Mendengar pertanyaan yang Teressa lontarkan membuat semua orang terdiam. Bahkan sekedar untuk menelan ludahnya saja terasa sangat sulit. Leher mereka terasa tercekat dan tidak mampu berkata-kata. Otak mereka berpikir keras memikirkan tentang jawaban masuk akal apa yang akan mereka berikan."Oma? Kenapa Oma diam saja? Kenapa Ayah sama Bunda tidak tinggal bersama?" Teressa mengguncang lengan neneknya dan kembali bertanya."I-iya juga ya, Sayang. Kenapa Ayah dan Bunda tidak tinggal bersama?" Diana tersenyum canggung dan balik melempar pertanyaan yang sama."Iya, Oma. Aneh sekali, bukan?" Gadis kecil itu menatap sang nenek lekat dengan bibir yang dimajukan ke depan."Tere?" panggil Ze. Pertanyaan putrinya cukup mengganggu.Jujur, pertanyaan Teressa mampu membuat Ze mengingat masa lalu kejamnya. Ia ingat betul alasan mengapa Hely pergi lagi dan lagi meninggalkannya. Jika bukan karena ulahnya, mana mungkin hal itu akan terjadi. Selain dirinya, Hely, dan kedua orang tuanya. Teressa pun ikut
Draka lekas meraih ponselnya dan menghubungi Hely. Tidak perlu menunggu lama dan hanya dalam satu kali bunyi bip, Hely sudah langsung mengangkatnya."Halo, Mas Aka.""Iya, Hely. Tere ada? Melihat anak kecil membuatku merindukan Tere."Melihat Teressa terlihat sangat bahagia bersama keluarga ayah kandungnya membuat Draka ikut senang. Dan, alasan ia menghubungi Hely sekedar ingin tahu sebenarnya apa yang terjadi kenapa Teressa bisa bersama Ze."Maaf, Mas. Tiba-tiba sekolah mengadakan tour dadakan. Jadi sekarang, Tere tidak ada di rumah.""Oh begitu, tapi kenapa kau tidak ikut?""Pihak sekolah tidak mengizinkan orang tua wali murid ikut dengan alasan belajar mandiri. Padahal aku ingin sekali ikut menemani Tere."Baru beberapa jam jauh dari putrinya Hely sudah rindu. Ia merasa tidak nyaman harus jauh dari putrinya padahal biasanya ia sibuk bekerja. Mungkin karena Teressa dibawa ayahnya jadi Hely merasa tidak tenang. Meskipun ia tidak tahu sama sekali tentang hal itu."Baiklah, aku mengert
Sebelum mengambil keputusan, Ze memikirkan tentang perginya Hely setelah sekian lama tidak bertemu. Wanita itu langsung pergi menghindar dan bahkan sampai pindah rumah. Lalu, bagaimana nanti seandainya ia datang dan mengancam?"Tidak, tidak boleh. Kalau aku mengancam Hely, yang ada nanti dia semakin membenciku dan pergi lagi dariku." Raut wajah Ze benar-benar masam, "Ya sudahlah, pelan-pelan saja sesuai dengan rencana awal," sambung pria itu memutuskan.Akhirnya, Ze kembali mengemudikan mobilnya menuju sekolah. Ia berhenti tepat di mana tadi pagi ia menjemput putrinya. Baru saja sampai, bus pun langsung tiba."Tere sayang. Kita sudah sampai, Nak." Ze berusaha membangunkan putrinya, "Tere, kesayangan ayah bangun, yuk! Kita sudah sampai, Sayang," lanjutnya sambil mengusap lembut pipi putrinya."Mmm ... kita sudah sampai, Ayah?" tanya Teressa sambil merentangkan kedua tangannya. Manik mata gadis kecil itu perlahan terbuka dengan malu-malu. Cahaya di sore hari berhasil membuatnya kesulit
Hely menoleh ke belakang menatap putrinya yang sedang sibuk bermain. Tidak mungkin bukan kalau Teressa membohonginya? Kalaupun memang benar, lalu apa yang membuat putrinya berbohong."Aku harus mencari tahu kebenarannya," batin wanita itu bertekad."Bu, Ibu Tere?""Ah iya, Bu. Ya sudah, kalau begitu terimakasih. Maaf sudah mengganggu waktu, Ibu.""Tidak apa-apa, Ibu Tere."Panggilan berakhir dan Hely melangkah duduk ke arah sofa. Ia menatap putrinya lekat dan beralih pada Barbie yang tergeletak menunggu giliran untuk dimainkan."Sebenarnya Ayla itu siapa? Setelah aku ingat-ingat, beberapa hari terakhir Tere sering sekali menyebut nama itu, bahkan sejak pertama kali pindah ke rumah ini. Apa ada anak di area ini yang bernama Ayla dan sering main ke sekolah atau jangan-jangan ...." Hely terus menebak-nebak karena tak kunjung mendapat jawaban."Tere?" panggil wanita itu."Iya, Bunda," sahut Teressa menoleh ke belakang."Bunda boleh tanya sesuatu?" izin Hely barangkali saja ia bisa menemuk
"Ya Tuhan!"Dengan napas yang tersengal, Hely beranjak duduk dari tidurnya. Malam ini, ia sudah lebih dari tiga kali memimpikan hal yang sama di mana Ze mencekokinya obat kontrasepsi. Dengan keringat dingin yang membasahi dahinya, Hely menoleh ke samping. Ia ingat betul jawaban putrinya tadi pagi menjelang siang."Sangat Bunda. Tere sangat-sangat bahagia bersama Ayla. Malah kalau bisa, Tere mau sama-sama Ayla terus.""Apa aku mengalah saja demi Tere? Tapi, aku tidak bisa terus-menerus seperti ini," batin Hely berkecamuk.Di sisi lain, ia tidak ingin merusak kebahagiaan Teressa dengan ayahnya. Namun di sisi lain lagi, ia tidak bisa terus bermimpi buruk. Bahkan semakin ia dekat dengan Ze, maka semakin mimpi itu menghancurkan waktu tidurnya."Tuhan ... apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku ingin putriku bahagia, tapi aku ...."Hely mengulurkan kakinya dan melangkah keluar kamar. Ternyata, waktu menunjukkan pukul lima pagi. Ia memutuskan untuk menyibukkan diri di dapur. Menyiapkan sara
"Apa maksudmu berkata seperti itu, Hely?" tanya Ze terkejut.Dari ucapan Hely bisa disimpulkan bahwa Teressa anak Draka dan bukan anaknya. Lalu, bagaimana dengan perasaannya selama ini terhadap Teressa yang sangat kuat? Ia benar-benar merasa kalau gadis kecil itu anak kandungnya."Sama seperti apa yang kau pikirkan, Mas," sahut Hely malas."Jadi maksudmu, Tere bukan anak kandungku?" tanya Ze memastikan."Ya, Tere anakku dan Mas Aka. Jadi, apa kau masih ingin mengajakku pulang?" sahut Hely mantap.Ze menarik nafas kasar. Ia beranjak berdiri sambil berkacak pinggang. Mengedarkan pandangan dengan gusar dan menyugar rambutnya ke belakang. Ia benar-benar tidak menyangka dengan jawaban yang istrinya lontarkan."Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Tere anak pengacara sok hebat itu, Hely? Kau ... kau masih istriku meski kita tidak tinggal bersama?" tanya Ze frustasi. Tatapan mata Ze menunjukkan kekecewaan yang teramat dalam. Selama ini ia sudah sabar menunggu dan sibuk mencari, tetapi apa yang ia
"Mas?" rengek Hely.Hely meremas tangan sang suami yang melingkar di perut. Ia benar-benar takut suaminya akan marah karena kedatangan Draka yang tiba-tiba. Namun, mengapa ia takut sang suami kan marah? Bukankah itu bagus? Bukankah itu sesuai dengan keinginannya?Alih-alih menjawab, Ze justru melepaskan pelukannya dan melangkah ke arah pintu gerbang. Langkahnya terlihat sangat pasti, tatapan matanya pun terlihat sangat tajam. Namun tiba-tiba, seutas senyum terbit menghiasi wajah tampannya."Tere sudah pulang?" tanya Ze sambil mengambil alih putrinya dari dekapan Draka. Senyumnya mengembang ketika menatap putrinya, tetapi tanduknya langsung keluar ketika menatap Draka."Sudah, Ayah," balas Teressa."Kok, sudah pulang? Bukankah Tere pulangnya masih sekitar empat puluh menit lagi?" tanya Ze sambil menatap jam yang terlingkar di pergelangan tangan kirinya."Iya, Ayah. Soalnya guru ada rapat dadakan, jadi Tere bisa pulang cepat deh," sahut gadis kecil itu mengalungkan tangannya di leher sa
"Tapi kau tenang saja. Aku akan melupakan semua itu dan menganggap Tere seperti anak kandungku, asalkan kau mau pulang ke rumah kita. Ayo kita mulai semuanya dari awal!" Raut wajah Ze berubah melembut."Mas?" panggil Hely tidak menghiraukan ucapan suaminya."Tidak, jangan katakan apa pun!" seru Ze . Ia tahu pasti kalau sang istri akan menolak diajak pulang. Jadi lebih baik, ia tidak usah mendengarnya sama sekali."Mas Ze?" panggil Hely lagi.Sayangnya, Zu bersikap seolah tidak pernah mendengar panggilannya. Pria itu melangkah masuk dan meninggalkannya begitu saja. Kemudian, duduk di samping putrinya dan mulai bermain. Sementara Hely, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Merapikan ember bekas jemuran dan mengerjakan hal lain sampai waktu makan siang tiba."Sudah waktunya makan siang, Tere mau makan tidak?" tanya Hely."Tidak, Bunda. Tere masih kenyang dan Tere mengantuk," sahut gadis kecil itu sambil menguap."Ya sudah, kita ke kamar, yuk!" ajak Hely sambil mengulurkan tangannya."Iya, Bunda