Pak Seno dan Deva kini berjalan beriringan untuk menuju ke ruangan Pak Seno. Ruangan yang nantinya akan menjadi milik Deva. Setelah rapat tadi, mereka memang langsung meninggalkan ruang meeting. Sesampainya di ruangan Pak Seno, ia langsung menyuruh Deva untuk duduk. Lebih tepatnya untuk berbincang mengenai perusahaan dan keterlambatan Deva tadi. Tentu saja Pak Seno tahu jika menantunya itu terlambat. Hanya saja ia tidak mau membahasnya di ruang meeting. Bukankah lebih baik di ruangan tertutup seperti ini? Lebih nyaman untuk keduanya. “Deva, ada apa kamu terlambat? APakah ada masalah? Tidak biasanya kamu seperti ini, Ayah tahu kamu seperti apa,” kata ayah Seno sambil menatap Deva dengan lekat. “Maafkan aku, Ayah. Tetapi aku tadi harus mengantar Bela ke rumah sakit terlebih dahulu,” jawab Deva. Pak Seno tentu saja terkejut dengan apa yang Deva katakan. Rumah sakit? APakah anaknya tengah saki? Lantas kenapa tidak ada yang memberitahunya? “Lantas kenapa kamu tidak memberi tahu Ayah?
Bela memandang foto almarhum ayahnya dengan tatapan sendu. Sudah terhitung satu bulan Pak Seno pergi. Rasa rindu akan ayahnya itu semakin menjadi, rindu yang tidak ada lagi obatnya. Hanya bisa memutar video kenangan saat masih bersama dan hanya melihat fotonya saja. tentunya juga tidak mudah melupakan sang ayah yang telah pergi. Rasanya seperti begitu cepat, dan tidak terduga. Tidak terduga akan berakhir seperti ini.Bela juga selalu sempatkan setiap minggu untuk mengunjungi makam ayahnya. Begitu sangat berat rasanya menerima kenyataan bahwa sang ayah telah berada di dalam gundukan tanah yang dihiasi bunga itu. “Ayah, bagaimana kabar ayah di sana?” monolog Bela sambil mengusap foto yang berada di tangannya. Tak terasa air mata Bela turun membasahi pipi mulusnya. Sementara Luna, sang anak yang tidak sengaja melihat ibunya menangis langsung saja menghampirinya. “Ibu, ada apa dengan Ibu? Kenapa menangis?” tanya Luna. Bela yang menyadari kehadiran Luna langsung saja menghapus sisa ai
“Tara ... aku membuatkan kukis untuk kalian,” kata May sambil mengangkat piring berisi beberapa kue kukis. Bela yang melihat kukis buatan May langsung berbinar. Bela memang ingin memakan kukis, karena kebaikan May, wanita itu memilih membuatkan sahabatnya itu kue kukis. “Ibu, aku mau!” teriak Inara sambil mengangkat tangannya tinggi. “Aku juga!” sambar Luna. “Tenang-tenang. Ibu membuat banyak, kalian akan kebagian,” kata May sambil berjalan ke arah Bela. Mereka saat ini tengah berada di rumah Bela. Tepatnya teras rumah Bela. May dan anaknya memang mengunjungi Bela hari ini. Alvin tadi mengantarkan May dan juga Inara ke rumah Bela baru ia berangkat ke kantor. “Bela, aku jamin kamu pasti akan suka,” kata May yakin. Bela langsung saja mengambil satu kue kukis buatan temannya itu dan mencicipinya. May juga memberikan kepada Luna dan Inara untuk mencicipi kuenya. Wajah May berseri, menunggu mereka menilai kue buatannya. Semoga saja memang layak untuk di makan, karena ini pertama ka
Deva menghembuskan nafas beratnya kala melihat diagram perusahaan yang semakin hari semakin menurun. Sudah dapat dipastikan perusahaan bisa bangkrut bila terus seperti ini. Sementara pak Irfan sendiri selalu keras kepala. Tidak pernah mau mendengarkan saran darinya. Deva memang baru terjun ke dunia perusahaan. Jika dibandingkan dengan pengalamannya memang tidak seimbang dengan pak Iran. Tetapi Deva paham bagaimana cara mengatasi masalah perusahaan yang terjadi seperti ini. Jika perusahaan ini benar hancur, Deva akan merasa sangat bersalah dengan Bela, ia sudah berjanji akan menjayakan lagi perusahaan ayahnya ini. Tak hanya Bela, almarhum ayah juga pasti sangat sedih. “Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya. Saat tengah melamun, tiba-tiba saja pintu ruangan Deva diketuk oleh seseorang. Deva langsung mengalihkan tatapannya ke arah pintu. Setelahnya, terdapat sosok Alvin yang muncul dari balik pintu. Terkejut? Tentu saja! Ada hal apa ia datang menemui Deva ke kantor? Deva langsung men
Bela menunggu kepulangan suaminya di depan rumah. Sudah terhitung setengah jam ia duduk di teras rumah guna menunggu kepulangan Deva. Bela juga sudah menghubungi suaminya, Deva berkata akan segera pulang, namun lihat! Sudah setengah jam menunggu Deva belum juga menujukan batang hidungnya. “Ke mana ayah kamu?” tanya Bela sambil mengusap perutnya yang sudah membesar. “Padahal Ibu mau makan kue yang ada di depan kantor ayah kamu,” sambung Bela lagi. Bela memang tadi memesan kue yang ada di depan kantor Deva. Tetapi hingga saat ini Deva juga belum datang. Hal itu tentu membuat Bela kesal. apakah suaminya itu tidak memikirkan buah hatinya yang ingin makan kue itu? Apakah urusan kantor lebih penting? Bela memang saat ini tengah berada di rumah sendiri. Luna? Gadis kecil itu ikut bersama May ke rumahnya. Bela memang tidak ikut ke rumah May, karena ia mau bermalas-malasan saja. memang semenjak kandungannya yang kedua ini, Bela rasanya hanya ingin menghabiskan waktunya di atas tempat tidu
Deva hari ini sangat disibukkan dengan pekerjaan kantor. Mau bagaimana lagi? perusahaan yang nyaris bangkrut ini memang membutuhkan perhatian lebih. Deva ingin segera perusahaan kembali stabil seperti dulu. Tapi sayangnya, Deva tidak bisa fokus kala ponselnya terus saja berbunyi. Ya! Siapa lagi pelakunya kalau bukan Bela, sang istri tercintanya? Senang, Deva sangat senang Bela menghubunginya terus. Tetapi tidak untuk saat ini. Deva memang tengah sibuk, mendengar suara dering ponsel membuat dirinya semakin pusing. Apa lagi dering ponsel yang terdengar kali ini bukan untuk yang kedua atau ketiga kalinya. Entah sudah panggilan ke berapa kalinya yang Bela lakukan. Untuk panggilan sebelumnya tentu saja Deva mengangkatnya. Hanya saja Bela mengajaknya bercerita tentang film yang baru saja ia tonton. Bukankah itu tidak masuk akal? Apakah istrinya itu tidak tahu Deva tengah lelah? Deva menghembuskan nafas beratnya. Ayolah! Ini juga buka waktunya untuk mengeluh. Lagi pula bagaimana jika is
“Ibu, Inara merasa bosan di rumah terus,” kata gadis kecil itu kepada May-sang ibu. May yang sedang menyiram tanaman langsung saja menoleh ke arah anakannya. Saat ini hari Minggu, jadi May dan Inara bersantai di rumah. “Kamu mau ke rumah Luna?” tawar May. Inara tidak langsung menjawab pertanyaan sang ibu. Iya justru terdiam beberapa. Hal itu tentu saja membuat May penasaran. Apakah ada yang terjadi dengan Inara serta Luna? Biasanya anaknya itu selalu senang saat bermain bersama Luna. Namun berbeda kali ini. “Inara, ada apa? kamu sedang berantem dengan Luna?” tebak May. Inara menggeleng. “Tidak, Ibu. Aku hanya ingin bermain bersama Ibu. Aku bosan,” jawab gadis kecil itu. May yang mendengar hal itu bernafas lega. Setidaknya mereka tidak bertengkar, kan? May sudah berpikir yang tidak-tidak mengenai anaknya dan juga Luna. “Lalu, kamu mau ke mana?” tanya May. Wanita itu mematikan keran air dan menghampiri putrinya yang tengah bermain tanah dalam pot. May langsung saja membawa Inara
“Sayang, ada apa?” tanya Deva kala melihat wajah Bela yang sangat begitu terkejut. Bela memang tengah menelepon seorang, entah apa yang orang itu katakan kepada Bela hingga membuat raut wajah istri Deva itu berubah terkejut. Tentu saja itu membuat Deva juga ikut penasaran. Siapa yang tengah istrinya telepon? Bela mengisyaratkan Deva untuk diam, sementara Bela terus melanjutkan teleponnya. Samar-samar, Deva dapat mendengar suara yang sangat dikenalinya. May? Ya! suara itu adalah suara May! Apa yang mereka bicarakan? “Aku akan ke sana setelah ini, kamu tenang dulu,” kata Bela. “Apakah sudah selesai?” tanyanya lagi. Deva terus saja mendengarkan apa yang istrinya bicarakan dengan saksama, walau suara lawan bicaranya sama sekali tak terdengar. Deva melahap makannya dengan netra yang fokus pada Bela. “Aku turut sedih. Semoga saja semua akan baik-baik saja,” kata Bela dengan nada sedih. Deva semakin penasaran. Apa yang sedang terjadi sebenarnya?“Baiklah. Aku akan ke sana nanti. Kamu