Hely menoleh ke belakang menatap putrinya yang sedang sibuk bermain. Tidak mungkin bukan kalau Teressa membohonginya? Kalaupun memang benar, lalu apa yang membuat putrinya berbohong."Aku harus mencari tahu kebenarannya," batin wanita itu bertekad."Bu, Ibu Tere?""Ah iya, Bu. Ya sudah, kalau begitu terimakasih. Maaf sudah mengganggu waktu, Ibu.""Tidak apa-apa, Ibu Tere."Panggilan berakhir dan Hely melangkah duduk ke arah sofa. Ia menatap putrinya lekat dan beralih pada Barbie yang tergeletak menunggu giliran untuk dimainkan."Sebenarnya Ayla itu siapa? Setelah aku ingat-ingat, beberapa hari terakhir Tere sering sekali menyebut nama itu, bahkan sejak pertama kali pindah ke rumah ini. Apa ada anak di area ini yang bernama Ayla dan sering main ke sekolah atau jangan-jangan ...." Hely terus menebak-nebak karena tak kunjung mendapat jawaban."Tere?" panggil wanita itu."Iya, Bunda," sahut Teressa menoleh ke belakang."Bunda boleh tanya sesuatu?" izin Hely barangkali saja ia bisa menemuk
"Ya Tuhan!"Dengan napas yang tersengal, Hely beranjak duduk dari tidurnya. Malam ini, ia sudah lebih dari tiga kali memimpikan hal yang sama di mana Ze mencekokinya obat kontrasepsi. Dengan keringat dingin yang membasahi dahinya, Hely menoleh ke samping. Ia ingat betul jawaban putrinya tadi pagi menjelang siang."Sangat Bunda. Tere sangat-sangat bahagia bersama Ayla. Malah kalau bisa, Tere mau sama-sama Ayla terus.""Apa aku mengalah saja demi Tere? Tapi, aku tidak bisa terus-menerus seperti ini," batin Hely berkecamuk.Di sisi lain, ia tidak ingin merusak kebahagiaan Teressa dengan ayahnya. Namun di sisi lain lagi, ia tidak bisa terus bermimpi buruk. Bahkan semakin ia dekat dengan Ze, maka semakin mimpi itu menghancurkan waktu tidurnya."Tuhan ... apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku ingin putriku bahagia, tapi aku ...."Hely mengulurkan kakinya dan melangkah keluar kamar. Ternyata, waktu menunjukkan pukul lima pagi. Ia memutuskan untuk menyibukkan diri di dapur. Menyiapkan sara
"Apa maksudmu berkata seperti itu, Hely?" tanya Ze terkejut.Dari ucapan Hely bisa disimpulkan bahwa Teressa anak Draka dan bukan anaknya. Lalu, bagaimana dengan perasaannya selama ini terhadap Teressa yang sangat kuat? Ia benar-benar merasa kalau gadis kecil itu anak kandungnya."Sama seperti apa yang kau pikirkan, Mas," sahut Hely malas."Jadi maksudmu, Tere bukan anak kandungku?" tanya Ze memastikan."Ya, Tere anakku dan Mas Aka. Jadi, apa kau masih ingin mengajakku pulang?" sahut Hely mantap.Ze menarik nafas kasar. Ia beranjak berdiri sambil berkacak pinggang. Mengedarkan pandangan dengan gusar dan menyugar rambutnya ke belakang. Ia benar-benar tidak menyangka dengan jawaban yang istrinya lontarkan."Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Tere anak pengacara sok hebat itu, Hely? Kau ... kau masih istriku meski kita tidak tinggal bersama?" tanya Ze frustasi. Tatapan mata Ze menunjukkan kekecewaan yang teramat dalam. Selama ini ia sudah sabar menunggu dan sibuk mencari, tetapi apa yang ia
"Mas?" rengek Hely.Hely meremas tangan sang suami yang melingkar di perut. Ia benar-benar takut suaminya akan marah karena kedatangan Draka yang tiba-tiba. Namun, mengapa ia takut sang suami kan marah? Bukankah itu bagus? Bukankah itu sesuai dengan keinginannya?Alih-alih menjawab, Ze justru melepaskan pelukannya dan melangkah ke arah pintu gerbang. Langkahnya terlihat sangat pasti, tatapan matanya pun terlihat sangat tajam. Namun tiba-tiba, seutas senyum terbit menghiasi wajah tampannya."Tere sudah pulang?" tanya Ze sambil mengambil alih putrinya dari dekapan Draka. Senyumnya mengembang ketika menatap putrinya, tetapi tanduknya langsung keluar ketika menatap Draka."Sudah, Ayah," balas Teressa."Kok, sudah pulang? Bukankah Tere pulangnya masih sekitar empat puluh menit lagi?" tanya Ze sambil menatap jam yang terlingkar di pergelangan tangan kirinya."Iya, Ayah. Soalnya guru ada rapat dadakan, jadi Tere bisa pulang cepat deh," sahut gadis kecil itu mengalungkan tangannya di leher sa
"Tapi kau tenang saja. Aku akan melupakan semua itu dan menganggap Tere seperti anak kandungku, asalkan kau mau pulang ke rumah kita. Ayo kita mulai semuanya dari awal!" Raut wajah Ze berubah melembut."Mas?" panggil Hely tidak menghiraukan ucapan suaminya."Tidak, jangan katakan apa pun!" seru Ze . Ia tahu pasti kalau sang istri akan menolak diajak pulang. Jadi lebih baik, ia tidak usah mendengarnya sama sekali."Mas Ze?" panggil Hely lagi.Sayangnya, Zu bersikap seolah tidak pernah mendengar panggilannya. Pria itu melangkah masuk dan meninggalkannya begitu saja. Kemudian, duduk di samping putrinya dan mulai bermain. Sementara Hely, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Merapikan ember bekas jemuran dan mengerjakan hal lain sampai waktu makan siang tiba."Sudah waktunya makan siang, Tere mau makan tidak?" tanya Hely."Tidak, Bunda. Tere masih kenyang dan Tere mengantuk," sahut gadis kecil itu sambil menguap."Ya sudah, kita ke kamar, yuk!" ajak Hely sambil mengulurkan tangannya."Iya, Bunda
Dengan napas yang memburu, Ze menjauhkan wajahnya. Ia ingin memberi sedikit ruang istrinya untuk menghirup banyak-banyak udara sebelum akhirnya merenggut kembali bibir dengan perona merah itu.Tanpa melepas tautan bibir mereka, Ze mengangkat tubuh istrinya. Mengaitkan kedua kakinya di pinggang. Lalu, bergerak ke arah sofa dan membaringkannya."Sayang, bolehkah?" izin Ze dengan manik mata yang sudah berkabut. Napasnya bergerak naik turun tidak bisa menahan hasratnya.Sebelum sempat memberi jawaban, perut Hely sudah berdemo. Sudah ia katakan sebelumnya kalau ia ingin makan, tetapi Ze tidak mau mendengarkannya."Hehehe ...." Hely terkekeh geli mendengar suara keroncongan dari arah perutnya."Jadi, apa kita perlu mengisi perut kita dulu sebelum mengisi daya kita?" tanya Ze sambil merapikan rambut istrinya ke belakang telinga."Ya," sahut Hely mengangguk."Baiklah. Apa di meja makan ada sesuatu yang bisa dimakan? Kalau tidak, aku ingin menunjukkan keahlian memasakku."Setelah Hely menghila
"Euuum." Terdengar suara lenguhan yang melengking indah di telinga Ze. Hal itu berhasil membuat semangatnya meningkat. Tangannya bergerak menyentuh punggung Hely dan tubuhnya menekan kuat-kuat hingga tubuh istrinya berada di bawah kendalinya."Aku mencintaimu, Hely," ujar Ze lirih sebelum akhirnya melucuti pakaian yang melekat di tubuh sang istri dan juga dirinya.Setelah tidak ada selembar kain pun yang melekat di tubuh keduanya, Ze kembali melumat bibir Hely. Perlahan, tapi pasti hingga bergerak ke tulang selangka, dan ke setiap inchi bagian tubuh Hely lainnya."Yang?" panggil Ze dengan manik mata berkabut dan napas yang memburu."Eum, ada apa?" tanya Hely melebarkan matanya yang sedikit mengabur."Kenapa sempit sekali?" Alih-alih menjawab, Ze justru balik bertanya. Suaranya terdengar sangat berat dan terdengar seolah sedang menahan sesuatu.Sudah enam tahun tidak terjamah dan sudah lima tahun bekas dijahit karena melahirkan Tere. Jadi, pantas saja kalau sempit."Sempit? Lalu, apa
"Bisa diam tidak, sih, Mas. Kali ini saja biarkan aku tidur. Nanti malam, terserah Mas Ze deh mau berapa kali." Manik mata Hely terasa sangat berat. Sudut mata mengeluarkan cairan bening terus. Hal itu terjadi karena semalam ia tidak bisa tidur. Baru saja memejamkan matanya langsung mimpi buruk. Jadi meskipun ia mengantuk, ia tetap tidak bisa tidur karena selalu dibangunkan oleh mimpi buruk itu."Oke-oke aku diam, tapi kau harus janji dulu nanti malam akan melakukannya berkali-kali sampai puas." Ze meminta istrinya berjanji agar tidak berani mengingkari."Iya, Mas Ze, bawel," balas Hely.Mungkin sekitar lima menit berlalu, terdengar suara napas teratur Hely. Ternyata wanita itu benar-benar mengantuk dan tertidur."Mimpi indah, Sayang," kata Ze setelah mengecup kening istrinya. Mengingat pintu masih dalam keadaan terkunci, Ze lekas turun dan membukanya. Ia takut putrinya bangun dan mencarinya ke kamar. Setelah itu, ia kembali berbaring dan ikut memejamkan matanya.Di kamar sebelah, T