jadi anak yang baik, kan? Tapi menurut mama, Maya cinta nggak sih sama, Bryan?"
"BUGH!" Maya langsung menghajar salah satu siswa tersebut. Rasanya ia sungguh tak terima karena mereka telah menghina suaminya. Jika mereka hanya menghinanya, ia tak akan mempermasalahkan itu karena dari dulu juga ia sering dihina. "Aww! Apa-apaan kamu berani sekali menghajar ku? Aku laporkan juga kamu ke pihak kampus!" Siswa itu meringis kesakitan lalu tak terima dengan perlakuan Maya dan mengancam Maya untuk melaporkannya pada pihak kampus. "Laporin aja kalo berani! Aku nggak takut sama sekali!" Tanpa rasa takut, Maya justru menantang balik siswa tersebut. "Oke, awas aja kamu!" Siswa itu pun pergi begitu saja meninggalkan Maya, Bryan dan supir. "Dih, sok banget sih? Beraninya main lapor-lapor aja! Kalo berani tuh di ring! Adu skill! Dasar payah!" ejek Maya pada siswa itu. "Maya, kamu apa-apaan sih? Baru juga pertama kali masuk sekolah udah buat ulah saja!" omel Bryan. "Siapa yang buat ulah? Orang dia duluan yang mulai kok!" kilah Maya membela diri. "Kamu mau sekolah atau ma
Beberapa hari telah berlalu. Maya dan Bryan semakin dekat sesuai dengan perjanjian mereka tempo lalu. Maya akan terus mengurus Bryan hingga Bryan sembuh. Sedangkan Bryan akan menentukan pilihan apa yang akan diambil. Apakah akan bercerai atau tetap melanjutkan pernikahan mereka yang artinya dia harus menerima Maya sebagai istrinya. Keadaan Bryan semakin membaik, Maya, mama Indah dan papa Putra pun senang dan berharap Bryan bisa berjalan kembali seperti semula. Pagi ini, seperti biasa Bryan akan pergi ke kantor dan itu artinya Maya harus menyiapkan dan mengurus semua keperluan Bryan. "Mas, nanti aku sudah mulai masuk kuliah!" ucap Maya sembari merapikan dasi Bryan. "Ya sudah, memangnya aku harus apa?" respon Bryan terlihat cuek dan biasa saja. "Enggak harus apa-apa juga, aku cuma bilang aja sih!" balas Maya lalu dirinya bersiap untuk mandi. "Hem," Sepeninggalan Maya, Kevin terdiam. 'Aku harus menyembunyikan hal ini dari semuanya untuk sementara waktu. Aku belum siap jika nanti