Di bawah pancuran air, Bela kembali menangis. Meratapi nasibnya yang malang. Menjodohkan, dan menikah setelah SMA tidak pernah terpikir olehnya. Pernikahan yang dilangsungkan pagi ini seakan menghancurkan impian dan masa depan Bela.
"Argh...." rintih Bela sambil menggedor-gedor dinding kamar mandi. Dia belum bisa menerima nasibnya.
"Ayah jahat! Jahat! Mengapa kamu tidak peduli dengan masa depan Bela! Ayah jahat!" teriak Bela terus menangis.
Ada ketukan di pintu. Bela hanya menoleh.
“Bela,” panggil Deva dari luar kamar mandi. Pria itu terus mengetuk pintu. Namun, Bela hanya menangis dalam diam. Air mata itu tersamarkan oleh percikan air pancuran yang membasahi kepalanya ke seluruh bagian tubuhnya.
"Bela, kamu baik-baik saja? Bela jawab aku?" teriak Deva.
"Aku hanya ingin mati!" teriak Bela kemudian.
Dari luar kamar mandi, Deva yang mendengar ucapan Bela melebarkan matanya. Ia khawatir akan terjadi sesuatu pada Bela. Dia takut Bela nekat menyakitinya. Deva terus mengetuk pintu kamar mandi dan memanggil-manggil nama Bela. Namun, Bela tidak menanggapi sama sekali. Deva kesal.
"Bela, buka pintunya! Jika tidak, aku akan mendorongnya!" ancam Deva sambil berteriak.
Dengan isak tangis yang keluar, Bela menjawab, "Pergilah! Pergilah! Aku ingin sendiri! Pergilah!" Tubuh Bela merosot ke lantai kamar mandi. Tubuhnya bersandar di dinding kamar mandi. Bela merasa tubuhnya kembali lemas. Matanya sudah terasa perih dan berat karena terlalu lama menangis dan terkena air dari shower.
Perlahan mata Bela terpejam oleh isak tangis yang sudah lama tidak terdengar. Sedangkan Deva yang berada di luar kamar mandi mondar-mandir gelisah. Hatinya tidak tenang. Deva lalu kembali ke depan pintu kamar mandi. Jari tengahnya berulang kali mengetuk pintu kamar mandi. “Bela, buka pintunya,” pinta Deva dengan suara lembut. Ia tahu gadis seperti Bela harus dibujuk secara halus, bukan dengan membentak apalagi marah.
Deva tidak berhenti berusaha. Ia mengkhawatirkan Bela. Apalagi saat tidak ada lagi balasan atau teriakan dari Bela disana. Deva menggelengkan kepalanya, dia tidak bisa diam. Dia harus mendongkrak pintu kamar mandi untuk memastikan Bela baik-baik saja.
Deva sudah tidak sabar menunggu Bela. Dia langsung mendobrak pintu kamar mandi. Pintunya dirobohkan dua kali dan tidak mau terbuka. Deva tidak menyerah. Dia kembali mendobrak pintu kamar mandi. Akhirnya pintu kamar mandi bisa dibuka. Deva langsung masuk dan mencari keberadaan Bela.
“Bela,” teriak Deva dengan mata terbelalak saat melihat Bela bersandar di tembok tanpa sadar. Deva buru-buru mendekat.
Shower yang masih mengganggu Deva langsung dimatikan. Setelah itu, Deva berjongkok dan menepuk pipi Bela. "Bela, bangun!" Deva menelepon dan berusaha membangunkan Bela. Namun, tidak ada tanggapan dari istrinya.
Deva tidak ingin Bela sakit, maka lelaki itu langsung mengangkat tubuh Bela yang basah. Dia membawa Bela keluar dari kamar mandi. Deva tidak langsung membaringkan Bela di ranjang. Pria itu meletakkan tubuh Bela yang basah di atas sofa. Setelah itu Deva lari ke kamar mandi untuk mengambil handuk Bela.
Seluruh bagian tubuh Bela yang masih basah dikeringkan dengan handuk oleh Deva. Deva bingung bagaimana dia mengganti pakaian istrinya. Dia tidak ingin menjadi suami yang kasar karena dia pertama kali melihat tubuh istrinya tanpa izin dari pemilik tubuh.
"Bagaimana ya?" tanya Deva sendirian. Deva tidak bisa meminta bantuan asisten rumah tangganya, karena Deva khawatir nantinya akan menimbulkan masalah baru. Tak lama kemudian Deva berjalan menuju lemari Bela. Dia melihat pakaian Bela satu per satu. Deva lalu mengambil home dress berwarna putih bergambar beruang.
Langkah kaki Deva kembali membawanya dekat dengan Bela. Dia menatap tubuh mungil Bela terlebih dahulu. Mata Deva perlahan dipenuhi kabut nafsu. Deva semakin merasakan keinginannya. Namun, Deva dengan cepat menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa melakukannya tanpa izin dan sepengetahuan Bela.
Baju rumah yang dibawa Deva diletakkan di belakang sofa. Deva tidak langsung mengganti baju Bela. Pria itu pergi lagi, kali ini menuju tempat tidur. Deva menarik selimut tebal dan besar itu dan membawanya ke tempat Bela berada. Selimut menutupi separuh tubuh Bela.
Deva menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. "Bela, maafkan aku jika aku tidak sopan padamu. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu dalam kea begib." Deva memegang ujung bawah baju basah yang masih menempel di badan Bela. Kemudian Deva memejamkan matanya rapat-rapat. Barulah Deva melepas baju basah dari tubuh Bela. Memang agak sulit, tapi Deva harus melakukannya.
Setelah berhasil melepas baju Bela yang basah, Deva menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh Bela. Lukas perlahan membuka matanya. Bibir Deva menghela nafas panjang. Baju yang ditaruh di belakang sofa, Deva mengambilnya kembali. Bahkan gantungan baju yang masih setia bertengger di gaun itu dicopot oleh Deva.
Deva kembali menatap wajah Bela yang sudah terlihat pucat. Mungkin juga karena gadis itu merasa kedinginan. Deva segera mengenakan gaun itu dengan hati-hati. “Akhirnya selesai juga,” kata Deva menghela napas lega. Baju rumahan itu kini melekat sempurna di tubuh mungil Bela.
Agar Bela bisa istirahat dengan nyaman, Deva membawa Bela ke tempat tidur. Deva terlihat begitu telaten merawat Bela. Tubuh Bela diposisikan dengan benar agar tidak menimbulkan rasa sakit saat bangun tidur. Selimut yang tadinya digunakan untuk menutupi tubuh Bela di atas sofa, Deva mengambilnya kembali dan menutupkannya pada tubuh Bela.
Deva mengelus kepala Bela dengan lembut. Deva bahkan mencium kening Bela. “Kamu sedang menguji aku,” seru Deva sambil tersenyum. Setelah itu Deva pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
Di tengah malam, Bela terbangun. Kepalanya terasa sangat pusing. Bela menghela nafas kesakitan sambil memegangi kepalanya. Dia kemudian berbalik ke samping tempat tidurnya. Mata Bela melebar sempurna. "Aa..." teriak Bela begitu keras.
Bela kemudian duduk sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Jantungnya berdetak begitu kencang. karena teriakan Bela begitu kencang, seorang pria yang sedang tidur di samping Bela terbangun dan menatap Bela dengan tatapan datar.
"Mengapa?" tanya Deva sambil bangun dari tidurnya. Pria itu menggosok matanya berulang kali.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
Deva mengangkat alis. “Aku suamimu,” jawab Deva santai. Bela terdiam, dia lupa. Bela ingat kejadian tadi pagi, pernikahannya karena perjodohan ayahnya.
Mata Bela melebar lagi saat mengingat sesuatu. Bela buru-buru melihat pakaiannya. Bela lalu menatap Deva dengan amarah dan rasa tidak percaya. "Kamu? Apa yang telah kamu lakukan padaku?" marah Bela sambil menatap tajam ke arah Deva.
Deva mengusap wajahnya dan menghela napas panjang. "Sudah malam, tidurlah!" teriak Deva mengabaikan pertanyaan Bela.
Bela mengambil guling di sebelahnya. Lalu Bela menggunakan benda itu untuk memukul Deva, air mata Bela jatuh lagi. "Kamu sangat jahat! Kamu pria yang tidak sopan, kamu tahu itu! Apa yang telah kamu lakukan padaku?" kata Bela dengan air mata.
Deva melindungi dirinya dari pukulan Bela. "Bela, hentikan! Akan kujelaskan," pinta Deva. Namun, Bela tak menghiraukan perkataan Deva. Dia terus memukuli suaminya dengan guling. Akhirnya Bela menjadi lelah dan menghentikan pukulan itu. Bela masih menangis.
"Kamu telah menghancurkan masa depanku. Aku benci pria sepertimu. Pergi kamu!" Pusing di kepala Bela semakin menjadi. Namun, Bela tidak peduli. Saat ini hati Bela lebih sakit dari rasa sakit di kepalanya.
Deva menarik napas dalam-dalam. Dia tahu bahwa Bela saat ini salah paham dengannya. Mengira Deva telah merenggut kehormatannya secara diam-diam dan tanpa izin. Namun, apa yang dipikirkan Bela salah. “Bela…” panggil Deva, namun tidak dijawab oleh Bela. Gadis itu masih menangis.
Deva harus bersabar menghadapi istri yang kekanak-kanakan itu. "Aku tidak melakukannya," kata Deva pelan.
"Bohong!" bentak Bela tak percaya.
Deva mengacak-acak rambutnya sembarangan. "Kamu dengarkan aku, jadi kamu tidak salah paham!" Pidato Deva terhenti sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. "Ketika aku memanggilmu, kamu tidak menjawab. Aku sangat mengkhawatirkanmu. Aku mendobrak pintu kamar mandi, jadi aku bisa memeriksa kondisimu. Aku melihat kamu masih mandi dalam keadaan tidak sadar. Aku akan menjemputmu dan membawamu ke sofa." Deva menunjuk sofa yang tadinya dipakai untuk mengganti baju Bela.
Mata Bela mengikuti arah yang ditunjuk Deva. Lagi-lagi mata Bela terbelalak, saat masih melihat bajunya yang basah di atas sofa. Teriaknya, Bela malu dan kesal dengan Deva.
"Kamu kedinginan, aku tidak ingin kamu sakit. Dan aku tidak bisa membiarkanmu tidur dengan pakaian basah. Ya… aku harus menggantinya." Mendengar kata-kata terakhir Deva, Bela kembali berteriak dan tangisnya semakin keras.
"Eh.. eh, tenang. aku nggak lihat, tadi aku pejamkan mata, aku juga menutupi kamu dengan selimut," tambah Deva menjelaskan apa yang dilakukannya.
Bela menatap Deva dengan tatapan penuh tanya. "Aku tidak percaya apa yang dikatakan pria." Bela mulai menangis lagi. Dia tidak percaya Deva. Pria tidak bisa saja tertarik dan tidak melakukan apa pun pada wanita yang tidak sadar. Bagaimanapun, itu adalah malam pernikahan pertama mereka. Bela benar-benar tidak percaya dengan perkataan Deva. Bisa jadi Deva hanya berbohong dan kata-kata itu hanya untuk menenangkan Bela.
“Bela…” Panggil Deva pelan. Bela terus menangis. Bela mengabaikan Deva, dia memilih kembali tidur membelakangi pria yang kini menjadi suaminya.
"Bela, maaf…."
Malam telah berganti pagi. Sinar matahari yang menembus dari lubang ventilasi masuk ke kamar Bela. Bela sama sekali tidak terganggu. Selimut semakin ditarik menutupi tubuh mungil Bela. "Bela, kamu belum bangun?" tanya Deva saat mendapati Bela menarik selimut menutupi tubuhnya. Bela terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Deva. Saat Deva hendak melepas selimut yang menutupi tubuh Bela, Bela menahan selimut itu di tempatnya. Dengan membelakangi Deva, Bela bergumam, "Pergi! Tinggalkan aku! Aku tidak mau diganggu." Suara Bela terdengar begitu serak. Bela merasakan tubuhnya dingin dan menggigil. Suhu tubuh Bela juga lebih panas dari biasanya. Kepala Bela juga terasa sangat pusing, sementara matanya seperti lem, tidak mau terbuka. "Bela, apa yang kamu lakukan?" tanya Deva saat melihat tubuh Bela yang diselimuti selimut menggigil. Terdengar ketukan di pintu kamar Bela, membuat Deva menoleh ke arah pintu, namun tidak dengan Bela yang masih setia menutupi dirinya dengan selimut tebal. Deva
Selesai makan siang, Bela dan Deva kembali ke kamar. Bela tetap tidak menghiraukan Deva, bahkan saat Deva menelpon, Bela tidak menjawab. Bela segera duduk di kursi mejanya. Laptop yang tertutup itu langsung dibuka oleh Bela. Bela berniat menghiburnya. Setelah layar di depan Bela menyala, tak butuh waktu lama bagi Bela untuk segera mencari film kesukaannya. "Rena, aku ingin bicara denganmu," kata Deva yang duduk di tepi tempat tidur sambil melihat punggung Bela. Bela terkekeh. "Lagipula apa lagi? Tidak bisakah kau tidak menggangguku untuk sementara waktu?" kata Bela kesal. Deva menghela nafas panjang, lalu laki-laki yang merupakan suami Bela itu berdiri dari duduknya dan menghampiri Bela. Deva menyandarkan tubuhnya ke meja belajar Bela. "Aku akan mengajakmu berbulan madu," kata Deva. Bela menatap Deva dengan mulut menganga, mata Bela membulat. Rana sepertinya tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Halo! Kamu gila. Aku tidak menerima pernikahan ini, kenapa
Bela menatap takjub restoran di depannya. Ameera belum pernah menemukan restoran dengan desain seunik ini. Tak lama kemudian, Bela langsung masuk ke dalam restoran dan meninggalkan Deva yang berdiri di belakangnya. "Bela tunggu!" perintah Deva. Namun, Bela adalah gadis yang keras kepala. Panggilan dari suaminya yang Bela abaikan begitu saja. Ia tetap memilih masuk ke dalam restoran tanpa menghiraukan Deva. Adapun Deva, pria itu langsung mengikuti langkah Bela. Restorannya tidak terlalu ramai, jadi masih banyak meja kosong. Bela langsung pergi ke meja dekat jendela. Sesampainya di meja Bela langsung duduk dan juga disusul oleh Deva. Melihat Deva duduk, Bela menatap pria itu dengan tidak suka. "Aku tidak ingin duduk denganmu, jangan duduk di sana!" kata Bela dengan nada sedikit kesal. Deva terkejut, namun Deva langsung menetralkan ekspresi wajahnya. “Aku suamimu,” tegur Deva pada Bela. Bela memutar matanya dengan malas dan menghela nafas panjang. "Teruslah mengatakan
Rencana belajar Air mata Bela jatuh lagi. Sekeras apapun Bela menahannya, rasa sakit di hatinya tetap ada. Di dalam Bela, gadis itu ingin berteriak untuk melepaskan sesak di dadanya. Masih setia menatap laut lepas, Bela berkata, "Aku benci hidup ini! Aku benci!" teriak Bela dengan suara teredam. "Bela sayang, ayo duduk!" Suara Deva kembali terdengar di telinga Bela. Deva pun memanggil Bela dari belakang berkali-kali, namun Bela enggan menoleh dan menjawab perkataan Deva. Gadis itu masih sibuk mengeluarkan air matanya agar dadanya terasa lebih lega. Deva tidak diam, dia menatap Bela yang tidak menoleh dan tidak bergerak sama sekali. Akhirnya Deva memilih mendekati Bela lagi dan menyentuh bahu Bela. "Bela," panggil Deva. Mata Deva menyipit saat melihat Bela memejamkan mata dan menangis. "Apa yang kamu lakukan sayang?" Usai pertanyaan dilontarkan Deva, Bela menepis tangan Deva dan menjauh sedikit. Bela tidak mau berhenti menangis. Dia masih ingin melepaskan sesak di dada
Bela ke kantor Deva Bela yang diminta menoleh ke Deva. "Kamu bajingan, yah...," jawab Bela sambil menjulurkan lidahnya. Karena respon yang diberikan Bela, Deva hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Meski tingkah Bela begitu kekanak-kanakan, ia bisa membuatnya merasa sedang dan nyaman saat berada di dekat Bela. Setelah percakapan itu, tidak ada percakapan lagi. Bela sibuk menonton film yang diputar di layar ponselnya sementara Deva fokus ke jalan di depan. Selang beberapa menit, mobil Deva akhirnya berhenti. Bela menoleh ke kiri. Alis Bela berkerut saat mengetahui mobil mereka berhenti di gerbang bukannya masuk ke dalam. Meski begitu, dengan wajah cemberut, Bela menoleh ke arah Deva. "Rumah siapa ini? Kemana kita akan pergi?" tanya Bela yang tidak tahu rumah di sebelah mobil Deva. “Rumahku,” jawab Deva sambil melepas sabuk pengamannya. Bela menjadi penasaran. "Mengapa kita berhenti di sini? Mengapa tidak parkir di dalam?" Bela bertanya lagi. Deva tersenyum p
Jatuh "Tidak, saya tidak bisa membiarkan mimpi saya memudar begitu saja. Saya harus pergi ke luar negeri," kata Bela, salah satu impian Bela adalah pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Bela segera bangkit dari tempat tidurnya. Gadis yang masih mengenakan baju tidurnya melangkah menuju meja tempat Deva meletakkan laptopnya. Bela duduk di kursi yang ada. Sekali lagi Bela menyeka air mata yang tersisa. Setelah itu, dia mulai mengetik sesuatu di halaman pencarian laptopnya. Hatinya hancur karena tidak diterima di perguruan tinggi sebelumnya, berusaha mendorong Bela untuk mencari universitas lain di luar negeri. Mata Bela kembali terfokus pada layar laptop. Dia dengan hati-hati membaca setiap artikel yang menjelaskan universitas di luar negeri yang akan dia hadiri. "Aku harus masuk ke sini," gumam Bela. Puas dengan apa yang dia cari, Bela membalik laptopnya ke menu utama dan mematikan laptopnya. Kemudian Bela menutup laptop yang sudah tidak digunakannya lagi. Dia
Ke taman Deva menopang dagunya dengan kedua tangan. “Kamu harus banyak makan makanan yang bergizi, Sayang. Aku tidak ingin ayahku tahu kalau kamu tidak bertambah gemuk atau kurus,” jawab Deva yang menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya pada Rena. Mendengar jawaban dari Deva, Rena memutar bola matanya malas. Dia tidak bisa mengerti suaminya. "Saya tidak mau berat badan naik, dan kalau saya paksakan perut saya yang sudah kenyang nanti saya muntahkan lagi," jelas Rena kepada Deva. Deva mengangguk mendengar perkataan Rena. Deva senang mendengar suara Rena yang berceloteh. Deva ingin terus menggoda Rena agar gadis itu terus mengoceh. Namun, Deva juga merasa kasihan pada Rena jika terus dibuat kesal. “Ya, baiklah,” jawab Deva. Lalu Deva menoleh ke pengurus rumah tak jauh dari meja makan. “Mbak, satu jam lagi sudah beres,” kata Deva kepada pengurus rumah. Pengurus rumah tangga berbalik dan mengangguk. "Ya pak." Deva kembali menatap Rena. "Ke taman lagi yuk! Cari udara segar sambil ng
Batal pergi Pintu Bela yang tidak dikunci dibuka oleh Deva. Pria itu segera memasuki ruangan. Sedangkan Bela hanya menatap Deva dengan tatapan datar, seolah tak ada semangat untuk pergi ke luar negeri. "Ya ampun, Bela. Jam berapa sekarang? Mengapa kamu masih duduk di tempat tidur? Apakah kamu sakit?" kata Deva sambil berjalan menghampiri Bela. Bela menggelengkan kepalanya. Membayangkan hidupnya tanpa Deva membuat hatinya terasa berat. Bela merasa Deva harus ikut dengannya. "Apakah kamu tidak ikut denganku?" Bela bertanya untuk kesekian kalinya. Lukas menarik napas dalam-dalam. "Tidak Bela. Saya punya banyak pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Saya akan sering mengunjungimu. Lagipula, kenapa kamu selalu menanyakan itu?" Alis Deva terangkat. Pria itu menatap Bela dengan pandangan panjang. "Tidak! Saya tidak ingin pergi!" kata Bela dengan suara tegas. Pernyataan Bela membuat Deva bingung dan tidak percaya. "Apa katamu?" Deva meminta Bela mengulangi kata-katanya aga
Long weekend membuat Deva banyak waktu bersama keluarga nya. Setelah kemarin ikut mengantarkan sang buah hati ke mall untuk ikut lomba menggambar hari ini Deva memiliki rencana untuk ke panti asuhan dimana dulu ia dibesarkan. Deva ingin menanamkan rasa syukur dan berbagi pada kedua buah hatinya. Kalau Indra mungkin belum mengerti tapi saat ini ia ingin mengajak mereka semua untuk ke panti asuhan."Bu, kapan kita berangkat?" tanya Luna yang sedang antusias untuk berangkat ke panti asuhan. Deva memang sudah menyiapkan beberapa hal yang perlu dibawa ke sana seperti paket alat tulis, uang dan juga paket makanan yang akan diberikan pada penghuni panti asuhan dan ia juga sedang bersiap."Iya, tunggu kakek dan nenek. Kalau mereka sudah datang kita berangkat bersama," jawab Bela. Ia sedang bersiap dengan Indra juga. Tak berselang lama ternyata kakek dan neneknya Luna datang."Yey, kakek dan nenek sudah datang," ucap Luna begitu gembira menyambut kedatangan kakek dan nenek nya. "Apakah semu
Saat ini Bela sedang menemani Luna belajar. Luna adalah anak yang suka belajar tanpa disuruh. Bela senang melihat anaknya begitu. Meskipun masih duduk di bangku taman kanak-kanak tapi bakat Luna terlihat yaitu senang menggambar. Bela bangga padanya karena ia juga gigih dan sabar. Bela berencana ingin mencoba mengikuti sebuah perlombaan menggambar yang akan digelar di sebuah mall besar."Luna, besok ada lomba menggambar apa kamu mau ikut?" tanya Bela."Dimana, Bu?" balas Luna."Di mall. Ibu nggak minta kamu untuk bisa menang kok yang penting kamu berani saja itu sudah membuat ibu bangga," jawab Bela mencoba memberikan semangat untuk Luna."Iya, Bu, Luna mau ya? Tapi diantar Ibu ya?" pinta Luna."Ya, tentu saja. Besok kita berangkat sama-sama." Bela pun membiarkan Luna melanjutkan menggambar bunga.Keesokan harinya sesuai janji Bela akan mengantarkan Luna ke mall untuk mengikuti lomba. Perlengkapan seperti pensil warna dan alat lain juga sudah disiapkan. Karena hanya tempat menggambar
Bela sekarang disibukkan dengan mengurus dua anaknya. untung saja Deva selalu menorehkan perhatian lebih kepada Bela. Deva juga selalu membawa pekerjaannya ke rumah untuk menjaga Bela. Deva juga sering mengantar jemput anaknya di sekolah.Seperti saat ini, Deva baru saja pulang dari kantor dengan membawa setumpuk berkas di tangannya. Bela yang berada di teras rumah menatap suaminya dengan tatapan bingung. Setidaknya, Deva bisa mengerjakan berkas itu di kantor. Lagi pula, ini bukan pertama bagi Bela. Deva berjalan mendekat ke arah Bela lalu menaruh beberapa tumpukan berkas itu di meja samping Bela. Deva langsung mengecup kening Bela dengan penuh kasih sayang lalu beralih mengecu kening Indra yang berada di gendongan Bela. “Kenapa kamu membawa banyak tumpukan berkas itu ke rumah? Kamu bisa mengerjakannya di kantor, Dev. Jika seperti ini kamu akan kesusahan nantinya,” ujar Bela. “Tidak. aku tidak akan meninggalkan kamu dengan mengurus dua orang anak sendirian. Aku akan membantu kamu m
“Maaf, Bel. Aku belum bisa ke sana saat ini. Tetapi aku akan segera ke sana. aku menunggu Alvin pulang,” kata May di telepon. Wanita itu memang tengah bertelepon dengan Bela. Tentu saja untuk mengucapkan selamat karena kelahiran anak keduanya. May ikut senang akan hal itu. Tetapi bila bisa jujur, ia juga merasa sedih. Bagaimana tidak? Di saat dia mengharapkan anak kedua, justru takdir berkata lain kepadanya. Siapa pun wanita seperti May tentu saja akan merasa sangat sedih. Bagi May, ini bukan perkara yang mudah. Bohong bila ia berkata, bahwa ia bisa menerima keadaannya saat ini. Dari hari terdalam, May sangat iri dengan sahabatnya itu.“Tidak apa, aku tahu,” jawab Bela. “Hari ini aku juga sudah bisa pulang,” sambung Bela. “Aku ikut senang, Bel. Jika bisa, aku akan mendatangi kamu sendiri ke sana. Tetapi Alvin mau bersama menengok kamu,” kata May. Alvin juga tadi sempat memberi tahu May bahwa Bela hari ini melahirkan. Alvin juga mengajak May untuk menengok keponakannya itu setelah
Dua bulan sudah berlalu, kini May sudah bisa menerima keadaannya. Walau sempat kondisinya turun.Bela selama kandungannya tua juga sering berada di rumah Alvin saat suaminya tidak ada. Seperti saat ini, Bela sudah berada di rumah May. Mereka baru saja pulang mengantarkan anaknya pulang dari sekolahnya. Dan ini saatnya, mereka bersantai sambil membaca beberapa buku di ruang tamu. “Bel, lihatlah! Ada yang jual pakaian lucu untuk bayi perempuan,” kata May sambil menunjukkan ponselnya kepada Bela. Bela juga terkesima dengan satu set pakaian lucu yang ditinjukan May. “Sangat lucu!” pekik Bela. “Apakah kamu harus membelinya? Sepertinya, iya! Ini edisi terbatas, Bel. Cepat miliki,” kata May lagi. Bela terdiam. Apakah ia harus membelinya? Tetapi untuk apa? jika anaknya perempuan nanti, masih ada pakaian milik Luna. Bukannya berniat memberikan anak yang keduanya berang bekas, tetapi memang pakaian Luna yang dulu masih bagus dan ada beberapa yang baru. Jika membeli lagi bukankah sangat di
Makan malam hari ini terasa nikmat karena kebersamaan. Ibu Mike sejak tadi juga tidak henti-hentinya bercerita kepada kedua cucu tercintanya. Luna dan juga Inara. Sangat memenangkan! Netra Bela tidak sengaja menatap ke arah May. Wanita itu memegangi perutnya sambil keringat yang membasahi wajahnya. Apakah ada yang terjadi dengan May? “May?” panggil Bela.May langsung saja mengubah posisinya menjadi tegak. May menatap Bela dengan senyum yang wanita itu paksakan. Bela tahu itu! Lagi pula, Bela tidak satu atau dua bulan bersama May. Jelas sangat tahu bagaimana jika May tengah menyembunyikan sesuatu. “Ada apa, Bel?” tanya May. Deva dan juga Alvin kini juga ikut menatap Bela dengan tatapan bingung dan bertanya-tanya. Tidak hanya itu, pak Seno pun juga ikut menatap ke arah Bela. Bela menjadi canggung saat hampir semua netra menatap ke arah dirinya. Bela menggeleng, lalu kembali melanjutkan makannya tanpa jadi berbicara kepada May. Mau tentu sangat penasaran dengan Bela. Tetapi May juga
“Sayang, bagaimana dengan ini? Ini sangat menggemaskan,” kata Deva sambil menunjukkan sebuah baju kecil berwarna pink. Baju perempuan. “Adik Luna perempuan?” tanya Luna sambil menatap Deva bingung.Memang sampai detik ini, sudah tiga bulan berjalan. Deva dan Bela tidak mau melakukan USG. Bela mau nanti jenis kelamin anaknya menjadi kejutan. Sebenarnya Deva sudah sangat penasaran, tetapi Bela tetap tidak mau melakukan USG. Pada akhirnya, Deva yang harus mengalah. Deva atau pun Bela juga tidak pernah mempermasalahkan jenis kelamin anaknya nanti. Yang terpenting bagi Deva, anak dan istrinya sehat semua. Itu sudah cukup. Ia tidak banyak menunut. Menerima ada yang diberikan kepada Tuhan untuknya. Deva menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja terasa gatal. “Ayah, adik Luna perempuan?” ulang Luna lagi. “Belum tahu, Sayang. Nanti kita tahu jika sudah lahir,” jawab Bela. Deva tersenyum kepada anaknya, dia juga memasukkan baju itu ke dalam troli belanja. Bela menatap tak percaya ke arah su
“Sayang, ada apa?” tanya Deva kala melihat wajah Bela yang sangat begitu terkejut. Bela memang tengah menelepon seorang, entah apa yang orang itu katakan kepada Bela hingga membuat raut wajah istri Deva itu berubah terkejut. Tentu saja itu membuat Deva juga ikut penasaran. Siapa yang tengah istrinya telepon? Bela mengisyaratkan Deva untuk diam, sementara Bela terus melanjutkan teleponnya. Samar-samar, Deva dapat mendengar suara yang sangat dikenalinya. May? Ya! suara itu adalah suara May! Apa yang mereka bicarakan? “Aku akan ke sana setelah ini, kamu tenang dulu,” kata Bela. “Apakah sudah selesai?” tanyanya lagi. Deva terus saja mendengarkan apa yang istrinya bicarakan dengan saksama, walau suara lawan bicaranya sama sekali tak terdengar. Deva melahap makannya dengan netra yang fokus pada Bela. “Aku turut sedih. Semoga saja semua akan baik-baik saja,” kata Bela dengan nada sedih. Deva semakin penasaran. Apa yang sedang terjadi sebenarnya?“Baiklah. Aku akan ke sana nanti. Kamu
“Ibu, Inara merasa bosan di rumah terus,” kata gadis kecil itu kepada May-sang ibu. May yang sedang menyiram tanaman langsung saja menoleh ke arah anakannya. Saat ini hari Minggu, jadi May dan Inara bersantai di rumah. “Kamu mau ke rumah Luna?” tawar May. Inara tidak langsung menjawab pertanyaan sang ibu. Iya justru terdiam beberapa. Hal itu tentu saja membuat May penasaran. Apakah ada yang terjadi dengan Inara serta Luna? Biasanya anaknya itu selalu senang saat bermain bersama Luna. Namun berbeda kali ini. “Inara, ada apa? kamu sedang berantem dengan Luna?” tebak May. Inara menggeleng. “Tidak, Ibu. Aku hanya ingin bermain bersama Ibu. Aku bosan,” jawab gadis kecil itu. May yang mendengar hal itu bernafas lega. Setidaknya mereka tidak bertengkar, kan? May sudah berpikir yang tidak-tidak mengenai anaknya dan juga Luna. “Lalu, kamu mau ke mana?” tanya May. Wanita itu mematikan keran air dan menghampiri putrinya yang tengah bermain tanah dalam pot. May langsung saja membawa Inara