Pagi ini, entah bagaimana posisi tidur mereka berubah total. Gatra berada di belakang punggung Sean. Sementara Zeta berkelung nyaman di depan dada bidang pria itu. Udara menjelang pagi hari selalu jauh lebih dingin. Membuat Zeta mencari kehangatan sebisa mungkin. Di sanalah, ia. Dalam dekapan Sean yang mana mereka sendiri sama-sama tidak menyadari semua kejadian pukul empat pagi itu. Suara rengekan Gatra tidak mampu membuat keduanya terjaga. Bahkan tendangan demi tendangan yang dilayangkan Gatra pada sang paman pun tidak mampu mengusik kenyamanan keduanya. Rintihan Gatra berubah menjadi celoteh absurd yang seharusnya membuat mereka terusik. Merasa kesal karena tidak digubris, bocah cilik itu lantas mengerahkan seluruh usahanya untuk berteriak. Namun,bukan Sean atau Zeta yang mendengar, melainkan Runi. Wanita yang jasanya dibeli oleh Zeta itu lekas masuk ke kamar sang majikan dia bahkan tidak tahu kalau ada Sean di dalam kamar itu. "Oh— sst, Sayang. Sepertinya kamu dilupakan, ya?"
Menghirup kembali udara segar di negara kelahiran. Mata pria dua puluh delapan tahun itu menahan perih. Penyesalan menggerogoti seluruh jiwanya. Namun, apa yang sudah ia pilih tidak akan bisa ia balik. Segala tindakan pasti akan ada konsekuensi yang kudu ditanggung.“Tidak apa-apa. Ini pelajaran berharga buat kamu. Kita akan luluhkan hati mereka, dan saudara-saudaramu akan menerimamu serta memaafkanmu. Kamu dikelilingi orang hebat, oke,” seru pria berambut cepak pirang itu. mengajak mantan pembalap keluar dari area bandara.Sky— ya, pria itu tersenyum kecut. Dulu, dia bisa dengan sombong berjalan di bumi manusia ini. Namun, sekarang tidak seorang pun menatapnya atau berlari mendekatinya hanya sekadar meminta foto.Sebuah mobil jemputan sudah mengantre sejak satu jam lalu. Rayyan, membantu Sky masuk ke mobil. “Hati-hati, Sky.” Tangannya terulur digawang mobil agar kepala Sky tidak terantuk.Pria itu tidak membalas. Wajahnya datar dan kebahagiaan serta kebanggan yang dulu terus muncul di
Dua pasang bola mata seakan mencuat keluar dari tempatnya. Mulut Sean terbungkam. Saat itu juga perih menyerang mata. Zeta membekap bibirnya menahan raungan keterkejutan dengan sungai kecil di permukaan pipi yang berderai.Inikah karma yang harus ditanggung? Seberat ini? Sebesar ini?Zeta tidak kuasa melihat dua bersaudara yang akhirnya saling mendekap. Saling mencurahkan penyesalan yang seharusnya tidak pernah terjadi jika— kisah cinta mereka tidak tertuju pada objek yang sama.Bayi yang digendong Zeta seolah penasaran dengan apa yang terjadi. Ia terdiam dalam dekapan wanita itu dan menatap dua laki-laki yang terisak. Kondisi ini benar-benar menyesakan. Memang benar, bahwa setiap peristiwa, setiap tragedi yang terjadi pasti memiliki hikmah.Di sinilah puncak dari masalah yang terjadi. Namun, Sean seolah tidak terima dengan balasan Tuhan pada adiknya. Pertanyaannya hanya kenapa? Kenapa harus semenyeramkan itu?Pria itu berjongkok. Memegang lutut Sky dan menatap wajah adiknya. Bocah y
Sky merasa tidak asing dengan nama Gatra. Memperjelas dengan bergumam di hadapan sang kakak. Sean mengangguk dengan ulasan senyum hangat layaknya Divya. "Freya yang memberikan nama itu. Gatra Ambara. Bukankah itu nama yang indah?" Sky memeluk tubuh Gatra semakin erat. Menumpahkan kerinduan dan kasih sayang yang lambat untuk hadir. "Ini bukti nyata bahwa Freya akan melakukan apa pun demi kamu, Sky. Dia sangat mencintaimu." Sky menilik wajah kakaknya. Tidak ia dapati raut dusta di sana. Dulu, dia cemburu buta pada pria itu. Nyatanya sebesar itu ketulusan Sean. Dia rela melepaskan wanita yang dicintai demi kebahagiaan yang diyakini olehnya. "Thank's. Sudah jagain mereka. Thanks sudah jadi orang yang paling baik. Mom tidak pernah salah dengan cara mendidiknya," ujar Sky. Gatra sudah tenang dalam gendongan Sky. Bayi itu duduk di pangkuan sang ayah. Memukuli paha Sky. Rasa penasaran membawa tangan mungil itu guna menekan perban di lutut kiri aang ayah. Sky, meringis tipis. "Apakah ter
Sepanjang perjalanan menuju ke RSK, Gatra asik dengan ayahnya. Terdengar suara tawa yang membuat seluruh hati berbunga. Sesekali Zeta melirik kondisi bocah itu dari kaca spion. Sky memangkunya dan menggelitik perutnya. Menyerang dengan kecupan yang diiringi dengan bunyi, membuat bocah kecil itu kegelian. Sedang Sean, pria itu justru sesekali mencuri pandang wanita yang duduk di sisinya. Tangannya risau, ia ingin memegang tangan wanita ayu itu, tetapi ragu karena ada Sky di belakang mereka. "Awas, Mine!" pekik Zeta saat menyadari bahwa laju mobil sudah tidak normal. Pria itu, hampir saja keluar dari marka jalan, sementara di depan sana mobil sedan bewarna hitam sudah mencoba menghindari kendaraan Sean. Mata Zeta membola dengan dada naik turun. Ia kaget, degup jantungnya semakin cepat, tanda bahwa dirinya menghadapi ketakutan. Ingatannya menyeret kejadian setahun yang lalu. Kendati dia baik-baik saja, tetap saja dia sangat trauma. "Maaf, Nay. Maaf," sesal Sean. Kali ini, dia benar-
Ruangan yang tidak terlalu besar. Satu ranjang berada di sudut bilik menghadap ke jendela yang menampilkan pemandangan aliran sungai cukup deras dengan air yang bening. Sky melihat punggung Freya yang terlihat begitu kurus. Jauh berbeda dengan Freya yang dia kenal dulu. Meski, dia giat bekerja siang dan malam, tetapi tubuhnya tidak sekering saat ini. "Freya, bagaimana kondisimu?" tanya Kinar seraya melangkah mendekati tubuh Freya.Gadis itu, tampak tak acuh. Tangannya mengukir garis sembarangan di bantal. Matanya basah karena derai air mata yang tiba-tiba saja luruh tanpa sebab. "Apa sesuatu terjadi? Semua akan jauh lebih baik, Sayang," tutur Kinar. Ia duduk di hadapan Freya membelakang jendela. "Tidak ada yang terjadi, Kinar. Aku baru saja menangisi dua ekor burung," jelas Freya. Ia berusaha untuk bangkit dudu dan melipat kakinya menghadap Kinar, menghapus bulir air mata yang tersisa. "Burung?" Tangan Kinar berada di lutut Freya dan memastikan kembali ucapan Freya dengan tatap
Freya menggenggam jemari Sky, meremasnya dengan lembut. Ia menarik pandangan pria yang terus menunduk. Lantas sorot mata Sky menelisik pada bola mata bening milik Freya.“Tidak ada satu atau lebih banyak hal yang membuatku lari darimu, Sky. Bagaimana kondisimu, bagaimana keadaanmu, pun sikapmu yang lalu padaku, aku tidak peduli. Kau— ayah dari anakku. Kau yang mencuri hatiku sejak awal, Sky.” Kedua tangan gadis itu tidak lepas dari wajah kekasihnya.Ya— Freya menyadari perbedaan dari sang kekasih. Namun, itu sama sekali tidak menyurutkan atau mengurangi sejengkal kasihnya pada pria itu.Mendengar penuturan Freya membuat derai air mata Sky kian deras. Siapa sangka kalau tidak pernah ada dendam dalam diri Freya. Kendati wanita itu pernah mengatakan akan membunuhnya. Namun, kenyataannya kekecewaan itu dikalahkan oleh cinta yang jauh lebih besar ketimbng rasa sakit.Banyak orang bertahan bukan karena terpaksa melainkan karena cinta. Seburuk apa pun pria itu membuat kecewa dan luka pada wa
"Kalian bisa bawa Freya pulang. Jangan memancing emosinya, kadang dia bisa mengontrol dirinya, tapi kadang juga emosinya meledak-ledak," tutur Kinar pada Sky dan Sean. Sementara Zeta menguping di belakang dua pria itu. Dia heran, kenapa Sean musti mendengarkan penjelasan itu, seharusnya hanya Sky bukan? Mungkin bibirnya bisa bilang kalau dia baik-baik saja, tapi kecemburuannya tetap timbul, jika sudah menyangkut Freya. Beruntung banget kan jadi gadis itu? Dia dicintai oleh abang dan adek. Sedangkan aku? Aku harus ngemis-ngemis, merendahkan diri untuk bisa meraihnya, batin Zeta. Memelas pada takdir hidupnya. Menatap diri sendiri yang tidak pernah mendapatkan keberuntungan sejak dia menghirup udara dunia. Tuhan, ini hanya dunia, tapi kenapa sesakit ini? Kenapa harus ada cinta orang lain di antara aku dan dia? Benarkah Sean bisa bertahan dan tetap di sisiku, nanti? Sorot matanya terus terpusat pada bahu kekasihnya. Dia mampu mengagumi pria itu bahkan hanya tampak bahu sa