Bela terus menangis, tapi air mata itu tidak akan mengubah takdir sah Bela menjadi istri orang lain. Seorang wanita yang sedang menemani Bela menggandeng tangan Bela dan berkata, "Ayo, berdiri! Kamu harus bersalaman dengan suamimu. Segera hapus air matamu, Bela."
"Aku tidak mau menikah," rengek Bela. Bela tidak bisa berdiri karena tubuhnya lemah. Alhasil, pria yang merupakan suami Bela itu yang mendekati Bela.
Deva, pria yang kini menjadi suami Bela, mengulurkan tangan kanannya ke arah Bela. Ayah Bela juga ada di sana. Dengan cepat ayah Bela meraih tangan Bela dan tangan Deva bersatu.
"Dia sah suamimu, Bela. Ayo cium tangan suamimu!" kata ayah Bela. Dengan gemetar dan menangis, Bela mendekatkan bibirnya ke punggung tangan suaminya. Bibir mungil Bela berhasil mendarat lembut di punggung tangan Deva. Deva pun langsung memegang kepala Bela dan membacakan doa. Semuanya tersenyum bahagia, kecuali Bela yang masih belum bisa menerima pernikahan mereka.
***
Upacara pernikahan perjodohan akhirnya selesai. Semua undangan sudah pulang, dan lokasi tempat yang digunakan untuk ijab dan resepsi masih dibersihkan. Dan sekarang mempelai wanita yang baru sah ada di kamar. Bela sempat menoleh ke ayahnya, dia tidak mau masuk ke kamar karena belum larut malam dan dia belum mengantuk. Namun tubuh Bela didorong oleh ayahnya. Bahkan ayahnya sampai tega mengunci pintu kamar dari luar.
Sekarang yang dilakukan Bela adalah duduk kembali di tempat tidur sambil menangis lagi. Sebelumnya Deva sempat meminta Bela untuk berbicara, namun Bela bungkam. Dia mengabaikan Deva.
Deva lalu duduk di depan Bela. Bela langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tangan Bela terasa tersentuh. Bisakah Bela memastikan bahwa Deva yang menyentuh tangannya?
"Sampai kapan kamu akan menangis?" tanya Deva sambil mengangkat alis.
Tanpa memkamu ng Deva, Bela menjawab, "Mengapa kamu mau menikah dengan anak seperti aku? Apakah tidak ada wanita lain di luar sana? aku pikir kamu terlalu tua untuk aku juga. aku tidak menyukaimu."
Deva tersenyum mendengar perkataan Bela. Dia senang karena Bela tidak berbicara dengannya sejak itu. "Kalau begitu kamu akan menyukaiku. Aku yakin tidak akan lama," kata Deva dengan bangga.
Bela menoleh dan menatap Deva dengan mulut terbuka, lalu tersenyum. "Sangat percaya diri. aku bukan seseorang yang mudah jatuh cinta dengan sembarang pria," kata Bela membela diri.
Deva terpancing dengan omongan Bela. Pria yang merupakan suami Bela itu menatap Bela dengan alis terangkat. "Oh ya? Jangan lupa, aku bukan sembarang pria, tapi sekarang aku adalah suamimu. Aku bisa melakukan apa saja untukmu, untuk membuatmu jatuh cinta nanti."
Tangis Bela berhenti. Kini Bela menatap suaminya kesal. Bibirnya didorong ke depan, seperti bibir bebek. Bela langsung membenturkan bantal yang ada di pangkuannya tadi ke Deva. "Menjengkelkan..menyebalkan..menyebalkan," teriak Bela sambil terus memukul Deva dengan bantal.
Deva tidak marah, pria itu menertawakan sikap Bela yang kekanak-kanakan. Setelah membiarkan Bela memukuli dirinya sendiri, dia. Akhirnya Deva menangkap bantal Bela sehingga tidak bisa bergerak dan memukulnya. Bela menatap Deva dengan bibir masih bergerak ke depan. Nafas Bela seperti tersengal-sengal karena kelelahan. Tindakan memukulnya juga membutuhkan energi.
Deva mengambil bantal dan melemparkan bantal Deva ke tengah kasur. Deva kembali menatap Bela yang sedang mengernyitkan dahi. Ini membuat senyum Deva terlihat jelas. Deva memajukan dirinya. Bela mengundurkan diri. Pikiran Bela sudah berkelana kemana-mana. Dia pernah membaca novel romantis tentang pasangan pengantin baru. Bela mengira malam itu juga Deva akan melakukan hal yang sama seperti yang Bela baca sebelumnya. Mata Bela terpejam saat nafas Deva menerpa wajahnya. Jantung Bela sudah bekerja tidak teratur.
"Kita harus pergi makan!" Deva berbisik di telinga Bela. Setelah itu Deva menjauhkan diri dan langsung berdiri. Sementara itu, Bela perlahan membuka matanya. Dia masih malu, Deva. Bagaimana menurutmu, Bela? Bela menggerutu mengutuk dirinya sendiri.
Deva menatap Bela dengan tatapan menggoda. "Kenapa? Apakah gadis kecil sepertimu juga mengerti orang dewasa?" tanya Deva dengan senyum nakal.
Bela menggeleng cepat. "Tidak, aku tidak tahu apa-apa," kata Bela menutupi pikiran konyol yang terlintas di benaknya. Hal itu membuat Deva tertawa.
"Kamu cantik kalau tidak menangis seperti itu," kata Deva, memuji Bela tiba-tiba. Sebisa mungkin, Bela tersenyum, dia suka jika mendapat pujian. Biasanya Bela akan menyombongkan diri, tapi kali ini Bela menahannya, dia malu.
Deva kembali duduk di depan Bela. "Kamu anak yang lucu ya. Tidak salah aku menikah denganmu, Bela akung. Jangan menahan senyum itu lagi." Mendengar perkataan Deva, Bela jadi tambah malu.
"Diam!" teriak Bela kemudian. Gadis itu kembali menjulurkan bibirnya, pertkamu dia kesal. Deva menyodok dagu Bela, tapi Bela berusaha mengelak.
"Baiklah, ayo makan!" kata Deva.
Bela menggelengkan kepalanya. "Tidak," kata Bela. Deva mengusap wajahnya dengan kasar, hembusan nafas panjang juga keluar dari bibir Deva. Deva harus bersabar menghadapi istrinya yang kekanak-kanakan dan tentu saja gadis keras kepala itu.
"Kamu mau mati?" teriak Deva.
"Ya, lebih baik aku mati saja. Aku tidak terima pernikahan ini," jawab Bela santai.
Deva menjawab, "Bela… sekarang kamu sudah sah menjadi istriku. Kamu harus patuh padaku!"
Bela sangat senang mendengarnya. "Apa yang akan dikatakan teman-temanku jika mereka tahu aku menikah dengan om om? Dengan pria sepuluh tahun lebih tua dariku. Mereka pasti akan menertawakanku. Itu semua karena kamu." Bela mencurahkan isi hatinya kepada Deva. Deva menjadi pendengar setia, dia diam dan membiarkan Bela buka suara lagi. Deva berharap hal ini bisa membuat Deva mengenal sosok Bela dengan mudah sehingga dia tahu bagaimana cara membahagiakan Bela.
“aku juga gagal kuliah di luar negeri karena jodoh ini,” Bela bersorak saat mengingat mimpinya. Bela mengalihkan pkamu ngannya. "Kenapa kamu tega? Kenapa kamu sepertinya menjualku?" Mata Bela kembali berlinang air mata. Hatinya sakit ketika mengingat bahwa pemaksaan dan perjodohan dilakukan semata-mata untuk menyelamatkan perusahaan ayahnya.
Deva tidak tega melihat perempuan menangis, apalagi gadis kecil yang sudah menjadi istrinya. Deva menyeka air matanya. Lalu Deva meraih tangan Bela dan menggenggamnya. Bela tidak mengelak dan membiarkan Deva.
"Jangan bicara seperti itu! Aku tidak ingin kamu kecewa dengan pernikahan kita." Deva mencoba menjelaskan.
Bela segera menarik tangannya dan menyangkalnya. "aku kecewa." Air mata Bela pecah lagi. "Kamu tidak merasakannya, jadi kamu dengan mudah mengatakan itu," kata Bela.
Deva menyela. "Ya, Bela, aku bisa mengerti," kata Deva dan menarik kembali tangan Bela. "Bela… aku akan membuatmu bahagia. Yang perlu kamu ketahui Bela, jika usia bukan ukuran cinta seseorang, perbedaan usia juga bukan syarat untuk menikah. Mengapa kita menikah dengan seseorang yang tidak jauh dari kita dalam usia, tapi kamu tidak bahagia? Mengapa kamu peduli dengan kata-kata mereka? Bukankah kamu seharusnya bangga menikah dengan seorang pengusaha? Permintaan apa yang bisa aku berikan? aku yakin teman-teman kamu akan iri alih-alih mengejek." Deva memberikan pengertian kepada Bela. Lelaki itu berharap agar Bela bisa segera paham dan paham.
"Tapi aku masih anak-anak untukmu," kata Bela yang sudah berhenti menangis.
Deva tersenyum. "Terus kenapa? Aku menyukainya. Kamu tidak perlu khawatir, aku akan menerimamu apa adanya." Bela terdiam, dia tidak lagi menjawab perkataan Deva.
"Hm… cepat pakai bajumu! Kita akan kembali ke rumahku hari ini," kata Deva sambil berdiri dari tempat duduknya.
Mata Bela membulat. Mulut Bela pun menganga, dia terlihat kaget dengan pernyataan Deva. "Apa yang kamu katakan? Ke rumahmu? Tidak bisakah kita tinggal di rumah Ayah untuk beberapa bulan ke depan? Jika kamu ingin pulang maka pulanglah. Aku akan tinggal di sini," kata Bela.
Deva menggelengkan kepalanya. "Tidak. Kamu telah menjadi istriku. Jadi kamu harus ikut denganku untuk kembali ke rumahku!"
Bela melihat jam dinding di kamarnya. "Apa kamu tidak tahu ini sudah malam? Apa kamu tidak tega? Aku lelah," kata Bela dengan nada yang sama sekali tidak sopan.
Mendengar jawaban dari Bela, Deva menghela nafas panjang. "Baiklah, kita akan tinggal di sini sampai besok. Dan besok kamu harus segera bersiap-siap untuk pulang bersamaku. Jadilah istri yang baik," kata Deva dengan suara lembut. Bela baru saja berdehem.
Setelah itu Bela berjalan menuju meja rias. Bela belum menghapus riasan pengantinnya dan juga belum menghapus riasannya. Semua aksesoris yang menempel di kepala atau badan Bela langsung dilepas Bela. Make up pun langsung ditanggalkan Bela.
"Kemana kamu pergi?" tanya Deva saat melihat Bela berdiri dari kursi meja rias.
Bela menoleh. "Mandi," jawab Bela sambil berjalan menuju lemari pakaiannya. Bela kemudian mengambil piyama tidur panjangnya. Dia tidak mau harus kembali untuk mengganti pakaiannya nanti. Bela berpikir lebih baik segera memakai piyama untuk tidur.
"Jangan terlalu lama!" tegur Deva saat Bela hendak masuk kamar mandi.
"Berisik," teriak Bela menanggapi perkataan Deva. Bela masuk ke kamar mandi, pintu kamar mandi langsung ditutup Bela dengan keras mengeluarkan suara.
"Aku juga mau segera mandi," teriak Deva yang terdengar oleh Bela.
Bela membuka pintu kamar mandi lagi. "Nah...." Bela hanya menjulurkan lidah pada Deva setelah itu dia kembali ke kamar mandi dan segera melakukan ritual mandinya. Deva menyela. "Ya, Bela, aku bisa mengerti," kata Deva dan menarik kembali tangan Bela. "Bela… aku akan membuatmu bahagia. Yang perlu kamu ketahui Bela, jika usia bukan ukuran cinta seseorang, perbedaan usia juga bukan syarat untuk menikah. Mengapa kita menikah dengan seseorang yang tidak jauh dari kita dalam usia, tapi kamu tidak bahagia? Mengapa kamu peduli dengan kata-kata mereka? Bukankah kamu seharusnya bangga menikah dengan seorang pengusaha? Permintaan apa yang bisa aku berikan? Aku ýyakin teman-teman kamu akan iri alih-alih mengejek." Deva memberikan pengertian kepada Bela. Lelaki itu berharap agar Bela bisa segera paham dan paham.
"Tapi aku masih anak-anak untukmu," kata Bela yang sudah berhenti menangis.
Deva tersenyum. "Terus kenapa? Aku menyukainya. Kamu tidak perlu khawatir, aku akan menerimamu apa adanya." Bela terdiam, dia tidak lagi menjawab perkataan Deva.
“Hm… cepat pakai bajumu. Hari ini kita pulang ke rumahku,” kata Deva sambil berdiri dari duduknya.
Mata Bela membulat. Mulut Bela pun menganga, dia terlihat kaget dengan pernyataan Deva. "Apa yang kamu katakan? Ke rumahmu? Tidak bisakah kita tinggal di rumah Ayah untuk beberapa bulan ke depan? Jika kamu ingin pulang maka pulanglah. Aku akan tinggal di sini," kata Bela.
Deva menggelengkan kepalanya. "Tidak. Kamu telah menjadi istriku. Jadi kamu harus ikut denganku untuk kembali ke rumahku."
Bela melihat jam di dinding kamarnya. "Apa kamu tidak tahu ini sudah malam? Apa kamu tidak tega? Aku lelah," kata Bela dengan nada yang sama sekali tidak sopan.
Mendengar jawaban dari Bela, Deva menghela nafas panjang. "Baiklah, kita akan tinggal di sini sampai besok. Dan besok kamu harus segera bersiap-siap untuk pulang bersamaku. Jadilah istri yang baik," kata Deva dengan suara lembut. Bela baru saja berdehem.
Setelah itu Bela berjalan menuju meja rias. Bela belum menghapus riasan pengantinnya dan juga belum menghapus riasannya. Semua aksesoris yang menempel di kepala atau badan Bela langsung dilepas Bela. Make up pun langsung ditanggalkan Bela.
"Kemana kamu pergi?" tanya Deva saat melihat Bela berdiri dari kursi meja rias.
Bela menoleh. "Mandi," jawab Bela sambil berjalan menuju lemari pakaiannya. Bela kemudian mengambil piyama tidur panjangnya. Dia tidak mau harus kembali untuk mengganti pakaiannya nanti. Bela berpikir lebih baik segera memakai piyama untuk tidur.
"Jangan lama-lama!" imbau Deva saat Bela hendak masuk ke kamar mandi.
"Berisik," teriak Bela menanggapi perkataan Deva. Bela masuk ke kamar mandi, pintu kamar mandi langsung ditutup Bela dengan keras mengeluarkan suara.
"Aku juga mau segera mandi," teriak Deva yang terdengar oleh Bela.
Bela membuka pintu kamar mandi lagi. "Wel...." Bela hanya menjulurkan lidah pada Deva setelah itu dia kembali ke kamar mandi dan segera melakukan ritual mandinya.
Di bawah pancuran air, Bela kembali menangis. Meratapi nasibnya yang malang. Menjodohkan, dan menikah setelah SMA tidak pernah terpikir olehnya. Pernikahan yang dilangsungkan pagi ini seakan menghancurkan impian dan masa depan Bela. "Argh...." rintih Bela sambil menggedor-gedor dinding kamar mandi. Dia belum bisa menerima nasibnya. "Ayah jahat! Jahat! Mengapa kamu tidak peduli dengan masa depan Bela! Ayah jahat!" teriak Bela terus menangis. Ada ketukan di pintu. Bela hanya menoleh. “Bela,” panggil Deva dari luar kamar mandi. Pria itu terus mengetuk pintu. Namun, Bela hanya menangis dalam diam. Air mata itu tersamarkan oleh percikan air pancuran yang membasahi kepalanya ke seluruh bagian tubuhnya. "Bela, kamu baik-baik saja? Bela jawab aku?" teriak Deva. "Aku hanya ingin mati!" teriak Bela kemudian. Dari luar kamar mandi, Deva yang mendengar ucapan Bela melebarkan matanya. Ia khawatir akan terjadi sesuatu pada Bela. Dia takut Bela nekat menyakitinya. Deva terus mengetuk pintu k
Malam telah berganti pagi. Sinar matahari yang menembus dari lubang ventilasi masuk ke kamar Bela. Bela sama sekali tidak terganggu. Selimut semakin ditarik menutupi tubuh mungil Bela. "Bela, kamu belum bangun?" tanya Deva saat mendapati Bela menarik selimut menutupi tubuhnya. Bela terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Deva. Saat Deva hendak melepas selimut yang menutupi tubuh Bela, Bela menahan selimut itu di tempatnya. Dengan membelakangi Deva, Bela bergumam, "Pergi! Tinggalkan aku! Aku tidak mau diganggu." Suara Bela terdengar begitu serak. Bela merasakan tubuhnya dingin dan menggigil. Suhu tubuh Bela juga lebih panas dari biasanya. Kepala Bela juga terasa sangat pusing, sementara matanya seperti lem, tidak mau terbuka. "Bela, apa yang kamu lakukan?" tanya Deva saat melihat tubuh Bela yang diselimuti selimut menggigil. Terdengar ketukan di pintu kamar Bela, membuat Deva menoleh ke arah pintu, namun tidak dengan Bela yang masih setia menutupi dirinya dengan selimut tebal. Deva
Selesai makan siang, Bela dan Deva kembali ke kamar. Bela tetap tidak menghiraukan Deva, bahkan saat Deva menelpon, Bela tidak menjawab. Bela segera duduk di kursi mejanya. Laptop yang tertutup itu langsung dibuka oleh Bela. Bela berniat menghiburnya. Setelah layar di depan Bela menyala, tak butuh waktu lama bagi Bela untuk segera mencari film kesukaannya. "Rena, aku ingin bicara denganmu," kata Deva yang duduk di tepi tempat tidur sambil melihat punggung Bela. Bela terkekeh. "Lagipula apa lagi? Tidak bisakah kau tidak menggangguku untuk sementara waktu?" kata Bela kesal. Deva menghela nafas panjang, lalu laki-laki yang merupakan suami Bela itu berdiri dari duduknya dan menghampiri Bela. Deva menyandarkan tubuhnya ke meja belajar Bela. "Aku akan mengajakmu berbulan madu," kata Deva. Bela menatap Deva dengan mulut menganga, mata Bela membulat. Rana sepertinya tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Halo! Kamu gila. Aku tidak menerima pernikahan ini, kenapa
Bela menatap takjub restoran di depannya. Ameera belum pernah menemukan restoran dengan desain seunik ini. Tak lama kemudian, Bela langsung masuk ke dalam restoran dan meninggalkan Deva yang berdiri di belakangnya. "Bela tunggu!" perintah Deva. Namun, Bela adalah gadis yang keras kepala. Panggilan dari suaminya yang Bela abaikan begitu saja. Ia tetap memilih masuk ke dalam restoran tanpa menghiraukan Deva. Adapun Deva, pria itu langsung mengikuti langkah Bela. Restorannya tidak terlalu ramai, jadi masih banyak meja kosong. Bela langsung pergi ke meja dekat jendela. Sesampainya di meja Bela langsung duduk dan juga disusul oleh Deva. Melihat Deva duduk, Bela menatap pria itu dengan tidak suka. "Aku tidak ingin duduk denganmu, jangan duduk di sana!" kata Bela dengan nada sedikit kesal. Deva terkejut, namun Deva langsung menetralkan ekspresi wajahnya. “Aku suamimu,” tegur Deva pada Bela. Bela memutar matanya dengan malas dan menghela nafas panjang. "Teruslah mengatakan
Rencana belajar Air mata Bela jatuh lagi. Sekeras apapun Bela menahannya, rasa sakit di hatinya tetap ada. Di dalam Bela, gadis itu ingin berteriak untuk melepaskan sesak di dadanya. Masih setia menatap laut lepas, Bela berkata, "Aku benci hidup ini! Aku benci!" teriak Bela dengan suara teredam. "Bela sayang, ayo duduk!" Suara Deva kembali terdengar di telinga Bela. Deva pun memanggil Bela dari belakang berkali-kali, namun Bela enggan menoleh dan menjawab perkataan Deva. Gadis itu masih sibuk mengeluarkan air matanya agar dadanya terasa lebih lega. Deva tidak diam, dia menatap Bela yang tidak menoleh dan tidak bergerak sama sekali. Akhirnya Deva memilih mendekati Bela lagi dan menyentuh bahu Bela. "Bela," panggil Deva. Mata Deva menyipit saat melihat Bela memejamkan mata dan menangis. "Apa yang kamu lakukan sayang?" Usai pertanyaan dilontarkan Deva, Bela menepis tangan Deva dan menjauh sedikit. Bela tidak mau berhenti menangis. Dia masih ingin melepaskan sesak di dada
Bela ke kantor Deva Bela yang diminta menoleh ke Deva. "Kamu bajingan, yah...," jawab Bela sambil menjulurkan lidahnya. Karena respon yang diberikan Bela, Deva hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Meski tingkah Bela begitu kekanak-kanakan, ia bisa membuatnya merasa sedang dan nyaman saat berada di dekat Bela. Setelah percakapan itu, tidak ada percakapan lagi. Bela sibuk menonton film yang diputar di layar ponselnya sementara Deva fokus ke jalan di depan. Selang beberapa menit, mobil Deva akhirnya berhenti. Bela menoleh ke kiri. Alis Bela berkerut saat mengetahui mobil mereka berhenti di gerbang bukannya masuk ke dalam. Meski begitu, dengan wajah cemberut, Bela menoleh ke arah Deva. "Rumah siapa ini? Kemana kita akan pergi?" tanya Bela yang tidak tahu rumah di sebelah mobil Deva. “Rumahku,” jawab Deva sambil melepas sabuk pengamannya. Bela menjadi penasaran. "Mengapa kita berhenti di sini? Mengapa tidak parkir di dalam?" Bela bertanya lagi. Deva tersenyum p
Jatuh "Tidak, saya tidak bisa membiarkan mimpi saya memudar begitu saja. Saya harus pergi ke luar negeri," kata Bela, salah satu impian Bela adalah pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Bela segera bangkit dari tempat tidurnya. Gadis yang masih mengenakan baju tidurnya melangkah menuju meja tempat Deva meletakkan laptopnya. Bela duduk di kursi yang ada. Sekali lagi Bela menyeka air mata yang tersisa. Setelah itu, dia mulai mengetik sesuatu di halaman pencarian laptopnya. Hatinya hancur karena tidak diterima di perguruan tinggi sebelumnya, berusaha mendorong Bela untuk mencari universitas lain di luar negeri. Mata Bela kembali terfokus pada layar laptop. Dia dengan hati-hati membaca setiap artikel yang menjelaskan universitas di luar negeri yang akan dia hadiri. "Aku harus masuk ke sini," gumam Bela. Puas dengan apa yang dia cari, Bela membalik laptopnya ke menu utama dan mematikan laptopnya. Kemudian Bela menutup laptop yang sudah tidak digunakannya lagi. Dia
Ke taman Deva menopang dagunya dengan kedua tangan. “Kamu harus banyak makan makanan yang bergizi, Sayang. Aku tidak ingin ayahku tahu kalau kamu tidak bertambah gemuk atau kurus,” jawab Deva yang menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya pada Rena. Mendengar jawaban dari Deva, Rena memutar bola matanya malas. Dia tidak bisa mengerti suaminya. "Saya tidak mau berat badan naik, dan kalau saya paksakan perut saya yang sudah kenyang nanti saya muntahkan lagi," jelas Rena kepada Deva. Deva mengangguk mendengar perkataan Rena. Deva senang mendengar suara Rena yang berceloteh. Deva ingin terus menggoda Rena agar gadis itu terus mengoceh. Namun, Deva juga merasa kasihan pada Rena jika terus dibuat kesal. “Ya, baiklah,” jawab Deva. Lalu Deva menoleh ke pengurus rumah tak jauh dari meja makan. “Mbak, satu jam lagi sudah beres,” kata Deva kepada pengurus rumah. Pengurus rumah tangga berbalik dan mengangguk. "Ya pak." Deva kembali menatap Rena. "Ke taman lagi yuk! Cari udara segar sambil ng