Jatuh "Tidak, saya tidak bisa membiarkan mimpi saya memudar begitu saja. Saya harus pergi ke luar negeri," kata Bela, salah satu impian Bela adalah pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Bela segera bangkit dari tempat tidurnya. Gadis yang masih mengenakan baju tidurnya melangkah menuju meja tempat Deva meletakkan laptopnya. Bela duduk di kursi yang ada. Sekali lagi Bela menyeka air mata yang tersisa. Setelah itu, dia mulai mengetik sesuatu di halaman pencarian laptopnya. Hatinya hancur karena tidak diterima di perguruan tinggi sebelumnya, berusaha mendorong Bela untuk mencari universitas lain di luar negeri. Mata Bela kembali terfokus pada layar laptop. Dia dengan hati-hati membaca setiap artikel yang menjelaskan universitas di luar negeri yang akan dia hadiri. "Aku harus masuk ke sini," gumam Bela. Puas dengan apa yang dia cari, Bela membalik laptopnya ke menu utama dan mematikan laptopnya. Kemudian Bela menutup laptop yang sudah tidak digunakannya lagi. Dia
Ke taman Deva menopang dagunya dengan kedua tangan. “Kamu harus banyak makan makanan yang bergizi, Sayang. Aku tidak ingin ayahku tahu kalau kamu tidak bertambah gemuk atau kurus,” jawab Deva yang menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya pada Rena. Mendengar jawaban dari Deva, Rena memutar bola matanya malas. Dia tidak bisa mengerti suaminya. "Saya tidak mau berat badan naik, dan kalau saya paksakan perut saya yang sudah kenyang nanti saya muntahkan lagi," jelas Rena kepada Deva. Deva mengangguk mendengar perkataan Rena. Deva senang mendengar suara Rena yang berceloteh. Deva ingin terus menggoda Rena agar gadis itu terus mengoceh. Namun, Deva juga merasa kasihan pada Rena jika terus dibuat kesal. “Ya, baiklah,” jawab Deva. Lalu Deva menoleh ke pengurus rumah tak jauh dari meja makan. “Mbak, satu jam lagi sudah beres,” kata Deva kepada pengurus rumah. Pengurus rumah tangga berbalik dan mengangguk. "Ya pak." Deva kembali menatap Rena. "Ke taman lagi yuk! Cari udara segar sambil ng
Batal pergi Pintu Bela yang tidak dikunci dibuka oleh Deva. Pria itu segera memasuki ruangan. Sedangkan Bela hanya menatap Deva dengan tatapan datar, seolah tak ada semangat untuk pergi ke luar negeri. "Ya ampun, Bela. Jam berapa sekarang? Mengapa kamu masih duduk di tempat tidur? Apakah kamu sakit?" kata Deva sambil berjalan menghampiri Bela. Bela menggelengkan kepalanya. Membayangkan hidupnya tanpa Deva membuat hatinya terasa berat. Bela merasa Deva harus ikut dengannya. "Apakah kamu tidak ikut denganku?" Bela bertanya untuk kesekian kalinya. Lukas menarik napas dalam-dalam. "Tidak Bela. Saya punya banyak pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Saya akan sering mengunjungimu. Lagipula, kenapa kamu selalu menanyakan itu?" Alis Deva terangkat. Pria itu menatap Bela dengan pandangan panjang. "Tidak! Saya tidak ingin pergi!" kata Bela dengan suara tegas. Pernyataan Bela membuat Deva bingung dan tidak percaya. "Apa katamu?" Deva meminta Bela mengulangi kata-katanya aga
Cemburu “Halo, Pak,” sapa pegawai Deva. "Iya, halo. Oke, tunggu sebentar! Saya duluan," kata Deva yang langsung menjauhkan ponsel dari telinganya. Deva langsung mematikan sambungan telepon. "Saya tinggal dulu ya. Karyawan saya sudah datang ke sini," kata Deva sambil berdiri dari tempat duduknya. Bela menanggapi kata-kata Deva dengan berdehem. Setelah itu Deva berdiri dari duduknya dan meninggalkan Bela. Bela yang tertinggal berbalik dan melihat punggung Deva yang jauh. Bela mengatur ulang posisi duduknya. Dia kemudian bersandar di kursi. Ia menatap air kolam yang tenang. Rasa hening dan sepi pun terasa menghampiri Bela. “Rumah ini juga sepi. Rasanya sepi sekali kalau tidak ribut dengan Mas Deva,” gumam Bela pada dirinya sendiri. Mendengar suara dari ruang tamu, Bela menoleh lagi. Kebetulan letak kolam renang dan ruang tamu di rumah Deva sejajar. Bela bisa langsung melihat siapa tamunya. Kening Bela sedikit berkerut saat melihat seorang pegawai wanita Deva datang di ten
Bela menatap Deva dengan tatapan kesal. Mengingat kejadian tadi malam membuat dada Bela sesak. Mata Bela memanas, namun Bela berusaha sekuat tenaga menahan air matanya. Bela masih belum mau bicara dengan Deva. Bela segera menarik tangannya dari genggaman Deva. Kemudian Bela berjalan menaiki tangga dan masuk ke kamar. Sedangkan Deva mengikuti Bela dari belakang. Sesampainya di kamar Bela, ia langsung duduk di tepi tempat tidur, Deva pun duduk di samping Bela. Deva meraih kedua tangan Bela dan mencengkeramnya. Deva mencium tangan Bela secara bergantian. “Sayang, ada apa? Sama cerita dengan saya. Kalau ada masalah, kita cari solusinya,” kata Deva. Suara Deva begitu lembut. Bahkan tidak ada sedikit pun kemarahan saat dia berbicara. Deva begitu sabar menghadapi Bela. Bela mengatupkan bibirnya, menatap Deva dengan tatapan yang sama, kesal. "Jadi itu alasan kamu langsung mengizinkanku belajar di luar negeri," kata Bela membuka suaranya. Suara Bela bergetar. Deva yang tidak
Di depannya, Bela hanya bisa melihat tiga lilin menyala di tanah. Di depan begitu gelap. Dengan terus memanggil Deva, Bela melihat sekelilingnya. Hanya kegelapan yang didapat Bela. Jantung Bela mulai berdetak kencang. Dia benar-benar ketakutan. ''Deva, dimana?'' teriak Bela. Air mata Bela ingin keluar, namun Bela berusaha sekuat tenaga menahan air matanya. "Deva," kata Bela dengan suara bergetar. "Aku disini." Bela mendengar suara balasan Deva. Bela mencoba melihat ke arah sumber suara. Namun, dia tidak bisa melihat karena sangat gelap. Bela juga tidak mau beranjak dari tempatnya berdiri, dia sangat ketakutan. "Di mana, Sayang?" teriak Bela. "Di Sini." Bersamaan dengan suara balasan Deva, sekeliling Bela menjadi cerah. Setelah mengetahui keberadaan Deva, Bela berbalik dan melihat sekelilingnya. Perasaan sedih, takut, dan kesal terhadap Deva sirna seketika. Ia begitu terpana dengan kejutan yang diberikan oleh Deva. Bahkan saat lampu dinyalakan pertama kali, suara
Meski awalnya sakit, Bela tidak marah. Karena Deva bisa membuat Bela akhirnya puas. "Bela, kamu milikku satu-satunya," kata Bela. Bela menjawab sambil tersenyum. Lalu mendaratkan bibirnya di pipi Deva. Mereka kemudian tertidur di balik selimut dan berpelukan. * Keesokan harinya, Bela dan Deva sudah siap memulai hari. Bela manja saat pergi ke meja makan. Tangannya meraih tangan Deva dan menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. "Istri saya sangat manja," goda Deva. "Biarkan saja. Aku tidak bisa? Jika aku tidak bisa melepaskannya," jawab Bela. "Ya, tidak apa-apa. Ayo sarapan dulu, ayo!" ajak Deva. "Aku senang melihat Pak Deva dan Bu Bela romantis seperti ini. Semoga selalu seperti ini ya!" kata pengurus rumah. Dia senang melihat majikannya rukun. Karena biasanya dia melihat majikannya sering berkelahi. Saya tidak tahu apakah ada yang salah dengan itu. Namun kini melihat Bela tersenyum dan memanjakan Deva membuatnya yakin Bela bisa menerima pernikahan itu. "Sayang, aku
Mendaftar kuliah"Maaf Pak. Tadi saya ketok pintu. Karena sekretaris Bapak menelepon beberapa kali, katanya minta Bapak Deva mengangkat telepon. Maaf kalau mengganggu istirahat Bapak," kata pengurus rumah. "Tidak apa-apa. Terima kasih sudah mengingatkanku. Oh iya, nanti aku minta tolong. Bela akan memberitahumu saat aku berangkat kerja, oke!" tanya Deva dan langsung menuju ke kantor. Asisten rumah tangga menggelengkan kepalanya. Dia merasa majikannya konyol Karena baru saja membeli sofa tantra dan bangun kesiangan. Bahkan majikan perempuannya masih belum bangun. Beberapa jam kemudian Bela akhirnya terbangun. Dia menyadari bahwa suaminya tidak ada di sisinya. "Jam berapa?" gumam Bela sambil menunduk melihat jam di dinding dengan mengucek matanya. Dia terkejut bahwa itu sudah jam sepuluh sore. Dia mengumpulkan nyawanya dan bersiap untuk mandi Karena pergumulan tadi malam dengan Deva. Dia juga baru ingat bahwa dia tidak memakai pakaian dan hanya memiliki selimut. Perut Ren terasa sa