Share

Bab 4. Bela Demam

 Malam telah berganti pagi. Sinar matahari yang menembus dari lubang ventilasi masuk ke kamar Bela. Bela sama sekali tidak terganggu. Selimut semakin ditarik menutupi tubuh mungil Bela.

 "Bela, kamu belum bangun?" tanya Deva saat mendapati Bela menarik selimut menutupi tubuhnya. Bela terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Deva.

 Saat Deva hendak melepas selimut yang menutupi tubuh Bela, Bela menahan selimut itu di tempatnya. Dengan membelakangi Deva, Bela bergumam, "Pergi! Tinggalkan aku! Aku tidak mau diganggu." Suara Bela terdengar begitu serak.

 Bela merasakan tubuhnya dingin dan menggigil. Suhu tubuh Bela juga lebih panas dari biasanya. Kepala Bela juga terasa sangat pusing, sementara matanya seperti lem, tidak mau terbuka.

 "Bela, apa yang kamu lakukan?" tanya Deva saat melihat tubuh Bela yang diselimuti selimut menggigil.

 Terdengar ketukan di pintu kamar Bela, membuat Deva menoleh ke arah pintu, namun tidak dengan Bela yang masih setia menutupi dirinya dengan selimut tebal. Deva segera turun dari tempat tidur dan membuka pintu.

 “Maaf pak mengganggu waktu. Bapak sudah menunggu di meja makan,” kata pengurus rumah setelah Deva membuka pintu kamar.

 Deva menoleh ke tempat tidurnya. Menatap Bela yang sepertinya tidak bergerak sama sekali. Setelah itu Deva kembali menemui asisten rumah tangga. "Maaf, katakan pada Ayah bahwa kita berdua tidak bisa sarapan bersama! Terima kasih," kata Deva menjelaskan.

 “Baik, Pak,” jawab pengurus rumah yang kemudian pergi ke depan kamar Bela. Setelah asisten rumah tangga pergi, Deva kembali menutup pintu dan menghampiri Bela. Dia mengusap kepala Bela dengan lembut.

 "Bela, kamu demam," seru Deva saat merasakan suhu tubuh Bela sangat panas. Bela yang menggigil terdiam tak menanggapi perkataan Deva.

 Tak lama kemudian, dengan bibir gemetar, Bela berkata, "Tolong matikan AC! Buka jendela! Biarkan sinar matahari masuk!" Ucapan Bela itu langsung dianggukkan oleh Deva. Deva bergegas melakukan apa yang Bela suruh. Setelah itu, Deva langsung mencari ponselnya. Dia memanggil dokter swasta untuk datang memeriksa Bela.

 "Bisakah kamu meminta pembantu rumah tangga untuk membuatkanku teh hangat!" tanya Bela yang masih memejamkan matanya. Bela tidak tidur. Dia masih bisa mendengar suara-suara di sekitarnya. Namun, tak lama kemudian Bela memaksa matanya untuk terbuka.

 "Oke, aku akan memberitahunya untuk membawakanmu teh hangat!" kata Deva dengan tatapan yang terlihat begitu khawatir. Setelah itu Deva keluar kamar mencari asisten rumah tangga keluarga Bela.

 Sepeninggal Deva, Bela berusaha bangun dari tidurnya. Kepala Bela terasa sangat pusing. Bela ingin pindah tempat tidur. Tempat tidurnya tadi malam begitu panas hingga membuat Bela tidak nyaman. Perlahan Bela menggeser tubuhnya ke sisi lain tempat tidur—yang digunakan Deva tadi malam.

 Bela menoleh ke arah pintu kamar yang tiba-tiba terbuka. Di sana dia melihat Deva, seorang pembantu rumah tangga, seorang dokter, dan ayahnya. Namun, Bela tidak peduli. Dia memilih berbaring lagi dengan hati-hati.

Seno mendekati Bela. "Bela," panggil Seno sambil meletakkan punggung tangannya di dahi Bela. Namun, tak lama kemudian sang ayah menempelkannya di kening Bela, Bela menepis tangan Seno. Dia tidak ingin Seno menyentuhnya. Hati Bela sudah dibuat sakit dan hancur oleh Seno. Pria yang dicintainya, yang tega menghancurkan masa depan putrinya demi menyelamatkan perusahaan, Bela benci itu.

 "Jangan dekati aku!" kata Bela, menggigil.

 "Tubuhmu panas sekali," komentar Seno. "Dokter, cepat peeriksa putriku!" Seno memerintahkan dokter untuk segera memeriksa Bela.

 Pemeriksaan diadakan, tetapi Bela menolak. "Biarkan aku mati!" teriak Bela. Deva yang baru saja bertemu dengan Bela begitu menyadari sifat keras kepala gadis itu. Deva dengan lembut membujuk Bela, begitu juga dengan dokter yang dengan lembut membujuk Bela, akhirnya Bela mau diperiksa dan diberi obat.

 "Tubuhnya sangat lemah. Tidak ada asupan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Bela juga terlihat kelelahan. Sekarang biarkan dia istirahat dulu! Setengah jam lagi tolong beri Bela bubur," jelas dokter. Bela hanya mendengarkannya sambil memejamkan mata.

 "Kalau begitu aku permisi, oke? Ini obat penurun demam dan pereda nyeri." Dokter menyerahkan obat itu kepada Deva. Deva dengan sigap menerima obat tersebut dan mendengarkan penjelasan dokter tentang aturan minum obat untuk Bela. Setelah menjelaskan dan memberikan obat, dokter berpamitan untuk pulang. Kini di kamar tinggal Deva, Bela, dan Seno.

 "Bela, cepat sembuh nak!" Seno mendoakan Bela. Sementara gadis yang didoakan itu hanya diam saja.

 Seno menepuk pundak Deva. "Aku keluar dulu, kamu urus Bela dulu, oke?" kata Seno kepada Deva.

 Kepala Deva mengangguk. “Oke,” jawab Deva singkat. Setelah itu Seno keluar dari kamar Bela.

 Deva menoleh ke arah tubuh Bela yang masih tertutup selimut. Kemudian Deva mendekati tempat tidur dan duduk di tepi tempat tidur. Satu tangan Deva mencoba menyentuh tubuh Bela. "Bela, kamu tidur?" tanya Deva. Bela mendengarnya, tapi gadis itu memilih diam.

 ***

 Sore harinya, Bela merasa sakit kepalanya sudah berkurang, dan suhu tubuhnya yang tinggi juga menurun. Tapi Bela masih merasa lemas, dia enggan pergi mandi. Sekarang Bela sedang bermain di ponselnya untuk hiburan.

 "Bela." Panggilan itu membuat Bela menoleh ke arah pintu kamar tidurnya. Terlihat Deva yang sedang tersenyum pada Bela. Senyum Deva tidak dibalas oleh Bela. Ia hanya menatap Deva sekilas, lalu kembali fokus pada layar ponselnya.

 Deva menghela nafas panjang melihat sikap Bela yang masih cuek. "Aku suamimu, Bela. Tak bisakah kau bersikap lebih baik padaku?" tanya Deva.

 Bela segera meletakkan ponselnya di tempat tidur. Dia menatap Deva dengan kesal. "Menurutku lebih baik diam dan tidak berbicara denganmu. Daripada aku berbicara tapi menyentuh perasaanmu," jawab Bela. Kemudian Bela memilih untuk bangun dari tempat tidur.

 "Bela," panggil Deva saat Bela melewatinya. "Kamu masih sakit, hati-hati!" Deva mengenang Bela. Namun, Bela tak menghiraukan perkataan Deva.

 Tubuh Bela yang masih lemas membawanya ke lantai dasar. Bela langsung duduk dan memegangi kepalanya saat sampai di meja makan. Sedangkan Deva sempat mengikuti Bela dari belakang.

 "Kamu baik-baik saja, Ren?" tanya Deva sambil menyentuh pundak Bela.

 Bela mendorong tangan Deva menjauh. "Jangan sentuh aku!" kata Bela. Deva menurut dan langsung duduk di samping Bela.

Di meja makan, Seno sudah duduk di sana. Mata Seno berbinar menatap Bela dan Deva. Ada sesuatu yang Seno ingin tanyakan kepada pengantin baru tadi pagi. Tapi akungnya, itu harus ditunda. Sebelum makan siang disajikan di meja makan, Seno membuka suaranya, "Apa kabar sekarang, Bela? Apakah tidak apa-apa?" Seno berbasa-basi dulu.

 "Seperti yang terlihat," jawab Bela ketus. Randi mengangguk mendengarnya. Deva hanya mendengarkan.

 "Hm… apa yang membuatmu sakit seperti ini?" Alis Seno terangkat. Namun, Bela tidak menjawabnya. Seno kembali melontarkan pertanyaan, bukan ke Bela tapi Deva.

 "Deva, bagaimana malam pertamamu? Apa yang kamu lakukan sampai membuat putriku sakit seperti ini, ya?" Setelah melontarkan pertanyaan itu, Seno tertawa. "Seharusnya jangan sampai berlarut-larut agar Bela tidak cepat lelah seperti kata dokter!" tambah Seno lagi.

 Deva menoleh ke Bela. Sementara Bela menatap kosong ke meja. Matanya memanas lagi. Perlahan air mata jatuh dari mata Bela. Bela tidak tahu apakah dirinya masih perawan atau tidak. Bela benar-benar tidak tahu apakah dia masih perawan. karena tadi malam saat Bela bangun dia sudah ganti baju, yang diganti Deva. Bela tak percaya dengan penjelasan yang diberikan Deva tadi malam. Bisa jadi Deva hanya mengatakan itu karena tidak ingin dia marah.

 "Bela, kenapa kamu menangis? Oh, aku tahu, kamu pemalu, bukan?" Tawa Seno terdengar. Rasanya hati Bela semakin remuk. Bela tidak bisa memahami ayahnya. Seno biasanya merelakan putrinya dengan mudah begitu saja.

 Bela menyeka air matanya. "Apa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan? Jika tidak ada, ayah harus diam," kata Bela tegas.

 Randi terkekeh mendengar perkataan Bela. Bela menatapnya menggoda. "Oke, Ayah mengerti kalau kamu pemalu kan?"

 "Em…Ayah, bagaimana kabar perusahaanmu sekarang? Hm, apakah Bela akan bekerja di perusahaan Ayah nanti?" tanya Deva mengubah topik. Dia tahu Bela tidak suka topik pembicaraan. Deva bisa melihat dari raut wajah Bela bahwa gadis itu tidak menerima pernikahan mereka. Tapi Deva yakin lama kelamaan Bela bisa menerima pernikahan itu.

 "Perusahaannya berkembang dengan baik. Sejak tadi malam banyak klien yang datang. Tidak, aku serahkan urusan Bela kepada kamu, Deva," jawab Seno bangga.

 "Syukurlah, aku senang mendengarnya. Terima kasih sudah mempercayakan Bela kepadaku." Saat mengucapkan kalimat terakhir Deva menatap Bela yang juga menatap Deva sambil menangis.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Laurencia Vicky
nama nya berubah² mulu ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status