"Jadikan aku istrimu, maka kamu berhak atas apa yang aku punya. Bagaimana?!"
Kasak-kusuk dari arah kerumunan, kontan saja terdengar. Tak sedikit yang melontar cibiran, pun banyak yang menyerukan kekaguman atas keberanian si perempuan. Karena nyatanya, bisikan yang Mahika lakukan, masih cukup lantang untuk didengar oleh telinga-telinga yang terpasang begitu siaga di sana.
Mahika tidak ingin kehilangan harta warisan orang tua, yang memang hanya tanah tersebutlah satu-satunya. Namun, ia pun sadar tidak akan mampu memberikan sejumlah uang yang pria itu minta.
Menghubungi sang kakak untuk mengembalikan nominal yang sudah dibayarkan Kainan Arshad pun, tidak mungkin ia lakukan. Shaka pasti sudah menghabiskannya. Dan lagi, Mahika tidak tahu di mana keberadaan pria bernama lengkap Gibran Arshaka tersebut.
Jadi, biarlah ia dianggap rendah dan mendapat caci maki dengan menawarkan diri untuk dijadikan istri oleh sang pemilik perusahaan saat ini.
Gadis itu lemah. Tak punya kemampuan apa pun untuk menopang hidup. Sikap tangguhnya hanya sebuah kedok, agar tak seorang pun berani menindas ia yang tak berdaya.
Lupakan ego besarnya yang sebelum ini merasa terhina saat diminta menyebutkan nominal yang ia inginkan. Katakanlah Mahika materialistis, karena ia pun berharap untuk bisa memiliki apa yang Kainan punya setelah menikah nanti. Silakan saja, Mahika juga manusia biasa yang tentu saja tergiur dengan harta.
Namun, jika Kainan dapat membaca sorot mata perempuan di depannya, sesungguhnya gadis ini tengah memohon untuk diselamatkan. Dari kehidupan kejam yang selama ini dijalaninya.
Smirk kecil di sudut bibir sang pria, perlahan pudar. Berganti dengan kedipan lambat pada kedua netra, disusul kekehan tak paham akan kalimat Mahika.
"Apa-apaan. Jangan main-main, Nona. Pikirkan baik-baik ucapanmu barusan," desis Kainan dengan suara tertahan, seraya menegakkan badan. Kedua tangan bersilang di dada kala ia memalingkan pandang, menjauhkan wajah yang semula hampir menempel dengan paras ayu si gadis belia.
"Lagi pula, tanpa harus menjadikanmu sebagai istri saya, saya sudah bisa memiliki segalanya," tukas Kainan.
Dua kali kehidupan rumah tangganya tak berakhir bahagia. Cukup sudah. Kainan tidak ingin lagi mengenal kata menikah.
"Aku sudah berpikir matang-matang. Kamu bisa membangun cabang perusahaan di sini, tanpa perlu takut untuk aku ganggu gugat lagi. Sekadar informasi saja, sertifikat tanah ini atas namaku. Jadi, jelas sudah ... saudara laki-lakiku tidak berhak apa pun," ujar Mahika.
"Tidak peduli dengan itu. Surat-surat kepemilikan sudah ada di tangan kami. Kamu tidak lagi memiliki hak. Tuntutan apa pun yang kamu lakukan, tidak akan berpengaruh apa-apa. Justru sebaliknya, saya bisa melakukan tuntutan balasan," tukas Kainan.
"Begini. Anggap saja, kamu membeli tanah beserta pemiliknya," serobot Mahika yang sempat merasa panik atas lontaran kalimat dari Kainan.
"Kamu sedang menjual diri, Nona?!" Kainan berseru dengan gertakan tertahan. Ia tak habis pikir, apa yang ada di dalam otak si perempuan.
Mahika tersentak dengan kalimat yang Kainan lontarkan. Wajahnya memerah karena rasa malu yang tak lagi mampu ia sembunyikan. Bibirnya bergetar seiring redupnya binar mata.
Gadis dua puluh tahun itu berkedip cepat, dan membasahi bibir dengan gusar. Apa yang ia mulai, tak mampu ia selesaikan dengan benar. Justru, kini dirinya merasa bagai dilempar kotoran tepat di wajahnya.
Menjijikkan.
Ingin rasanya Mahika mengubur diri hidup-hidup. Atau sekalian saja memohon untuk ditanam bersama batu pertama yang sedianya akan Kainan letakkan pada tanah berlubang di depan mereka.
"Lupakan! Anggap saja kita tidak pernah bertemu. Aku akan mendatangimu, jika uangku sudah terkumpul untuk mengambil lagi tanah warisan orang tuaku." Mahika berujar dengan kalimat rapat, dan berbalik cepat.
Namun, sebelum perempuan itu sempat melangkah, Kainan menahan lengannya dengan cengkeraman erat dari arah belakang.
Mahika mengurungkan langkah. Napasnya tertahan di tenggorokan setelah dengan kasarnya saliva menerobos kerongkongan yang seakan tersumbat.
Kainan memaku lekat punggung sempit milik sang gadis yang kentara bergetar. Pria itu melonggarkan cengkeraman, tetapi tak sedikit pun berniat melepaskan.
"Kamu sendiri yang meminta. Jadi, jangan menyesal kalau saya kabulkan," lirih Kainan.
"Maksud kamu?!" Mahika kembali memutar badan, tanpa berusaha melepas cekalan pada tangannya.
Kainan mengunci tatap matanya, sementara sebelah tangan mengangkat ponsel dan menempelkannya pada telinga. Setelah sebelumnya men-dial nomor tujuan hanya dengan sekilas lirikan pada benda segi empat pintar di tangan kanannya.
"Siapkan segala sesuatu! Saya akan datang bersama pengantin wanita," titah Kainan pada seseorang dalam sambungan telepon, membuat gadis dalam cengkeramannya melebarkan bola mata.
Sang asisten di samping Kainan pun tak luput dari reaksi yang sama. Tidak menyangka, jika sang tuan yang selama ini seakan trauma dengan kehidupan berumah tangga, memutuskan hal demikian tanpa berpikir panjang. Namun, Damar tidak dapat berbuat apa-apa jika itu sudah menjadi kemauan Kainan Arshad.
"Ka—kamu ...." Mahika terbata, kesulitan menyusun kata-kata.
"Itu yang kamu mau, bukan?! Saya hanya sedang mengambil bonus dari pembelian tanah yang saya lakukan. Seperti apa yang kamu katakan, Nona. Saya sudah membeli tanah itu beserta pemiliknya." Seringai yang semula menghilang, kini kembali menghias wajah Kainan.
"Damar, cari tahu di mana kakaknya berada saat ini. Bawa dia untuk menjadi wali nikah adiknya dengan saya," titah Kainan, tanpa menoleh ke arah sang asisten. Sepasang netra milik pria itu masih tak membiarkan sosok Mahika terlepas dari pandangannya.
"Se—sekarang?!" Damar tergagap.
Lirikan tajam Kainan berikan kepada pria muda yang kini masih berdiri di sisi kanannya. "Kamu tidak dengar saya sudah minta segala sesuatu untuk disiapkan?!" sarkasnya.
"Eung ... baik, Tuan. Saya akan hubungi Saudara Shaka sekarang." Damar tampak mengeluarkan ponsel dari saku celana.
"Tuan Kainan ...." Mahika mencoba melontarkan kalimat pencegahan. Entahlah, di detik-detik terakhir di mana Kainan mengiyakan permintaannya, keraguan justru muncul ke permukaan. Namun, Mahika tidak dapat mundur lagi sekarang.
Isyarat yang Kainan tunjukkan dengan meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya, sudah jelas menegaskan jika CEO tampan itu tidak ingin dibantah.
Tanpa banyak berkata, Kainan menarik Mahika mendekat. Mengusir Damar dengan sebuah delikan tajam, dan membiarkan si perempuan menggantikan sang asisten untuk berdiri di sampingnya.
Kainan menoleh ke arah salah satu pekerja. Memberi kode dengan uluran sebelah tangan, agar batu kembali diberikan kepadanya. Pria yang dimaksud, sangatlah tanggap. Dengan sigap, batu berwarna hitam berukuran sedang tersebut kini kembali berada di atas kedua tangan Kainan Arshad.
"Pegang!" titah Kainan kepada Mahika, menyodorkan benda padat dan keras yang diangkat setinggi perutnya.
"Untuk apa?" tanya Mahika tak paham, dengan kening berkerut dalam.
"Lakukan saja!" tegas sang pria.
Akhirnya, setelah berdeham sejenak untuk mengusir ketegangan, perempuan itu pun melakukan apa yang Kainan titahkan. Menahan batu dari sisi berlawanan dengan yang Kainan pegang.
Pria itu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan, sebelum memulai aksinya. Setelah dirasa waktu sudah tepat, Kainan pun berseru dengan lantang.
"Dengan diletakkannya batu pertama ini oleh saya, Kainan Arshad dan juga ...." Kainan menoleh ke arah gadis di sebelahnya. "Siapa namamu tadi?" tanyanya pelan.
Mahika tidak ingin menunjukkan sisi lain dirinya yang lemah. Pun tidak ingin menunjukkan bahwa ia sedikit gentar. Maka, dengan tegas ia menjawab pertanyaan Kainan.
"Gantari Mahika. Gantari Mahika namaku. Ingat itu, dan jangan salah mengucapkannya saat nanti ijab kabul."
Kainan tersenyum samar. Dalam diam, ia mengagumi keberanian seorang Gantari Mahika. Gadis luar biasa, yang baru kali ini ia ketahui sosoknya.
"Baiklah." Kainan membawa pandangannya kembali kepada kerumunan orang di depannya.
"Dengan diletakkannya batu ini oleh saya dan Gantari Mahika, proyek pembangunan cabang Happy Company ... diresmikan." Riuh tepuk tangan menjadi pengiring kalimat tegas yang Kainan lontarkan.
"Sekaligus ...." Gemuruh dari beradunya puluhan pasang telapak tangan di sana, tiba-tiba terjeda ketika Kainan tak segera meletakkan batu di tangannya, dan justru menyerukan kata-kata lanjutan.
Semua mata menatap Kainan dengan raut penasaran sambil sesekali berbisik dengan orang-orang di sebelah mereka. Menerka-nerka apa kiranya yang akan Kainan sampaikan berikutnya.
Tak luput pula dengan Mahika yang kini merasakan tubuhnya semakin bergetar dengan degup ribut jantungnya yang kian tak dapat dikendalikan, bersamaan dengan hawa dingin menyerang seluruh badan. Perempuan itu meneguk ludah susah payah untuk kesekian kalinya dan tak berani sedikit pun menoleh ke arah seorang pimpinan perusahaan yang kini berdiri di sisinya.
Dan saat satu kalimat penuntas akhirnya terlontar dari mulut Kainan, Mahika yakin ... hidupnya tidak akan lagi sama.
"Sebagai pertanda bahwa mulai sekarang ... Gantari Mahika adalah milik saya."
***
Gadis dengan tubuh tinggi ramping itu mondar-mandir di ruangan yang sudah disediakan khusus untuk ia sebagai sang calon pengantin wanita.Riasan sederhana sudah terpoles di wajah ayunya. Kebaya berwarna putih tulang yang tampak elegan, kini membalut badan bersama kain batik sebagai bawahan.Mahika tidak menyangka bahwa dia akan benar-benar menikah hari ini juga. Bersama seorang pria yang selisih delapan belas tahun jarak usia dengan dirinya. Yang bahkan belum pernah ia kenal sebelumnya.Sepertinya ia lupa bahwa Kainan adalah orang kaya. Apa pun bisa ia lakukan, bahkan untuk sebuah pernikahan mendadak layaknya yang terjadi sekarang."Ini gila!" serunya tertahan. "Apa yang akan terjadi dengan hidupku setelah ini?" lanjutnya, bergumam samar. Kakinya tetap terayun ke sana dan kemari bersama tangan yang memilin ujung kebaya."Bodoh. Kamu sendiri yang memulai hal ini. Dan sekarang kamu
"Kamu sudah siap?"Mahika tersentak saat sebuah suara mengagetkan. Meski begitu, ia menahan diri untuk tak menoleh ke belakang. Belum siap untuk menerima sosok Kainan berada dalam kamar yang sama dengan dirinya.Ijab kabul sudah dilaksanakan. Kainan yang memang menyewa sebuah villa di kota kecil tersebut, membayar mahal untuk seorang pemuka agama yang ia panggil untuk menikahkan dirinya dengan si gadis belia.Akan memakan waktu lama jika Kainan harus membawa Mahika ke pusat kota di mana pria itu tinggal. Acara pun tidak dihadiri oleh banyak orang. Hanya beberapa saksi yang berasal dari anak buah Kainan sendiri. Sedangkan dari pihak Mahika, hanya ada Shaka seorang bersama dua tetangga.'Jadi ... pernikahan ini benar-benar dilakukan diam-diam?! Tanpa sepengetahuan keluarganya?! Wah, bagus! Aku tidak perlu memperkenalkan diri pada mereka. Tidak perlu berpura-pura ramah pada orang-orang di sekitar Kainan
Malam pertama?!Yang benar saja. Kainan Arshad justru lebih dulu terlelap di saat Mahika masih membersihkan badan di kamar mandi. Mereka bahkan tertidur dengan saling memunggungi. Tidak ada malam pertama bagi si pasangan pengantin.Kini, setelah pagi datang, bukannya bermalas-malasan di atas ranjang layaknya pengantin baru pada umumnya, Kainan bahkan sudah hampir rapi dengan pakaian kerja yang melekat pas di badan."Bersiap-siaplah, Mahika! Kita akan berangkat satu jam dari sekarang," tutur Kainan saat pria itu memasang dasi pada kerah kemeja berwarna baby blue yang begitu pas membalut raga. Tubuh tinggi tersebut sedikit menunduk untuk melihat pantulan dirinya pada cermin yang ada di belakang meja rias, di samping tempat tidur, di mana sang istri masih bergelung selimut.Mahika yang baru saja menggeliat dan menguap lebar, kontan menghentikan paksa pergerakan."Apa?" Gadis itu bertanya dengan suara serak sambil beberapa kali mengerjapkan mata saat m
Mahika mengikuti Kainan yang berjalan di depannya. Seperti apa yang pria itu katakan, ia membawa sang istri ke rumahnya di pusat kota.Bukan rumah besar bak istana dengan banyak pelayan yang menyambutnya, seperti dalam bayangan Mahika, justru hunian sederhana dan jauh dari kata mewah yang merupakan kediaman seorang Kainan Arshad."Kenapa diam? Tidak sesuai dengan harapan?!" Kainan menoleh, dan bertanya sarkas dengan sebelah alis terangkat, saat mendapati sang istri menghentikan langkah di ambang pintu dan membiarkan sepasang netra menjelajah ruang dengan pandangan.Mahika memperbaiki ekspresi dan mengangkat dagu bersama kedua tangan yang terlipat di dada. "Apa maksudmu?!" tandasnya berani. "Aku tidak mengharapkan apa pun," lanjut si perempuan sok lugu. Ah, Mahika memang selugu itu."Saya tahu kamu berpikir tentang rumah besar bak istana, dengan banyak pelayan di dalamnya. Bukannya rumah kecil seperti
Kainan hendak membaringkan Mahika di atas tempat tidurnya kala tiba-tiba gadis itu tersentak sadar, dan kontan melingkarkan lengan pada leher sang pria. Jerit ketakutan kembali terdengar dari mulutnya."Jangan! Jangan tinggalkan aku! Tolong! Tolong matikan apinya! Matikan apinya!" racau Mahika berantakan.Gadis itu mengeratkan pelukan. Kainan yang masih kebingungan dengan tingkah istrinya, tidak dapat berbuat apa-apa selain membalas memberikan rengkuhan. Namun, posisi Kainan yang tengah membungkuk karena semula berniat membaringkan sang istri, tak bisa menjaga keseimbangan dan justru berakhir ambruk di atas ranjang, menindih Mahika.Tanpa sengaja pula, bibir Kainan mendarat pada bibir sang istri yang berwarna peach alami. Kainan melebarkan mata saking terkejutnya. Saat itu pula, Mahika menghentikan teriakan dan melotot sempurna. Meski begitu, keduanya masih terdiam. Masing-masing sibuk mencerna apa yang telah terjadi sebenarnya.Begitu sadar bibir mereka
Mahika mengendap keluar dari kamar mandi, hanya dengan handuk membalut tubuh atas hingga sebatas paha. Ia sudah selesai membersihkan diri. Karena Kainan tidak mengantarkan sabun, sampo, dan peralatan lain miliknya, terpaksa Mahika menggunakan kepunyaan sang pria. Dan kini, harum khas Kainan menempel lekat di kulit tubuhnya.Ditolehkannya kepala ke kiri dan ke kanan mencari keberadaan Kainan. Namun, tidak ada siapa pun di sana. Saat Mahika berjalan ke arah ranjang, ia menemukan satu setel piama terlipat di atasnya lengkap bersama dalaman."Dia yang meletakkan ini di sini?! Tapi, milik siapa? Kenapa dia malah menyiapkan baju baru?! Bukannya membawa pakaianku yang di mobil ke sini," gumamnya seraya mendudukkan diri. Tubuh gadis itu masih sedikit lemas pasca tanpa sengaja melihat api.Dalam hati ia bersyukur. Saat trauma kembali muncul, biasanya ia akan lama memulihkan diri. Tak hanya membutuhkan waktu berjam-jam, tetapi bisa sampai dalam hitungan hari efeknya
Mahika menatap berbinar ke arah makanan yang tersaji di atas meja. Tanpa sadar, lidahnya bergerak menelusuri permukaan bibir saking tergiurnya. Memang hanya menu sederhana berupa tumis pakcoy yang dicampur dengan jamur tiram, bersama beberapa potong nugget yang masih hangat di dalam piring lainnya.Namun, hal itu sudah sangat spesial untuk sang gadis yang biasanya hanya memakan tahu atau tempe sebagai pelengkap nasi. Tidak pernah ada menu istimewa yang lain. Sayur asem, terkadang sup ditambah tempe goreng dan sambal adalah menu andalan di warung langganannya.Lirikan kecil ia berikan kepada Kainan yang sudah lebih dulu memulai makan malamnya. Hal janggal yang tertangkap netra, membuat gadis itu mengerutkan keningnya. Kainan sengaja memisahkan lauk pauknya dalam piring yang berbeda dengan milik istrinya."Kenapa makananmu dipisahkan dengan yang ini? Tidak mau mengambil makanan dari tempat yang sama denganku? Aku tidak punya penyakit menular, Tuan Kainan ...
Selesai makan malam dan membersihkan peralatan, Mahika pun meninggalkan ruangan tersebut kemudian menyusul Kainan. Bermaksud meminta bantuan untuk membawakan pakaiannya dari mobil ke dalam rumah.Saat melewati ruang tengah, ternyata di sanalah Kainan berada. Sedang serius mengerjakan sesuatu dalam laptop di pangkuan. Mahika pun mendekat dan mengatakan maksudnya."Bantu aku mengambil baju-bajuku," pintanya.Kainan menghentikan pergerakan jari-jari tangan dan mengangkat wajah. Menatap istrinya dengan wajah datar. "Sudah saya bilang, lakukan sendiri. Itu kunci mobilnya di atas meja," ucap sang pria."Ck. Tidak berperasaan," keluh Mahika kesal. Gadis itu tidak mengambil kunci yang Kainan tunjukkan, melainkan duduk pada salah satu sudut sofa. Menekuk wajah bersamaan dengan kedua tangan terlipat di dada dan terus saja menggerutu tak jelas.Kainan yang menyaksikan itu, menghela napas, kemudian meletakkan laptop yang sudah dimatikan, ke atas meja
"PAK TUA, APA YANG KAMU LAKUKAN?"Jeritan dari Mahika membuat Kainan seketika menegakkan badan bersamaan dengan dadanya yang didorong oleh sang istri. Alhasil, pria itu pun terjengkang hingga jatuh terlentang di sisi lain sofa. Beruntung tak menubruk dan menumpahkan makanan di atas meja. Kuah panas dari mie instan, lumayan juga jika sampai mengenai kulitnya."Sial. Apa-apaan kamu, Mahika?" hardik Kainan. Si perempuan yang masih setengah sadar itu mendudukkan badan dengan cepat dan mengerjap kilat. Namun, setelah ingat jika baru saja Kainan menindihnya, Mahika pun berang."Justru aku yang seharusnya bertanya, kamu ini apa-apaan?" balas perempuan muda itu. "Aku sedang tidur dan kamu berniat berbuat yang tidak-tidak padaku?" imbuhnya dengan nada tinggi."Astaga. Apanya yang macam-macam? Saya hanya ingin membangunkan kamu yang mengeluh kelaparan. Tapi kamu malah mengigau seperti sedang kerasukan jin gila. Kamu menarik tubuh saya sembarangan. Karena itulah saya bisa berakhir menindih kamu.
Kainan memasuki rumah ketika waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Lembur sendirian di ruangan pribadinya pada lantai tiga kantor utama Happy Company, membuat pria itu pulang terlambat."Hhh ... lelah sekali," keluhnya sembari membuat gerakan patahan leher ke kiri dan ke kanan guna menghilangkan rasa pegal. Bunyi 'krek' mantap pun terdengar memuaskan.Seorang atasan sekaligus pemilik perusahaan seperti dia seharusnya bisa menyerahkan semua pekerjaan kepada bawahan. Tinggal menunggu laporan bahwa segalanya sudah beres dikerjakan.Namun, Kainan bukanlah tipe orang yang demikian. Apalagi jika sedang ada permintaan item boneka model baru dari buyer seperti sekarang. Sebelum melempar ke para pekerja di bagian sampel produksi, Kainan akan terlebih dahulu mempelajari sendiri. Biasanya ada Damar yang menemani. Hanya saja, hari ini si pria muda izin untuk tidak ikut lembur karena ada urusan pribadi.Sampel barang dari buyer, Kainan bongkar. Membuka hati-hati jahitan di setiap sisi, kemudian
"Kamu mau meracuni saya?"Kainan menghardik Mahika, saat hanya tinggal mereka berdua di ruangan sang CEO. Andaru sudah meninggalkan tempat itu beberapa saat lalu, setelah mendapat teguran keras dari Kainan karena melanggar peraturan perusahaan. Sedangkan Damar, sebagai satu-satunya yang tahu bahwa atasannya dan sang gadis adalah pasangan suami-istri, memilih pamit sebelum diusir. Pria muda itu paham, Kainan dan Mahika perlu berbicara."Meracuni? Apa maksud kamu?" sahut Mahika dengan suara tinggi.Sang suami berjalan mendekati meja, kemudian menunjuk cangkir kopi yang masih terletak di atasnya."Coba minum!" titah Kainan."Kenapa aku harus minum? Aku tidak suka kopi. Apalagi yang tidak ada manis-manisnya sama sekali. Iyyuuhh ... maaf saja, nanti aku muntah." Mahika menunjukkan wajah mual seusai kalimat tersebut terucap."Tidak usah pura-pura tidak tahu. Kamu sengaja memasukkan banyak garam ke dalam sana, bukan?" tuduh Kainan."Sembarangan menuduh saja. Aku hanya membawa minuman itu dar
Mahika menarik tangan Andaru agar mengikuti langkahnya. Kaki jenjang yang terbalut celana panjang hitam tersebut begitu lincah menuruni satu per satu anak tangga. Sementara salah satu tangannya tak sedikit pun melepaskan sang pria. Gadis dengan seragam kerja berupa kemeja lengan pendek berwarna biru tua berpadu abu-abu terang pada bagian dada tersebut seolah tak ingin Andaru kembali meninggalkannya."Mahika," seru Andaru di sela langkahnya mengikuti sang wanita. Jika dia mau, bisa saja Andaru membuat Mahika berhenti. Namun, melihat raut bahagia yang terlihat meletup-letup tergambar pada wajah gadis tersebut saat bertemu dengannya, Andaru tak tega merusak suasana hati Mahika. Biarkan sesuka hati gadis itu ingin melakukan apa."Mahika, sebentar." Andaru berhasil membuat sang gadis menghentikan langkah dan berbalik memaku lekat sepasang netra legamnya, ketika mereka baru saja menuruni tangga hingga lantai terbawah."Kamu tidak lelah? Padahal ada lift, kenapa memilih melewati tangga?" uca
Kainan menghela napas berat kala mendudukkan pantat kembali pada kursi kebesarannya di balik meja kerja. Memutar tempat duduk ke kiri dan ke kanan, Kainan menggigit bibir dengan kening berkerut dalam. Kedua siku bertumpu pada lengan kursi, dan jari-jari panjangnya bertaut di depan dada. Otak pria itu masih sibuk mencerna perihal kejadian beberapa menit sebelumnya, di mana Mahika menyeret pergi Andaru dari hadapannya.'Ada hubungan apa di antara mereka?' batin Kainan bertanya-tanya.Damar yang mengikuti Kainan memasuki ruangan, memperhatikan atasannya dalam diam. Pria muda itu tahu apa yang sedang sang tuan pikirkan. Apa lagi jika bukan perihal sang istri yang baru hitungan hari dinikahi justru pergi bersama pria lain."Tuan perlu sesuatu?" tanya Damar, mencoba mencairkan suasana yang mendadak beku.Kainan melirik ke arah pria yang lebih muda dan menghentikan gerakan memutar kursinya. Tampak seperti menimbang sesuatu, Kainan pun berseru, "Buka data karyawan. Lihat profil lengkap Andaru
Setelah memperoleh seragam kerja, Mahika mendapatkan jadwal tugas yang diam-diam sudah diatur oleh Kainan. Tanpa sepengetahuan sang gadis, pimpinan Happy Company tersebut sengaja meminta Roshinta—si staff HRD yang ia temui tadi, agar menempatkan Mahika khusus untuk melayani dirinya.Bagusnya, tak sedikit pun Roshinta menaruh curiga. Karena kebetulan perusahaan mereka pun sedang membutuhkan tenaga tambahan untuk bagian tersebut.Membawa segelas kopi hitam tanpa gula, Mahika bersiap melaksanakan tugas pertamanya. Mengantar minuman ke ruangan yang sudah disebutkan oleh Roshinta. Karena yang ia bawa hanya segelas kopi, Mahika tak menggunakan troli. Cukup dengan sebuah nampan berukuran sedang.Roshinta mengatakan, Mahika harus mengingat detail tugasnya. Mulai dari membersihan peralatan kantor, merapikan ruangan, menyediakan minuman hingga makanan untuk pegawai. Dalam hal ini, tentu saja khusus satu orang yang harus Mahika layani. Yang mana gadis itu pun belum t
"Tunjukkan pekerjaan untuknya. Mulai hari ini, dia akan menjadi office girl di sini.""Apa?!" sambar Mahika yang baru saja tiba. Gadis yang kini berdiri pada jarak satu meter di belakang Kainan tersebut, menganga tidak percaya.'Pria gila ini serius ingin mempekerjakan aku sebagai office girl di perusahaan ini?'"Kamu bawa berkas-berkas yang saya minta?!" Kainan mengulurkan tangan saat menanyakan hal tersebut. Mahika menaikkan pandang, menatap Kainan tak paham.'Apa yang dia maksud adalah ijazah, SKCK, daftar riwayat hidup, juga Kartu Tanda Penduduk, yang ia katakan semalam?!' batin Mahika mengira-ira."Kamu tidak bawa?" Kainan bertanya tajam."It—itu ....""Tidak apa-apa. Itu bisa menyusul," potong Kainan tanpa mengizinkan Mahika menuntaskan kalimatnya.Pria itu kemudian membalikkan badan, kembali menghadap ke arah salah satu staff personalia yang berdiri di balik meja. "Baiklah, saya tinggal. Tolong urus dia."
Pagi ini suasana sedikit canggung. Mahika tak tahu, apa yang terjadi dengan Kainan sehingga pria itu menjadi begitu pendiam. Ya, memang mungkin seperti itulah sikap dasar sang pria. Namun, selama dua hari mengenalnya, Mahika terbiasa dengan ulah usil Kainan yang seakan-akan merendahkannya. Dan hal itu tidak dilakukan hari ini.Tidak ada sarapan. Setelah merapikan rumah atas inisiatif sendiri, Mahika pun membersihkan badan. Hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut dan kaus murah yang pernah ia beli saat ada pasar kaget di depan pabrik, tiap tanggal gajian.Kainnya memang cukup tipis dengan leher yang sudah melar, sehingga membuat dada Mahika di balik kaus tersebut terlihat, saat sang gadis menunduk. Meski begitu, pakaian itu terasa nyaman dipakai. Ia berniat bersantai di rumah suaminya, selama sang pria pergi bekerja.Akan tetapi, niatnya tak terlaksana saat Kainan yang sudah rapi dengan setelan kerja, keluar kamar dan memerintahkan dirinya untuk bergan
Selesai makan malam dan membersihkan peralatan, Mahika pun meninggalkan ruangan tersebut kemudian menyusul Kainan. Bermaksud meminta bantuan untuk membawakan pakaiannya dari mobil ke dalam rumah.Saat melewati ruang tengah, ternyata di sanalah Kainan berada. Sedang serius mengerjakan sesuatu dalam laptop di pangkuan. Mahika pun mendekat dan mengatakan maksudnya."Bantu aku mengambil baju-bajuku," pintanya.Kainan menghentikan pergerakan jari-jari tangan dan mengangkat wajah. Menatap istrinya dengan wajah datar. "Sudah saya bilang, lakukan sendiri. Itu kunci mobilnya di atas meja," ucap sang pria."Ck. Tidak berperasaan," keluh Mahika kesal. Gadis itu tidak mengambil kunci yang Kainan tunjukkan, melainkan duduk pada salah satu sudut sofa. Menekuk wajah bersamaan dengan kedua tangan terlipat di dada dan terus saja menggerutu tak jelas.Kainan yang menyaksikan itu, menghela napas, kemudian meletakkan laptop yang sudah dimatikan, ke atas meja