“Karena sel tumornya tidak ada di rahim Bu May, jadi saya rasa tidak akan berdampak apa-apa. Anda bisa menjalankan program hamil. Tapi... Tentu atas saran dan pengawasan dokter kandungan. Anda bisa lihat dokter yang bersangkutan terlebih dahulu dan konsultasikan. Jangan lupa jelaskan apakah Ibu May pernah terkena tumor! Nanti dokter akan menyarankan hal yang terbaik jika bermasalah. Jika tidak, maka sekali lagi saya ucapkan selamat." Alvin menarik napas dalam-dalam. Ia melirik May yang kini menatapnya dengan senyum lebar. "Baik dok. Terima kasih atas jawaban dokter. Kami berpamitan dengan dokter. Selamat siang." Kelegaan dan senyuman kini menghiasi sepasang manusia yang sedang dilanda kabar gembira. Mereka tentu senang bukan main. Ada sesuatu yang menjadi kenyataan dalam semua yang mereka impikan selama ini. "Aku tidak menyangka dan sangat senang Alvin," kata May yang kini hampir menangis lagi. Dia tidak pernah merasa sebahagia ini. Dulu, dia bahkan berpikir bahwa hidupn
"Bagaimana dengan rahim saya, dokter?" tanya May dengan susah payah. Dia berusaha untuk tidak menangis sekarang. Saat ini dia merasa sangat rendah. Banyak pertanyaan besar muncul dalam dirinya. Mengapa tubuhnya harus menerima semua ini? Kenapa harus dia? Mengapa Rena tidak, dan harus sendiri? Padahal dia juga ingin punya anak, kenapa harus susah sekali punya anak? Alvin yang mengetahuinya kini memeluk May. Dia tahu bahwa istrinya pasti sangat terpukul dengan apa yang dikatakan dokter. Tapi itu kenyataan. Namun, mereka tak bisa memungkiri bahwa memang ada masalah pada kandungan May. “Dinding rahim Bu May tidak seperti pada umumnya. Sedikit lebih tipis dan itu membuat resiko keguguran semakin tinggi. Kalau sulit atau tidak hamil juga tidak masalah, hanya saja saat bayi sudah tumbuh, itu sedikit lebih diperhatikan. Sepertinya kalau akan melakukan program hamil harus hati-hati, karena resiko keguguran.” Setelah kata-kata panjang dokter, May menangis di pelukan Alvin. D
Mei mengangguk. Sekali lagi dia memeluk suaminya dengan erat. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika Alvin tidak menjadi suaminya saat ini. "Maaf." Alwin mengangguk. Baginya, perasaan May adalah bawaan sebagai perempuan. Sangat sensitif dan juga sangat mudah mengukur diri dengan pencapaian orang lain. Tapi mereka tidak bisa mengambil risiko itu. Akhirnya, itu akan menyerang perasaan mereka juga. “Sekarang May harus percaya pada usaha. Kita yang berusaha dengan baik dan terus menerus maka Tuhan akan memberikan hasil yang baik. Jangan berpikir buruk tentang Tuhan, karena cerminan dari hasil adalah prasangka kita terhadap Tuhan. Ini yang bisa saya katakan dari kamu, May. Tapi sekarang kamu sedih, jadi aku mengatakan ini sekarang. Jadi, kamu harus ingat itu, oke? Jangan lupa lagi!" Kata Alvin sambil membelai rambut May dengan lembut. May yang mendengarnya langsung merasa ditertawakan. Ya, dia mengatakannya tapi dia lupa. Mungkin menjadi malu pada Tuhan. Dia mencob
Rena merasa gelisah sejak kemarin. Tetapi saat ini dia tidak ingin menyimpulkan bahwa ini adalah masalah serius atau perlu segera ditangani. Sejak kemarin perut bagian bawah tepatnya di rahim terasa sedikit nyeri. Namun lama kelamaan semakin parah. Tapi dia merasa tadi malam sedikit mereda. Jadi ibu Luna tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun. Dan Rena juga tidak mengeluh sama sekali. Dia telah berjanji untuk menjadi lebih dewasa dan lebih kuat. Jadi sekarang Rena masih memegang ini. "Apa yang kamu lakukan sayang?" tanya Lukman tadi pagi, yang mau kerja. Ia seperti melihat wajah Rena yang meringis tadi. Lukman pun bertanya. "Emm, tidak apa-apa. Hanya sedikit sakit tadi setelah memukul meja," Alasan klise yang dibuat Rena sepertinya sangat meyakinkan. Hal itu membuat Lukman mengangguk sambil mengelus perut Rena. "Aku harap kamu cepat sembuh! Jika kamu belum pulih dengan cepat, telepon aku, sayang. Aku akan menelepon ibu nanti, oke, datang saja ke sini untuknya."
"Bagaimana perasaanmu sayang? Di mana kamu sakit? Aku akan segera membawamu ke rumah sakit. Jangan khawatir!" Bela mencoba menunjuk ke bawah perutnya tapi nafasnya terengah-engah. Dia tidak tahan lagi dan sekarang tidak sadarkan diri. "Bela!" seru ibu Deva dengan suara lantang. Dia tidak percaya Bela akan pingsan seperti ini. Dia tidak tahu di mana menantunya sakit. Hal ini membuat ibunda Deva khawatir. Dia tidak mengerti apa yang menyerang Bela sekarang. Hingga terdengar suara ambulan datang. Segera Bela dibawa ke rumah sakit terdekat. "Tolong, dok. Tangani menantu saya! Dia mengeluh sakit di perut. Dia tidak banyak bicara tapi entah kenapa, saya tidak tahu penyebabnya. Tolong periksa dulu dok! Saya mohon ." Ibu Deva membawa Bela ke rumah sakit terdekat. Kondisi Bela yang tidak sadarkan diri membuatnya sangat khawatir. Seseorang yang pingsan pasti pernah merasakan sakit yang tidak bisa tertolong lagi. Sehingga kehilangan kesadaran diri. Hal ini membuat ibunda De
Saat ibu Deva sedang memanggil Mike seseorang memanggil namanya dari belakang. Tapi itu juga bertepatan dengan kedatangan dokter yang merawat Bela. Tiba-tiba Ibu Deva langsung menoleh ke arah dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi. "Bagaimana, menantu perempuanku?" Ibu Deva langsung bertanya setelah itu. Jantung ibu Deva langsung berdetak lebih cepat dari sebelum dokter keluar dari ruang operasi. Mendengar kabar Bela membuatnya panas dingin dan juga takut pingsan saat harapannya tak terkabul malah terjadi hal buruk. "Semua operasi berjalan lancar. Sekarang dia baik-baik saja. Dia tinggal menunggu kesadaran dan nanti kita tindaklanjuti. Baru setelah itu dia bisa dibawa pulang. Tapi tolong jangan masuk kamar dulu karena saat ini Mbak Bela sedang rentan terhadap feses. Semuanya harus benar-benar steril. tunggu sampai besok pagi baru kamu dan keluarga Bu Bela bisa menjenguknya," kata dokter itu membuat sedikit tidak nyaman tapi itu hal yang baik untuk Bela. Kemudian
"Ya, Bu! Yang terpenting, kami sekarang sudah mendengar dari Bela bahwa dia baik-baik saja. Sekarang tinggal menjaga agar Bela tidak seperti ini lagi. Jangan merasa bersalah, oke?" * Dua bulan telah berlalu, dan kini Alvin dan May dibingungkan oleh pagi yang aneh. May tiba-tiba memeluk tubuh Alvin dengan sangat erat dan membuat suaminya sulit bernafas. Akhirnya membuat Alvin terbangun dari tidur lelapnya. Sambil mengedipkan matanya dan perlahan membuka matanya, Alvin dikejutkan oleh May yang berada sangat dekat di depannya. "Mungkin..." "Selamat pagi Alvin!" ucap May lalu kini memeluk Alvin dengan erat lagi. May bahkan mencium wajah Alvin dengan gemas. "Mungkin masih pagi, dan aku belum gosok gigi. Baunya mungkin bau air liur," kata Alvin sambil menutup mulutnya. Dia tidak ingin May mencium bau tak sedap dari mulutnya pagi ini. "Tenang Alvin! Kamu selalu wangi. Bahkan ketiakmu juga wangi!" Kata May, menempel lebih dekat ke Alvin. Alvin dibuat terdiam oleh perilaku
Satu tahun kemudian. May dan Alvin sudah berbahagia karena kelahiran anak pertama mereka. Padahal cukup banyak cobaan yang May alami selama kehamilannya. Kekhawatiran May yang terus-menerus tentang kelambatan adalah masalah yang cukup serius. Namun May mampu melewatinya berkat dukungan dari Alvin yang selalu ada di sampingnya. Mereka telah diberkati dengan seorang putra yang mereka beri nama Yakobus. Wajahnya tampan seperti Alvin. Tapi matanya lebih seperti May yang meruncing. May menjalani persalinan caesar karena ada masalah di rahimnya. Tapi baginya, itu tidak masalah. Yang penting dia dan bayinya selamat. May tidak terlalu banyak drama dan bisa melahirkan dengan cepat. Alvin juga menemani May selama proses persalinan. Alvin tahu bagaimana seorang istri berjuang untuk melahirkan buah hatinya. Dia juga tidak akan tega menyakiti ibu anaknya. Dia berjanji untuk melindungi hati May selamanya. “Sayang, terima kasih karena kamu bersedia menjadi ibu dari anakku,” kata Alvin. "Kenapa