Ruangan yang tidak terlalu besar. Satu ranjang berada di sudut bilik menghadap ke jendela yang menampilkan pemandangan aliran sungai cukup deras dengan air yang bening. Sky melihat punggung Freya yang terlihat begitu kurus. Jauh berbeda dengan Freya yang dia kenal dulu. Meski, dia giat bekerja siang dan malam, tetapi tubuhnya tidak sekering saat ini. "Freya, bagaimana kondisimu?" tanya Kinar seraya melangkah mendekati tubuh Freya.Gadis itu, tampak tak acuh. Tangannya mengukir garis sembarangan di bantal. Matanya basah karena derai air mata yang tiba-tiba saja luruh tanpa sebab. "Apa sesuatu terjadi? Semua akan jauh lebih baik, Sayang," tutur Kinar. Ia duduk di hadapan Freya membelakang jendela. "Tidak ada yang terjadi, Kinar. Aku baru saja menangisi dua ekor burung," jelas Freya. Ia berusaha untuk bangkit dudu dan melipat kakinya menghadap Kinar, menghapus bulir air mata yang tersisa. "Burung?" Tangan Kinar berada di lutut Freya dan memastikan kembali ucapan Freya dengan tatap
Freya menggenggam jemari Sky, meremasnya dengan lembut. Ia menarik pandangan pria yang terus menunduk. Lantas sorot mata Sky menelisik pada bola mata bening milik Freya.“Tidak ada satu atau lebih banyak hal yang membuatku lari darimu, Sky. Bagaimana kondisimu, bagaimana keadaanmu, pun sikapmu yang lalu padaku, aku tidak peduli. Kau— ayah dari anakku. Kau yang mencuri hatiku sejak awal, Sky.” Kedua tangan gadis itu tidak lepas dari wajah kekasihnya.Ya— Freya menyadari perbedaan dari sang kekasih. Namun, itu sama sekali tidak menyurutkan atau mengurangi sejengkal kasihnya pada pria itu.Mendengar penuturan Freya membuat derai air mata Sky kian deras. Siapa sangka kalau tidak pernah ada dendam dalam diri Freya. Kendati wanita itu pernah mengatakan akan membunuhnya. Namun, kenyataannya kekecewaan itu dikalahkan oleh cinta yang jauh lebih besar ketimbng rasa sakit.Banyak orang bertahan bukan karena terpaksa melainkan karena cinta. Seburuk apa pun pria itu membuat kecewa dan luka pada wa
"Kalian bisa bawa Freya pulang. Jangan memancing emosinya, kadang dia bisa mengontrol dirinya, tapi kadang juga emosinya meledak-ledak," tutur Kinar pada Sky dan Sean. Sementara Zeta menguping di belakang dua pria itu. Dia heran, kenapa Sean musti mendengarkan penjelasan itu, seharusnya hanya Sky bukan? Mungkin bibirnya bisa bilang kalau dia baik-baik saja, tapi kecemburuannya tetap timbul, jika sudah menyangkut Freya. Beruntung banget kan jadi gadis itu? Dia dicintai oleh abang dan adek. Sedangkan aku? Aku harus ngemis-ngemis, merendahkan diri untuk bisa meraihnya, batin Zeta. Memelas pada takdir hidupnya. Menatap diri sendiri yang tidak pernah mendapatkan keberuntungan sejak dia menghirup udara dunia. Tuhan, ini hanya dunia, tapi kenapa sesakit ini? Kenapa harus ada cinta orang lain di antara aku dan dia? Benarkah Sean bisa bertahan dan tetap di sisiku, nanti? Sorot matanya terus terpusat pada bahu kekasihnya. Dia mampu mengagumi pria itu bahkan hanya tampak bahu sa
Freya justru mengalihkan pandang ke sisi kiri dengan tangan bersedekap. Tidak ingin mendengar penjelasan Sean yang terkesan memberi pembelaan pada Zeta.Sepanjang perjalanan, Gatra tidur dalam dekap sang ayah. Tidak lagi ada perbincangan. Bahkan Zeta pun enggan bersua meski dengan Sean. Menahan diri agar tidak memancing emosi Freya yang bisa meledak kapan saja. Setibanya di rumah, pertama Sean mengambil alih tubuh Gatra. Memberikannya pada Freya yang sudah menunggu di sisinya, lalu menurunkan tubuh Sky, dan Zeta menarik kursi rodanya keluar. "Hati-hati," tukas Freya. Pria itu tidak lantas menjawab dan segera mendaratkan tubuh adiknya kembali ke kursi beroda itu. Mereka masuk, kecuali Zeta. Sean, sempat menoleh pada kekasihnya, tetapi perempuan itu mengatakan 'aku tunggu di sini' tanpa suara. Hanya gerak bibirnya yang sudah mampu dibaca oleh Sean. Dijawab anggukan, dan kemudian ketiganya tertelan oleh jarak lenyap di balik pintu. "Untuk sementara, Sky tidur di kamar Mama dulu, saja
Tidak pernah mereka rasakan sebelumnya, betapa dosa itu cukup membuat keduanya lupa akan batasan. Ciuman mesra masih terus diraup. Berusaha merengkuh hal yang tidak akan mampu didapatkan hanya dengan pautan bibir semata.“Dasar tidak tahu malu,” cecar seseorang yang bersua di belakang tubuh Sean. Setelah mencaci dua sejoli itu, ia lantas meninggalkan keberadaan mereka.Hanya kalimat pendek itulah yang menyeret keduanya dalam kenyataan. Kesadaran yang terasa memalukan. Mereka tidak lantas menoleh karena kenal betul siapa orang yang tengah mencecar kelakuan Sean dan Zeta.Pria itu mengusap bibir Zeta yang basah akibat ulah mereka sendiri. Menelisik lebih dalam sorot mata mencari kepastian apakah wanita itu murka atas tindakannya?“Aku pulang, ya. Sudah semakin malam,” pamit Zeta tiba-tiba. Dia malu merasa ditatap dengan sempurna oleh Sean, kekasihnya.“Kamu marah?” Jari telunjuk Sean menarik dagu Zeta. Dia tidak mampu membaca yang tersirat di raut muka, Zeta.“Untuk apa? Aku tidak akan p
"Saya terima nikah dan kawinnya Freya Kayonna binti Adam dengan mas kawin tersebut dibayar, tunai.""Saksi, bagaimana?" Sahutan menteriakkan satu kata sah menggema di rumah ball room hotel. Seluruh wajah yang menyetor ke acara itu penuh dengan gurat kebahagiaan, senyum, keceriaan, dan keharuan. Bersuka cita atas kehidupan baru bagi Freya dan juga Sky. Sean dam Zeta terlalu sibuk sebulan ini. Mereka yang mengurus segala kemegahan dan keberhasilan atas berlangsungnya acara ini. Secercah kebanggan tumbuh dalam diri Zeta saat melihat jalan acaranya sesuai dengan harapan. "Kamu hebat, Nay," puji Sean. Menggamit pinggang Zeta dengan sebelah tangannya. Ia mengalihkan pandang yang semua ke arah altar tempat Sky dan istrinya berdiri, sekarang menatap wajah sang kekasih yang sudah dua setengah tahun menjalin hubungan asmara dengannya. "Baru sadar? Ck! Menyebalkan sekali," rajuk Zeta. Memasang wajah murungnya dengan manja. Telah banyak cerita mereka lewati, telah banyak kisah mereka jelajah
Jari telunjuk lucu itu bergerak ke kiri dan kanan. Matanya menyipit sarat akan ketidaksukaan pada Zeta. “No! Kamu melebut Papa dali Mommy,” ucapnya yang seketika membuka mata Zeta kian lebar.Tidak percaya bagaimana balita satu setengah tahun tahu kata merebut?Demikian pun dengan Sean, ia lekas menoleh ke arah Zeta dan menyadari ekspresi yang diperlihatkan kekasihnya. Ia alihkan tubuh Gatra pada sebelah tangannya dan lantas satu tangan yang terbebas memeluk Zeta dengan erat. Seakan mendorong jauh-jauh ucapan Gatra. Menopang perasaan rapuh Zeta dengan usapan lembut menenangkan di punggung perempuan itu.“Tidak dong. Tante Zeta itu baik lho. Dia—” Sean berusaha membela.Akan tetapi Gatra menggeleng cepat. Tidak mau mendengarkan apa pun yang hendak dituturkan oleh Sean.“Tidak apa-apa,” ucap Zeta tanpa suara. Hanya gerakan bibir yang bisa Sean mengerti.Dua pengantin baru sudah kian mendekat dan senyum Freya mengembang luwes. Tangannya menjerat jemari Sky dengan posesif. Gadis itu hanya
Tanpa berbalik dan tatapannya jatuh pada cincin memukau itu Zeta menjawab, “aku mau. Tapi— aku takut membuatmu kecewa, Mine. Aku takut jika aku melukaimu atau—”“Sebaliknya?” potong Sean, masih berbicara dalam ceruk leher Zeta.“Maaf, Mine. Aku wanita trust issue, itu benar. Aku bingung dengan perasaanku. Aku mau, sungguh aku ingin memilikimu seumur hidupku, tapi aku takut kalau aku sumber dari lukamu nanti.”“Kau berpikir bahwa cintamu yang hebat akan melukaiku?” balas Sean. Ia menarik diri dan memonitori raut wajah sang kekasih.Zeta melerai jerat tangan Sean. Ia melangkah menjauh selangkah dari pria itu. “Kau pernah terluka karena memberi cinta yang hebat pada seseorang.”“Karena dia tidak mengharapkanku, Nay. Tapi kita berbeda. Kau berharap penuh padaku dan aku pun sama. Kita memiliki perasaan yang sama. Terima aku, Nay,” pinta Sean.“Tapi—”“Katakan kalau kau mau,” desak Sean.Zeta menatap binar mata Sean yang berkilat. Gadis itu yakin, sesuatu yang sedikit transparan memburamkan