"Kamu sudah siap?"
Mahika tersentak saat sebuah suara mengagetkan. Meski begitu, ia menahan diri untuk tak menoleh ke belakang. Belum siap untuk menerima sosok Kainan berada dalam kamar yang sama dengan dirinya.
Ijab kabul sudah dilaksanakan. Kainan yang memang menyewa sebuah villa di kota kecil tersebut, membayar mahal untuk seorang pemuka agama yang ia panggil untuk menikahkan dirinya dengan si gadis belia.
Akan memakan waktu lama jika Kainan harus membawa Mahika ke pusat kota di mana pria itu tinggal. Acara pun tidak dihadiri oleh banyak orang. Hanya beberapa saksi yang berasal dari anak buah Kainan sendiri. Sedangkan dari pihak Mahika, hanya ada Shaka seorang bersama dua tetangga.
'Jadi ... pernikahan ini benar-benar dilakukan diam-diam?! Tanpa sepengetahuan keluarganya?! Wah, bagus! Aku tidak perlu memperkenalkan diri pada mereka. Tidak perlu berpura-pura ramah pada orang-orang di sekitar Kainan,' batin Mahika kala itu.
'Tapi, bodohnya aku. Pernikahan ini tidak tercatat secara hukum negara. Bagaimana aku bisa memberi pelajaran kepada Kainan?!' tambahnya, masih di dalam hati.
"Nona Gantari Mahika! Kamu mendengar saya?" Suara Kainan menyadarkan sang perempuan dari lamunan singkatnya.
Mahika mengangkat pandang. Menatap Kainan yang berdiri beberapa langkah di belakangnya, melalui pantulan cermin yang ia hadap.
"Pendengaranku masih berfungsi dengan sangat baik, Tuan," sahut Mahika mencoba tenang.
Sang gadis pun berdiri perlahan, kemudian membalikkan badan. Berhenti sejenak untuk menatap penampilan Kainan yang malam ini sudah menanggalkan jasnya dan hanya mengenakan kemeja putih dengan dua kancing teratas yang sudah terbuka.
Pria dewasa itu berjalan mendekat ke arah gadis belia yang baru saja dinikahinya, sembari melepas kaitan kancing kemeja pada kedua pergelangan tangan. Ayunan kaki tenang dan sorot mata yang begitu dalam menghujam, membuat jantung Mahika berdetak dua kali lipat lebih cepat dan kencang dari biasanya.
Namun, perempuan yang masih dalam balutan kebaya itu tidak ingin menunjukkan rasa takutnya. Sejak awal berjumpa, image-nya sebagai perempuan tangguh yang tak mudah ditindas, akan ia pertahankan. Meski sekarang Kainan sudah menjadi suaminya, Mahika harus bisa tetap mendominasi dalam segala hal.
Ingat! Dalam segala hal. Termasuk kesiapannya untuk malam ini. Bukankah baru saja Kainan bertanya apakah dirinya sudah siap?! Memangnya apa yang dimaksud oleh pria itu selain tentang kesiapan mereka untuk melakukan ritual malam pertama.
Benar, bukan?!
Oleh karena pemikiran tersebut, Mahika pun memberanikan diri menyambut sang suami yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya.
"Jika yang kamu maksud adalah kesiapan untuk malam pertama kita, tentu saja aku sudah siap seratus persen. Aku tidak sabar ingin merasakan kamu berada di dalamku, Tuan Kainan." Mahika berujar nakal seraya melepas satu per satu kancing kemeja sang pria, hingga keseluruhan terbuka lebar.
Padahal, perempuan itu benar-benar tak tahu apa yang ia lakukan sekarang. Mahika memang bukan gadis polos yang tak paham bagaimana cara bercinta. Karena nyatanya, gadis dua puluh tahun itu pun sudah berkali-kali menyaksikan adegan-adegan panas dalam video ilegal yang mudah diakses melalui ponselnya.
Namun, untuk mempraktikkan secara langsung ... Gantari Mahika masihlah nol besar. Ia bahkan tidak tahu, bahwa malam ini juga ia bisa saja kehilangan keperawanan. Ia tak paham, jika makhluk yang bernama pria tidak bisa sembarangan digoda. Ia masih tak tahu seberapa ganas seorang pria jika sudah panas.
Benar kata Arshaka. Terkadang adiknya memang bodoh dan tidak peka. Gadis itu perlu mendapat bimbingan dalam segala hal.
Apa yang Mahika lakukan, hanya sebagai bentuk pembuktian bahwa dia bukanlah perempuan yang akan bersikap malu-malu tapi mau di hadapan sang suami. Dia ingin menunjukkan dirinya yang pemberani.
Namun, bukannya tergoda, Kainan justru tersenyum masam, yang Mahika tidak dapat menerjemahkan apa artinya. Meski begitu, sang istri tak mempermasalahkan dan tetap melancarkan godaan. Kini perempuan itu bahkan mengusap dada sang suami dengan gerakan yang amat perlahan.
"Berhenti, Mahika. Daripada seperti ini, bukankah lebih baik saya membantu kamu membuka pakaian?!" Kainan menangkap tangan Mahika yang bermain-main di dadanya. Pria itu menyentuh bahu sang istri dan perlahan menggerakkan jarinya menelusuri lengan si gadis, hingga merambat menyentuh barisan kancing pada bagian dada kebaya yang dikenakan oleh Mahika.
"Acara sudah selesai sejak tadi. Kenapa baju ini belum dilepas, hm?! Menunggu saya untuk membukanya?!" Kini, giliran Kainan yang berkata dengan nada pelan. Dan Mahika terlalu sibuk dengan detak jantung yang menggila, sehingga tak menanggapi perkataan suaminya.
Bulatan kancing terbalut kain senada dengan kebaya, Kainan loloskan satu per satu dari lubangnya. Saat itulah kulit mulus dan dua gundukan yang menyembul halus dari balik strapless bra berwarna gelap, terpampang di hadapan Kainan seakan mengundang untuk dijamah.
Mahika meneguk ludah susah payah. Jantungnya berdentam tak beraturan, seiring ujung-ujung jari Kainan yang entah sengaja atau tidak, menekan area privasinya tersebut dalam gerakannya melepas kancing kebaya hingga tuntas.
Namun, pria itu hanya menatap datar bersama sebuah senyum samar yang terlihat menyakitkan. Mahika mampu menangkap binar yang meredup dari sepasang netra milik suaminya.
'Ada apa sebenarnya?! Kenapa kamu terlihat seperti menyimpan luka yang begitu dalam, Kainan?' batin Mahika tanpa berani melontar kata tanya untuk sang pria.
Entah mengapa, raut sendu yang Kainan tunjukkan, mengundang rasa terenyuh dan iba yang seolah merongrong dada. Berbeda sekali dengan apa yang Kainan tampilkan di hadapan semua orang. Yang mana, hanya dengan sekali lihat, orang-orang akan mengecap Kainan sebagai sosok yang kejam dengan simbol keangkuhan yang nyata.
Namun ternyata, tidak demikian jika ia berdiri tanpa banyak mata menyaksikan. Apakah mungkin seperti itulah Kainan yang sebenarnya?! Keangkuhan dan sikap tegasnya hanya sebagai topeng untuk menutup kekurangannya. Tak jauh berbeda dengan Mahika, bukan?!
Hal apa kiranya yang membuat Kainan mampu menunjukkan diri yang sedemikian?! Mahika belum mampu menangkap arti dari semuanya.
"Selesai!" seru Kainan. Seketika perempuan itu mengerjap, tersadar dari segala pikiran yang mengambang.
"Saya sudah siapkan pakaian ganti untuk kamu di dalam kamar kecil. Mandilah terlebih dahulu." Pria itu berbalik membelakangi sang istri yang tampak terkejut dengan kalimat suaminya yang menyatakan bahwa ia telah selesai membantu melepaskan kancing pakaian. Karena lagi-lagi, tanpa sadar Mahika telah membiarkan dirinya terlarut dalam lamunan. Wajar saja gadis itu sedikit tersentak.
Dan apa-apaan tadi katanya?! Selesai?! Hanya seperti ini saja malam pertama mereka? Jika benar, Mahika harus bersyukur karena tak harus melayani sang suami.
'Tahu begitu, aku tidak perlu berpura-pura menggoda dia. Hhh ... membuat malu saja,' gerutu si gadis dalam hati. Perempuan dengan make-up yang belum dihapus itu menggigit bibir seraya berdecak kesal.
'Kalau hanya melepas kancing seperti ini, aku juga bisa sendiri,' tambahnya menyesal, masih tanpa suara.
Karena penasaran dengan apa yang dilakukan oleh suaminya, ia melongok dengan kaki sedikit berjinjit. Bersamaan dengan itu, Mahika merapatkan kain kebaya yang sudah terbuka, menggunakan kedua tangan.
Kainan masih membelakangi sang istri, saat melepas kemeja dan melemparnya ke atas ranjang. Pemilik Happy Company itu sepenuhnya tak mengenakan atasan. Sehingga punggung tegapnya yang tanpa tertutup sehelai pun benang, terpampang jelas di depan mata si gadis belia.
Kini, justru sang perempuan yang tiba-tiba lemas melihat keelokan fisik Kainan yang bahkan hanya ia lihat dari belakang. Ludah pun kembali terteguk kasar, karena canggung yang merambat hingga kerongkongannya serasa tersumbat oleh batu besar.
Kainan sedikit menoleh, dan tersenyum jahil kala menyadari sang istri yang terpaku menatapnya.
Sembari berbalik kembali menghadap istrinya, Kainan berusaha melepaskan kaitan celana. Bersama senyum nakal yang kian terkembang, pria itu berkata dengan nada menggoda.
"Kenapa?! Kamu tidak sabar untuk memulai malam pertama kita?!" Kainan menunjukkan seringainya.
Sembari menurunkan ritsleting celana, sang pria melanjutkan. "Kalau begitu, ayo kita lakukan!"
***
Malam pertama?!Yang benar saja. Kainan Arshad justru lebih dulu terlelap di saat Mahika masih membersihkan badan di kamar mandi. Mereka bahkan tertidur dengan saling memunggungi. Tidak ada malam pertama bagi si pasangan pengantin.Kini, setelah pagi datang, bukannya bermalas-malasan di atas ranjang layaknya pengantin baru pada umumnya, Kainan bahkan sudah hampir rapi dengan pakaian kerja yang melekat pas di badan."Bersiap-siaplah, Mahika! Kita akan berangkat satu jam dari sekarang," tutur Kainan saat pria itu memasang dasi pada kerah kemeja berwarna baby blue yang begitu pas membalut raga. Tubuh tinggi tersebut sedikit menunduk untuk melihat pantulan dirinya pada cermin yang ada di belakang meja rias, di samping tempat tidur, di mana sang istri masih bergelung selimut.Mahika yang baru saja menggeliat dan menguap lebar, kontan menghentikan paksa pergerakan."Apa?" Gadis itu bertanya dengan suara serak sambil beberapa kali mengerjapkan mata saat m
Mahika mengikuti Kainan yang berjalan di depannya. Seperti apa yang pria itu katakan, ia membawa sang istri ke rumahnya di pusat kota.Bukan rumah besar bak istana dengan banyak pelayan yang menyambutnya, seperti dalam bayangan Mahika, justru hunian sederhana dan jauh dari kata mewah yang merupakan kediaman seorang Kainan Arshad."Kenapa diam? Tidak sesuai dengan harapan?!" Kainan menoleh, dan bertanya sarkas dengan sebelah alis terangkat, saat mendapati sang istri menghentikan langkah di ambang pintu dan membiarkan sepasang netra menjelajah ruang dengan pandangan.Mahika memperbaiki ekspresi dan mengangkat dagu bersama kedua tangan yang terlipat di dada. "Apa maksudmu?!" tandasnya berani. "Aku tidak mengharapkan apa pun," lanjut si perempuan sok lugu. Ah, Mahika memang selugu itu."Saya tahu kamu berpikir tentang rumah besar bak istana, dengan banyak pelayan di dalamnya. Bukannya rumah kecil seperti
Kainan hendak membaringkan Mahika di atas tempat tidurnya kala tiba-tiba gadis itu tersentak sadar, dan kontan melingkarkan lengan pada leher sang pria. Jerit ketakutan kembali terdengar dari mulutnya."Jangan! Jangan tinggalkan aku! Tolong! Tolong matikan apinya! Matikan apinya!" racau Mahika berantakan.Gadis itu mengeratkan pelukan. Kainan yang masih kebingungan dengan tingkah istrinya, tidak dapat berbuat apa-apa selain membalas memberikan rengkuhan. Namun, posisi Kainan yang tengah membungkuk karena semula berniat membaringkan sang istri, tak bisa menjaga keseimbangan dan justru berakhir ambruk di atas ranjang, menindih Mahika.Tanpa sengaja pula, bibir Kainan mendarat pada bibir sang istri yang berwarna peach alami. Kainan melebarkan mata saking terkejutnya. Saat itu pula, Mahika menghentikan teriakan dan melotot sempurna. Meski begitu, keduanya masih terdiam. Masing-masing sibuk mencerna apa yang telah terjadi sebenarnya.Begitu sadar bibir mereka
Mahika mengendap keluar dari kamar mandi, hanya dengan handuk membalut tubuh atas hingga sebatas paha. Ia sudah selesai membersihkan diri. Karena Kainan tidak mengantarkan sabun, sampo, dan peralatan lain miliknya, terpaksa Mahika menggunakan kepunyaan sang pria. Dan kini, harum khas Kainan menempel lekat di kulit tubuhnya.Ditolehkannya kepala ke kiri dan ke kanan mencari keberadaan Kainan. Namun, tidak ada siapa pun di sana. Saat Mahika berjalan ke arah ranjang, ia menemukan satu setel piama terlipat di atasnya lengkap bersama dalaman."Dia yang meletakkan ini di sini?! Tapi, milik siapa? Kenapa dia malah menyiapkan baju baru?! Bukannya membawa pakaianku yang di mobil ke sini," gumamnya seraya mendudukkan diri. Tubuh gadis itu masih sedikit lemas pasca tanpa sengaja melihat api.Dalam hati ia bersyukur. Saat trauma kembali muncul, biasanya ia akan lama memulihkan diri. Tak hanya membutuhkan waktu berjam-jam, tetapi bisa sampai dalam hitungan hari efeknya
Mahika menatap berbinar ke arah makanan yang tersaji di atas meja. Tanpa sadar, lidahnya bergerak menelusuri permukaan bibir saking tergiurnya. Memang hanya menu sederhana berupa tumis pakcoy yang dicampur dengan jamur tiram, bersama beberapa potong nugget yang masih hangat di dalam piring lainnya.Namun, hal itu sudah sangat spesial untuk sang gadis yang biasanya hanya memakan tahu atau tempe sebagai pelengkap nasi. Tidak pernah ada menu istimewa yang lain. Sayur asem, terkadang sup ditambah tempe goreng dan sambal adalah menu andalan di warung langganannya.Lirikan kecil ia berikan kepada Kainan yang sudah lebih dulu memulai makan malamnya. Hal janggal yang tertangkap netra, membuat gadis itu mengerutkan keningnya. Kainan sengaja memisahkan lauk pauknya dalam piring yang berbeda dengan milik istrinya."Kenapa makananmu dipisahkan dengan yang ini? Tidak mau mengambil makanan dari tempat yang sama denganku? Aku tidak punya penyakit menular, Tuan Kainan ...
Selesai makan malam dan membersihkan peralatan, Mahika pun meninggalkan ruangan tersebut kemudian menyusul Kainan. Bermaksud meminta bantuan untuk membawakan pakaiannya dari mobil ke dalam rumah.Saat melewati ruang tengah, ternyata di sanalah Kainan berada. Sedang serius mengerjakan sesuatu dalam laptop di pangkuan. Mahika pun mendekat dan mengatakan maksudnya."Bantu aku mengambil baju-bajuku," pintanya.Kainan menghentikan pergerakan jari-jari tangan dan mengangkat wajah. Menatap istrinya dengan wajah datar. "Sudah saya bilang, lakukan sendiri. Itu kunci mobilnya di atas meja," ucap sang pria."Ck. Tidak berperasaan," keluh Mahika kesal. Gadis itu tidak mengambil kunci yang Kainan tunjukkan, melainkan duduk pada salah satu sudut sofa. Menekuk wajah bersamaan dengan kedua tangan terlipat di dada dan terus saja menggerutu tak jelas.Kainan yang menyaksikan itu, menghela napas, kemudian meletakkan laptop yang sudah dimatikan, ke atas meja
Pagi ini suasana sedikit canggung. Mahika tak tahu, apa yang terjadi dengan Kainan sehingga pria itu menjadi begitu pendiam. Ya, memang mungkin seperti itulah sikap dasar sang pria. Namun, selama dua hari mengenalnya, Mahika terbiasa dengan ulah usil Kainan yang seakan-akan merendahkannya. Dan hal itu tidak dilakukan hari ini.Tidak ada sarapan. Setelah merapikan rumah atas inisiatif sendiri, Mahika pun membersihkan badan. Hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut dan kaus murah yang pernah ia beli saat ada pasar kaget di depan pabrik, tiap tanggal gajian.Kainnya memang cukup tipis dengan leher yang sudah melar, sehingga membuat dada Mahika di balik kaus tersebut terlihat, saat sang gadis menunduk. Meski begitu, pakaian itu terasa nyaman dipakai. Ia berniat bersantai di rumah suaminya, selama sang pria pergi bekerja.Akan tetapi, niatnya tak terlaksana saat Kainan yang sudah rapi dengan setelan kerja, keluar kamar dan memerintahkan dirinya untuk bergan
"Tunjukkan pekerjaan untuknya. Mulai hari ini, dia akan menjadi office girl di sini.""Apa?!" sambar Mahika yang baru saja tiba. Gadis yang kini berdiri pada jarak satu meter di belakang Kainan tersebut, menganga tidak percaya.'Pria gila ini serius ingin mempekerjakan aku sebagai office girl di perusahaan ini?'"Kamu bawa berkas-berkas yang saya minta?!" Kainan mengulurkan tangan saat menanyakan hal tersebut. Mahika menaikkan pandang, menatap Kainan tak paham.'Apa yang dia maksud adalah ijazah, SKCK, daftar riwayat hidup, juga Kartu Tanda Penduduk, yang ia katakan semalam?!' batin Mahika mengira-ira."Kamu tidak bawa?" Kainan bertanya tajam."It—itu ....""Tidak apa-apa. Itu bisa menyusul," potong Kainan tanpa mengizinkan Mahika menuntaskan kalimatnya.Pria itu kemudian membalikkan badan, kembali menghadap ke arah salah satu staff personalia yang berdiri di balik meja. "Baiklah, saya tinggal. Tolong urus dia."