“Bela, besok kamu harus menikah!” Seno, ayahnya Bela, menyuruh Bela. "Apa? Apa Bela tidak salah dengar Yah? aku masih ingin melanjutkan sekolah. Baru kemarin aku lulus SMA. Ayah menyuruh aku untuk menikah. Tidak, aku tidak mau," tolak Bela. "Tapi aku sudah berjanji akan menikahkanmu dengan anak rekanku. Dan itu harus terjadi. Kalau tidak, ancamannya adalah perusahaan Ayah. Mau tidak mau kamu harus menikah minggu depan. Aku sudah menyiapkan segalanya. Aku tidak butuh persetujuanmu. Aku hanya memberitahumu,'' kata Seno dengan tegas. Bela yang baru saja berencana untuk kuliah di luar negeri tiba-tiba menghilang karena perkataan ayahnya. Rasanya seperti Bela dijual oleh ayahnya. Demi keselamatan perusahaan, Bela harus menikah dengan anak rekan ayahnya. Bela berpikir bahwa dia akan lari dari rumahnya. Bela melihat keadaan rumahnya. Tidak seperti biasanya. Cukup banyak anak buah ayahnya yang berjaga-jaga. Tempat tidur Bela ada di lantai dua. Biasanya hanya satu atau dua anak buah ayah
Bela terus menangis, tapi air mata itu tidak akan mengubah takdir sah Bela menjadi istri orang lain. Seorang wanita yang sedang menemani Bela menggandeng tangan Bela dan berkata, "Ayo, berdiri! Kamu harus bersalaman dengan suamimu. Segera hapus air matamu, Bela." "Aku tidak mau menikah," rengek Bela. Bela tidak bisa berdiri karena tubuhnya lemah. Alhasil, pria yang merupakan suami Bela itu yang mendekati Bela. Deva, pria yang kini menjadi suami Bela, mengulurkan tangan kanannya ke arah Bela. Ayah Bela juga ada di sana. Dengan cepat ayah Bela meraih tangan Bela dan tangan Deva bersatu. "Dia sah suamimu, Bela. Ayo cium tangan suamimu!" kata ayah Bela. Dengan gemetar dan menangis, Bela mendekatkan bibirnya ke punggung tangan suaminya. Bibir mungil Bela berhasil mendarat lembut di punggung tangan Deva. Deva pun langsung memegang kepala Bela dan membacakan doa. Semuanya tersenyum bahagia, kecuali Bela yang masih belum bisa menerima pernikahan mereka. *** Upacara pernikahan perjodohan
Di bawah pancuran air, Bela kembali menangis. Meratapi nasibnya yang malang. Menjodohkan, dan menikah setelah SMA tidak pernah terpikir olehnya. Pernikahan yang dilangsungkan pagi ini seakan menghancurkan impian dan masa depan Bela. "Argh...." rintih Bela sambil menggedor-gedor dinding kamar mandi. Dia belum bisa menerima nasibnya. "Ayah jahat! Jahat! Mengapa kamu tidak peduli dengan masa depan Bela! Ayah jahat!" teriak Bela terus menangis. Ada ketukan di pintu. Bela hanya menoleh. “Bela,” panggil Deva dari luar kamar mandi. Pria itu terus mengetuk pintu. Namun, Bela hanya menangis dalam diam. Air mata itu tersamarkan oleh percikan air pancuran yang membasahi kepalanya ke seluruh bagian tubuhnya. "Bela, kamu baik-baik saja? Bela jawab aku?" teriak Deva. "Aku hanya ingin mati!" teriak Bela kemudian. Dari luar kamar mandi, Deva yang mendengar ucapan Bela melebarkan matanya. Ia khawatir akan terjadi sesuatu pada Bela. Dia takut Bela nekat menyakitinya. Deva terus mengetuk pintu k
Malam telah berganti pagi. Sinar matahari yang menembus dari lubang ventilasi masuk ke kamar Bela. Bela sama sekali tidak terganggu. Selimut semakin ditarik menutupi tubuh mungil Bela. "Bela, kamu belum bangun?" tanya Deva saat mendapati Bela menarik selimut menutupi tubuhnya. Bela terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Deva. Saat Deva hendak melepas selimut yang menutupi tubuh Bela, Bela menahan selimut itu di tempatnya. Dengan membelakangi Deva, Bela bergumam, "Pergi! Tinggalkan aku! Aku tidak mau diganggu." Suara Bela terdengar begitu serak. Bela merasakan tubuhnya dingin dan menggigil. Suhu tubuh Bela juga lebih panas dari biasanya. Kepala Bela juga terasa sangat pusing, sementara matanya seperti lem, tidak mau terbuka. "Bela, apa yang kamu lakukan?" tanya Deva saat melihat tubuh Bela yang diselimuti selimut menggigil. Terdengar ketukan di pintu kamar Bela, membuat Deva menoleh ke arah pintu, namun tidak dengan Bela yang masih setia menutupi dirinya dengan selimut tebal. Deva
Selesai makan siang, Bela dan Deva kembali ke kamar. Bela tetap tidak menghiraukan Deva, bahkan saat Deva menelpon, Bela tidak menjawab. Bela segera duduk di kursi mejanya. Laptop yang tertutup itu langsung dibuka oleh Bela. Bela berniat menghiburnya. Setelah layar di depan Bela menyala, tak butuh waktu lama bagi Bela untuk segera mencari film kesukaannya. "Rena, aku ingin bicara denganmu," kata Deva yang duduk di tepi tempat tidur sambil melihat punggung Bela. Bela terkekeh. "Lagipula apa lagi? Tidak bisakah kau tidak menggangguku untuk sementara waktu?" kata Bela kesal. Deva menghela nafas panjang, lalu laki-laki yang merupakan suami Bela itu berdiri dari duduknya dan menghampiri Bela. Deva menyandarkan tubuhnya ke meja belajar Bela. "Aku akan mengajakmu berbulan madu," kata Deva. Bela menatap Deva dengan mulut menganga, mata Bela membulat. Rana sepertinya tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Halo! Kamu gila. Aku tidak menerima pernikahan ini, kenapa
Bela menatap takjub restoran di depannya. Ameera belum pernah menemukan restoran dengan desain seunik ini. Tak lama kemudian, Bela langsung masuk ke dalam restoran dan meninggalkan Deva yang berdiri di belakangnya. "Bela tunggu!" perintah Deva. Namun, Bela adalah gadis yang keras kepala. Panggilan dari suaminya yang Bela abaikan begitu saja. Ia tetap memilih masuk ke dalam restoran tanpa menghiraukan Deva. Adapun Deva, pria itu langsung mengikuti langkah Bela. Restorannya tidak terlalu ramai, jadi masih banyak meja kosong. Bela langsung pergi ke meja dekat jendela. Sesampainya di meja Bela langsung duduk dan juga disusul oleh Deva. Melihat Deva duduk, Bela menatap pria itu dengan tidak suka. "Aku tidak ingin duduk denganmu, jangan duduk di sana!" kata Bela dengan nada sedikit kesal. Deva terkejut, namun Deva langsung menetralkan ekspresi wajahnya. “Aku suamimu,” tegur Deva pada Bela. Bela memutar matanya dengan malas dan menghela nafas panjang. "Teruslah mengatakan
Rencana belajar Air mata Bela jatuh lagi. Sekeras apapun Bela menahannya, rasa sakit di hatinya tetap ada. Di dalam Bela, gadis itu ingin berteriak untuk melepaskan sesak di dadanya. Masih setia menatap laut lepas, Bela berkata, "Aku benci hidup ini! Aku benci!" teriak Bela dengan suara teredam. "Bela sayang, ayo duduk!" Suara Deva kembali terdengar di telinga Bela. Deva pun memanggil Bela dari belakang berkali-kali, namun Bela enggan menoleh dan menjawab perkataan Deva. Gadis itu masih sibuk mengeluarkan air matanya agar dadanya terasa lebih lega. Deva tidak diam, dia menatap Bela yang tidak menoleh dan tidak bergerak sama sekali. Akhirnya Deva memilih mendekati Bela lagi dan menyentuh bahu Bela. "Bela," panggil Deva. Mata Deva menyipit saat melihat Bela memejamkan mata dan menangis. "Apa yang kamu lakukan sayang?" Usai pertanyaan dilontarkan Deva, Bela menepis tangan Deva dan menjauh sedikit. Bela tidak mau berhenti menangis. Dia masih ingin melepaskan sesak di dada
Bela ke kantor Deva Bela yang diminta menoleh ke Deva. "Kamu bajingan, yah...," jawab Bela sambil menjulurkan lidahnya. Karena respon yang diberikan Bela, Deva hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Meski tingkah Bela begitu kekanak-kanakan, ia bisa membuatnya merasa sedang dan nyaman saat berada di dekat Bela. Setelah percakapan itu, tidak ada percakapan lagi. Bela sibuk menonton film yang diputar di layar ponselnya sementara Deva fokus ke jalan di depan. Selang beberapa menit, mobil Deva akhirnya berhenti. Bela menoleh ke kiri. Alis Bela berkerut saat mengetahui mobil mereka berhenti di gerbang bukannya masuk ke dalam. Meski begitu, dengan wajah cemberut, Bela menoleh ke arah Deva. "Rumah siapa ini? Kemana kita akan pergi?" tanya Bela yang tidak tahu rumah di sebelah mobil Deva. “Rumahku,” jawab Deva sambil melepas sabuk pengamannya. Bela menjadi penasaran. "Mengapa kita berhenti di sini? Mengapa tidak parkir di dalam?" Bela bertanya lagi. Deva tersenyum p