Di bawah pancuran air, Bela kembali menangis. Meratapi nasibnya yang malang. Menjodohkan, dan menikah setelah SMA tidak pernah terpikir olehnya. Pernikahan yang dilangsungkan pagi ini seakan menghancurkan impian dan masa depan Bela.
"Argh...." rintih Bela sambil menggedor-gedor dinding kamar mandi. Dia belum bisa menerima nasibnya.
"Ayah jahat! Jahat! Mengapa kamu tidak peduli dengan masa depan Bela! Ayah jahat!" teriak Bela terus menangis.
Ada ketukan di pintu. Bela hanya menoleh.
“Bela,” panggil Deva dari luar kamar mandi. Pria itu terus mengetuk pintu. Namun, Bela hanya menangis dalam diam. Air mata itu tersamarkan oleh percikan air pancuran yang membasahi kepalanya ke seluruh bagian tubuhnya.
"Bela, kamu baik-baik saja? Bela jawab aku?" teriak Deva.
"Aku hanya ingin mati!" teriak Bela kemudian.
Dari luar kamar mandi, Deva yang mendengar ucapan Bela melebarkan matanya. Ia khawatir akan terjadi sesuatu pada Bela. Dia takut Bela nekat menyakitinya. Deva terus mengetuk pintu kamar mandi dan memanggil-manggil nama Bela. Namun, Bela tidak menanggapi sama sekali. Deva kesal.
"Bela, buka pintunya! Jika tidak, aku akan mendorongnya!" ancam Deva sambil berteriak.
Dengan isak tangis yang keluar, Bela menjawab, "Pergilah! Pergilah! Aku ingin sendiri! Pergilah!" Tubuh Bela merosot ke lantai kamar mandi. Tubuhnya bersandar di dinding kamar mandi. Bela merasa tubuhnya kembali lemas. Matanya sudah terasa perih dan berat karena terlalu lama menangis dan terkena air dari shower.
Perlahan mata Bela terpejam oleh isak tangis yang sudah lama tidak terdengar. Sedangkan Deva yang berada di luar kamar mandi mondar-mandir gelisah. Hatinya tidak tenang. Deva lalu kembali ke depan pintu kamar mandi. Jari tengahnya berulang kali mengetuk pintu kamar mandi. “Bela, buka pintunya,” pinta Deva dengan suara lembut. Ia tahu gadis seperti Bela harus dibujuk secara halus, bukan dengan membentak apalagi marah.
Deva tidak berhenti berusaha. Ia mengkhawatirkan Bela. Apalagi saat tidak ada lagi balasan atau teriakan dari Bela disana. Deva menggelengkan kepalanya, dia tidak bisa diam. Dia harus mendongkrak pintu kamar mandi untuk memastikan Bela baik-baik saja.
Deva sudah tidak sabar menunggu Bela. Dia langsung mendobrak pintu kamar mandi. Pintunya dirobohkan dua kali dan tidak mau terbuka. Deva tidak menyerah. Dia kembali mendobrak pintu kamar mandi. Akhirnya pintu kamar mandi bisa dibuka. Deva langsung masuk dan mencari keberadaan Bela.
“Bela,” teriak Deva dengan mata terbelalak saat melihat Bela bersandar di tembok tanpa sadar. Deva buru-buru mendekat.
Shower yang masih mengganggu Deva langsung dimatikan. Setelah itu, Deva berjongkok dan menepuk pipi Bela. "Bela, bangun!" Deva menelepon dan berusaha membangunkan Bela. Namun, tidak ada tanggapan dari istrinya.
Deva tidak ingin Bela sakit, maka lelaki itu langsung mengangkat tubuh Bela yang basah. Dia membawa Bela keluar dari kamar mandi. Deva tidak langsung membaringkan Bela di ranjang. Pria itu meletakkan tubuh Bela yang basah di atas sofa. Setelah itu Deva lari ke kamar mandi untuk mengambil handuk Bela.
Seluruh bagian tubuh Bela yang masih basah dikeringkan dengan handuk oleh Deva. Deva bingung bagaimana dia mengganti pakaian istrinya. Dia tidak ingin menjadi suami yang kasar karena dia pertama kali melihat tubuh istrinya tanpa izin dari pemilik tubuh.
"Bagaimana ya?" tanya Deva sendirian. Deva tidak bisa meminta bantuan asisten rumah tangganya, karena Deva khawatir nantinya akan menimbulkan masalah baru. Tak lama kemudian Deva berjalan menuju lemari Bela. Dia melihat pakaian Bela satu per satu. Deva lalu mengambil home dress berwarna putih bergambar beruang.
Langkah kaki Deva kembali membawanya dekat dengan Bela. Dia menatap tubuh mungil Bela terlebih dahulu. Mata Deva perlahan dipenuhi kabut nafsu. Deva semakin merasakan keinginannya. Namun, Deva dengan cepat menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa melakukannya tanpa izin dan sepengetahuan Bela.
Baju rumah yang dibawa Deva diletakkan di belakang sofa. Deva tidak langsung mengganti baju Bela. Pria itu pergi lagi, kali ini menuju tempat tidur. Deva menarik selimut tebal dan besar itu dan membawanya ke tempat Bela berada. Selimut menutupi separuh tubuh Bela.
Deva menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. "Bela, maafkan aku jika aku tidak sopan padamu. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu dalam kea begib." Deva memegang ujung bawah baju basah yang masih menempel di badan Bela. Kemudian Deva memejamkan matanya rapat-rapat. Barulah Deva melepas baju basah dari tubuh Bela. Memang agak sulit, tapi Deva harus melakukannya.
Setelah berhasil melepas baju Bela yang basah, Deva menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh Bela. Lukas perlahan membuka matanya. Bibir Deva menghela nafas panjang. Baju yang ditaruh di belakang sofa, Deva mengambilnya kembali. Bahkan gantungan baju yang masih setia bertengger di gaun itu dicopot oleh Deva.
Deva kembali menatap wajah Bela yang sudah terlihat pucat. Mungkin juga karena gadis itu merasa kedinginan. Deva segera mengenakan gaun itu dengan hati-hati. “Akhirnya selesai juga,” kata Deva menghela napas lega. Baju rumahan itu kini melekat sempurna di tubuh mungil Bela.
Agar Bela bisa istirahat dengan nyaman, Deva membawa Bela ke tempat tidur. Deva terlihat begitu telaten merawat Bela. Tubuh Bela diposisikan dengan benar agar tidak menimbulkan rasa sakit saat bangun tidur. Selimut yang tadinya digunakan untuk menutupi tubuh Bela di atas sofa, Deva mengambilnya kembali dan menutupkannya pada tubuh Bela.
Deva mengelus kepala Bela dengan lembut. Deva bahkan mencium kening Bela. “Kamu sedang menguji aku,” seru Deva sambil tersenyum. Setelah itu Deva pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
Di tengah malam, Bela terbangun. Kepalanya terasa sangat pusing. Bela menghela nafas kesakitan sambil memegangi kepalanya. Dia kemudian berbalik ke samping tempat tidurnya. Mata Bela melebar sempurna. "Aa..." teriak Bela begitu keras.
Bela kemudian duduk sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Jantungnya berdetak begitu kencang. karena teriakan Bela begitu kencang, seorang pria yang sedang tidur di samping Bela terbangun dan menatap Bela dengan tatapan datar.
"Mengapa?" tanya Deva sambil bangun dari tidurnya. Pria itu menggosok matanya berulang kali.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
Deva mengangkat alis. “Aku suamimu,” jawab Deva santai. Bela terdiam, dia lupa. Bela ingat kejadian tadi pagi, pernikahannya karena perjodohan ayahnya.
Mata Bela melebar lagi saat mengingat sesuatu. Bela buru-buru melihat pakaiannya. Bela lalu menatap Deva dengan amarah dan rasa tidak percaya. "Kamu? Apa yang telah kamu lakukan padaku?" marah Bela sambil menatap tajam ke arah Deva.
Deva mengusap wajahnya dan menghela napas panjang. "Sudah malam, tidurlah!" teriak Deva mengabaikan pertanyaan Bela.
Bela mengambil guling di sebelahnya. Lalu Bela menggunakan benda itu untuk memukul Deva, air mata Bela jatuh lagi. "Kamu sangat jahat! Kamu pria yang tidak sopan, kamu tahu itu! Apa yang telah kamu lakukan padaku?" kata Bela dengan air mata.
Deva melindungi dirinya dari pukulan Bela. "Bela, hentikan! Akan kujelaskan," pinta Deva. Namun, Bela tak menghiraukan perkataan Deva. Dia terus memukuli suaminya dengan guling. Akhirnya Bela menjadi lelah dan menghentikan pukulan itu. Bela masih menangis.
"Kamu telah menghancurkan masa depanku. Aku benci pria sepertimu. Pergi kamu!" Pusing di kepala Bela semakin menjadi. Namun, Bela tidak peduli. Saat ini hati Bela lebih sakit dari rasa sakit di kepalanya.
Deva menarik napas dalam-dalam. Dia tahu bahwa Bela saat ini salah paham dengannya. Mengira Deva telah merenggut kehormatannya secara diam-diam dan tanpa izin. Namun, apa yang dipikirkan Bela salah. “Bela…” panggil Deva, namun tidak dijawab oleh Bela. Gadis itu masih menangis.
Deva harus bersabar menghadapi istri yang kekanak-kanakan itu. "Aku tidak melakukannya," kata Deva pelan.
"Bohong!" bentak Bela tak percaya.
Deva mengacak-acak rambutnya sembarangan. "Kamu dengarkan aku, jadi kamu tidak salah paham!" Pidato Deva terhenti sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. "Ketika aku memanggilmu, kamu tidak menjawab. Aku sangat mengkhawatirkanmu. Aku mendobrak pintu kamar mandi, jadi aku bisa memeriksa kondisimu. Aku melihat kamu masih mandi dalam keadaan tidak sadar. Aku akan menjemputmu dan membawamu ke sofa." Deva menunjuk sofa yang tadinya dipakai untuk mengganti baju Bela.
Mata Bela mengikuti arah yang ditunjuk Deva. Lagi-lagi mata Bela terbelalak, saat masih melihat bajunya yang basah di atas sofa. Teriaknya, Bela malu dan kesal dengan Deva.
"Kamu kedinginan, aku tidak ingin kamu sakit. Dan aku tidak bisa membiarkanmu tidur dengan pakaian basah. Ya… aku harus menggantinya." Mendengar kata-kata terakhir Deva, Bela kembali berteriak dan tangisnya semakin keras.
"Eh.. eh, tenang. aku nggak lihat, tadi aku pejamkan mata, aku juga menutupi kamu dengan selimut," tambah Deva menjelaskan apa yang dilakukannya.
Bela menatap Deva dengan tatapan penuh tanya. "Aku tidak percaya apa yang dikatakan pria." Bela mulai menangis lagi. Dia tidak percaya Deva. Pria tidak bisa saja tertarik dan tidak melakukan apa pun pada wanita yang tidak sadar. Bagaimanapun, itu adalah malam pernikahan pertama mereka. Bela benar-benar tidak percaya dengan perkataan Deva. Bisa jadi Deva hanya berbohong dan kata-kata itu hanya untuk menenangkan Bela.
“Bela…” Panggil Deva pelan. Bela terus menangis. Bela mengabaikan Deva, dia memilih kembali tidur membelakangi pria yang kini menjadi suaminya.
"Bela, maaf…."
Malam telah berganti pagi. Sinar matahari yang menembus dari lubang ventilasi masuk ke kamar Bela. Bela sama sekali tidak terganggu. Selimut semakin ditarik menutupi tubuh mungil Bela. "Bela, kamu belum bangun?" tanya Deva saat mendapati Bela menarik selimut menutupi tubuhnya. Bela terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Deva. Saat Deva hendak melepas selimut yang menutupi tubuh Bela, Bela menahan selimut itu di tempatnya. Dengan membelakangi Deva, Bela bergumam, "Pergi! Tinggalkan aku! Aku tidak mau diganggu." Suara Bela terdengar begitu serak. Bela merasakan tubuhnya dingin dan menggigil. Suhu tubuh Bela juga lebih panas dari biasanya. Kepala Bela juga terasa sangat pusing, sementara matanya seperti lem, tidak mau terbuka. "Bela, apa yang kamu lakukan?" tanya Deva saat melihat tubuh Bela yang diselimuti selimut menggigil. Terdengar ketukan di pintu kamar Bela, membuat Deva menoleh ke arah pintu, namun tidak dengan Bela yang masih setia menutupi dirinya dengan selimut tebal. Deva
Selesai makan siang, Bela dan Deva kembali ke kamar. Bela tetap tidak menghiraukan Deva, bahkan saat Deva menelpon, Bela tidak menjawab. Bela segera duduk di kursi mejanya. Laptop yang tertutup itu langsung dibuka oleh Bela. Bela berniat menghiburnya. Setelah layar di depan Bela menyala, tak butuh waktu lama bagi Bela untuk segera mencari film kesukaannya. "Rena, aku ingin bicara denganmu," kata Deva yang duduk di tepi tempat tidur sambil melihat punggung Bela. Bela terkekeh. "Lagipula apa lagi? Tidak bisakah kau tidak menggangguku untuk sementara waktu?" kata Bela kesal. Deva menghela nafas panjang, lalu laki-laki yang merupakan suami Bela itu berdiri dari duduknya dan menghampiri Bela. Deva menyandarkan tubuhnya ke meja belajar Bela. "Aku akan mengajakmu berbulan madu," kata Deva. Bela menatap Deva dengan mulut menganga, mata Bela membulat. Rana sepertinya tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Halo! Kamu gila. Aku tidak menerima pernikahan ini, kenapa
Bela menatap takjub restoran di depannya. Ameera belum pernah menemukan restoran dengan desain seunik ini. Tak lama kemudian, Bela langsung masuk ke dalam restoran dan meninggalkan Deva yang berdiri di belakangnya. "Bela tunggu!" perintah Deva. Namun, Bela adalah gadis yang keras kepala. Panggilan dari suaminya yang Bela abaikan begitu saja. Ia tetap memilih masuk ke dalam restoran tanpa menghiraukan Deva. Adapun Deva, pria itu langsung mengikuti langkah Bela. Restorannya tidak terlalu ramai, jadi masih banyak meja kosong. Bela langsung pergi ke meja dekat jendela. Sesampainya di meja Bela langsung duduk dan juga disusul oleh Deva. Melihat Deva duduk, Bela menatap pria itu dengan tidak suka. "Aku tidak ingin duduk denganmu, jangan duduk di sana!" kata Bela dengan nada sedikit kesal. Deva terkejut, namun Deva langsung menetralkan ekspresi wajahnya. “Aku suamimu,” tegur Deva pada Bela. Bela memutar matanya dengan malas dan menghela nafas panjang. "Teruslah mengatakan
Rencana belajar Air mata Bela jatuh lagi. Sekeras apapun Bela menahannya, rasa sakit di hatinya tetap ada. Di dalam Bela, gadis itu ingin berteriak untuk melepaskan sesak di dadanya. Masih setia menatap laut lepas, Bela berkata, "Aku benci hidup ini! Aku benci!" teriak Bela dengan suara teredam. "Bela sayang, ayo duduk!" Suara Deva kembali terdengar di telinga Bela. Deva pun memanggil Bela dari belakang berkali-kali, namun Bela enggan menoleh dan menjawab perkataan Deva. Gadis itu masih sibuk mengeluarkan air matanya agar dadanya terasa lebih lega. Deva tidak diam, dia menatap Bela yang tidak menoleh dan tidak bergerak sama sekali. Akhirnya Deva memilih mendekati Bela lagi dan menyentuh bahu Bela. "Bela," panggil Deva. Mata Deva menyipit saat melihat Bela memejamkan mata dan menangis. "Apa yang kamu lakukan sayang?" Usai pertanyaan dilontarkan Deva, Bela menepis tangan Deva dan menjauh sedikit. Bela tidak mau berhenti menangis. Dia masih ingin melepaskan sesak di dada
Bela ke kantor Deva Bela yang diminta menoleh ke Deva. "Kamu bajingan, yah...," jawab Bela sambil menjulurkan lidahnya. Karena respon yang diberikan Bela, Deva hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Meski tingkah Bela begitu kekanak-kanakan, ia bisa membuatnya merasa sedang dan nyaman saat berada di dekat Bela. Setelah percakapan itu, tidak ada percakapan lagi. Bela sibuk menonton film yang diputar di layar ponselnya sementara Deva fokus ke jalan di depan. Selang beberapa menit, mobil Deva akhirnya berhenti. Bela menoleh ke kiri. Alis Bela berkerut saat mengetahui mobil mereka berhenti di gerbang bukannya masuk ke dalam. Meski begitu, dengan wajah cemberut, Bela menoleh ke arah Deva. "Rumah siapa ini? Kemana kita akan pergi?" tanya Bela yang tidak tahu rumah di sebelah mobil Deva. “Rumahku,” jawab Deva sambil melepas sabuk pengamannya. Bela menjadi penasaran. "Mengapa kita berhenti di sini? Mengapa tidak parkir di dalam?" Bela bertanya lagi. Deva tersenyum p
Jatuh "Tidak, saya tidak bisa membiarkan mimpi saya memudar begitu saja. Saya harus pergi ke luar negeri," kata Bela, salah satu impian Bela adalah pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Bela segera bangkit dari tempat tidurnya. Gadis yang masih mengenakan baju tidurnya melangkah menuju meja tempat Deva meletakkan laptopnya. Bela duduk di kursi yang ada. Sekali lagi Bela menyeka air mata yang tersisa. Setelah itu, dia mulai mengetik sesuatu di halaman pencarian laptopnya. Hatinya hancur karena tidak diterima di perguruan tinggi sebelumnya, berusaha mendorong Bela untuk mencari universitas lain di luar negeri. Mata Bela kembali terfokus pada layar laptop. Dia dengan hati-hati membaca setiap artikel yang menjelaskan universitas di luar negeri yang akan dia hadiri. "Aku harus masuk ke sini," gumam Bela. Puas dengan apa yang dia cari, Bela membalik laptopnya ke menu utama dan mematikan laptopnya. Kemudian Bela menutup laptop yang sudah tidak digunakannya lagi. Dia
Ke taman Deva menopang dagunya dengan kedua tangan. “Kamu harus banyak makan makanan yang bergizi, Sayang. Aku tidak ingin ayahku tahu kalau kamu tidak bertambah gemuk atau kurus,” jawab Deva yang menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya pada Rena. Mendengar jawaban dari Deva, Rena memutar bola matanya malas. Dia tidak bisa mengerti suaminya. "Saya tidak mau berat badan naik, dan kalau saya paksakan perut saya yang sudah kenyang nanti saya muntahkan lagi," jelas Rena kepada Deva. Deva mengangguk mendengar perkataan Rena. Deva senang mendengar suara Rena yang berceloteh. Deva ingin terus menggoda Rena agar gadis itu terus mengoceh. Namun, Deva juga merasa kasihan pada Rena jika terus dibuat kesal. “Ya, baiklah,” jawab Deva. Lalu Deva menoleh ke pengurus rumah tak jauh dari meja makan. “Mbak, satu jam lagi sudah beres,” kata Deva kepada pengurus rumah. Pengurus rumah tangga berbalik dan mengangguk. "Ya pak." Deva kembali menatap Rena. "Ke taman lagi yuk! Cari udara segar sambil ng
Batal pergi Pintu Bela yang tidak dikunci dibuka oleh Deva. Pria itu segera memasuki ruangan. Sedangkan Bela hanya menatap Deva dengan tatapan datar, seolah tak ada semangat untuk pergi ke luar negeri. "Ya ampun, Bela. Jam berapa sekarang? Mengapa kamu masih duduk di tempat tidur? Apakah kamu sakit?" kata Deva sambil berjalan menghampiri Bela. Bela menggelengkan kepalanya. Membayangkan hidupnya tanpa Deva membuat hatinya terasa berat. Bela merasa Deva harus ikut dengannya. "Apakah kamu tidak ikut denganku?" Bela bertanya untuk kesekian kalinya. Lukas menarik napas dalam-dalam. "Tidak Bela. Saya punya banyak pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Saya akan sering mengunjungimu. Lagipula, kenapa kamu selalu menanyakan itu?" Alis Deva terangkat. Pria itu menatap Bela dengan pandangan panjang. "Tidak! Saya tidak ingin pergi!" kata Bela dengan suara tegas. Pernyataan Bela membuat Deva bingung dan tidak percaya. "Apa katamu?" Deva meminta Bela mengulangi kata-katanya aga