Gadis dengan tubuh tinggi ramping itu mondar-mandir di ruangan yang sudah disediakan khusus untuk ia sebagai sang calon pengantin wanita.
Riasan sederhana sudah terpoles di wajah ayunya. Kebaya berwarna putih tulang yang tampak elegan, kini membalut badan bersama kain batik sebagai bawahan.
Mahika tidak menyangka bahwa dia akan benar-benar menikah hari ini juga. Bersama seorang pria yang selisih delapan belas tahun jarak usia dengan dirinya. Yang bahkan belum pernah ia kenal sebelumnya.
Sepertinya ia lupa bahwa Kainan adalah orang kaya. Apa pun bisa ia lakukan, bahkan untuk sebuah pernikahan mendadak layaknya yang terjadi sekarang.
"Ini gila!" serunya tertahan. "Apa yang akan terjadi dengan hidupku setelah ini?" lanjutnya, bergumam samar. Kakinya tetap terayun ke sana dan kemari bersama tangan yang memilin ujung kebaya.
"Bodoh. Kamu sendiri yang memulai hal ini. Dan sekarang kamu menyesal?! Tidak lucu, Mahika!" cibirnya pada diri sendiri.
Perempuan itu membawa langkahnya mendekat ke arah cermin besar dan lebar yang terpasang pada salah satu sisi dinding ruangan. Di depannya terdapat meja rias, lengkap dengan berbagai macam alat make-up yang ditinggalkan oleh seseorang yang beberapa saat lalu merias wajahnya, juga membantu Mahika mengenakan pakaian.
Pemilik surai hitam panjang dan bergelombang yang kini tergelung rapi itu mendudukkan diri pada kursi single di depan meja. Menghadap ke arah cermin yang menampilkan pantulan dirinya yang nyaris tak ia kenal. Pasalnya, baru kali ini wajah Mahika terpoles dengan riasan lengkap.
Biasanya, hanya sapuan bedak bayi tipis-tipis dan olesan lip balm pada bibirlah yang ia lakukan. Itu pun sangat jarang terjadi. Mengingat pekerjaannya yang hanya seorang buruh pabrik. Dengan masker yang menutup separuh wajah sepanjang hari, ia tak memerlukan bedak ataupun lipstick.
Raut wajah pengantin dadakan ini begitu tegas menatap pantulan di dalam kaca. Satu kalimat panjang ia lontarkan seakan sedang menuturkan petuah kepada sosok lain yang terperangkap di dalam sana. Yang tak lain dan tidak bukan adalah dirinya sendiri, Gantari Mahika.
"Kamu hanya perlu menjadi istri Kainan, sampai kamu mendapatkan kembali apa yang seharusnya menjadi milikmu!" Mahika mengepalkan kedua tangan di pangkuan.
Niat Mahika sejak awal, yang bahkan rela mempermalukan diri dengan meminta Kainan menikahinya, adalah semata-mata karena ia tidak ingin kehilangan tanah warisan orang tua.
"Orang kaya selalu semaunya. Enak saja menyuruhku mengembalikan uang. Lihat saja apa yang bisa aku lakukan nanti. Uangmu justru akan habis di tanganku. Dan ucapkan selamat tinggal kepada kehidupan serba mewah yang kamu miliki." Mahika memperkuat tekad yang sempat mengendap.
Tidak.
Mahika tidak memiliki dendam apa pun terhadap Kainan. Perempuan ini hanya tak suka dengan gaya hidup orang kaya yang seakan bisa menaklukan segalanya menggunakan uang. Dan menurut gadis ini, Kainan adalah salah satu di antara mereka. Itulah mengapa ia tidak menyukai pria yang akan segera menjadi suaminya tersebut.
Brakk!!!
Pintu ruangan tiba-tiba terbuka dan menimbulkan suara gaduh yang begitu mengganggu indra pendengar. Mahika pun menoleh cepat.
"Gadis bodoh! Apa yang kamu lakukan?!" Seseorang berseru dari ambang pintu ruangan. Nada bicaranya tak terlalu kencang, tetapi kentara tertahan menekan geram.
Gibran Arshaka.
Kakak kandung Gantari Mahika tersebut, berdiri dengan raut keras. Menghadap tepat ke arah sang adik yang kini berpenampilan luar biasa indah yang belum pernah dilihat oleh pria 25 tahun itu sebelumnya.
Perempuan berkebaya itu berdiri cepat dan berbalik membalas tatapan sang kakak. Kepalan di tangan masih belum terurai. Justru semakin erat hingga urat-urat tipis di sana terlihat.
"Gadis bodoh?!" Mahika mengulang perkataan saudara laki-lakinya dengan senyum kecut yang ia suguhkan.
"Dan kamu bertanya tentang apa yang aku lakukan?! Wah ... hebat sekali kamu, Shaka. Setelah mencuri semua berkas penting kepemilikan tanah punyaku, kamu menjual satu-satunya peninggalan orang tua kita kepada Kainan. Dan sekarang saat aku berupaya mendapatkan kembali apa yang menjadi hakku, kamu mengatakan bahwa aku adalah gadis bodoh?!" Mahika tidak dapat menahan emosinya.
Pertanyaan tentang bagaimana bisa Arshaka sekarang berada di dalam satu ruangan yang sama dengan dirinya, sempat melintas. Sedangkan sejak berbulan-bulan yang sudah terlewat, dia sama sekali tak mendengar kabar dari kakaknya.
Apa mungkin asisten Kainan benar-benar berusaha menghubunginya agar datang dan menjadi wali nikah untuk Mahika dengan pria pemilik Happy Company tersebut?!
Ah, benar. Bukankah belum lama mereka melakukan transaksi jual beli tanah tanpa sepengetahuan Mahika?! Pantas saja pemuda bernama Damar itu memiliki kontak Arshaka. Dan pastinya bukan hal yang sulit bagi Kainan untuk mendatangkan pria ini.
"Aku punya alasan untuk itu." Shaka menyahut tegas atas lontaran kalimat panjang Mahika yang penuh tuduhan. Pria itu membawa langkah kian dalam memasuki ruangan.
"Oh, tentu saja. Aku sangat percaya. Kamu menjual tanah untuk membayar utang-utangmu pada lintah darat?!" sarkas Mahika. Perempuan itu pun melangkah mendekat menyongsong sang kakak, tanpa sedikit pun gentar.
"Atau mungkin kamu gunakan untuk berfoya-foya dengan banyak wanita jalang di luaran sana?! Sepak terjang kamu sebagai seseorang yang gemar bermain perempuan itu sudah melekat kuat, Shaka. Dan jangan pernah mencoba untuk mengelak!" imbuh Mahika.
Tatapan tajamnya menusuk dalam, hingga membuat Arshaka nyaris tenggelam dalam luapan emosi sang adik perempuan.
"Ah, atau jangan-jangan kamu juga menjajal dunia perjudian sekarang?! Wah ... entah kenapa aku tidak heran jika memang itu benar." Mahika melipat tangan di dada.
"Itulah mengapa ayah dan ibu tidak meninggalkan apa pun untukmu. Bahkan satu-satunya tanah yang mereka punya, mereka atas namakan sebagai milikku. Seakan ayah dan ibu sudah memiliki firasat bahwa hidup mereka tak akan lama lagi kala itu, dan kamu tidak akan bisa diandalkan untuk apa pun." Kali ini sang gadis menjeda kalimatnya, dan menarik napas dalam.
"Tapi ternyata semua sia-sia. Kamu yang memang pada dasarnya sudah rusak, sekarang justru mencuri apa yang aku punya dan seenak pantat menjualnya." Perempuan itu nyaris berteriak. Sedangkan Shaka hanya menatapnya dalam diam.
"Aku tidak mau tahu. Aku tidak mau dengar apa pun alasanmu. Entah untuk membayar utang, bermain perempuan atau berjudi sekalipun. Jika kamu tidak bisa memberikan aku uang untuk aku kembalikan kepada Tuan Kainan Arshad, sekarang kamu hanya perlu menikahkan aku dengan pria itu. Setelahnya, aku bisa urus diri sendiri." Mahika berucap penuh tekanan dengan sebelah tangan memukul dada sang kakak.
Shaka terkekeh sinis. "Jadi benar?! Kamu menjual diri kepada Kainan?! Kenapa rendah sekali adikku ini?!"
Mahika menghentikan pergerakan. Tatapannya kembali terangkat, memaku lekat sepasang netra sewarna karamel serupa dengan miliknya, dengan gigi beradu pertanda geram. Hingga satu tindakan yang belum pernah Mahika lakukan kepada sang kakak sebelumnya, ia layangkan penuh amarah.
Plakk!!!
Tamparan keras dari tangan kanan Mahika, mendarat panas di pipi kiri Arshaka.
"Jaga bicaramu, Shaka. Diam saja kalau kamu tidak tahu apa yang sedang aku rencanakan!" Gadis itu berdesis geram. "Aku tebak. Kamu bahkan sudah tak punya sepeser pun uang saat ini. Apalagi untuk dikembalikan kepada Kainan. Apa aku benar?!" tambahnya.
Sejak dahulu, hubungannya dengan sang kakak memang tidak terlalu akrab. Jika bertemu, ada saja hal yang mereka pertengkarkan.
Meski begitu, sesungguhnya Shaka tidak membenci saudara perempuannya. Hanya saja, memang seperti itu cara keduanya berinteraksi dan tanpa sadar saling menyatakan kepedulian walau dengan cara yang kasar.
Mengusap pipinya perlahan bekas tamparan si adik perempuan, Shaka tersenyum merendahkan. Tawa remeh pun menjadi pengiring gelengan kepala yang ia lakukan, sebagai bentuk ketidakpahaman akan tindakan adiknya.
"Kamu boleh beranggapan bahwa aku tak berguna. Dan benar, aku memang sudah tak memiliki uang. Untuk itulah aku datang. Untuk menikahkan kamu dengan Tuan Kainan. Seperti apa yang kalian putuskan," sahut Shaka.
"Hmm ... tapi dari sini, sepertinya aku sudah bisa membaca rencanamu sekarang." Pria yang merupakan satu-satunya saudara Mahika tersebut kini mengelus dagunya sambil menelisik wajah sang adik dengan ekspresi jahilnya.
"Ini adalah misi terselubung untuk menguras harta orang itu?!" terka Shaka. "Bagus. Jika itu yang ada di kepalamu, aku akan mendukung adik cantikku ini seratus persen," imbuh Shaka dengan senyum lebar.
"Jangan ikut campur!" sergah Mahika.
Baru saja Shaka ingin membalas ucapan adiknya, sebuah suara yang berasal dari depan pintu, membuat pria itu mengurungkan niat.
"Kalian sudah selesai berbicara?! Tuan Kainan sudah menunggu." Damar berseru.
Mahika dan Arshaka pun kembali saling tatap, setelah sebelumnya menoleh bersamaan ke arah datangnya seseorang yang merupakan tangan kanan Kainan Arshad tersebut.
Shaka tersenyum samar, dan berucap penuh makna terhadap sang adik. "Selamat hari pernikahan, Adikku. Selamat menempuh hidup baru. Semoga kamu bahagia selalu, dengan apa yang sudah menjadi keputusanmu."
Meski Arshaka mengucapkan itu dengan nada sarkas yang seolah meledek adiknya, tetapi Mahika tahu ... sang kakak tulus memberikan restu.
***
"Kamu sudah siap?"Mahika tersentak saat sebuah suara mengagetkan. Meski begitu, ia menahan diri untuk tak menoleh ke belakang. Belum siap untuk menerima sosok Kainan berada dalam kamar yang sama dengan dirinya.Ijab kabul sudah dilaksanakan. Kainan yang memang menyewa sebuah villa di kota kecil tersebut, membayar mahal untuk seorang pemuka agama yang ia panggil untuk menikahkan dirinya dengan si gadis belia.Akan memakan waktu lama jika Kainan harus membawa Mahika ke pusat kota di mana pria itu tinggal. Acara pun tidak dihadiri oleh banyak orang. Hanya beberapa saksi yang berasal dari anak buah Kainan sendiri. Sedangkan dari pihak Mahika, hanya ada Shaka seorang bersama dua tetangga.'Jadi ... pernikahan ini benar-benar dilakukan diam-diam?! Tanpa sepengetahuan keluarganya?! Wah, bagus! Aku tidak perlu memperkenalkan diri pada mereka. Tidak perlu berpura-pura ramah pada orang-orang di sekitar Kainan
Malam pertama?!Yang benar saja. Kainan Arshad justru lebih dulu terlelap di saat Mahika masih membersihkan badan di kamar mandi. Mereka bahkan tertidur dengan saling memunggungi. Tidak ada malam pertama bagi si pasangan pengantin.Kini, setelah pagi datang, bukannya bermalas-malasan di atas ranjang layaknya pengantin baru pada umumnya, Kainan bahkan sudah hampir rapi dengan pakaian kerja yang melekat pas di badan."Bersiap-siaplah, Mahika! Kita akan berangkat satu jam dari sekarang," tutur Kainan saat pria itu memasang dasi pada kerah kemeja berwarna baby blue yang begitu pas membalut raga. Tubuh tinggi tersebut sedikit menunduk untuk melihat pantulan dirinya pada cermin yang ada di belakang meja rias, di samping tempat tidur, di mana sang istri masih bergelung selimut.Mahika yang baru saja menggeliat dan menguap lebar, kontan menghentikan paksa pergerakan."Apa?" Gadis itu bertanya dengan suara serak sambil beberapa kali mengerjapkan mata saat m
Mahika mengikuti Kainan yang berjalan di depannya. Seperti apa yang pria itu katakan, ia membawa sang istri ke rumahnya di pusat kota.Bukan rumah besar bak istana dengan banyak pelayan yang menyambutnya, seperti dalam bayangan Mahika, justru hunian sederhana dan jauh dari kata mewah yang merupakan kediaman seorang Kainan Arshad."Kenapa diam? Tidak sesuai dengan harapan?!" Kainan menoleh, dan bertanya sarkas dengan sebelah alis terangkat, saat mendapati sang istri menghentikan langkah di ambang pintu dan membiarkan sepasang netra menjelajah ruang dengan pandangan.Mahika memperbaiki ekspresi dan mengangkat dagu bersama kedua tangan yang terlipat di dada. "Apa maksudmu?!" tandasnya berani. "Aku tidak mengharapkan apa pun," lanjut si perempuan sok lugu. Ah, Mahika memang selugu itu."Saya tahu kamu berpikir tentang rumah besar bak istana, dengan banyak pelayan di dalamnya. Bukannya rumah kecil seperti
Kainan hendak membaringkan Mahika di atas tempat tidurnya kala tiba-tiba gadis itu tersentak sadar, dan kontan melingkarkan lengan pada leher sang pria. Jerit ketakutan kembali terdengar dari mulutnya."Jangan! Jangan tinggalkan aku! Tolong! Tolong matikan apinya! Matikan apinya!" racau Mahika berantakan.Gadis itu mengeratkan pelukan. Kainan yang masih kebingungan dengan tingkah istrinya, tidak dapat berbuat apa-apa selain membalas memberikan rengkuhan. Namun, posisi Kainan yang tengah membungkuk karena semula berniat membaringkan sang istri, tak bisa menjaga keseimbangan dan justru berakhir ambruk di atas ranjang, menindih Mahika.Tanpa sengaja pula, bibir Kainan mendarat pada bibir sang istri yang berwarna peach alami. Kainan melebarkan mata saking terkejutnya. Saat itu pula, Mahika menghentikan teriakan dan melotot sempurna. Meski begitu, keduanya masih terdiam. Masing-masing sibuk mencerna apa yang telah terjadi sebenarnya.Begitu sadar bibir mereka
Mahika mengendap keluar dari kamar mandi, hanya dengan handuk membalut tubuh atas hingga sebatas paha. Ia sudah selesai membersihkan diri. Karena Kainan tidak mengantarkan sabun, sampo, dan peralatan lain miliknya, terpaksa Mahika menggunakan kepunyaan sang pria. Dan kini, harum khas Kainan menempel lekat di kulit tubuhnya.Ditolehkannya kepala ke kiri dan ke kanan mencari keberadaan Kainan. Namun, tidak ada siapa pun di sana. Saat Mahika berjalan ke arah ranjang, ia menemukan satu setel piama terlipat di atasnya lengkap bersama dalaman."Dia yang meletakkan ini di sini?! Tapi, milik siapa? Kenapa dia malah menyiapkan baju baru?! Bukannya membawa pakaianku yang di mobil ke sini," gumamnya seraya mendudukkan diri. Tubuh gadis itu masih sedikit lemas pasca tanpa sengaja melihat api.Dalam hati ia bersyukur. Saat trauma kembali muncul, biasanya ia akan lama memulihkan diri. Tak hanya membutuhkan waktu berjam-jam, tetapi bisa sampai dalam hitungan hari efeknya
Mahika menatap berbinar ke arah makanan yang tersaji di atas meja. Tanpa sadar, lidahnya bergerak menelusuri permukaan bibir saking tergiurnya. Memang hanya menu sederhana berupa tumis pakcoy yang dicampur dengan jamur tiram, bersama beberapa potong nugget yang masih hangat di dalam piring lainnya.Namun, hal itu sudah sangat spesial untuk sang gadis yang biasanya hanya memakan tahu atau tempe sebagai pelengkap nasi. Tidak pernah ada menu istimewa yang lain. Sayur asem, terkadang sup ditambah tempe goreng dan sambal adalah menu andalan di warung langganannya.Lirikan kecil ia berikan kepada Kainan yang sudah lebih dulu memulai makan malamnya. Hal janggal yang tertangkap netra, membuat gadis itu mengerutkan keningnya. Kainan sengaja memisahkan lauk pauknya dalam piring yang berbeda dengan milik istrinya."Kenapa makananmu dipisahkan dengan yang ini? Tidak mau mengambil makanan dari tempat yang sama denganku? Aku tidak punya penyakit menular, Tuan Kainan ...
Selesai makan malam dan membersihkan peralatan, Mahika pun meninggalkan ruangan tersebut kemudian menyusul Kainan. Bermaksud meminta bantuan untuk membawakan pakaiannya dari mobil ke dalam rumah.Saat melewati ruang tengah, ternyata di sanalah Kainan berada. Sedang serius mengerjakan sesuatu dalam laptop di pangkuan. Mahika pun mendekat dan mengatakan maksudnya."Bantu aku mengambil baju-bajuku," pintanya.Kainan menghentikan pergerakan jari-jari tangan dan mengangkat wajah. Menatap istrinya dengan wajah datar. "Sudah saya bilang, lakukan sendiri. Itu kunci mobilnya di atas meja," ucap sang pria."Ck. Tidak berperasaan," keluh Mahika kesal. Gadis itu tidak mengambil kunci yang Kainan tunjukkan, melainkan duduk pada salah satu sudut sofa. Menekuk wajah bersamaan dengan kedua tangan terlipat di dada dan terus saja menggerutu tak jelas.Kainan yang menyaksikan itu, menghela napas, kemudian meletakkan laptop yang sudah dimatikan, ke atas meja
Pagi ini suasana sedikit canggung. Mahika tak tahu, apa yang terjadi dengan Kainan sehingga pria itu menjadi begitu pendiam. Ya, memang mungkin seperti itulah sikap dasar sang pria. Namun, selama dua hari mengenalnya, Mahika terbiasa dengan ulah usil Kainan yang seakan-akan merendahkannya. Dan hal itu tidak dilakukan hari ini.Tidak ada sarapan. Setelah merapikan rumah atas inisiatif sendiri, Mahika pun membersihkan badan. Hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut dan kaus murah yang pernah ia beli saat ada pasar kaget di depan pabrik, tiap tanggal gajian.Kainnya memang cukup tipis dengan leher yang sudah melar, sehingga membuat dada Mahika di balik kaus tersebut terlihat, saat sang gadis menunduk. Meski begitu, pakaian itu terasa nyaman dipakai. Ia berniat bersantai di rumah suaminya, selama sang pria pergi bekerja.Akan tetapi, niatnya tak terlaksana saat Kainan yang sudah rapi dengan setelan kerja, keluar kamar dan memerintahkan dirinya untuk bergan
"PAK TUA, APA YANG KAMU LAKUKAN?"Jeritan dari Mahika membuat Kainan seketika menegakkan badan bersamaan dengan dadanya yang didorong oleh sang istri. Alhasil, pria itu pun terjengkang hingga jatuh terlentang di sisi lain sofa. Beruntung tak menubruk dan menumpahkan makanan di atas meja. Kuah panas dari mie instan, lumayan juga jika sampai mengenai kulitnya."Sial. Apa-apaan kamu, Mahika?" hardik Kainan. Si perempuan yang masih setengah sadar itu mendudukkan badan dengan cepat dan mengerjap kilat. Namun, setelah ingat jika baru saja Kainan menindihnya, Mahika pun berang."Justru aku yang seharusnya bertanya, kamu ini apa-apaan?" balas perempuan muda itu. "Aku sedang tidur dan kamu berniat berbuat yang tidak-tidak padaku?" imbuhnya dengan nada tinggi."Astaga. Apanya yang macam-macam? Saya hanya ingin membangunkan kamu yang mengeluh kelaparan. Tapi kamu malah mengigau seperti sedang kerasukan jin gila. Kamu menarik tubuh saya sembarangan. Karena itulah saya bisa berakhir menindih kamu.
Kainan memasuki rumah ketika waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Lembur sendirian di ruangan pribadinya pada lantai tiga kantor utama Happy Company, membuat pria itu pulang terlambat."Hhh ... lelah sekali," keluhnya sembari membuat gerakan patahan leher ke kiri dan ke kanan guna menghilangkan rasa pegal. Bunyi 'krek' mantap pun terdengar memuaskan.Seorang atasan sekaligus pemilik perusahaan seperti dia seharusnya bisa menyerahkan semua pekerjaan kepada bawahan. Tinggal menunggu laporan bahwa segalanya sudah beres dikerjakan.Namun, Kainan bukanlah tipe orang yang demikian. Apalagi jika sedang ada permintaan item boneka model baru dari buyer seperti sekarang. Sebelum melempar ke para pekerja di bagian sampel produksi, Kainan akan terlebih dahulu mempelajari sendiri. Biasanya ada Damar yang menemani. Hanya saja, hari ini si pria muda izin untuk tidak ikut lembur karena ada urusan pribadi.Sampel barang dari buyer, Kainan bongkar. Membuka hati-hati jahitan di setiap sisi, kemudian
"Kamu mau meracuni saya?"Kainan menghardik Mahika, saat hanya tinggal mereka berdua di ruangan sang CEO. Andaru sudah meninggalkan tempat itu beberapa saat lalu, setelah mendapat teguran keras dari Kainan karena melanggar peraturan perusahaan. Sedangkan Damar, sebagai satu-satunya yang tahu bahwa atasannya dan sang gadis adalah pasangan suami-istri, memilih pamit sebelum diusir. Pria muda itu paham, Kainan dan Mahika perlu berbicara."Meracuni? Apa maksud kamu?" sahut Mahika dengan suara tinggi.Sang suami berjalan mendekati meja, kemudian menunjuk cangkir kopi yang masih terletak di atasnya."Coba minum!" titah Kainan."Kenapa aku harus minum? Aku tidak suka kopi. Apalagi yang tidak ada manis-manisnya sama sekali. Iyyuuhh ... maaf saja, nanti aku muntah." Mahika menunjukkan wajah mual seusai kalimat tersebut terucap."Tidak usah pura-pura tidak tahu. Kamu sengaja memasukkan banyak garam ke dalam sana, bukan?" tuduh Kainan."Sembarangan menuduh saja. Aku hanya membawa minuman itu dar
Mahika menarik tangan Andaru agar mengikuti langkahnya. Kaki jenjang yang terbalut celana panjang hitam tersebut begitu lincah menuruni satu per satu anak tangga. Sementara salah satu tangannya tak sedikit pun melepaskan sang pria. Gadis dengan seragam kerja berupa kemeja lengan pendek berwarna biru tua berpadu abu-abu terang pada bagian dada tersebut seolah tak ingin Andaru kembali meninggalkannya."Mahika," seru Andaru di sela langkahnya mengikuti sang wanita. Jika dia mau, bisa saja Andaru membuat Mahika berhenti. Namun, melihat raut bahagia yang terlihat meletup-letup tergambar pada wajah gadis tersebut saat bertemu dengannya, Andaru tak tega merusak suasana hati Mahika. Biarkan sesuka hati gadis itu ingin melakukan apa."Mahika, sebentar." Andaru berhasil membuat sang gadis menghentikan langkah dan berbalik memaku lekat sepasang netra legamnya, ketika mereka baru saja menuruni tangga hingga lantai terbawah."Kamu tidak lelah? Padahal ada lift, kenapa memilih melewati tangga?" uca
Kainan menghela napas berat kala mendudukkan pantat kembali pada kursi kebesarannya di balik meja kerja. Memutar tempat duduk ke kiri dan ke kanan, Kainan menggigit bibir dengan kening berkerut dalam. Kedua siku bertumpu pada lengan kursi, dan jari-jari panjangnya bertaut di depan dada. Otak pria itu masih sibuk mencerna perihal kejadian beberapa menit sebelumnya, di mana Mahika menyeret pergi Andaru dari hadapannya.'Ada hubungan apa di antara mereka?' batin Kainan bertanya-tanya.Damar yang mengikuti Kainan memasuki ruangan, memperhatikan atasannya dalam diam. Pria muda itu tahu apa yang sedang sang tuan pikirkan. Apa lagi jika bukan perihal sang istri yang baru hitungan hari dinikahi justru pergi bersama pria lain."Tuan perlu sesuatu?" tanya Damar, mencoba mencairkan suasana yang mendadak beku.Kainan melirik ke arah pria yang lebih muda dan menghentikan gerakan memutar kursinya. Tampak seperti menimbang sesuatu, Kainan pun berseru, "Buka data karyawan. Lihat profil lengkap Andaru
Setelah memperoleh seragam kerja, Mahika mendapatkan jadwal tugas yang diam-diam sudah diatur oleh Kainan. Tanpa sepengetahuan sang gadis, pimpinan Happy Company tersebut sengaja meminta Roshinta—si staff HRD yang ia temui tadi, agar menempatkan Mahika khusus untuk melayani dirinya.Bagusnya, tak sedikit pun Roshinta menaruh curiga. Karena kebetulan perusahaan mereka pun sedang membutuhkan tenaga tambahan untuk bagian tersebut.Membawa segelas kopi hitam tanpa gula, Mahika bersiap melaksanakan tugas pertamanya. Mengantar minuman ke ruangan yang sudah disebutkan oleh Roshinta. Karena yang ia bawa hanya segelas kopi, Mahika tak menggunakan troli. Cukup dengan sebuah nampan berukuran sedang.Roshinta mengatakan, Mahika harus mengingat detail tugasnya. Mulai dari membersihan peralatan kantor, merapikan ruangan, menyediakan minuman hingga makanan untuk pegawai. Dalam hal ini, tentu saja khusus satu orang yang harus Mahika layani. Yang mana gadis itu pun belum t
"Tunjukkan pekerjaan untuknya. Mulai hari ini, dia akan menjadi office girl di sini.""Apa?!" sambar Mahika yang baru saja tiba. Gadis yang kini berdiri pada jarak satu meter di belakang Kainan tersebut, menganga tidak percaya.'Pria gila ini serius ingin mempekerjakan aku sebagai office girl di perusahaan ini?'"Kamu bawa berkas-berkas yang saya minta?!" Kainan mengulurkan tangan saat menanyakan hal tersebut. Mahika menaikkan pandang, menatap Kainan tak paham.'Apa yang dia maksud adalah ijazah, SKCK, daftar riwayat hidup, juga Kartu Tanda Penduduk, yang ia katakan semalam?!' batin Mahika mengira-ira."Kamu tidak bawa?" Kainan bertanya tajam."It—itu ....""Tidak apa-apa. Itu bisa menyusul," potong Kainan tanpa mengizinkan Mahika menuntaskan kalimatnya.Pria itu kemudian membalikkan badan, kembali menghadap ke arah salah satu staff personalia yang berdiri di balik meja. "Baiklah, saya tinggal. Tolong urus dia."
Pagi ini suasana sedikit canggung. Mahika tak tahu, apa yang terjadi dengan Kainan sehingga pria itu menjadi begitu pendiam. Ya, memang mungkin seperti itulah sikap dasar sang pria. Namun, selama dua hari mengenalnya, Mahika terbiasa dengan ulah usil Kainan yang seakan-akan merendahkannya. Dan hal itu tidak dilakukan hari ini.Tidak ada sarapan. Setelah merapikan rumah atas inisiatif sendiri, Mahika pun membersihkan badan. Hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut dan kaus murah yang pernah ia beli saat ada pasar kaget di depan pabrik, tiap tanggal gajian.Kainnya memang cukup tipis dengan leher yang sudah melar, sehingga membuat dada Mahika di balik kaus tersebut terlihat, saat sang gadis menunduk. Meski begitu, pakaian itu terasa nyaman dipakai. Ia berniat bersantai di rumah suaminya, selama sang pria pergi bekerja.Akan tetapi, niatnya tak terlaksana saat Kainan yang sudah rapi dengan setelan kerja, keluar kamar dan memerintahkan dirinya untuk bergan
Selesai makan malam dan membersihkan peralatan, Mahika pun meninggalkan ruangan tersebut kemudian menyusul Kainan. Bermaksud meminta bantuan untuk membawakan pakaiannya dari mobil ke dalam rumah.Saat melewati ruang tengah, ternyata di sanalah Kainan berada. Sedang serius mengerjakan sesuatu dalam laptop di pangkuan. Mahika pun mendekat dan mengatakan maksudnya."Bantu aku mengambil baju-bajuku," pintanya.Kainan menghentikan pergerakan jari-jari tangan dan mengangkat wajah. Menatap istrinya dengan wajah datar. "Sudah saya bilang, lakukan sendiri. Itu kunci mobilnya di atas meja," ucap sang pria."Ck. Tidak berperasaan," keluh Mahika kesal. Gadis itu tidak mengambil kunci yang Kainan tunjukkan, melainkan duduk pada salah satu sudut sofa. Menekuk wajah bersamaan dengan kedua tangan terlipat di dada dan terus saja menggerutu tak jelas.Kainan yang menyaksikan itu, menghela napas, kemudian meletakkan laptop yang sudah dimatikan, ke atas meja