Bela menatap Deva dengan tatapan kesal. Mengingat kejadian tadi malam membuat dada Bela sesak. Mata Bela memanas, namun Bela berusaha sekuat tenaga menahan air matanya. Bela masih belum mau bicara dengan Deva. Bela segera menarik tangannya dari genggaman Deva. Kemudian Bela berjalan menaiki tangga dan masuk ke kamar. Sedangkan Deva mengikuti Bela dari belakang. Sesampainya di kamar Bela, ia langsung duduk di tepi tempat tidur, Deva pun duduk di samping Bela. Deva meraih kedua tangan Bela dan mencengkeramnya. Deva mencium tangan Bela secara bergantian. “Sayang, ada apa? Sama cerita dengan saya. Kalau ada masalah, kita cari solusinya,” kata Deva. Suara Deva begitu lembut. Bahkan tidak ada sedikit pun kemarahan saat dia berbicara. Deva begitu sabar menghadapi Bela. Bela mengatupkan bibirnya, menatap Deva dengan tatapan yang sama, kesal. "Jadi itu alasan kamu langsung mengizinkanku belajar di luar negeri," kata Bela membuka suaranya. Suara Bela bergetar. Deva yang tidak
Di depannya, Bela hanya bisa melihat tiga lilin menyala di tanah. Di depan begitu gelap. Dengan terus memanggil Deva, Bela melihat sekelilingnya. Hanya kegelapan yang didapat Bela. Jantung Bela mulai berdetak kencang. Dia benar-benar ketakutan. ''Deva, dimana?'' teriak Bela. Air mata Bela ingin keluar, namun Bela berusaha sekuat tenaga menahan air matanya. "Deva," kata Bela dengan suara bergetar. "Aku disini." Bela mendengar suara balasan Deva. Bela mencoba melihat ke arah sumber suara. Namun, dia tidak bisa melihat karena sangat gelap. Bela juga tidak mau beranjak dari tempatnya berdiri, dia sangat ketakutan. "Di mana, Sayang?" teriak Bela. "Di Sini." Bersamaan dengan suara balasan Deva, sekeliling Bela menjadi cerah. Setelah mengetahui keberadaan Deva, Bela berbalik dan melihat sekelilingnya. Perasaan sedih, takut, dan kesal terhadap Deva sirna seketika. Ia begitu terpana dengan kejutan yang diberikan oleh Deva. Bahkan saat lampu dinyalakan pertama kali, suara
Meski awalnya sakit, Bela tidak marah. Karena Deva bisa membuat Bela akhirnya puas. "Bela, kamu milikku satu-satunya," kata Bela. Bela menjawab sambil tersenyum. Lalu mendaratkan bibirnya di pipi Deva. Mereka kemudian tertidur di balik selimut dan berpelukan. * Keesokan harinya, Bela dan Deva sudah siap memulai hari. Bela manja saat pergi ke meja makan. Tangannya meraih tangan Deva dan menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. "Istri saya sangat manja," goda Deva. "Biarkan saja. Aku tidak bisa? Jika aku tidak bisa melepaskannya," jawab Bela. "Ya, tidak apa-apa. Ayo sarapan dulu, ayo!" ajak Deva. "Aku senang melihat Pak Deva dan Bu Bela romantis seperti ini. Semoga selalu seperti ini ya!" kata pengurus rumah. Dia senang melihat majikannya rukun. Karena biasanya dia melihat majikannya sering berkelahi. Saya tidak tahu apakah ada yang salah dengan itu. Namun kini melihat Bela tersenyum dan memanjakan Deva membuatnya yakin Bela bisa menerima pernikahan itu. "Sayang, aku
Mendaftar kuliah"Maaf Pak. Tadi saya ketok pintu. Karena sekretaris Bapak menelepon beberapa kali, katanya minta Bapak Deva mengangkat telepon. Maaf kalau mengganggu istirahat Bapak," kata pengurus rumah. "Tidak apa-apa. Terima kasih sudah mengingatkanku. Oh iya, nanti aku minta tolong. Bela akan memberitahumu saat aku berangkat kerja, oke!" tanya Deva dan langsung menuju ke kantor. Asisten rumah tangga menggelengkan kepalanya. Dia merasa majikannya konyol Karena baru saja membeli sofa tantra dan bangun kesiangan. Bahkan majikan perempuannya masih belum bangun. Beberapa jam kemudian Bela akhirnya terbangun. Dia menyadari bahwa suaminya tidak ada di sisinya. "Jam berapa?" gumam Bela sambil menunduk melihat jam di dinding dengan mengucek matanya. Dia terkejut bahwa itu sudah jam sepuluh sore. Dia mengumpulkan nyawanya dan bersiap untuk mandi Karena pergumulan tadi malam dengan Deva. Dia juga baru ingat bahwa dia tidak memakai pakaian dan hanya memiliki selimut. Perut Ren terasa sa
Satu minggu kemudian dimana Bela memulai kegiatan kampus dengan pengenalan kampus. Pagi itu Deva mengantar Bela ke kampus. "Baru sampai! Aku mau masuk," kata Bela lalu menyalami Deva. Tak lupa Deva juga mencium kening Bela. Deva menjaga Bela hingga hilang dari pandangan dan akhirnya meninggalkan kampus Bela menuju kantor. Di kampus, Bela masih belum mengenal siapa pun. Dia masih duduk di tempat pengenalan kampus akan diadakan. Tapi seseorang memanggil Bela dari samping. Bela berbalik. Dia menelan ludah. "Parka," kata Bela. "Jadi kamu kuliah disini juga ya? Wah, kebetulan sekali. Aku nggak nyangka kita bisa satu kampus," jawab Parka. Bela sedikit bingung bagaimana mereka bisa sampai di kampus yang sama. "Ya, kamu mengambil jurusan apa?" "Jurusan IPA. Kamu juga kan? Aku melihat daftar nama dengan namamu juga," jawab Parka. "Wah. Satu jurusan. Berarti bisa sering ketemu," pikir Bela. "Kenapa kamu diam? Eh, ayo ke sana, ayo mulai!" mengambil Parka. Bela bingung
"Ya, aku siap." Keesokan harinya Bela bersama May dan Nita. "Bela, ayah kamu galak ya? Sampai kamu takut pulang malam," tanya May. "Ya. Ayahku sangat galak. Aku mungkin tidak bisa kuliah nanti jika aku pulang terlambat," jawab Bela. Mereka bertiga berada di kelas dan akan pergi clubbing. Namun Bela tidak bisa datang bersama kedua temannya karena Deva akan menjemputnya hari ini. May dan Nita sudah lebih dulu meninggalkan Bela. Tapi Parka sepertinya baru mau keluar kelas. "Kamu belum pulang, Bela?" tanya Parka. "Belum," jawab Bela. "Mau aku antar pulang?" Parka membuat penawaran. "Tidak perlu! Terima kasih," Bela menolak. Entah kenapa, Parka terlihat memiliki aura yang lebih dari saat dia masih SMA. Rasanya menyayangkan karena Bela kini sudah menikah dan tidak bisa menikmati masa mudanya untuk bisa pacaran. "Mau menjemput suamimu?" "Ssst! Tolong jangan berisik! Cuma kamu yang tahu kalau aku susah menikah. Tolong jaga rahasiaku ini!" tanya Bela. "Oke, maaf.
Keesokan harinya Bela pergi kuliah bersama Deva. Bela merasa senang karena bisa segera bertemu dengan Parka. Menghabiskan waktu seharian bersama Parka membuat Bela sangat merindukannya. Deva diminta Bela hanya mengantarkan ke mobil. Usai bersalaman dengan Deva, Bela langsung meninggalkan Deva. Deva menggelengkan kepalanya. Tidak menyangka dia akan kalah dari seorang anak laki-laki. Padahal posisinya sebagai CEO dan banyak uang. Bela memilih berkencan dengan pria yang masih kuliah. Tentu saja pemikiran Bela masih dianggap kekanak-kanakan. Karena usianya masih terbilang muda. Jadi pemikirannya juga belum matang. Deva meninggalkan kampus Bela dan langsung menuju ke kantor. Sementara itu, Bela punya janji dengan Parka. Meski waktu kelas masih jam 10, mereka menyempatkan diri untuk mengerjakan tugas bersama. "Hai, Bela. Kamu sudah datang," sapa Parka di gazebo kampus. "Tidak apa-apa. Aku sudah merindukanmu," jawab Bela. "Tugasmu sudah selesai belum? Kalau belum, aku akan m
Bela langsung memanggil asisten rumah tangga untuk membawa Deva ke rumah sakit. Asisten rumah tangga membantu Bela menggendong Deva dan memanggil sopir Deva. Deva terlihat lemah dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Bela khawatir dengan kondisi suaminya. Sesampainya di rumah sakit, Deva langsung diberikan perawatan. Namun sebelumnya sopir Deva mengabarkan bahwa kemarin Deva dirawat di rumah sakit. Tidak diperbolehkan pulang karena kondisinya belum memungkinkan. Namun sang supir mengatakan Deva tidak ingin terlalu lama meninggalkan istrinya sehingga terpaksa harus pulang. Bela tersentuh bahkan mengeluarkan cairan bening dari ujung bawahnya. Ia tak menyangka Deva akan memaksakan diri pulang untuk menemaninya. Tapi Bela sama sekali tidak mempedulikan Deva, bahkan sampai sakit parah. Bela menunggu di depan UGD untuk memastikan kondisi Deva. Lama menunggu dan akhirnya dokter keluar. "Dengan keluarga pasien?" tanya dokter. "Ya, saya istrinya," jawab Bela. “Oh, jadi