Surai bergelombang sewarna arang, tersibak saat sang pemilik memacu langkah menantang udara yang bergerak menyapu alam.
Gantari Mahika, namanya. Berlari dengan ayunan kaki lebar, membiarkan rambutnya yang tergerai itu berkibar.
"Berani-beraninya! Siapa yang memberi izin untuk membangun pabrik di sana?! Aku tidak merasa pernah menjual tanah itu kepada siapa pun." Gantari Mahika menggerutu di setiap hela napas.
Tak seperti namanya yang memiliki arti menyinari bumi, yang seharusnya mencerminkan sikap hangat dan lembut hati. Mahika justru menunjukkan diri sebagai gadis pemberani pemilik tatapan sadis.
Wajah tegasnya pun terkadang beraut bengis. Siapa saja yang mencoba melawannya, pasti dibuat gentar dan berakhir dalam tangis, pun bernasib tragis.
Aura kemarahannya terpancar begitu kuat saat ini.
Penyebabnya adalah kerumunan orang di depan sana. Pada sebuah tanah kosong milik Mahika, warisan dari kedua orang tua.
"Mahika?!" seru beberapa di antara mereka di dalam kerumunan, yang mengenal si perempuan.
Kebanyakan memang para tetangga di tempat ia tinggal. Mereka berbondong-bondong ingin menyaksikan acara peletakan batu pertama untuk sebuah anak perusahaan terkenal dari ibu kota.
Namun, gadis itu tak memberi sahutan. Gantari Mahika tetap melenggang tanpa menghiraukan celetukan beberapa orang yang mengatakan bahwa dirinya tidak sopan.
Tatapan Mahika terpaku pada seseorang yang kini berdiri paling depan, dan menjadi pusat perhatian semua orang.
Kainan Arshad.
Pria yang merupakan owner sekaligus Chief Executive Officer dari Happy Company itu bersiap meletakkan batu pertama untuk pembangunan pabriknya.
"Yang benar saja. Keterlaluan sekali orang itu!" desis Mahika, saat ia menghentikan laju kakinya, guna sekadar meraup napas. Dada perempuan itu naik turun dengan cepat, mengais udara.
Di belakang Kainan berdiri, terpasang baliho lebar dengan tulisan berhuruf besar dan jelas terbaca.
[Peletakan Batu Pertama Pembangunan Happy Toys. Anak cabang Happy Company Indonesia. Oleh Chief Executive Officer, Kainan Arshad, M.M.]
"Karena doa sudah dilakukan, kita akan menghitung mundur dari sekarang agar Tuan Kainan bisa segera meletakkan batu pertama," ucap seseorang melalui pengeras suara, yang memang sejak awal menjadi pembawa acara penyambutan untuk sang pemilik perusahaan.
"Mari kita hitung bersama-sama! Tiga ... dua ...." Orang itu memulai dengan lantang. "Sa—"
"Berhenti!" teriak Mahika, memotong hitungan mundur yang dilakukan.
Semua mata tertuju kepada gadis berperawakan tinggi, yang kini merapatkan bibir tempat beradunya gigi, menahan laju luapan emosi.
"Jangan lakukan apa pun, sebelum mendapatkan izin dariku!" seru Mahika menggebu.
Kainan yang mendengar itu, menyerahkan batu di tangan kepada salah seorang pekerja, untuk dikembalikan pada tumpukan semula.
Pria itu menepuk kedua tangan dengan tenang, guna membersihkan debu yang tertinggal di sana. Setelahnya, pria 38 tahun itu menggulirkan bola mata, menatap datar ke arah datangnya suara sang perempuan.
Kedua tangan milik pimpinan Happy Company itu bersembunyi ke dalam saku samping celana. Bersiap menunggu kedatangan seseorang yang baru saja meneriakinya.
Gantari Mahika melangkah penuh keanggunan sekaligus ketegasan, membelah kerumunan orang yang secara spontan memberi ia ruang dengan menyingkir ke kiri dan kanan. Jalan panjang berpagar manusia, terbuka lebar untuk dirinya.
"Kamu yang bernama Kainan Arshad?" Mahika berhenti dan berdiri tanpa keraguan di depan Kainan. Menantang pria dengan kemeja putih mahal yang kini tanpa jas melapisinya. Berganti dengan rompi proyek oranye dan helm pengaman kepala berwarna jingga.
"Ya, itu saya. Ada perlu apa, Nona?" Kainan bertanya tenang.
"Ah ... ternyata benar memang kamu orangnya. Pemimpin Happy Company yang banyak dielu-elukan," ucap Mahika, menyilangkan kedua tangan di dada. Sekilas dilihat, perempuan ini memang benar-benar tidak memiliki kesopanan.
Kainan memindai penampilan sosok asing di depannya hingga ke seluruh bagian badan yang tampak di permukaan.
Surai legam bergelombang, begitu indah sebagai mahkota penghias kepala. Alis tegas dan bulu mata lentik nan tebal, berpadu pada kulit sawo matang, memperkuat karakternya sebagai perempuan yang tak mudah ditindas.
Kesan eksotisnya yang khas, begitu mudah terpahat dalam ingatan Kainan.
Gaya berpakaian yang hanya mengenakan kaus putih longgar membungkus badan, dengan kaki jenjang terbalut ripped jeans berwarna biru pudar, menandakan jika Mahika berasal dari kalangan sederhana.
Bukan wanita sosialita dengan dress mewah melekat di tubuhnya, seperti yang biasa dijumpai Kainan. Namun, jelas terlihat jika Mahika tidak bisa diremehkan.
"Kamu tidak tahu aku ini siapa?" Mahika bertanya dengan dagu terangkat.
"Saya tidak merasa perlu untuk tahu siapa kamu. Katakan saja apa tujuanmu ke sini, Nona!" Seperti biasa, Kainan berujar datar tanpa adanya basa-basi yang dilakukan.
Apalagi perempuan di depannya ini masih tampak begitu belia. Berani sekali menyalak di hadapan seorang Kainan Arshad yang terhormat.
Mahika mengembuskan napas kesal, bersamaan dengan berputarnya bola mata, pertanda tak terima dengan kalimat yang Kainan lontarkan.
Perempuan itu mengubah posisi tangan yang semula terlipat di dada, kini bertolak di kedua pinggang. Masih dengan dagu terangkat yang tampak jumawa.
"Gantari Mahika namaku. Pemilik tanah yang sekarang kamu injak. Dan aku di sini, untuk menghentikan apa yang kamu lakukan," tegas gadis itu.
"Bisa-bisanya kamu berniat membangun pabrik di tempat yang bukan milikmu, tanpa berunding dulu denganku!" lanjut Mahika, berseru menggebu.
Kainan melirik ke arah seseorang yang berdiri di sebelahnya. Ia tak mengeluarkan sepatah pun kata, tetapi tatapan tajamnya seolah mampu melubangi kepala Damar—sang asisten, yang sesekali menundukkan pandang.
"Maaf, Tuan. Saya—"
"Diam!" desis Kainan geram. Bisa-bisanya orang kepercayaannya itu menganggap enteng tindak jual beli tanah yang dilakukan. Bagaimana bisa mereka berada di sana, sedangkan Gantari Mahika tidak mau melepaskan tanah miliknya.
"Saudara lelakinya sudah menerima uang dari perusahaan kita, Tuan." Damar mengungkapkan sebuah kenyataan.
Sepasang obsidian milik Mahika membola sempurna. Tidak mengira jika kakaknya sudah menjual warisan keluarga.
'Sialan, kamu Shaka! Kamu mencuri berkas-berkas penting milikku?!' batinnya kesal, mengumpat untuk nama sang kakak.
"Kamu dengar itu, Nona?! Saudara kamu telah setuju menjual tanah ini kepada kami. Dan lagi, uang sudah kami berikan. Saya rasa tidak ada masalah dengan itu. Jika terjadi perbedaan pendapat dengan saudara lelakimu, itu tidak ada hubungannya dengan kami. Kamu urus saja sendiri," ujar Kainan dengan kalimat panjang bernada datar.
"Apa kamu bilang?!" Mahika melangkah kian mendekat dengan wajah berang.
"Saya tidak perlu mengulang." Kainan menyahut pelan, tanpa sedikit pun melakukan pergerakan. "Dan lagi, kami tidak membutuhkan izinmu untuk memulai pembangunan," imbuh Kainan.
"Mana bisa begitu. Aku tidak mau melepas tanah ini untuk siapa pun. Termasuk kamu!" Dengan berani, Mahika menggunakan jari telunjuknya untuk menuding wajah Kainan.
"Aku bisa saja menuntut kamu dengan tuduhan merampas hak milik, karena dengan seenaknya melakukan hal ini," tegas Mahika keras, sebagai pelengkap kalimat. Seraya menarik kembali jari telunjuknya dari hadapan sang pria.
Kainan mengembuskan napas berat, kemudian menoleh ke arah asistennya. Meski lagi-lagi sang atasan tak mengeluarkan suara, Damar selalu paham akan maksud tuannya yang kali ini meminta pendapat.
Pria yang sudah cukup lama menjadi tangan kanan pemilik Happy Company itu pun mendekat, dan berbisik di telinga Kainan. "Jangan dilepas, Tuan. Lokasi di sini sangat strategis. Kita berada di pihak yang benar. Bukti-bukti pembayaran yang sah bisa kita tunjukkan, seandainya perempuan ini menuntut perusahaan. Bagaimanapun caranya, kita harus mempertahankan tempat ini."
Kainan mengembalikan tatapan kepada perempuan yang jauh lebih muda darinya. Mahika masih setia dengan gesture menantang, tak sedikit pun gentar berhadapan dengan pria dewasa yang kini mengamati tubuhnya.
"Kamu ingin tambahan uang berapa? Minta pada asisten saya," ucap Kainan tanpa sedikit pun niat merendahkan.
Namun, ternyata perempuan itu menangkap maksud yang berbeda. "Kamu menghinaku?!" pekiknya.
Kening Kainan berkerut dalam. "Apa terdengar seperti itu?! Saya hanya bertanya, berapa uang yang kamu mau, Nona. Di mana letak kalimat hinaannya?"
"Orang kaya memang selalu seperti itu. Kalian pikir, semua bisa tuntas hanya dengan mengeluarkan uang?!" sentak Mahika.
"Kamu tidak tahu, betapa berharganya tempat ini. Kamu tidak tahu, bukan?! Jika mendiang orang tuaku hanya meninggalkan tanah ini saat mereka meninggal dunia." Perempuan itu mengambil napas dalam dan membuangnya kasar.
"Banyak kenangan di tempat ini yang tidak bisa diganti dengan uang, Tuan Kainan! Rumahku dulu bahkan berdiri di sini sebelum habis terbakar. Sehingga aku harus tinggal di sebuah rumah sewa kecil di pinggir kota. Intinya, aku tidak mau melepas tanah ini. Titik!" tegas Mahika dengan suara bergetar yang tak mampu ia sembunyikan. Dari matanya, emosi jelas terpancar.
Tidak munafik jika ia pun membutuhkan uang. Namun, apakah harus dengan cara ini pula ia mendapatkannya?! Menerima uang yang akan ditukar dengan warisan orang tua?!
Tidak!
Apa pun yang terjadi, dia tidak akan membiarkan satu-satunya kenangan ini jatuh ke tangan orang lain.
"Jangan melantur ke mana-mana. Cukup kembalikan uangnya, kalau kamu memang tidak mau melepaskan tempat ini untuk saya." Kainan membalas enggan.
Diberikan tawaran uang tambahan, tidak mau menerima. Jadi, jangan salahkan Kainan jika ia justru meminta uangnya dikembalikan.
Pria itu sedikit menunduk untuk mendekatkan wajah kepada si gadis, dan menyuguhkan seringai kecil di sudut bibir sambil berkata, "Bagaimana?! Kamu bisa melakukannya?! Jumlah yang harus kamu kembalikan itu tidak sedikit, Nona."
Mahika terdiam. Saliva ia teguk dengan kasar, karena tak menduga hal itulah yang akan Kainan minta. Mengembalikan uang dalam jumlah besar?! Yang benar saja. Gadis ini mendapatkannya dari mana? Makan sehari-hari tercukupi saja, sudah merupakan sesuatu yang luar biasa.
Apalah daya Mahika yang kini sebatang kara. Sang kakak memilih pergi meninggalkan dirinya untuk menjalani hidup sendirian. Coba saja dia menjadi istri seorang pengusaha, pasti hidupnya tidak akan terlunta-lunta.
Tunggu!
Apa tadi?
Istri pengusaha?!
Mahika menaikkan pandang, bertemu dengan obsidian kelam milik Kainan dengan jarak yang sangat dekat. Pria itu masih terpaku begitu lekat dengan tatapannya, menanti sang gadis memberikan tanggapan.
"Aku rasa ... aku punya jalan tengah untuk menyelesaikan masalah ini, Tuan Kainan." Si perempuan berucap pelan, tetapi penuh kemantapan setelah sebuah ide gila melintas di kepala.
Kainan Arshad menaikkan sebelah alis, dan berucap, "Katakan!"
Gadis itu mendekatkan wajah ke sisi telinga Kainan. Dengan seringai samar tersuguhkan, persis seperti apa yang sang pria tampilkan sebelumnya, Mahika membisikkan kalimat tak terduga.
"Jadikan aku istrimu, maka kamu berhak atas apa yang aku punya. Bagaimana?!"
***
"Jadikan aku istrimu, maka kamu berhak atas apa yang aku punya. Bagaimana?!"Kasak-kusuk dari arah kerumunan, kontan saja terdengar. Tak sedikit yang melontar cibiran, pun banyak yang menyerukan kekaguman atas keberanian si perempuan. Karena nyatanya, bisikan yang Mahika lakukan, masih cukup lantang untuk didengar oleh telinga-telinga yang terpasang begitu siaga di sana.Mahika tidak ingin kehilangan harta warisan orang tua, yang memang hanya tanah tersebutlah satu-satunya. Namun, ia pun sadar tidak akan mampu memberikan sejumlah uang yang pria itu minta.Menghubungi sang kakak untuk mengembalikan nominal yang sudah dibayarkan Kainan Arshad pun, tidak mungkin ia lakukan. Shaka pasti sudah menghabiskannya. Dan lagi, Mahika tidak tahu di mana keberadaan pria bernama lengkap Gibran Arshaka tersebut.Jadi, biarlah ia dianggap rendah dan mendapat caci maki dengan menawarkan diri untuk dijadikan istri oleh
Gadis dengan tubuh tinggi ramping itu mondar-mandir di ruangan yang sudah disediakan khusus untuk ia sebagai sang calon pengantin wanita.Riasan sederhana sudah terpoles di wajah ayunya. Kebaya berwarna putih tulang yang tampak elegan, kini membalut badan bersama kain batik sebagai bawahan.Mahika tidak menyangka bahwa dia akan benar-benar menikah hari ini juga. Bersama seorang pria yang selisih delapan belas tahun jarak usia dengan dirinya. Yang bahkan belum pernah ia kenal sebelumnya.Sepertinya ia lupa bahwa Kainan adalah orang kaya. Apa pun bisa ia lakukan, bahkan untuk sebuah pernikahan mendadak layaknya yang terjadi sekarang."Ini gila!" serunya tertahan. "Apa yang akan terjadi dengan hidupku setelah ini?" lanjutnya, bergumam samar. Kakinya tetap terayun ke sana dan kemari bersama tangan yang memilin ujung kebaya."Bodoh. Kamu sendiri yang memulai hal ini. Dan sekarang kamu
"Kamu sudah siap?"Mahika tersentak saat sebuah suara mengagetkan. Meski begitu, ia menahan diri untuk tak menoleh ke belakang. Belum siap untuk menerima sosok Kainan berada dalam kamar yang sama dengan dirinya.Ijab kabul sudah dilaksanakan. Kainan yang memang menyewa sebuah villa di kota kecil tersebut, membayar mahal untuk seorang pemuka agama yang ia panggil untuk menikahkan dirinya dengan si gadis belia.Akan memakan waktu lama jika Kainan harus membawa Mahika ke pusat kota di mana pria itu tinggal. Acara pun tidak dihadiri oleh banyak orang. Hanya beberapa saksi yang berasal dari anak buah Kainan sendiri. Sedangkan dari pihak Mahika, hanya ada Shaka seorang bersama dua tetangga.'Jadi ... pernikahan ini benar-benar dilakukan diam-diam?! Tanpa sepengetahuan keluarganya?! Wah, bagus! Aku tidak perlu memperkenalkan diri pada mereka. Tidak perlu berpura-pura ramah pada orang-orang di sekitar Kainan
Malam pertama?!Yang benar saja. Kainan Arshad justru lebih dulu terlelap di saat Mahika masih membersihkan badan di kamar mandi. Mereka bahkan tertidur dengan saling memunggungi. Tidak ada malam pertama bagi si pasangan pengantin.Kini, setelah pagi datang, bukannya bermalas-malasan di atas ranjang layaknya pengantin baru pada umumnya, Kainan bahkan sudah hampir rapi dengan pakaian kerja yang melekat pas di badan."Bersiap-siaplah, Mahika! Kita akan berangkat satu jam dari sekarang," tutur Kainan saat pria itu memasang dasi pada kerah kemeja berwarna baby blue yang begitu pas membalut raga. Tubuh tinggi tersebut sedikit menunduk untuk melihat pantulan dirinya pada cermin yang ada di belakang meja rias, di samping tempat tidur, di mana sang istri masih bergelung selimut.Mahika yang baru saja menggeliat dan menguap lebar, kontan menghentikan paksa pergerakan."Apa?" Gadis itu bertanya dengan suara serak sambil beberapa kali mengerjapkan mata saat m
Mahika mengikuti Kainan yang berjalan di depannya. Seperti apa yang pria itu katakan, ia membawa sang istri ke rumahnya di pusat kota.Bukan rumah besar bak istana dengan banyak pelayan yang menyambutnya, seperti dalam bayangan Mahika, justru hunian sederhana dan jauh dari kata mewah yang merupakan kediaman seorang Kainan Arshad."Kenapa diam? Tidak sesuai dengan harapan?!" Kainan menoleh, dan bertanya sarkas dengan sebelah alis terangkat, saat mendapati sang istri menghentikan langkah di ambang pintu dan membiarkan sepasang netra menjelajah ruang dengan pandangan.Mahika memperbaiki ekspresi dan mengangkat dagu bersama kedua tangan yang terlipat di dada. "Apa maksudmu?!" tandasnya berani. "Aku tidak mengharapkan apa pun," lanjut si perempuan sok lugu. Ah, Mahika memang selugu itu."Saya tahu kamu berpikir tentang rumah besar bak istana, dengan banyak pelayan di dalamnya. Bukannya rumah kecil seperti
Kainan hendak membaringkan Mahika di atas tempat tidurnya kala tiba-tiba gadis itu tersentak sadar, dan kontan melingkarkan lengan pada leher sang pria. Jerit ketakutan kembali terdengar dari mulutnya."Jangan! Jangan tinggalkan aku! Tolong! Tolong matikan apinya! Matikan apinya!" racau Mahika berantakan.Gadis itu mengeratkan pelukan. Kainan yang masih kebingungan dengan tingkah istrinya, tidak dapat berbuat apa-apa selain membalas memberikan rengkuhan. Namun, posisi Kainan yang tengah membungkuk karena semula berniat membaringkan sang istri, tak bisa menjaga keseimbangan dan justru berakhir ambruk di atas ranjang, menindih Mahika.Tanpa sengaja pula, bibir Kainan mendarat pada bibir sang istri yang berwarna peach alami. Kainan melebarkan mata saking terkejutnya. Saat itu pula, Mahika menghentikan teriakan dan melotot sempurna. Meski begitu, keduanya masih terdiam. Masing-masing sibuk mencerna apa yang telah terjadi sebenarnya.Begitu sadar bibir mereka
Mahika mengendap keluar dari kamar mandi, hanya dengan handuk membalut tubuh atas hingga sebatas paha. Ia sudah selesai membersihkan diri. Karena Kainan tidak mengantarkan sabun, sampo, dan peralatan lain miliknya, terpaksa Mahika menggunakan kepunyaan sang pria. Dan kini, harum khas Kainan menempel lekat di kulit tubuhnya.Ditolehkannya kepala ke kiri dan ke kanan mencari keberadaan Kainan. Namun, tidak ada siapa pun di sana. Saat Mahika berjalan ke arah ranjang, ia menemukan satu setel piama terlipat di atasnya lengkap bersama dalaman."Dia yang meletakkan ini di sini?! Tapi, milik siapa? Kenapa dia malah menyiapkan baju baru?! Bukannya membawa pakaianku yang di mobil ke sini," gumamnya seraya mendudukkan diri. Tubuh gadis itu masih sedikit lemas pasca tanpa sengaja melihat api.Dalam hati ia bersyukur. Saat trauma kembali muncul, biasanya ia akan lama memulihkan diri. Tak hanya membutuhkan waktu berjam-jam, tetapi bisa sampai dalam hitungan hari efeknya
Mahika menatap berbinar ke arah makanan yang tersaji di atas meja. Tanpa sadar, lidahnya bergerak menelusuri permukaan bibir saking tergiurnya. Memang hanya menu sederhana berupa tumis pakcoy yang dicampur dengan jamur tiram, bersama beberapa potong nugget yang masih hangat di dalam piring lainnya.Namun, hal itu sudah sangat spesial untuk sang gadis yang biasanya hanya memakan tahu atau tempe sebagai pelengkap nasi. Tidak pernah ada menu istimewa yang lain. Sayur asem, terkadang sup ditambah tempe goreng dan sambal adalah menu andalan di warung langganannya.Lirikan kecil ia berikan kepada Kainan yang sudah lebih dulu memulai makan malamnya. Hal janggal yang tertangkap netra, membuat gadis itu mengerutkan keningnya. Kainan sengaja memisahkan lauk pauknya dalam piring yang berbeda dengan milik istrinya."Kenapa makananmu dipisahkan dengan yang ini? Tidak mau mengambil makanan dari tempat yang sama denganku? Aku tidak punya penyakit menular, Tuan Kainan ...