Satu tahun kemudian. May dan Alvin sudah berbahagia karena kelahiran anak pertama mereka. Padahal cukup banyak cobaan yang May alami selama kehamilannya. Kekhawatiran May yang terus-menerus tentang kelambatan adalah masalah yang cukup serius. Namun May mampu melewatinya berkat dukungan dari Alvin yang selalu ada di sampingnya. Mereka telah diberkati dengan seorang putra yang mereka beri nama Yakobus. Wajahnya tampan seperti Alvin. Tapi matanya lebih seperti May yang meruncing. May menjalani persalinan caesar karena ada masalah di rahimnya. Tapi baginya, itu tidak masalah. Yang penting dia dan bayinya selamat. May tidak terlalu banyak drama dan bisa melahirkan dengan cepat. Alvin juga menemani May selama proses persalinan. Alvin tahu bagaimana seorang istri berjuang untuk melahirkan buah hatinya. Dia juga tidak akan tega menyakiti ibu anaknya. Dia berjanji untuk melindungi hati May selamanya. “Sayang, terima kasih karena kamu bersedia menjadi ibu dari anakku,” kata Alvin. "Kenapa
Tak terasa kini sudah lima tahun berlangsung. Bela menatap putrinya yang kini tengah bermain di ruang keluarga sembari menunggu sang suami pulang. Bela tersenyum setiap kali melihat tingkah menggemaskan putrinya. “Apakah kamu membutuhkan bantuan Ibu, Sayang?” tanya Bela kepada putrinya saat melihat sang putri yang tengah kesulitan memasang puzel. Ya, gadis kecil itu tengah berusaha memasang puzel yang kemarin baru dibelikan oleh Deva. Dengan wajah yang serius membuat Bela terkikik geli melihatnya. “Tidak, Luna bisa sendili, Ibu,” jawab gadis kecil itu dengan cadel. Bela mengangguk, wanita itu tetap terus memperhatikan buah hatinya yang masih terus berusaha memasang kepingan puzel. Fokus Bela terpecah kala mendengar suara ponselnya berdering. Dengan cepat ia langsung saja menyambar ponselnya dan mengangkat telepon kala tertera nama suaminya di sana. Dengan senyum yang merekah, Bela berbicara dengan seseorang di seberang sana. “Halo, apakah kamu sudah akan pulang?” tanya Bela. “Se
“Tidak ada yang tertinggal, ‘kan?” tanya Bela saat mereka hendak keluar rumah. Deva terdiam beberapa saat untuk mengingat barang bawaannya. Memastikan semua barang kantor yang ia butuhkan terbawa semua. “Tidak ada, aku sudah memastikan lagi sebelum keluar rumah,” jawab Deva dengan senyum samarnya. Bela mengangguk, setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, mereka langsung saja melaju menuju ke sekolah Luna. Seperti biasa, Deva akan mengantarkan anak dan juga istrinya terlebih dahulu ke sekolah, baru ia akan berangkat ke kantor. Saat berada di dalam mobil, suasana mendadak menjadi hening. Tidak seperti biasanya kala Deva melontarkan beberapa candanya. Hal itu tentu saja membuat Bela merasa tidak nyaman dengan keheningan yang terjadi. Wanita itu melihat ke arah Luna yang tengah fokus pada rubik di tangannya, kemudian netranya mengarah ke arah sang suami. Deva hanya diam dengan pandangan yang fokus ke arah jalanan. Sesekali ia juga melihat ke arah Bela dan juga Luna. Tetapi pria
Saat sampai di kamar Luna, Bela langsung memeluk putri kecilnya itu dengan erat. “Hay, Ibu ada di sini, tenang, oke?” kata Bela. Deva ikut menghampiri Luna yang kini tengah berada di dekapan sang istri. “Ada apa?” “Deva, badan Luna sangat panas. Bagaimana ini?” tanya Bela dengan panik. Deva terkejut dengan perkataan istrinya, langsung saja ia mengecek kondisi anaknya yang tengah dipeluk Bela dengan erat. Dan benar saja! badan putrinya terasa hangat. “Apakah tadi Luna sudah sakit?” tanya Deva. Bela menggeleng, pasalnya saat di sekolah tadi Luna masih bermain dengan Inara. Hingga pulang sekolah, Luna tidak menujukan tanda-tanda bahwa anaknya sakit. Bela semakin taut hal yang buruk terjadi kepada Luna. Bagaimana jika itu seperti demam berdarah? Yang siklusnya memang naik turun seperti ini?“Deva, aku takut Luna terkena demam berdarah, kita harus bawa dia ke rumah sakit!” “Ayo, Bela!” Deva menggendong tubuh menggigil putrinya dan langsung membawanya ke rumah sakit. Sesampainya di
Bela memijit pangkal hidungnya karena rasa pusing yang ia rasakan. Bela sudah beristirahat cukup, namun kepalanya masih saja terasa sakit. Tidak hanya itu, perut bela juga terasa diaduk. Sangat tidak nyaman dengan kondisi seperti ini. Apalagi ia juga harus memperhatikan kesehatan Luna yang baru saja keluar dari rumah sakit. “Sayang, kenapa kamu di sini?” Deva berjalan ke arah bela dengan secangkir kopi di tangannya. Pria itu ikut mendudukkan dirinya di samping Bela, sambil menatap istrinya dengan khawatir. “APakah ada yang sakit?” Bela menggeleng. “Tidak ada, aku hanya belum bisa tidur,” dusta Bela. Bukan apa-apa, hanya saja jika Bela berkata sejujurnya dengan Deva tentang kondisinya, pasti pria itu akan sangat khawatir. Bela tidak mau suaminya itu terlalu mengkhawatirnya dirinya. Mengingat esok suaminya juga harus ke kantor. Banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. “Bagaimana dengan pusing kamu?” tanya Deva. “Sudah lebih baik, mungkin besok akan sembuh total. Sudah aku bilang
Pak Seno dan Deva kini berjalan beriringan untuk menuju ke ruangan Pak Seno. Ruangan yang nantinya akan menjadi milik Deva. Setelah rapat tadi, mereka memang langsung meninggalkan ruang meeting. Sesampainya di ruangan Pak Seno, ia langsung menyuruh Deva untuk duduk. Lebih tepatnya untuk berbincang mengenai perusahaan dan keterlambatan Deva tadi. Tentu saja Pak Seno tahu jika menantunya itu terlambat. Hanya saja ia tidak mau membahasnya di ruang meeting. Bukankah lebih baik di ruangan tertutup seperti ini? Lebih nyaman untuk keduanya. “Deva, ada apa kamu terlambat? APakah ada masalah? Tidak biasanya kamu seperti ini, Ayah tahu kamu seperti apa,” kata ayah Seno sambil menatap Deva dengan lekat. “Maafkan aku, Ayah. Tetapi aku tadi harus mengantar Bela ke rumah sakit terlebih dahulu,” jawab Deva. Pak Seno tentu saja terkejut dengan apa yang Deva katakan. Rumah sakit? APakah anaknya tengah saki? Lantas kenapa tidak ada yang memberitahunya? “Lantas kenapa kamu tidak memberi tahu Ayah?
Bela memandang foto almarhum ayahnya dengan tatapan sendu. Sudah terhitung satu bulan Pak Seno pergi. Rasa rindu akan ayahnya itu semakin menjadi, rindu yang tidak ada lagi obatnya. Hanya bisa memutar video kenangan saat masih bersama dan hanya melihat fotonya saja. tentunya juga tidak mudah melupakan sang ayah yang telah pergi. Rasanya seperti begitu cepat, dan tidak terduga. Tidak terduga akan berakhir seperti ini.Bela juga selalu sempatkan setiap minggu untuk mengunjungi makam ayahnya. Begitu sangat berat rasanya menerima kenyataan bahwa sang ayah telah berada di dalam gundukan tanah yang dihiasi bunga itu. “Ayah, bagaimana kabar ayah di sana?” monolog Bela sambil mengusap foto yang berada di tangannya. Tak terasa air mata Bela turun membasahi pipi mulusnya. Sementara Luna, sang anak yang tidak sengaja melihat ibunya menangis langsung saja menghampirinya. “Ibu, ada apa dengan Ibu? Kenapa menangis?” tanya Luna. Bela yang menyadari kehadiran Luna langsung saja menghapus sisa ai
“Tara ... aku membuatkan kukis untuk kalian,” kata May sambil mengangkat piring berisi beberapa kue kukis. Bela yang melihat kukis buatan May langsung berbinar. Bela memang ingin memakan kukis, karena kebaikan May, wanita itu memilih membuatkan sahabatnya itu kue kukis. “Ibu, aku mau!” teriak Inara sambil mengangkat tangannya tinggi. “Aku juga!” sambar Luna. “Tenang-tenang. Ibu membuat banyak, kalian akan kebagian,” kata May sambil berjalan ke arah Bela. Mereka saat ini tengah berada di rumah Bela. Tepatnya teras rumah Bela. May dan anaknya memang mengunjungi Bela hari ini. Alvin tadi mengantarkan May dan juga Inara ke rumah Bela baru ia berangkat ke kantor. “Bela, aku jamin kamu pasti akan suka,” kata May yakin. Bela langsung saja mengambil satu kue kukis buatan temannya itu dan mencicipinya. May juga memberikan kepada Luna dan Inara untuk mencicipi kuenya. Wajah May berseri, menunggu mereka menilai kue buatannya. Semoga saja memang layak untuk di makan, karena ini pertama ka