Malam telah berganti pagi. Sinar matahari yang menembus dari lubang ventilasi masuk ke kamar Bela. Bela sama sekali tidak terganggu. Selimut semakin ditarik menutupi tubuh mungil Bela.
"Bela, kamu belum bangun?" tanya Deva saat mendapati Bela menarik selimut menutupi tubuhnya. Bela terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Deva.
Saat Deva hendak melepas selimut yang menutupi tubuh Bela, Bela menahan selimut itu di tempatnya. Dengan membelakangi Deva, Bela bergumam, "Pergi! Tinggalkan aku! Aku tidak mau diganggu." Suara Bela terdengar begitu serak.
Bela merasakan tubuhnya dingin dan menggigil. Suhu tubuh Bela juga lebih panas dari biasanya. Kepala Bela juga terasa sangat pusing, sementara matanya seperti lem, tidak mau terbuka.
"Bela, apa yang kamu lakukan?" tanya Deva saat melihat tubuh Bela yang diselimuti selimut menggigil.
Terdengar ketukan di pintu kamar Bela, membuat Deva menoleh ke arah pintu, namun tidak dengan Bela yang masih setia menutupi dirinya dengan selimut tebal. Deva segera turun dari tempat tidur dan membuka pintu.
“Maaf pak mengganggu waktu. Bapak sudah menunggu di meja makan,” kata pengurus rumah setelah Deva membuka pintu kamar.
Deva menoleh ke tempat tidurnya. Menatap Bela yang sepertinya tidak bergerak sama sekali. Setelah itu Deva kembali menemui asisten rumah tangga. "Maaf, katakan pada Ayah bahwa kita berdua tidak bisa sarapan bersama! Terima kasih," kata Deva menjelaskan.
“Baik, Pak,” jawab pengurus rumah yang kemudian pergi ke depan kamar Bela. Setelah asisten rumah tangga pergi, Deva kembali menutup pintu dan menghampiri Bela. Dia mengusap kepala Bela dengan lembut.
"Bela, kamu demam," seru Deva saat merasakan suhu tubuh Bela sangat panas. Bela yang menggigil terdiam tak menanggapi perkataan Deva.
Tak lama kemudian, dengan bibir gemetar, Bela berkata, "Tolong matikan AC! Buka jendela! Biarkan sinar matahari masuk!" Ucapan Bela itu langsung dianggukkan oleh Deva. Deva bergegas melakukan apa yang Bela suruh. Setelah itu, Deva langsung mencari ponselnya. Dia memanggil dokter swasta untuk datang memeriksa Bela.
"Bisakah kamu meminta pembantu rumah tangga untuk membuatkanku teh hangat!" tanya Bela yang masih memejamkan matanya. Bela tidak tidur. Dia masih bisa mendengar suara-suara di sekitarnya. Namun, tak lama kemudian Bela memaksa matanya untuk terbuka.
"Oke, aku akan memberitahunya untuk membawakanmu teh hangat!" kata Deva dengan tatapan yang terlihat begitu khawatir. Setelah itu Deva keluar kamar mencari asisten rumah tangga keluarga Bela.
Sepeninggal Deva, Bela berusaha bangun dari tidurnya. Kepala Bela terasa sangat pusing. Bela ingin pindah tempat tidur. Tempat tidurnya tadi malam begitu panas hingga membuat Bela tidak nyaman. Perlahan Bela menggeser tubuhnya ke sisi lain tempat tidur—yang digunakan Deva tadi malam.
Bela menoleh ke arah pintu kamar yang tiba-tiba terbuka. Di sana dia melihat Deva, seorang pembantu rumah tangga, seorang dokter, dan ayahnya. Namun, Bela tidak peduli. Dia memilih berbaring lagi dengan hati-hati.
Seno mendekati Bela. "Bela," panggil Seno sambil meletakkan punggung tangannya di dahi Bela. Namun, tak lama kemudian sang ayah menempelkannya di kening Bela, Bela menepis tangan Seno. Dia tidak ingin Seno menyentuhnya. Hati Bela sudah dibuat sakit dan hancur oleh Seno. Pria yang dicintainya, yang tega menghancurkan masa depan putrinya demi menyelamatkan perusahaan, Bela benci itu.
"Jangan dekati aku!" kata Bela, menggigil.
"Tubuhmu panas sekali," komentar Seno. "Dokter, cepat peeriksa putriku!" Seno memerintahkan dokter untuk segera memeriksa Bela.
Pemeriksaan diadakan, tetapi Bela menolak. "Biarkan aku mati!" teriak Bela. Deva yang baru saja bertemu dengan Bela begitu menyadari sifat keras kepala gadis itu. Deva dengan lembut membujuk Bela, begitu juga dengan dokter yang dengan lembut membujuk Bela, akhirnya Bela mau diperiksa dan diberi obat.
"Tubuhnya sangat lemah. Tidak ada asupan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Bela juga terlihat kelelahan. Sekarang biarkan dia istirahat dulu! Setengah jam lagi tolong beri Bela bubur," jelas dokter. Bela hanya mendengarkannya sambil memejamkan mata.
"Kalau begitu aku permisi, oke? Ini obat penurun demam dan pereda nyeri." Dokter menyerahkan obat itu kepada Deva. Deva dengan sigap menerima obat tersebut dan mendengarkan penjelasan dokter tentang aturan minum obat untuk Bela. Setelah menjelaskan dan memberikan obat, dokter berpamitan untuk pulang. Kini di kamar tinggal Deva, Bela, dan Seno.
"Bela, cepat sembuh nak!" Seno mendoakan Bela. Sementara gadis yang didoakan itu hanya diam saja.
Seno menepuk pundak Deva. "Aku keluar dulu, kamu urus Bela dulu, oke?" kata Seno kepada Deva.
Kepala Deva mengangguk. “Oke,” jawab Deva singkat. Setelah itu Seno keluar dari kamar Bela.
Deva menoleh ke arah tubuh Bela yang masih tertutup selimut. Kemudian Deva mendekati tempat tidur dan duduk di tepi tempat tidur. Satu tangan Deva mencoba menyentuh tubuh Bela. "Bela, kamu tidur?" tanya Deva. Bela mendengarnya, tapi gadis itu memilih diam.
***
Sore harinya, Bela merasa sakit kepalanya sudah berkurang, dan suhu tubuhnya yang tinggi juga menurun. Tapi Bela masih merasa lemas, dia enggan pergi mandi. Sekarang Bela sedang bermain di ponselnya untuk hiburan.
"Bela." Panggilan itu membuat Bela menoleh ke arah pintu kamar tidurnya. Terlihat Deva yang sedang tersenyum pada Bela. Senyum Deva tidak dibalas oleh Bela. Ia hanya menatap Deva sekilas, lalu kembali fokus pada layar ponselnya.
Deva menghela nafas panjang melihat sikap Bela yang masih cuek. "Aku suamimu, Bela. Tak bisakah kau bersikap lebih baik padaku?" tanya Deva.
Bela segera meletakkan ponselnya di tempat tidur. Dia menatap Deva dengan kesal. "Menurutku lebih baik diam dan tidak berbicara denganmu. Daripada aku berbicara tapi menyentuh perasaanmu," jawab Bela. Kemudian Bela memilih untuk bangun dari tempat tidur.
"Bela," panggil Deva saat Bela melewatinya. "Kamu masih sakit, hati-hati!" Deva mengenang Bela. Namun, Bela tak menghiraukan perkataan Deva.
Tubuh Bela yang masih lemas membawanya ke lantai dasar. Bela langsung duduk dan memegangi kepalanya saat sampai di meja makan. Sedangkan Deva sempat mengikuti Bela dari belakang.
"Kamu baik-baik saja, Ren?" tanya Deva sambil menyentuh pundak Bela.
Bela mendorong tangan Deva menjauh. "Jangan sentuh aku!" kata Bela. Deva menurut dan langsung duduk di samping Bela.
Di meja makan, Seno sudah duduk di sana. Mata Seno berbinar menatap Bela dan Deva. Ada sesuatu yang Seno ingin tanyakan kepada pengantin baru tadi pagi. Tapi akungnya, itu harus ditunda. Sebelum makan siang disajikan di meja makan, Seno membuka suaranya, "Apa kabar sekarang, Bela? Apakah tidak apa-apa?" Seno berbasa-basi dulu.
"Seperti yang terlihat," jawab Bela ketus. Randi mengangguk mendengarnya. Deva hanya mendengarkan.
"Hm… apa yang membuatmu sakit seperti ini?" Alis Seno terangkat. Namun, Bela tidak menjawabnya. Seno kembali melontarkan pertanyaan, bukan ke Bela tapi Deva.
"Deva, bagaimana malam pertamamu? Apa yang kamu lakukan sampai membuat putriku sakit seperti ini, ya?" Setelah melontarkan pertanyaan itu, Seno tertawa. "Seharusnya jangan sampai berlarut-larut agar Bela tidak cepat lelah seperti kata dokter!" tambah Seno lagi.
Deva menoleh ke Bela. Sementara Bela menatap kosong ke meja. Matanya memanas lagi. Perlahan air mata jatuh dari mata Bela. Bela tidak tahu apakah dirinya masih perawan atau tidak. Bela benar-benar tidak tahu apakah dia masih perawan. karena tadi malam saat Bela bangun dia sudah ganti baju, yang diganti Deva. Bela tak percaya dengan penjelasan yang diberikan Deva tadi malam. Bisa jadi Deva hanya mengatakan itu karena tidak ingin dia marah.
"Bela, kenapa kamu menangis? Oh, aku tahu, kamu pemalu, bukan?" Tawa Seno terdengar. Rasanya hati Bela semakin remuk. Bela tidak bisa memahami ayahnya. Seno biasanya merelakan putrinya dengan mudah begitu saja.
Bela menyeka air matanya. "Apa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan? Jika tidak ada, ayah harus diam," kata Bela tegas.
Randi terkekeh mendengar perkataan Bela. Bela menatapnya menggoda. "Oke, Ayah mengerti kalau kamu pemalu kan?"
"Em…Ayah, bagaimana kabar perusahaanmu sekarang? Hm, apakah Bela akan bekerja di perusahaan Ayah nanti?" tanya Deva mengubah topik. Dia tahu Bela tidak suka topik pembicaraan. Deva bisa melihat dari raut wajah Bela bahwa gadis itu tidak menerima pernikahan mereka. Tapi Deva yakin lama kelamaan Bela bisa menerima pernikahan itu.
"Perusahaannya berkembang dengan baik. Sejak tadi malam banyak klien yang datang. Tidak, aku serahkan urusan Bela kepada kamu, Deva," jawab Seno bangga.
"Syukurlah, aku senang mendengarnya. Terima kasih sudah mempercayakan Bela kepadaku." Saat mengucapkan kalimat terakhir Deva menatap Bela yang juga menatap Deva sambil menangis.
Selesai makan siang, Bela dan Deva kembali ke kamar. Bela tetap tidak menghiraukan Deva, bahkan saat Deva menelpon, Bela tidak menjawab. Bela segera duduk di kursi mejanya. Laptop yang tertutup itu langsung dibuka oleh Bela. Bela berniat menghiburnya. Setelah layar di depan Bela menyala, tak butuh waktu lama bagi Bela untuk segera mencari film kesukaannya. "Rena, aku ingin bicara denganmu," kata Deva yang duduk di tepi tempat tidur sambil melihat punggung Bela. Bela terkekeh. "Lagipula apa lagi? Tidak bisakah kau tidak menggangguku untuk sementara waktu?" kata Bela kesal. Deva menghela nafas panjang, lalu laki-laki yang merupakan suami Bela itu berdiri dari duduknya dan menghampiri Bela. Deva menyandarkan tubuhnya ke meja belajar Bela. "Aku akan mengajakmu berbulan madu," kata Deva. Bela menatap Deva dengan mulut menganga, mata Bela membulat. Rana sepertinya tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Halo! Kamu gila. Aku tidak menerima pernikahan ini, kenapa
Bela menatap takjub restoran di depannya. Ameera belum pernah menemukan restoran dengan desain seunik ini. Tak lama kemudian, Bela langsung masuk ke dalam restoran dan meninggalkan Deva yang berdiri di belakangnya. "Bela tunggu!" perintah Deva. Namun, Bela adalah gadis yang keras kepala. Panggilan dari suaminya yang Bela abaikan begitu saja. Ia tetap memilih masuk ke dalam restoran tanpa menghiraukan Deva. Adapun Deva, pria itu langsung mengikuti langkah Bela. Restorannya tidak terlalu ramai, jadi masih banyak meja kosong. Bela langsung pergi ke meja dekat jendela. Sesampainya di meja Bela langsung duduk dan juga disusul oleh Deva. Melihat Deva duduk, Bela menatap pria itu dengan tidak suka. "Aku tidak ingin duduk denganmu, jangan duduk di sana!" kata Bela dengan nada sedikit kesal. Deva terkejut, namun Deva langsung menetralkan ekspresi wajahnya. “Aku suamimu,” tegur Deva pada Bela. Bela memutar matanya dengan malas dan menghela nafas panjang. "Teruslah mengatakan
Rencana belajar Air mata Bela jatuh lagi. Sekeras apapun Bela menahannya, rasa sakit di hatinya tetap ada. Di dalam Bela, gadis itu ingin berteriak untuk melepaskan sesak di dadanya. Masih setia menatap laut lepas, Bela berkata, "Aku benci hidup ini! Aku benci!" teriak Bela dengan suara teredam. "Bela sayang, ayo duduk!" Suara Deva kembali terdengar di telinga Bela. Deva pun memanggil Bela dari belakang berkali-kali, namun Bela enggan menoleh dan menjawab perkataan Deva. Gadis itu masih sibuk mengeluarkan air matanya agar dadanya terasa lebih lega. Deva tidak diam, dia menatap Bela yang tidak menoleh dan tidak bergerak sama sekali. Akhirnya Deva memilih mendekati Bela lagi dan menyentuh bahu Bela. "Bela," panggil Deva. Mata Deva menyipit saat melihat Bela memejamkan mata dan menangis. "Apa yang kamu lakukan sayang?" Usai pertanyaan dilontarkan Deva, Bela menepis tangan Deva dan menjauh sedikit. Bela tidak mau berhenti menangis. Dia masih ingin melepaskan sesak di dada
Bela ke kantor Deva Bela yang diminta menoleh ke Deva. "Kamu bajingan, yah...," jawab Bela sambil menjulurkan lidahnya. Karena respon yang diberikan Bela, Deva hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Meski tingkah Bela begitu kekanak-kanakan, ia bisa membuatnya merasa sedang dan nyaman saat berada di dekat Bela. Setelah percakapan itu, tidak ada percakapan lagi. Bela sibuk menonton film yang diputar di layar ponselnya sementara Deva fokus ke jalan di depan. Selang beberapa menit, mobil Deva akhirnya berhenti. Bela menoleh ke kiri. Alis Bela berkerut saat mengetahui mobil mereka berhenti di gerbang bukannya masuk ke dalam. Meski begitu, dengan wajah cemberut, Bela menoleh ke arah Deva. "Rumah siapa ini? Kemana kita akan pergi?" tanya Bela yang tidak tahu rumah di sebelah mobil Deva. “Rumahku,” jawab Deva sambil melepas sabuk pengamannya. Bela menjadi penasaran. "Mengapa kita berhenti di sini? Mengapa tidak parkir di dalam?" Bela bertanya lagi. Deva tersenyum p
Jatuh "Tidak, saya tidak bisa membiarkan mimpi saya memudar begitu saja. Saya harus pergi ke luar negeri," kata Bela, salah satu impian Bela adalah pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Bela segera bangkit dari tempat tidurnya. Gadis yang masih mengenakan baju tidurnya melangkah menuju meja tempat Deva meletakkan laptopnya. Bela duduk di kursi yang ada. Sekali lagi Bela menyeka air mata yang tersisa. Setelah itu, dia mulai mengetik sesuatu di halaman pencarian laptopnya. Hatinya hancur karena tidak diterima di perguruan tinggi sebelumnya, berusaha mendorong Bela untuk mencari universitas lain di luar negeri. Mata Bela kembali terfokus pada layar laptop. Dia dengan hati-hati membaca setiap artikel yang menjelaskan universitas di luar negeri yang akan dia hadiri. "Aku harus masuk ke sini," gumam Bela. Puas dengan apa yang dia cari, Bela membalik laptopnya ke menu utama dan mematikan laptopnya. Kemudian Bela menutup laptop yang sudah tidak digunakannya lagi. Dia
Ke taman Deva menopang dagunya dengan kedua tangan. “Kamu harus banyak makan makanan yang bergizi, Sayang. Aku tidak ingin ayahku tahu kalau kamu tidak bertambah gemuk atau kurus,” jawab Deva yang menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya pada Rena. Mendengar jawaban dari Deva, Rena memutar bola matanya malas. Dia tidak bisa mengerti suaminya. "Saya tidak mau berat badan naik, dan kalau saya paksakan perut saya yang sudah kenyang nanti saya muntahkan lagi," jelas Rena kepada Deva. Deva mengangguk mendengar perkataan Rena. Deva senang mendengar suara Rena yang berceloteh. Deva ingin terus menggoda Rena agar gadis itu terus mengoceh. Namun, Deva juga merasa kasihan pada Rena jika terus dibuat kesal. “Ya, baiklah,” jawab Deva. Lalu Deva menoleh ke pengurus rumah tak jauh dari meja makan. “Mbak, satu jam lagi sudah beres,” kata Deva kepada pengurus rumah. Pengurus rumah tangga berbalik dan mengangguk. "Ya pak." Deva kembali menatap Rena. "Ke taman lagi yuk! Cari udara segar sambil ng
Batal pergi Pintu Bela yang tidak dikunci dibuka oleh Deva. Pria itu segera memasuki ruangan. Sedangkan Bela hanya menatap Deva dengan tatapan datar, seolah tak ada semangat untuk pergi ke luar negeri. "Ya ampun, Bela. Jam berapa sekarang? Mengapa kamu masih duduk di tempat tidur? Apakah kamu sakit?" kata Deva sambil berjalan menghampiri Bela. Bela menggelengkan kepalanya. Membayangkan hidupnya tanpa Deva membuat hatinya terasa berat. Bela merasa Deva harus ikut dengannya. "Apakah kamu tidak ikut denganku?" Bela bertanya untuk kesekian kalinya. Lukas menarik napas dalam-dalam. "Tidak Bela. Saya punya banyak pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Saya akan sering mengunjungimu. Lagipula, kenapa kamu selalu menanyakan itu?" Alis Deva terangkat. Pria itu menatap Bela dengan pandangan panjang. "Tidak! Saya tidak ingin pergi!" kata Bela dengan suara tegas. Pernyataan Bela membuat Deva bingung dan tidak percaya. "Apa katamu?" Deva meminta Bela mengulangi kata-katanya aga
Cemburu “Halo, Pak,” sapa pegawai Deva. "Iya, halo. Oke, tunggu sebentar! Saya duluan," kata Deva yang langsung menjauhkan ponsel dari telinganya. Deva langsung mematikan sambungan telepon. "Saya tinggal dulu ya. Karyawan saya sudah datang ke sini," kata Deva sambil berdiri dari tempat duduknya. Bela menanggapi kata-kata Deva dengan berdehem. Setelah itu Deva berdiri dari duduknya dan meninggalkan Bela. Bela yang tertinggal berbalik dan melihat punggung Deva yang jauh. Bela mengatur ulang posisi duduknya. Dia kemudian bersandar di kursi. Ia menatap air kolam yang tenang. Rasa hening dan sepi pun terasa menghampiri Bela. “Rumah ini juga sepi. Rasanya sepi sekali kalau tidak ribut dengan Mas Deva,” gumam Bela pada dirinya sendiri. Mendengar suara dari ruang tamu, Bela menoleh lagi. Kebetulan letak kolam renang dan ruang tamu di rumah Deva sejajar. Bela bisa langsung melihat siapa tamunya. Kening Bela sedikit berkerut saat melihat seorang pegawai wanita Deva datang di ten