Menghirup kembali udara segar di negara kelahiran. Mata pria dua puluh delapan tahun itu menahan perih. Penyesalan menggerogoti seluruh jiwanya. Namun, apa yang sudah ia pilih tidak akan bisa ia balik. Segala tindakan pasti akan ada konsekuensi yang kudu ditanggung.“Tidak apa-apa. Ini pelajaran berharga buat kamu. Kita akan luluhkan hati mereka, dan saudara-saudaramu akan menerimamu serta memaafkanmu. Kamu dikelilingi orang hebat, oke,” seru pria berambut cepak pirang itu. mengajak mantan pembalap keluar dari area bandara.Sky— ya, pria itu tersenyum kecut. Dulu, dia bisa dengan sombong berjalan di bumi manusia ini. Namun, sekarang tidak seorang pun menatapnya atau berlari mendekatinya hanya sekadar meminta foto.Sebuah mobil jemputan sudah mengantre sejak satu jam lalu. Rayyan, membantu Sky masuk ke mobil. “Hati-hati, Sky.” Tangannya terulur digawang mobil agar kepala Sky tidak terantuk.Pria itu tidak membalas. Wajahnya datar dan kebahagiaan serta kebanggan yang dulu terus muncul di
Dua pasang bola mata seakan mencuat keluar dari tempatnya. Mulut Sean terbungkam. Saat itu juga perih menyerang mata. Zeta membekap bibirnya menahan raungan keterkejutan dengan sungai kecil di permukaan pipi yang berderai.Inikah karma yang harus ditanggung? Seberat ini? Sebesar ini?Zeta tidak kuasa melihat dua bersaudara yang akhirnya saling mendekap. Saling mencurahkan penyesalan yang seharusnya tidak pernah terjadi jika— kisah cinta mereka tidak tertuju pada objek yang sama.Bayi yang digendong Zeta seolah penasaran dengan apa yang terjadi. Ia terdiam dalam dekapan wanita itu dan menatap dua laki-laki yang terisak. Kondisi ini benar-benar menyesakan. Memang benar, bahwa setiap peristiwa, setiap tragedi yang terjadi pasti memiliki hikmah.Di sinilah puncak dari masalah yang terjadi. Namun, Sean seolah tidak terima dengan balasan Tuhan pada adiknya. Pertanyaannya hanya kenapa? Kenapa harus semenyeramkan itu?Pria itu berjongkok. Memegang lutut Sky dan menatap wajah adiknya. Bocah y
Sky merasa tidak asing dengan nama Gatra. Memperjelas dengan bergumam di hadapan sang kakak. Sean mengangguk dengan ulasan senyum hangat layaknya Divya. "Freya yang memberikan nama itu. Gatra Ambara. Bukankah itu nama yang indah?" Sky memeluk tubuh Gatra semakin erat. Menumpahkan kerinduan dan kasih sayang yang lambat untuk hadir. "Ini bukti nyata bahwa Freya akan melakukan apa pun demi kamu, Sky. Dia sangat mencintaimu." Sky menilik wajah kakaknya. Tidak ia dapati raut dusta di sana. Dulu, dia cemburu buta pada pria itu. Nyatanya sebesar itu ketulusan Sean. Dia rela melepaskan wanita yang dicintai demi kebahagiaan yang diyakini olehnya. "Thank's. Sudah jagain mereka. Thanks sudah jadi orang yang paling baik. Mom tidak pernah salah dengan cara mendidiknya," ujar Sky. Gatra sudah tenang dalam gendongan Sky. Bayi itu duduk di pangkuan sang ayah. Memukuli paha Sky. Rasa penasaran membawa tangan mungil itu guna menekan perban di lutut kiri aang ayah. Sky, meringis tipis. "Apakah ter
Sepanjang perjalanan menuju ke RSK, Gatra asik dengan ayahnya. Terdengar suara tawa yang membuat seluruh hati berbunga. Sesekali Zeta melirik kondisi bocah itu dari kaca spion. Sky memangkunya dan menggelitik perutnya. Menyerang dengan kecupan yang diiringi dengan bunyi, membuat bocah kecil itu kegelian. Sedang Sean, pria itu justru sesekali mencuri pandang wanita yang duduk di sisinya. Tangannya risau, ia ingin memegang tangan wanita ayu itu, tetapi ragu karena ada Sky di belakang mereka. "Awas, Mine!" pekik Zeta saat menyadari bahwa laju mobil sudah tidak normal. Pria itu, hampir saja keluar dari marka jalan, sementara di depan sana mobil sedan bewarna hitam sudah mencoba menghindari kendaraan Sean. Mata Zeta membola dengan dada naik turun. Ia kaget, degup jantungnya semakin cepat, tanda bahwa dirinya menghadapi ketakutan. Ingatannya menyeret kejadian setahun yang lalu. Kendati dia baik-baik saja, tetap saja dia sangat trauma. "Maaf, Nay. Maaf," sesal Sean. Kali ini, dia benar-
Ruangan yang tidak terlalu besar. Satu ranjang berada di sudut bilik menghadap ke jendela yang menampilkan pemandangan aliran sungai cukup deras dengan air yang bening. Sky melihat punggung Freya yang terlihat begitu kurus. Jauh berbeda dengan Freya yang dia kenal dulu. Meski, dia giat bekerja siang dan malam, tetapi tubuhnya tidak sekering saat ini. "Freya, bagaimana kondisimu?" tanya Kinar seraya melangkah mendekati tubuh Freya.Gadis itu, tampak tak acuh. Tangannya mengukir garis sembarangan di bantal. Matanya basah karena derai air mata yang tiba-tiba saja luruh tanpa sebab. "Apa sesuatu terjadi? Semua akan jauh lebih baik, Sayang," tutur Kinar. Ia duduk di hadapan Freya membelakang jendela. "Tidak ada yang terjadi, Kinar. Aku baru saja menangisi dua ekor burung," jelas Freya. Ia berusaha untuk bangkit dudu dan melipat kakinya menghadap Kinar, menghapus bulir air mata yang tersisa. "Burung?" Tangan Kinar berada di lutut Freya dan memastikan kembali ucapan Freya dengan tatap
Freya menggenggam jemari Sky, meremasnya dengan lembut. Ia menarik pandangan pria yang terus menunduk. Lantas sorot mata Sky menelisik pada bola mata bening milik Freya.“Tidak ada satu atau lebih banyak hal yang membuatku lari darimu, Sky. Bagaimana kondisimu, bagaimana keadaanmu, pun sikapmu yang lalu padaku, aku tidak peduli. Kau— ayah dari anakku. Kau yang mencuri hatiku sejak awal, Sky.” Kedua tangan gadis itu tidak lepas dari wajah kekasihnya.Ya— Freya menyadari perbedaan dari sang kekasih. Namun, itu sama sekali tidak menyurutkan atau mengurangi sejengkal kasihnya pada pria itu.Mendengar penuturan Freya membuat derai air mata Sky kian deras. Siapa sangka kalau tidak pernah ada dendam dalam diri Freya. Kendati wanita itu pernah mengatakan akan membunuhnya. Namun, kenyataannya kekecewaan itu dikalahkan oleh cinta yang jauh lebih besar ketimbng rasa sakit.Banyak orang bertahan bukan karena terpaksa melainkan karena cinta. Seburuk apa pun pria itu membuat kecewa dan luka pada wa
"Kalian bisa bawa Freya pulang. Jangan memancing emosinya, kadang dia bisa mengontrol dirinya, tapi kadang juga emosinya meledak-ledak," tutur Kinar pada Sky dan Sean. Sementara Zeta menguping di belakang dua pria itu. Dia heran, kenapa Sean musti mendengarkan penjelasan itu, seharusnya hanya Sky bukan? Mungkin bibirnya bisa bilang kalau dia baik-baik saja, tapi kecemburuannya tetap timbul, jika sudah menyangkut Freya. Beruntung banget kan jadi gadis itu? Dia dicintai oleh abang dan adek. Sedangkan aku? Aku harus ngemis-ngemis, merendahkan diri untuk bisa meraihnya, batin Zeta. Memelas pada takdir hidupnya. Menatap diri sendiri yang tidak pernah mendapatkan keberuntungan sejak dia menghirup udara dunia. Tuhan, ini hanya dunia, tapi kenapa sesakit ini? Kenapa harus ada cinta orang lain di antara aku dan dia? Benarkah Sean bisa bertahan dan tetap di sisiku, nanti? Sorot matanya terus terpusat pada bahu kekasihnya. Dia mampu mengagumi pria itu bahkan hanya tampak bahu sa
Freya justru mengalihkan pandang ke sisi kiri dengan tangan bersedekap. Tidak ingin mendengar penjelasan Sean yang terkesan memberi pembelaan pada Zeta.Sepanjang perjalanan, Gatra tidur dalam dekap sang ayah. Tidak lagi ada perbincangan. Bahkan Zeta pun enggan bersua meski dengan Sean. Menahan diri agar tidak memancing emosi Freya yang bisa meledak kapan saja. Setibanya di rumah, pertama Sean mengambil alih tubuh Gatra. Memberikannya pada Freya yang sudah menunggu di sisinya, lalu menurunkan tubuh Sky, dan Zeta menarik kursi rodanya keluar. "Hati-hati," tukas Freya. Pria itu tidak lantas menjawab dan segera mendaratkan tubuh adiknya kembali ke kursi beroda itu. Mereka masuk, kecuali Zeta. Sean, sempat menoleh pada kekasihnya, tetapi perempuan itu mengatakan 'aku tunggu di sini' tanpa suara. Hanya gerak bibirnya yang sudah mampu dibaca oleh Sean. Dijawab anggukan, dan kemudian ketiganya tertelan oleh jarak lenyap di balik pintu. "Untuk sementara, Sky tidur di kamar Mama dulu, saja
Berada di sebuah restoran yang tidak jauh dari Trevis Fountain, Freya, Gatra dan juga balita yang Zeta perkirakan usianya empat tahun itu duduk mengelilingi meja. Menyantap hidangan yang sudah mereka pesan. Tidak hanya itu, Freya tampak kelelahan dengan perutnya yang membuncit.“Hai. Gatra apa kabar, Sayang?” Zeta mengulurkan tangannya dengan senyum yang merekah indah.“Siapa?” tanya bocah itu dengan nada sinis. Dia kembali sibuk mengunyah salad di mulutnya.“Dia tante Zeta. Apa kamu lupa? Dia yang mengurusmu saat kecil, Nak. Kamu lupa?” jelas Sean.“Cukup, Sean. Biarkan Gatra menghabiskan makanannya dulu. Duduklah, kamu boleh bergabung,” papar Freya dengan suara yang paling tidak disukai oleh Zeta.“Ah— terima kasih. Tapi kurasa aku buru-buru. Suamiku sudah menunggu. Selamat menikmati hidangan dan indahnya Roma.” Zeta berbalik badan, tetapi sebelum itu ia kembali menoleh untuk memberikan senyum pada gadis imut yang terus menatapnya dengan rasa penasaran.“Hei, aku punya sesuatu untukm
Trevi Fountain, di sanalah Zeta berada sekarang. Dalam genggamannya sudah ada dua koin yang hendak ia lempar ke kolam di hadapannya. Menyatukan kedua tangan, ia melangitkan harapan sebelum melempar satu koin itu.“Tersisa satu koin lagi,” ucap seseorang yang sudah menemani sepanjang perjalanannya.“Aku tahu diamlah,” sergah Zeta yang disambut tawa kecil dari rekan spesialnya.“Aku akan lakukan dengan caraku. Katanya dengan cara seperti ini akan lebih mudah untuk dikabulkan, kan?” tambah Zeta.“Hm—? Seperti apa itu?”Zeta berbalik badan membelakangi fountain dan memejamkan mata sama seperti yang dilakukannya pertama kali tadi. Latas melemparkan koin melintasi bahu dengan cukup tinggi dan mendengarkan suara benda berat itu meluncur ke dalam air.Senyum ayunya masih mengembang, saat membuka mata. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya membeku.Bagaimana bisa? Batinnya. Dia bahkan baru saja melayangkan doanya, dia baru saja meminta pada kepercayaan orang-orang Roma ini. Lalu kemudian sudah berdi
Bukan hal baru bagi Zeta tidak diharapkan atas hidupnya. Jauh sebelum ini, dia juga pernah disia-siakan. Pernah dibuang, dicaci-maki. Sean menawar sekaligus luka baginya setelah bertahun-tahun lalu. "Pergilah, Zie. Sudah tidak ada yang perlu kamu jelaskan, kan?" Zia menggeleng cepat. "Aku tidak akan pergi sendirian, Zeta. Kamu harus ikut denganku. Kamu harus rebut Bang Sean lagi." "Kamu ingin aku menjadi duri untuk wanita lain? Sedang aku sendiri adalah wanita. Aku menentang pengkhianatan seorang wanita, tapi aku tersakiti oleh wanita." "Zeta—" Zeta menatap Zia intens. Setelah sekian hari dia kehilangan isak tangis. Sekarang air mata itu kembali menguar setetes demi setetes. "Ayahku pecandu alkohol dan suka bermain wanita, sekaligus suka memukul ibuku. Kami berjuang sendiri untuk lari darinya. Tapi selalu gagal. Ayahku berkhianat tidak hanya sekali. Tapi, ibuku adalah orang bodoh yang pernah ada di bumi ini. Dia tetap berdiri di sisinya sampai akhir hayat. Setelah dia meninggal,
Dalam gelap, suhu ruangan yang terasa membekukan setiap tulang dalam tubuh perempuan berambut sepinggang itu. Netra sepekat malam hanya mampu menatap kosong ke depan. Tanpa arah dan tanpa makna. Jemarinya meremas dan mengusap tidak tentu arah gawai putih miliknya. "Mbak Zeta! Buka, ya pintunya. Mbak harus makan," teriakan Runi yang selalu terdengar puluhan kali dalam sehari. Namun, tidak mampu membuat Zeta beranjak dari kursi Belezza yang ia duduki. Air matanya telah mengering, tersisa rasa sesak yang tidak juga mampu ia tepis. Luka yang membekas begitu dalam. Fisiknya telah rusak, pun demikian dengan jiwanya, kian rapuh. Pikiran yang semakin ringkih. "Masih nggak mau buka, Mas. Sebetulnya Pak Sean ke mana, to? Tega banget buat Mbak Zeta begitu. Kurang apa, sih Mbak Zeta? Ini sudah hampir satu Minggu, masih juga nggak ada kejelasan dari Pak Sean," gerutu Runi pada Bagas. Pria itu sesekali datang hanya untuk menjenguk menanyakan kabar Zeta. Namun, tidak ada kemajuan yang berarti
Berulangkali Zeta mondar-mandir di ruangan khusus untuk menantikan kedatangan Sean. Entah sudah seberapa keras gadis itu menggigit bibirnya untuk menghalau kegundahan hatinya. Jemari lentik itu berusaha menelepon nomor kekasihnya sudah lebih dari sepuluh kali. "Bagas, dia datang, kan? Kamu sudah pastikan kalau dia akan datang, kan?!" tegasnya. Keringat sebesar jagung sudah menimpuk riasan di wajahnya. Sekarang bukan keanggunan dan juga menawan di wajahnya. Gurat kecemasan yang justru terpancar kian terang. "Sudah, Mbak. Tadi bahkan, Pak Sean sudah siap dengan setelan peachnya. Mungkin macet, Mbak." Meski Bagas juga merasakan apa yang dikhawatirkan oleh Zeta. Namun, dia berusaha untuk membuat pengantin perempuan itu tenang. "Macet di mananya? Kita tadi jalan aman-aman aja, kan? Jalanan lancar, Bagas!" hardik Zeta. Dia sampai harus menaikkan satu oktaf nada bicaranya. Kendati hal itu tidak dilakukan mereka sama-sama tahu kalau Zeta dan seluruh orang yang hadir juga ketakutan dan
Zeta mengerjap cepat. "Aku— ya, kurasa aku mimpi. Dan— dan itu mengharuskan aku telepon kamu di— pagi buta. Anggap saja begitu," jawabnya dengan terengah. "Kami baik-baik saja, Nay. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Gatra tidur dengan pulas malam ini bersama Zie dan Zha. Mereka ada di rumah. Sama sepertimu tidak sabar menanti kan hari esok." "Hanya aku? Bagaimana denganmu? Apa, kamu tidak merasakan hal itu?" Entah sudah keberapa kali, Zeta menggigiti bibir bawahnya. Menekan dan menenggelamkan keresahan yang terus saja timbul saat jawaban atas pernyataannya tidak dijawab sesuai ekspektasinya. "Tentu saja aku menantikannya, Nay. Bahkan aku sangat antusias. Aku akan berdiri menantikanmu dengan jas peach yang kau pilihkan," terang Sean. Ia layangkan senyum yang tidak diketahui oleh Zeta. "Ya. Bisa kubayangkan betapa menawan dan menariknya dirimu, Mine. Kamu harus tahu kalau aku—" Lidahnya tiba-tiba terasa kelu. Ada yang menggantung di tenggorokannya hingga sepatah kata tidak mampu
"Sean, Sky membaik. Pagi ini, dia minta makan enak katanya. Dia sembuh, Sean." Kabar itu meluncur membawa kehangatan untuk Sean. Dia merasa lega akhirnya sang adik mendapatkan harapan itu. Setelah panggilan itu terputus, Sean beralih pada Gatra dan juga Zeta. Mereka juga sudah jauh lebih baik dari semalam. Tatapan penuh keharuan dan beban yang seolah menguar begitu saja. Sekarang, dia tidak harus memikirkan nasib Gatra. Tidak harus menyembunyikan perasaannya pada Zeta dari Freya. Tidak harus menanggung beban atas kehidupan ibu dan anak itu. Sean menarik langkah mendekati Zeta. Mereka berdua duduk di atas matras dengan taburan berbagai macam mainan milik bocah laki-laki itu. "Mine? Kamu senyum? Ada apa?" Zeta menoleh memerhatikan raut wajah sang kekasih yang terlibat berbinar. "Freya baru saja telpon. Dia bilang, Sky membaik. Dia minta sesuatu untuk di makan. Aku senang, Nay." "Syukurlah. Aku juga ikut senang, Mine. Maaf aku egois dengan mengatakan ini." Sebelah alis Sean teran
Sorot mata Sean menatap penuh kasih pada Gatra yang terlelap di ranjang bersama dengan Zeta. Mereka baru saja pulang dari klinik. Meneguk obat masing-masing dan kini terpengaruh obat-obat tersebut. Tatapan Sean secara bergantian memerhatikan wajah kekasihnya dan juga anak dari adiknya. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Beban yang terasa salah, tetapi juga dirasa tidak benar. Tidak mungkin aku menempatkanmu dalam satu pilihan, Nay. Tapi— bahkan batinnya saja menggantung kalimatnya. Pria itu bertumpu siku pada pahanya. Merangkus wajahnya dengan kasar, mendesah frustasi. Ia raih ponselnya dan menelepon seseorang yang jauh di seberang. "Bagaimana kondisinya?" "Sky— kondisinya semakin menurun, Sean. Aku takut. Saat terlelap begini, seperti tidak terjadi sesuatu padanya. Tapi, suhu tubuhnya tidak turun sama sekali sejak keluar dari ruang pemeriksaan tadi, Sean."Lagi-lagi Sean menghembuskan napasnya secara perlahan. Menyembunyikan kesesakan dalam dirinya. "Semoga saja Tuhan beri
Tubuh Zeta gemetar bukan main. Selain ia belum tidur sejak kemarin, ia pun tidak memasukkan makanan ke dalam perutnya kecuali air putih. Sekarang, ia menggendong Gatra yang mulai menurut padanya, tetapi suhu tubuh bocah itu meningkat sejak bangun tidur pagi tadi. "Mau Papa, Tante," rengeknya pelan. Tatapan matanya sayu."Mau telpon Paman dulu sampai dia datang, Sayang?" Gatra menggeleng pelan. "Mau papa, bukan telepon," jawabnya masih dengan suara yang lemah. "Sabar, ya. Paman akan segera datang." Gerakan tangan Zeta tidak berhenti barang sebentar. Ia terus mengayunkan langkah dan lengan agar Gatra merasa nyaman. "Mbak Zeta. Di luar ada masalah," lapor Nia. Ia meremas ujung apron yang dia kenakan dengan gerakan kuat. "Masalah apa?" suaranya tidak kalah lirih dari Gatra. Dengan tidak anggun, ia menarik ingus yang sudah hendak keluar dari hidung. "Itu mbak. Pembeli permasalahkan toping, katanya— katanya—""Katanya apa, Nia? Kepalaku pusing banget, bisa lebih cepat ngomongnya?""Ka