Ke taman Deva menopang dagunya dengan kedua tangan. “Kamu harus banyak makan makanan yang bergizi, Sayang. Aku tidak ingin ayahku tahu kalau kamu tidak bertambah gemuk atau kurus,” jawab Deva yang menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya pada Rena. Mendengar jawaban dari Deva, Rena memutar bola matanya malas. Dia tidak bisa mengerti suaminya. "Saya tidak mau berat badan naik, dan kalau saya paksakan perut saya yang sudah kenyang nanti saya muntahkan lagi," jelas Rena kepada Deva. Deva mengangguk mendengar perkataan Rena. Deva senang mendengar suara Rena yang berceloteh. Deva ingin terus menggoda Rena agar gadis itu terus mengoceh. Namun, Deva juga merasa kasihan pada Rena jika terus dibuat kesal. “Ya, baiklah,” jawab Deva. Lalu Deva menoleh ke pengurus rumah tak jauh dari meja makan. “Mbak, satu jam lagi sudah beres,” kata Deva kepada pengurus rumah. Pengurus rumah tangga berbalik dan mengangguk. "Ya pak." Deva kembali menatap Rena. "Ke taman lagi yuk! Cari udara segar sambil ng
Batal pergi Pintu Bela yang tidak dikunci dibuka oleh Deva. Pria itu segera memasuki ruangan. Sedangkan Bela hanya menatap Deva dengan tatapan datar, seolah tak ada semangat untuk pergi ke luar negeri. "Ya ampun, Bela. Jam berapa sekarang? Mengapa kamu masih duduk di tempat tidur? Apakah kamu sakit?" kata Deva sambil berjalan menghampiri Bela. Bela menggelengkan kepalanya. Membayangkan hidupnya tanpa Deva membuat hatinya terasa berat. Bela merasa Deva harus ikut dengannya. "Apakah kamu tidak ikut denganku?" Bela bertanya untuk kesekian kalinya. Lukas menarik napas dalam-dalam. "Tidak Bela. Saya punya banyak pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Saya akan sering mengunjungimu. Lagipula, kenapa kamu selalu menanyakan itu?" Alis Deva terangkat. Pria itu menatap Bela dengan pandangan panjang. "Tidak! Saya tidak ingin pergi!" kata Bela dengan suara tegas. Pernyataan Bela membuat Deva bingung dan tidak percaya. "Apa katamu?" Deva meminta Bela mengulangi kata-katanya aga
Cemburu “Halo, Pak,” sapa pegawai Deva. "Iya, halo. Oke, tunggu sebentar! Saya duluan," kata Deva yang langsung menjauhkan ponsel dari telinganya. Deva langsung mematikan sambungan telepon. "Saya tinggal dulu ya. Karyawan saya sudah datang ke sini," kata Deva sambil berdiri dari tempat duduknya. Bela menanggapi kata-kata Deva dengan berdehem. Setelah itu Deva berdiri dari duduknya dan meninggalkan Bela. Bela yang tertinggal berbalik dan melihat punggung Deva yang jauh. Bela mengatur ulang posisi duduknya. Dia kemudian bersandar di kursi. Ia menatap air kolam yang tenang. Rasa hening dan sepi pun terasa menghampiri Bela. “Rumah ini juga sepi. Rasanya sepi sekali kalau tidak ribut dengan Mas Deva,” gumam Bela pada dirinya sendiri. Mendengar suara dari ruang tamu, Bela menoleh lagi. Kebetulan letak kolam renang dan ruang tamu di rumah Deva sejajar. Bela bisa langsung melihat siapa tamunya. Kening Bela sedikit berkerut saat melihat seorang pegawai wanita Deva datang di ten
Bela menatap Deva dengan tatapan kesal. Mengingat kejadian tadi malam membuat dada Bela sesak. Mata Bela memanas, namun Bela berusaha sekuat tenaga menahan air matanya. Bela masih belum mau bicara dengan Deva. Bela segera menarik tangannya dari genggaman Deva. Kemudian Bela berjalan menaiki tangga dan masuk ke kamar. Sedangkan Deva mengikuti Bela dari belakang. Sesampainya di kamar Bela, ia langsung duduk di tepi tempat tidur, Deva pun duduk di samping Bela. Deva meraih kedua tangan Bela dan mencengkeramnya. Deva mencium tangan Bela secara bergantian. “Sayang, ada apa? Sama cerita dengan saya. Kalau ada masalah, kita cari solusinya,” kata Deva. Suara Deva begitu lembut. Bahkan tidak ada sedikit pun kemarahan saat dia berbicara. Deva begitu sabar menghadapi Bela. Bela mengatupkan bibirnya, menatap Deva dengan tatapan yang sama, kesal. "Jadi itu alasan kamu langsung mengizinkanku belajar di luar negeri," kata Bela membuka suaranya. Suara Bela bergetar. Deva yang tidak
Di depannya, Bela hanya bisa melihat tiga lilin menyala di tanah. Di depan begitu gelap. Dengan terus memanggil Deva, Bela melihat sekelilingnya. Hanya kegelapan yang didapat Bela. Jantung Bela mulai berdetak kencang. Dia benar-benar ketakutan. ''Deva, dimana?'' teriak Bela. Air mata Bela ingin keluar, namun Bela berusaha sekuat tenaga menahan air matanya. "Deva," kata Bela dengan suara bergetar. "Aku disini." Bela mendengar suara balasan Deva. Bela mencoba melihat ke arah sumber suara. Namun, dia tidak bisa melihat karena sangat gelap. Bela juga tidak mau beranjak dari tempatnya berdiri, dia sangat ketakutan. "Di mana, Sayang?" teriak Bela. "Di Sini." Bersamaan dengan suara balasan Deva, sekeliling Bela menjadi cerah. Setelah mengetahui keberadaan Deva, Bela berbalik dan melihat sekelilingnya. Perasaan sedih, takut, dan kesal terhadap Deva sirna seketika. Ia begitu terpana dengan kejutan yang diberikan oleh Deva. Bahkan saat lampu dinyalakan pertama kali, suara
Meski awalnya sakit, Bela tidak marah. Karena Deva bisa membuat Bela akhirnya puas. "Bela, kamu milikku satu-satunya," kata Bela. Bela menjawab sambil tersenyum. Lalu mendaratkan bibirnya di pipi Deva. Mereka kemudian tertidur di balik selimut dan berpelukan. * Keesokan harinya, Bela dan Deva sudah siap memulai hari. Bela manja saat pergi ke meja makan. Tangannya meraih tangan Deva dan menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. "Istri saya sangat manja," goda Deva. "Biarkan saja. Aku tidak bisa? Jika aku tidak bisa melepaskannya," jawab Bela. "Ya, tidak apa-apa. Ayo sarapan dulu, ayo!" ajak Deva. "Aku senang melihat Pak Deva dan Bu Bela romantis seperti ini. Semoga selalu seperti ini ya!" kata pengurus rumah. Dia senang melihat majikannya rukun. Karena biasanya dia melihat majikannya sering berkelahi. Saya tidak tahu apakah ada yang salah dengan itu. Namun kini melihat Bela tersenyum dan memanjakan Deva membuatnya yakin Bela bisa menerima pernikahan itu. "Sayang, aku
Mendaftar kuliah"Maaf Pak. Tadi saya ketok pintu. Karena sekretaris Bapak menelepon beberapa kali, katanya minta Bapak Deva mengangkat telepon. Maaf kalau mengganggu istirahat Bapak," kata pengurus rumah. "Tidak apa-apa. Terima kasih sudah mengingatkanku. Oh iya, nanti aku minta tolong. Bela akan memberitahumu saat aku berangkat kerja, oke!" tanya Deva dan langsung menuju ke kantor. Asisten rumah tangga menggelengkan kepalanya. Dia merasa majikannya konyol Karena baru saja membeli sofa tantra dan bangun kesiangan. Bahkan majikan perempuannya masih belum bangun. Beberapa jam kemudian Bela akhirnya terbangun. Dia menyadari bahwa suaminya tidak ada di sisinya. "Jam berapa?" gumam Bela sambil menunduk melihat jam di dinding dengan mengucek matanya. Dia terkejut bahwa itu sudah jam sepuluh sore. Dia mengumpulkan nyawanya dan bersiap untuk mandi Karena pergumulan tadi malam dengan Deva. Dia juga baru ingat bahwa dia tidak memakai pakaian dan hanya memiliki selimut. Perut Ren terasa sa
Satu minggu kemudian dimana Bela memulai kegiatan kampus dengan pengenalan kampus. Pagi itu Deva mengantar Bela ke kampus. "Baru sampai! Aku mau masuk," kata Bela lalu menyalami Deva. Tak lupa Deva juga mencium kening Bela. Deva menjaga Bela hingga hilang dari pandangan dan akhirnya meninggalkan kampus Bela menuju kantor. Di kampus, Bela masih belum mengenal siapa pun. Dia masih duduk di tempat pengenalan kampus akan diadakan. Tapi seseorang memanggil Bela dari samping. Bela berbalik. Dia menelan ludah. "Parka," kata Bela. "Jadi kamu kuliah disini juga ya? Wah, kebetulan sekali. Aku nggak nyangka kita bisa satu kampus," jawab Parka. Bela sedikit bingung bagaimana mereka bisa sampai di kampus yang sama. "Ya, kamu mengambil jurusan apa?" "Jurusan IPA. Kamu juga kan? Aku melihat daftar nama dengan namamu juga," jawab Parka. "Wah. Satu jurusan. Berarti bisa sering ketemu," pikir Bela. "Kenapa kamu diam? Eh, ayo ke sana, ayo mulai!" mengambil Parka. Bela bingung
Long weekend membuat Deva banyak waktu bersama keluarga nya. Setelah kemarin ikut mengantarkan sang buah hati ke mall untuk ikut lomba menggambar hari ini Deva memiliki rencana untuk ke panti asuhan dimana dulu ia dibesarkan. Deva ingin menanamkan rasa syukur dan berbagi pada kedua buah hatinya. Kalau Indra mungkin belum mengerti tapi saat ini ia ingin mengajak mereka semua untuk ke panti asuhan."Bu, kapan kita berangkat?" tanya Luna yang sedang antusias untuk berangkat ke panti asuhan. Deva memang sudah menyiapkan beberapa hal yang perlu dibawa ke sana seperti paket alat tulis, uang dan juga paket makanan yang akan diberikan pada penghuni panti asuhan dan ia juga sedang bersiap."Iya, tunggu kakek dan nenek. Kalau mereka sudah datang kita berangkat bersama," jawab Bela. Ia sedang bersiap dengan Indra juga. Tak berselang lama ternyata kakek dan neneknya Luna datang."Yey, kakek dan nenek sudah datang," ucap Luna begitu gembira menyambut kedatangan kakek dan nenek nya. "Apakah semu
Saat ini Bela sedang menemani Luna belajar. Luna adalah anak yang suka belajar tanpa disuruh. Bela senang melihat anaknya begitu. Meskipun masih duduk di bangku taman kanak-kanak tapi bakat Luna terlihat yaitu senang menggambar. Bela bangga padanya karena ia juga gigih dan sabar. Bela berencana ingin mencoba mengikuti sebuah perlombaan menggambar yang akan digelar di sebuah mall besar."Luna, besok ada lomba menggambar apa kamu mau ikut?" tanya Bela."Dimana, Bu?" balas Luna."Di mall. Ibu nggak minta kamu untuk bisa menang kok yang penting kamu berani saja itu sudah membuat ibu bangga," jawab Bela mencoba memberikan semangat untuk Luna."Iya, Bu, Luna mau ya? Tapi diantar Ibu ya?" pinta Luna."Ya, tentu saja. Besok kita berangkat sama-sama." Bela pun membiarkan Luna melanjutkan menggambar bunga.Keesokan harinya sesuai janji Bela akan mengantarkan Luna ke mall untuk mengikuti lomba. Perlengkapan seperti pensil warna dan alat lain juga sudah disiapkan. Karena hanya tempat menggambar
Bela sekarang disibukkan dengan mengurus dua anaknya. untung saja Deva selalu menorehkan perhatian lebih kepada Bela. Deva juga selalu membawa pekerjaannya ke rumah untuk menjaga Bela. Deva juga sering mengantar jemput anaknya di sekolah.Seperti saat ini, Deva baru saja pulang dari kantor dengan membawa setumpuk berkas di tangannya. Bela yang berada di teras rumah menatap suaminya dengan tatapan bingung. Setidaknya, Deva bisa mengerjakan berkas itu di kantor. Lagi pula, ini bukan pertama bagi Bela. Deva berjalan mendekat ke arah Bela lalu menaruh beberapa tumpukan berkas itu di meja samping Bela. Deva langsung mengecup kening Bela dengan penuh kasih sayang lalu beralih mengecu kening Indra yang berada di gendongan Bela. “Kenapa kamu membawa banyak tumpukan berkas itu ke rumah? Kamu bisa mengerjakannya di kantor, Dev. Jika seperti ini kamu akan kesusahan nantinya,” ujar Bela. “Tidak. aku tidak akan meninggalkan kamu dengan mengurus dua orang anak sendirian. Aku akan membantu kamu m
“Maaf, Bel. Aku belum bisa ke sana saat ini. Tetapi aku akan segera ke sana. aku menunggu Alvin pulang,” kata May di telepon. Wanita itu memang tengah bertelepon dengan Bela. Tentu saja untuk mengucapkan selamat karena kelahiran anak keduanya. May ikut senang akan hal itu. Tetapi bila bisa jujur, ia juga merasa sedih. Bagaimana tidak? Di saat dia mengharapkan anak kedua, justru takdir berkata lain kepadanya. Siapa pun wanita seperti May tentu saja akan merasa sangat sedih. Bagi May, ini bukan perkara yang mudah. Bohong bila ia berkata, bahwa ia bisa menerima keadaannya saat ini. Dari hari terdalam, May sangat iri dengan sahabatnya itu.“Tidak apa, aku tahu,” jawab Bela. “Hari ini aku juga sudah bisa pulang,” sambung Bela. “Aku ikut senang, Bel. Jika bisa, aku akan mendatangi kamu sendiri ke sana. Tetapi Alvin mau bersama menengok kamu,” kata May. Alvin juga tadi sempat memberi tahu May bahwa Bela hari ini melahirkan. Alvin juga mengajak May untuk menengok keponakannya itu setelah
Dua bulan sudah berlalu, kini May sudah bisa menerima keadaannya. Walau sempat kondisinya turun.Bela selama kandungannya tua juga sering berada di rumah Alvin saat suaminya tidak ada. Seperti saat ini, Bela sudah berada di rumah May. Mereka baru saja pulang mengantarkan anaknya pulang dari sekolahnya. Dan ini saatnya, mereka bersantai sambil membaca beberapa buku di ruang tamu. “Bel, lihatlah! Ada yang jual pakaian lucu untuk bayi perempuan,” kata May sambil menunjukkan ponselnya kepada Bela. Bela juga terkesima dengan satu set pakaian lucu yang ditinjukan May. “Sangat lucu!” pekik Bela. “Apakah kamu harus membelinya? Sepertinya, iya! Ini edisi terbatas, Bel. Cepat miliki,” kata May lagi. Bela terdiam. Apakah ia harus membelinya? Tetapi untuk apa? jika anaknya perempuan nanti, masih ada pakaian milik Luna. Bukannya berniat memberikan anak yang keduanya berang bekas, tetapi memang pakaian Luna yang dulu masih bagus dan ada beberapa yang baru. Jika membeli lagi bukankah sangat di
Makan malam hari ini terasa nikmat karena kebersamaan. Ibu Mike sejak tadi juga tidak henti-hentinya bercerita kepada kedua cucu tercintanya. Luna dan juga Inara. Sangat memenangkan! Netra Bela tidak sengaja menatap ke arah May. Wanita itu memegangi perutnya sambil keringat yang membasahi wajahnya. Apakah ada yang terjadi dengan May? “May?” panggil Bela.May langsung saja mengubah posisinya menjadi tegak. May menatap Bela dengan senyum yang wanita itu paksakan. Bela tahu itu! Lagi pula, Bela tidak satu atau dua bulan bersama May. Jelas sangat tahu bagaimana jika May tengah menyembunyikan sesuatu. “Ada apa, Bel?” tanya May. Deva dan juga Alvin kini juga ikut menatap Bela dengan tatapan bingung dan bertanya-tanya. Tidak hanya itu, pak Seno pun juga ikut menatap ke arah Bela. Bela menjadi canggung saat hampir semua netra menatap ke arah dirinya. Bela menggeleng, lalu kembali melanjutkan makannya tanpa jadi berbicara kepada May. Mau tentu sangat penasaran dengan Bela. Tetapi May juga
“Sayang, bagaimana dengan ini? Ini sangat menggemaskan,” kata Deva sambil menunjukkan sebuah baju kecil berwarna pink. Baju perempuan. “Adik Luna perempuan?” tanya Luna sambil menatap Deva bingung.Memang sampai detik ini, sudah tiga bulan berjalan. Deva dan Bela tidak mau melakukan USG. Bela mau nanti jenis kelamin anaknya menjadi kejutan. Sebenarnya Deva sudah sangat penasaran, tetapi Bela tetap tidak mau melakukan USG. Pada akhirnya, Deva yang harus mengalah. Deva atau pun Bela juga tidak pernah mempermasalahkan jenis kelamin anaknya nanti. Yang terpenting bagi Deva, anak dan istrinya sehat semua. Itu sudah cukup. Ia tidak banyak menunut. Menerima ada yang diberikan kepada Tuhan untuknya. Deva menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja terasa gatal. “Ayah, adik Luna perempuan?” ulang Luna lagi. “Belum tahu, Sayang. Nanti kita tahu jika sudah lahir,” jawab Bela. Deva tersenyum kepada anaknya, dia juga memasukkan baju itu ke dalam troli belanja. Bela menatap tak percaya ke arah su
“Sayang, ada apa?” tanya Deva kala melihat wajah Bela yang sangat begitu terkejut. Bela memang tengah menelepon seorang, entah apa yang orang itu katakan kepada Bela hingga membuat raut wajah istri Deva itu berubah terkejut. Tentu saja itu membuat Deva juga ikut penasaran. Siapa yang tengah istrinya telepon? Bela mengisyaratkan Deva untuk diam, sementara Bela terus melanjutkan teleponnya. Samar-samar, Deva dapat mendengar suara yang sangat dikenalinya. May? Ya! suara itu adalah suara May! Apa yang mereka bicarakan? “Aku akan ke sana setelah ini, kamu tenang dulu,” kata Bela. “Apakah sudah selesai?” tanyanya lagi. Deva terus saja mendengarkan apa yang istrinya bicarakan dengan saksama, walau suara lawan bicaranya sama sekali tak terdengar. Deva melahap makannya dengan netra yang fokus pada Bela. “Aku turut sedih. Semoga saja semua akan baik-baik saja,” kata Bela dengan nada sedih. Deva semakin penasaran. Apa yang sedang terjadi sebenarnya?“Baiklah. Aku akan ke sana nanti. Kamu
“Ibu, Inara merasa bosan di rumah terus,” kata gadis kecil itu kepada May-sang ibu. May yang sedang menyiram tanaman langsung saja menoleh ke arah anakannya. Saat ini hari Minggu, jadi May dan Inara bersantai di rumah. “Kamu mau ke rumah Luna?” tawar May. Inara tidak langsung menjawab pertanyaan sang ibu. Iya justru terdiam beberapa. Hal itu tentu saja membuat May penasaran. Apakah ada yang terjadi dengan Inara serta Luna? Biasanya anaknya itu selalu senang saat bermain bersama Luna. Namun berbeda kali ini. “Inara, ada apa? kamu sedang berantem dengan Luna?” tebak May. Inara menggeleng. “Tidak, Ibu. Aku hanya ingin bermain bersama Ibu. Aku bosan,” jawab gadis kecil itu. May yang mendengar hal itu bernafas lega. Setidaknya mereka tidak bertengkar, kan? May sudah berpikir yang tidak-tidak mengenai anaknya dan juga Luna. “Lalu, kamu mau ke mana?” tanya May. Wanita itu mematikan keran air dan menghampiri putrinya yang tengah bermain tanah dalam pot. May langsung saja membawa Inara