"Mas?" rengek Hely.Hely meremas tangan sang suami yang melingkar di perut. Ia benar-benar takut suaminya akan marah karena kedatangan Draka yang tiba-tiba. Namun, mengapa ia takut sang suami kan marah? Bukankah itu bagus? Bukankah itu sesuai dengan keinginannya?Alih-alih menjawab, Ze justru melepaskan pelukannya dan melangkah ke arah pintu gerbang. Langkahnya terlihat sangat pasti, tatapan matanya pun terlihat sangat tajam. Namun tiba-tiba, seutas senyum terbit menghiasi wajah tampannya."Tere sudah pulang?" tanya Ze sambil mengambil alih putrinya dari dekapan Draka. Senyumnya mengembang ketika menatap putrinya, tetapi tanduknya langsung keluar ketika menatap Draka."Sudah, Ayah," balas Teressa."Kok, sudah pulang? Bukankah Tere pulangnya masih sekitar empat puluh menit lagi?" tanya Ze sambil menatap jam yang terlingkar di pergelangan tangan kirinya."Iya, Ayah. Soalnya guru ada rapat dadakan, jadi Tere bisa pulang cepat deh," sahut gadis kecil itu mengalungkan tangannya di leher sa
"Tapi kau tenang saja. Aku akan melupakan semua itu dan menganggap Tere seperti anak kandungku, asalkan kau mau pulang ke rumah kita. Ayo kita mulai semuanya dari awal!" Raut wajah Ze berubah melembut."Mas?" panggil Hely tidak menghiraukan ucapan suaminya."Tidak, jangan katakan apa pun!" seru Ze . Ia tahu pasti kalau sang istri akan menolak diajak pulang. Jadi lebih baik, ia tidak usah mendengarnya sama sekali."Mas Ze?" panggil Hely lagi.Sayangnya, Zu bersikap seolah tidak pernah mendengar panggilannya. Pria itu melangkah masuk dan meninggalkannya begitu saja. Kemudian, duduk di samping putrinya dan mulai bermain. Sementara Hely, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Merapikan ember bekas jemuran dan mengerjakan hal lain sampai waktu makan siang tiba."Sudah waktunya makan siang, Tere mau makan tidak?" tanya Hely."Tidak, Bunda. Tere masih kenyang dan Tere mengantuk," sahut gadis kecil itu sambil menguap."Ya sudah, kita ke kamar, yuk!" ajak Hely sambil mengulurkan tangannya."Iya, Bunda
Dengan napas yang memburu, Ze menjauhkan wajahnya. Ia ingin memberi sedikit ruang istrinya untuk menghirup banyak-banyak udara sebelum akhirnya merenggut kembali bibir dengan perona merah itu.Tanpa melepas tautan bibir mereka, Ze mengangkat tubuh istrinya. Mengaitkan kedua kakinya di pinggang. Lalu, bergerak ke arah sofa dan membaringkannya."Sayang, bolehkah?" izin Ze dengan manik mata yang sudah berkabut. Napasnya bergerak naik turun tidak bisa menahan hasratnya.Sebelum sempat memberi jawaban, perut Hely sudah berdemo. Sudah ia katakan sebelumnya kalau ia ingin makan, tetapi Ze tidak mau mendengarkannya."Hehehe ...." Hely terkekeh geli mendengar suara keroncongan dari arah perutnya."Jadi, apa kita perlu mengisi perut kita dulu sebelum mengisi daya kita?" tanya Ze sambil merapikan rambut istrinya ke belakang telinga."Ya," sahut Hely mengangguk."Baiklah. Apa di meja makan ada sesuatu yang bisa dimakan? Kalau tidak, aku ingin menunjukkan keahlian memasakku."Setelah Hely menghila
"Euuum." Terdengar suara lenguhan yang melengking indah di telinga Ze. Hal itu berhasil membuat semangatnya meningkat. Tangannya bergerak menyentuh punggung Hely dan tubuhnya menekan kuat-kuat hingga tubuh istrinya berada di bawah kendalinya."Aku mencintaimu, Hely," ujar Ze lirih sebelum akhirnya melucuti pakaian yang melekat di tubuh sang istri dan juga dirinya.Setelah tidak ada selembar kain pun yang melekat di tubuh keduanya, Ze kembali melumat bibir Hely. Perlahan, tapi pasti hingga bergerak ke tulang selangka, dan ke setiap inchi bagian tubuh Hely lainnya."Yang?" panggil Ze dengan manik mata berkabut dan napas yang memburu."Eum, ada apa?" tanya Hely melebarkan matanya yang sedikit mengabur."Kenapa sempit sekali?" Alih-alih menjawab, Ze justru balik bertanya. Suaranya terdengar sangat berat dan terdengar seolah sedang menahan sesuatu.Sudah enam tahun tidak terjamah dan sudah lima tahun bekas dijahit karena melahirkan Tere. Jadi, pantas saja kalau sempit."Sempit? Lalu, apa
"Bisa diam tidak, sih, Mas. Kali ini saja biarkan aku tidur. Nanti malam, terserah Mas Ze deh mau berapa kali." Manik mata Hely terasa sangat berat. Sudut mata mengeluarkan cairan bening terus. Hal itu terjadi karena semalam ia tidak bisa tidur. Baru saja memejamkan matanya langsung mimpi buruk. Jadi meskipun ia mengantuk, ia tetap tidak bisa tidur karena selalu dibangunkan oleh mimpi buruk itu."Oke-oke aku diam, tapi kau harus janji dulu nanti malam akan melakukannya berkali-kali sampai puas." Ze meminta istrinya berjanji agar tidak berani mengingkari."Iya, Mas Ze, bawel," balas Hely.Mungkin sekitar lima menit berlalu, terdengar suara napas teratur Hely. Ternyata wanita itu benar-benar mengantuk dan tertidur."Mimpi indah, Sayang," kata Ze setelah mengecup kening istrinya. Mengingat pintu masih dalam keadaan terkunci, Ze lekas turun dan membukanya. Ia takut putrinya bangun dan mencarinya ke kamar. Setelah itu, ia kembali berbaring dan ikut memejamkan matanya.Di kamar sebelah, T
Hely mendadak terdiam mendengar pertanyaan yang Ze lontarkan. Tatapan matanya pun jadi tidak fokus. Bola matanya bergerak ke sana kemari."Hey, Sayang? Kenapa diam saja?" tanya Ze bingung.Alih-alih menjawab, Hely justru mengecup bibir suaminya. Berhubung Ze pria yang sudah lama tidak mendapat belaian, jadi sekali mendapat perlakuan itu membuat semangatnya bangkit dan melupakan pertanyaannya. Apalagi, ia sudah merencanakan peraduan beronde-ronde. Jadi, Ia lekas beranjak duduk dan menatap Hely dengan raut berbinar."Kenapa kau jadi tidak sabaran begini, Sayang? Apa kita perlu memulainya sekarang?" tanya Ze bersemangat.Sementara Hely masih tidak fokus. Ia masih memikirkan pertanyaan suaminya dan bagaimana harus menjawabnya. Haruskah ia berkata jujur atau terus menyembunyikan trauma yang selalu menghantui di setiap tidurnya. Namun sayangnya, Ze salah satu pria yang tidak memiliki kepekaan. Ia justru langsung merenggut bibir dan mengungkung tubuh Hely."Kau ingat apa yang kau katakan tad
"Sekarang, Tere sedang ada di rumah sakit mana? Atau kalau tidak, coba Tere tanyakan pada suster," tanya Hely berusaha tenang."Rumah Sakit Internasional Heaven, Bunda," sahut gadis kecil itu."Baiklah. Tere tenang dulu, yah? Bunda akan pergi ke sana sekarang juga.""Iya, Bunda."Tanpa mempedulikan pakaian yang menggunung meminta untuk diselesaikan, Hely langsung mengakhiri panggilan dan beranjak berdiri. Melangkah ke dalam kamar dan meraih tas. Memasukkan ponsel dan dompet ke dalamnya. Kemudian, ia lekas keluar dan mengunci pintu. Dengan langkah setengah berlari, ia menuju bibir jalan raya. Melambaikan tangannya ketika taksi melintas."Rumah Sakit Internasional Heaven, Pak," celetuk Hely bertepatan ketika ia masuk ke dalam mobil."Baik, Bu."Taksi pun melintas dengan kecepatan sedang. Merasa sedang terburu-buru, Hely meminta agar supir taksi menaikkan kecepatan. Pokoknya apa pun yang terjadi, ia harus segera sampai di rumah sakit."Pak, bisa lebih cepat sedikit, tidak?" pinta Hely kh
"Kenapa aku harus ke pergi ke psikiater?" tanya Hely sambil membuang muka. Sejak dulu, ia paling tidak suka disuruh pergi ke psikiater."Untuk menanyakan tentang apa yang seharusnya kau lakukan. Kau tidak ingin terus-menerus bermimpi buruk bukan? Setidaknya setelah konsultasi, kita akan tahu bagaimana cara untuk menyembuhkan trauma yang aku buat," sahut Ze berusaha menjelaskan.Hely kembali menatap suaminya. Lalu, ia menatap ke atas dengan raut bingung. Terlihat sekali bahwa ia tidak ingin pergi ke psikiater untuk pergi berkonsultasi. Entah apa yang membuatnya begitu sulit dibujuk, bahkan sejak dulu."Kita pergi ke psikolog saja. Bukankah psikolog dan psikiater sama saja?" kata Hely memutuskan."Ya. Psikolog dan psikiater tidak beda jauh. Kalau kau tidak ingin pergi ke psikiater dan memilih pergi ke psikolog, maka mari kita pergi," balas Ze mendukung.Ze tidak akan mempermasalahkan ke mana istrinya akan pergi untuk berkonsultasi. Asalkan tempat itu bisa menyembuhkan trauma yang ia bua