“Bela, besok kamu harus menikah!” Seno, ayahnya Bela, menyuruh Bela.
"Apa? Apa Bela tidak salah dengar Yah? aku masih ingin melanjutkan sekolah. Baru kemarin aku lulus SMA. Ayah menyuruh aku untuk menikah. Tidak, aku tidak mau," tolak Bela.
"Tapi aku sudah berjanji akan menikahkanmu dengan anak rekanku. Dan itu harus terjadi. Kalau tidak, ancamannya adalah perusahaan Ayah. Mau tidak mau kamu harus menikah minggu depan. Aku sudah menyiapkan segalanya. Aku tidak butuh persetujuanmu. Aku hanya memberitahumu,'' kata Seno dengan tegas.
Bela yang baru saja berencana untuk kuliah di luar negeri tiba-tiba menghilang karena perkataan ayahnya. Rasanya seperti Bela dijual oleh ayahnya.
Demi keselamatan perusahaan, Bela harus menikah dengan anak rekan ayahnya. Bela berpikir bahwa dia akan lari dari rumahnya.
Bela melihat keadaan rumahnya. Tidak seperti biasanya. Cukup banyak anak buah ayahnya yang berjaga-jaga. Tempat tidur Bela ada di lantai dua. Biasanya hanya satu atau dua anak buah ayahnya. Tapi Bela melihat ada sekitar sepuluh orang di sana.
"Apa yang ayah ini lakukan? Kenapa harus seperti ini?" Bela menggerutu.
Bela ingin keluar kamar setidaknya untuk mencari tahu hal-hal lain di rumahnya. Berjalan menuju pintu kamarnya. Dia kesulitan membukanya.
Bela mencoba berkali-kali untuk membukanya tapi tidak bisa. Dia baru sadar dia dikunci dari luar.
"Ayah, tolong buka kamarku! Aku mau keluar. Ayah!" teriak Bela dari dalam kamar sambil menggedor-gedor pintu.
Tapi tidak ada yang membuka pintu. Bela terus berteriak meminta siapa saja yang bisa membukakan pintu untuknya.
Hingga Bela merasa lelah. Dia kembali ke tempat tidur. Dia berbaring di tempat tidur empuk.
Hati yang begitu sakit karena serasa dipaksa melakukan sesuatu yang Bela tidak mau lakukan. Tak terasa dia mengeluarkan cairan bening dari ujung jaringnya. Sakit hati yang dia rasakan dan tidak ada yang mau membantunya di kamar.
Siang hari, pengurus rumah tangga masuk ke kamar Thea. "Non Bela, ini makan siang. Jangan lupa makan ya Non," katanya.
Bela kemudian bangun dari kamar dan ingin keluar dari kamar. Namun ternyata di depan kamar Bela ada dua anak buah ayahnya.
Mereka memblokir Bela.
"Lepaskan aku!" Bela memberontak dengan sekuat tenaga.
"Maaf. Perintah Pak Seno adalah Nona Bela tidak boleh keluar kamar. Jadi kami minta Nona Bela kembali ke kamar asalkan tidak menggunakan kekerasan!" kata salah satu anak buah ayahnya.
Bela berusaha lebih keras dan lebih keras untuk memberontak. Namun, kekuatannya terlalu lemah untuk melawan dua pria kekar di depannya.
Bela lalu menyerah. Dipandu oleh anak buah ayahnya. Bersama asisten rumah tangganya.
Bela mulai menangis lagi. Dia merasa anak buah ayahnya terlalu berlebihan. Tapi lebih keterlaluan lagi ayahnya yang memerintahkan demikian.
Berhari-hari Bela mengurung diri di kamarnya. Melihat foto ibunya yang meninggal satu tahun lalu karena sakit.
Sebelum meninggal, Bela sangat dekat dengan ibunya. Tahun lalu ibunya meninggal, membuat Bela sangat kehilangan. Tak ada lagi tempat baginya untuk mencurahkan isi hatinya. karena ayahnya sangat sibuk dengan pekerjaannya. Bela berharap untuk belajar di luar negeri agar dia bisa melupakan ibunya.
Namun, ayahnya memaksanya untuk menikah dengan pria yang belum pernah dia temui.
Sore hari sebelum hari pernikahan Bela. Seno mengajak Bela berbicara di ruang tamu. Namun penjagaan cukup ketat oleh anak buah ayahnya agar tidak membiarkan Bela kabur.
Bela terlihat lusuh dan lemah.
"Bel, kamu setuju kalau besok kamu akan menikah dengan anak rekan kerja ayahmu?" tanya Seno.
"Aku lebih baik mati daripada menikah dengan orang yang tidak kukenal," jawab Bela tanpa melihat wajah ayahnya.
"Aku yakin laki-laki yang kamu pilih itu baik dan bisa memimpin kamu. karena dia juga pernah bertemu dengan ku. Mungkin suatu saat kamu tahu kamu akan bisa langsung menyukainya. Percayalah padaku!" kata Seno.
"Tidak mungkin. Aku hanya ingin laki-laki yang aku kenal kalau aku tidak tahu aku juga tidak mau. Apalagi jika aku belum pernah bertemu. Ayah, jangan berpikir itu konyol! Katakan saja jika kamu ingin mengusirku dari sini. Lebih baik aku daripada menikah," jawab Bela kesal.
Seno menarik napas dalam-dalam. "Ya sudah terserah kamu. Intinya kamu nikah besok. Titik. Kamu pulang saja ke kamarmu! Besok ada saatnya kamu keluar kamar pakai gaun pengantin yang cantik. Ayah sudah menyiapkan semuanya untukmu,'' katanya.
Anak buah Seno kemudian membawa Bela ke kamarnya. Tanpa perlawanan Bela hanya menuruti saja. Besok hanya harus melakukan perbuatan yang mungkin tidak akan dilakukan untuk sebuah pernikahan. Senyum miring tersungging di wajah Bela.
Keesokan harinya, saat Bela sudah berdkamu n dan mengenakan gaun pengantin, keluarga mempelai pria juga sudah datang.
Akad nikah Bela digelar secara sederhana di rumah Bela. Bagi Seno yang terpenting adalah pelaksanaan pernikahan Bela.
Setelah merasa siap, Bela dijemput oleh Seno. Seno merasa bangga putrinya akhirnya memasuki tahap pernikahan. Meski sebagai orang tua tunggal, Seno bersyukur bisa mendorong anaknya untuk menikah.
Saat pernikahan akan dilangsungkan, Bela tidak bisa melihat wajah calon suaminya. Dia hanya duduk agak jauh dari calon suaminya.
Bela hanya melihat jika calon suaminya itu tinggi dan ideal. Namun, Bela juga bisa menerima perjodohan ini. Dia ingin pernikahan dibatalkan hari ini.
Upacara pernikahan akan dilaksanakan, Bela bangkit dari tempat duduknya.
"Tunggu!" teriak Bela.
Semua mata tertuju pada Bela.
"Ada apa, Bela?" tanya Seno dari meja pernikahan.
Namun, ternyata Bela terjatuh. Saat Bela ingin membatalkan pernikahannya, yang terjadi Bela kehilangan kesadaran.
Anak buah Seno kemudian membawa Bela ke kamarnya. Seorang dokter keluarga dipanggil untuk memeriksa kondisi Bela.
Menurut dokter, Bela hanya lemas karena tidak makan selama beberapa hari. Kondisinya cukup lemah, sehingga Bela jatuh pingsan karena tidak kuat lagi menopang dirinya.
Namun ketika Bela sadar, sang penghulu langsung menikahkan Bela dengan syarat Bela baru sadar dan Bela tidak bisa lagi menolak. Hingga pernikahan Bela dinyatakan sah oleh para saksi.
Bela dengan tubuh yang lemah tidak bisa lagi mengeluarkan suara. Hatinya berteriak minta tolong, tapi mulutnya tidak bisa mengeluarkan suara.
Bela terus menangis, tapi air mata itu tidak akan mengubah takdir sah Bela menjadi istri orang lain. Seorang wanita yang sedang menemani Bela menggandeng tangan Bela dan berkata, "Ayo, berdiri! Kamu harus bersalaman dengan suamimu. Segera hapus air matamu, Bela." "Aku tidak mau menikah," rengek Bela. Bela tidak bisa berdiri karena tubuhnya lemah. Alhasil, pria yang merupakan suami Bela itu yang mendekati Bela. Deva, pria yang kini menjadi suami Bela, mengulurkan tangan kanannya ke arah Bela. Ayah Bela juga ada di sana. Dengan cepat ayah Bela meraih tangan Bela dan tangan Deva bersatu. "Dia sah suamimu, Bela. Ayo cium tangan suamimu!" kata ayah Bela. Dengan gemetar dan menangis, Bela mendekatkan bibirnya ke punggung tangan suaminya. Bibir mungil Bela berhasil mendarat lembut di punggung tangan Deva. Deva pun langsung memegang kepala Bela dan membacakan doa. Semuanya tersenyum bahagia, kecuali Bela yang masih belum bisa menerima pernikahan mereka. *** Upacara pernikahan perjodohan
Di bawah pancuran air, Bela kembali menangis. Meratapi nasibnya yang malang. Menjodohkan, dan menikah setelah SMA tidak pernah terpikir olehnya. Pernikahan yang dilangsungkan pagi ini seakan menghancurkan impian dan masa depan Bela. "Argh...." rintih Bela sambil menggedor-gedor dinding kamar mandi. Dia belum bisa menerima nasibnya. "Ayah jahat! Jahat! Mengapa kamu tidak peduli dengan masa depan Bela! Ayah jahat!" teriak Bela terus menangis. Ada ketukan di pintu. Bela hanya menoleh. “Bela,” panggil Deva dari luar kamar mandi. Pria itu terus mengetuk pintu. Namun, Bela hanya menangis dalam diam. Air mata itu tersamarkan oleh percikan air pancuran yang membasahi kepalanya ke seluruh bagian tubuhnya. "Bela, kamu baik-baik saja? Bela jawab aku?" teriak Deva. "Aku hanya ingin mati!" teriak Bela kemudian. Dari luar kamar mandi, Deva yang mendengar ucapan Bela melebarkan matanya. Ia khawatir akan terjadi sesuatu pada Bela. Dia takut Bela nekat menyakitinya. Deva terus mengetuk pintu k
Malam telah berganti pagi. Sinar matahari yang menembus dari lubang ventilasi masuk ke kamar Bela. Bela sama sekali tidak terganggu. Selimut semakin ditarik menutupi tubuh mungil Bela. "Bela, kamu belum bangun?" tanya Deva saat mendapati Bela menarik selimut menutupi tubuhnya. Bela terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Deva. Saat Deva hendak melepas selimut yang menutupi tubuh Bela, Bela menahan selimut itu di tempatnya. Dengan membelakangi Deva, Bela bergumam, "Pergi! Tinggalkan aku! Aku tidak mau diganggu." Suara Bela terdengar begitu serak. Bela merasakan tubuhnya dingin dan menggigil. Suhu tubuh Bela juga lebih panas dari biasanya. Kepala Bela juga terasa sangat pusing, sementara matanya seperti lem, tidak mau terbuka. "Bela, apa yang kamu lakukan?" tanya Deva saat melihat tubuh Bela yang diselimuti selimut menggigil. Terdengar ketukan di pintu kamar Bela, membuat Deva menoleh ke arah pintu, namun tidak dengan Bela yang masih setia menutupi dirinya dengan selimut tebal. Deva
Selesai makan siang, Bela dan Deva kembali ke kamar. Bela tetap tidak menghiraukan Deva, bahkan saat Deva menelpon, Bela tidak menjawab. Bela segera duduk di kursi mejanya. Laptop yang tertutup itu langsung dibuka oleh Bela. Bela berniat menghiburnya. Setelah layar di depan Bela menyala, tak butuh waktu lama bagi Bela untuk segera mencari film kesukaannya. "Rena, aku ingin bicara denganmu," kata Deva yang duduk di tepi tempat tidur sambil melihat punggung Bela. Bela terkekeh. "Lagipula apa lagi? Tidak bisakah kau tidak menggangguku untuk sementara waktu?" kata Bela kesal. Deva menghela nafas panjang, lalu laki-laki yang merupakan suami Bela itu berdiri dari duduknya dan menghampiri Bela. Deva menyandarkan tubuhnya ke meja belajar Bela. "Aku akan mengajakmu berbulan madu," kata Deva. Bela menatap Deva dengan mulut menganga, mata Bela membulat. Rana sepertinya tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Halo! Kamu gila. Aku tidak menerima pernikahan ini, kenapa
Bela menatap takjub restoran di depannya. Ameera belum pernah menemukan restoran dengan desain seunik ini. Tak lama kemudian, Bela langsung masuk ke dalam restoran dan meninggalkan Deva yang berdiri di belakangnya. "Bela tunggu!" perintah Deva. Namun, Bela adalah gadis yang keras kepala. Panggilan dari suaminya yang Bela abaikan begitu saja. Ia tetap memilih masuk ke dalam restoran tanpa menghiraukan Deva. Adapun Deva, pria itu langsung mengikuti langkah Bela. Restorannya tidak terlalu ramai, jadi masih banyak meja kosong. Bela langsung pergi ke meja dekat jendela. Sesampainya di meja Bela langsung duduk dan juga disusul oleh Deva. Melihat Deva duduk, Bela menatap pria itu dengan tidak suka. "Aku tidak ingin duduk denganmu, jangan duduk di sana!" kata Bela dengan nada sedikit kesal. Deva terkejut, namun Deva langsung menetralkan ekspresi wajahnya. “Aku suamimu,” tegur Deva pada Bela. Bela memutar matanya dengan malas dan menghela nafas panjang. "Teruslah mengatakan
Rencana belajar Air mata Bela jatuh lagi. Sekeras apapun Bela menahannya, rasa sakit di hatinya tetap ada. Di dalam Bela, gadis itu ingin berteriak untuk melepaskan sesak di dadanya. Masih setia menatap laut lepas, Bela berkata, "Aku benci hidup ini! Aku benci!" teriak Bela dengan suara teredam. "Bela sayang, ayo duduk!" Suara Deva kembali terdengar di telinga Bela. Deva pun memanggil Bela dari belakang berkali-kali, namun Bela enggan menoleh dan menjawab perkataan Deva. Gadis itu masih sibuk mengeluarkan air matanya agar dadanya terasa lebih lega. Deva tidak diam, dia menatap Bela yang tidak menoleh dan tidak bergerak sama sekali. Akhirnya Deva memilih mendekati Bela lagi dan menyentuh bahu Bela. "Bela," panggil Deva. Mata Deva menyipit saat melihat Bela memejamkan mata dan menangis. "Apa yang kamu lakukan sayang?" Usai pertanyaan dilontarkan Deva, Bela menepis tangan Deva dan menjauh sedikit. Bela tidak mau berhenti menangis. Dia masih ingin melepaskan sesak di dada
Bela ke kantor Deva Bela yang diminta menoleh ke Deva. "Kamu bajingan, yah...," jawab Bela sambil menjulurkan lidahnya. Karena respon yang diberikan Bela, Deva hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Meski tingkah Bela begitu kekanak-kanakan, ia bisa membuatnya merasa sedang dan nyaman saat berada di dekat Bela. Setelah percakapan itu, tidak ada percakapan lagi. Bela sibuk menonton film yang diputar di layar ponselnya sementara Deva fokus ke jalan di depan. Selang beberapa menit, mobil Deva akhirnya berhenti. Bela menoleh ke kiri. Alis Bela berkerut saat mengetahui mobil mereka berhenti di gerbang bukannya masuk ke dalam. Meski begitu, dengan wajah cemberut, Bela menoleh ke arah Deva. "Rumah siapa ini? Kemana kita akan pergi?" tanya Bela yang tidak tahu rumah di sebelah mobil Deva. “Rumahku,” jawab Deva sambil melepas sabuk pengamannya. Bela menjadi penasaran. "Mengapa kita berhenti di sini? Mengapa tidak parkir di dalam?" Bela bertanya lagi. Deva tersenyum p
Jatuh "Tidak, saya tidak bisa membiarkan mimpi saya memudar begitu saja. Saya harus pergi ke luar negeri," kata Bela, salah satu impian Bela adalah pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Bela segera bangkit dari tempat tidurnya. Gadis yang masih mengenakan baju tidurnya melangkah menuju meja tempat Deva meletakkan laptopnya. Bela duduk di kursi yang ada. Sekali lagi Bela menyeka air mata yang tersisa. Setelah itu, dia mulai mengetik sesuatu di halaman pencarian laptopnya. Hatinya hancur karena tidak diterima di perguruan tinggi sebelumnya, berusaha mendorong Bela untuk mencari universitas lain di luar negeri. Mata Bela kembali terfokus pada layar laptop. Dia dengan hati-hati membaca setiap artikel yang menjelaskan universitas di luar negeri yang akan dia hadiri. "Aku harus masuk ke sini," gumam Bela. Puas dengan apa yang dia cari, Bela membalik laptopnya ke menu utama dan mematikan laptopnya. Kemudian Bela menutup laptop yang sudah tidak digunakannya lagi. Dia
Long weekend membuat Deva banyak waktu bersama keluarga nya. Setelah kemarin ikut mengantarkan sang buah hati ke mall untuk ikut lomba menggambar hari ini Deva memiliki rencana untuk ke panti asuhan dimana dulu ia dibesarkan. Deva ingin menanamkan rasa syukur dan berbagi pada kedua buah hatinya. Kalau Indra mungkin belum mengerti tapi saat ini ia ingin mengajak mereka semua untuk ke panti asuhan."Bu, kapan kita berangkat?" tanya Luna yang sedang antusias untuk berangkat ke panti asuhan. Deva memang sudah menyiapkan beberapa hal yang perlu dibawa ke sana seperti paket alat tulis, uang dan juga paket makanan yang akan diberikan pada penghuni panti asuhan dan ia juga sedang bersiap."Iya, tunggu kakek dan nenek. Kalau mereka sudah datang kita berangkat bersama," jawab Bela. Ia sedang bersiap dengan Indra juga. Tak berselang lama ternyata kakek dan neneknya Luna datang."Yey, kakek dan nenek sudah datang," ucap Luna begitu gembira menyambut kedatangan kakek dan nenek nya. "Apakah semu
Saat ini Bela sedang menemani Luna belajar. Luna adalah anak yang suka belajar tanpa disuruh. Bela senang melihat anaknya begitu. Meskipun masih duduk di bangku taman kanak-kanak tapi bakat Luna terlihat yaitu senang menggambar. Bela bangga padanya karena ia juga gigih dan sabar. Bela berencana ingin mencoba mengikuti sebuah perlombaan menggambar yang akan digelar di sebuah mall besar."Luna, besok ada lomba menggambar apa kamu mau ikut?" tanya Bela."Dimana, Bu?" balas Luna."Di mall. Ibu nggak minta kamu untuk bisa menang kok yang penting kamu berani saja itu sudah membuat ibu bangga," jawab Bela mencoba memberikan semangat untuk Luna."Iya, Bu, Luna mau ya? Tapi diantar Ibu ya?" pinta Luna."Ya, tentu saja. Besok kita berangkat sama-sama." Bela pun membiarkan Luna melanjutkan menggambar bunga.Keesokan harinya sesuai janji Bela akan mengantarkan Luna ke mall untuk mengikuti lomba. Perlengkapan seperti pensil warna dan alat lain juga sudah disiapkan. Karena hanya tempat menggambar
Bela sekarang disibukkan dengan mengurus dua anaknya. untung saja Deva selalu menorehkan perhatian lebih kepada Bela. Deva juga selalu membawa pekerjaannya ke rumah untuk menjaga Bela. Deva juga sering mengantar jemput anaknya di sekolah.Seperti saat ini, Deva baru saja pulang dari kantor dengan membawa setumpuk berkas di tangannya. Bela yang berada di teras rumah menatap suaminya dengan tatapan bingung. Setidaknya, Deva bisa mengerjakan berkas itu di kantor. Lagi pula, ini bukan pertama bagi Bela. Deva berjalan mendekat ke arah Bela lalu menaruh beberapa tumpukan berkas itu di meja samping Bela. Deva langsung mengecup kening Bela dengan penuh kasih sayang lalu beralih mengecu kening Indra yang berada di gendongan Bela. “Kenapa kamu membawa banyak tumpukan berkas itu ke rumah? Kamu bisa mengerjakannya di kantor, Dev. Jika seperti ini kamu akan kesusahan nantinya,” ujar Bela. “Tidak. aku tidak akan meninggalkan kamu dengan mengurus dua orang anak sendirian. Aku akan membantu kamu m
“Maaf, Bel. Aku belum bisa ke sana saat ini. Tetapi aku akan segera ke sana. aku menunggu Alvin pulang,” kata May di telepon. Wanita itu memang tengah bertelepon dengan Bela. Tentu saja untuk mengucapkan selamat karena kelahiran anak keduanya. May ikut senang akan hal itu. Tetapi bila bisa jujur, ia juga merasa sedih. Bagaimana tidak? Di saat dia mengharapkan anak kedua, justru takdir berkata lain kepadanya. Siapa pun wanita seperti May tentu saja akan merasa sangat sedih. Bagi May, ini bukan perkara yang mudah. Bohong bila ia berkata, bahwa ia bisa menerima keadaannya saat ini. Dari hari terdalam, May sangat iri dengan sahabatnya itu.“Tidak apa, aku tahu,” jawab Bela. “Hari ini aku juga sudah bisa pulang,” sambung Bela. “Aku ikut senang, Bel. Jika bisa, aku akan mendatangi kamu sendiri ke sana. Tetapi Alvin mau bersama menengok kamu,” kata May. Alvin juga tadi sempat memberi tahu May bahwa Bela hari ini melahirkan. Alvin juga mengajak May untuk menengok keponakannya itu setelah
Dua bulan sudah berlalu, kini May sudah bisa menerima keadaannya. Walau sempat kondisinya turun.Bela selama kandungannya tua juga sering berada di rumah Alvin saat suaminya tidak ada. Seperti saat ini, Bela sudah berada di rumah May. Mereka baru saja pulang mengantarkan anaknya pulang dari sekolahnya. Dan ini saatnya, mereka bersantai sambil membaca beberapa buku di ruang tamu. “Bel, lihatlah! Ada yang jual pakaian lucu untuk bayi perempuan,” kata May sambil menunjukkan ponselnya kepada Bela. Bela juga terkesima dengan satu set pakaian lucu yang ditinjukan May. “Sangat lucu!” pekik Bela. “Apakah kamu harus membelinya? Sepertinya, iya! Ini edisi terbatas, Bel. Cepat miliki,” kata May lagi. Bela terdiam. Apakah ia harus membelinya? Tetapi untuk apa? jika anaknya perempuan nanti, masih ada pakaian milik Luna. Bukannya berniat memberikan anak yang keduanya berang bekas, tetapi memang pakaian Luna yang dulu masih bagus dan ada beberapa yang baru. Jika membeli lagi bukankah sangat di
Makan malam hari ini terasa nikmat karena kebersamaan. Ibu Mike sejak tadi juga tidak henti-hentinya bercerita kepada kedua cucu tercintanya. Luna dan juga Inara. Sangat memenangkan! Netra Bela tidak sengaja menatap ke arah May. Wanita itu memegangi perutnya sambil keringat yang membasahi wajahnya. Apakah ada yang terjadi dengan May? “May?” panggil Bela.May langsung saja mengubah posisinya menjadi tegak. May menatap Bela dengan senyum yang wanita itu paksakan. Bela tahu itu! Lagi pula, Bela tidak satu atau dua bulan bersama May. Jelas sangat tahu bagaimana jika May tengah menyembunyikan sesuatu. “Ada apa, Bel?” tanya May. Deva dan juga Alvin kini juga ikut menatap Bela dengan tatapan bingung dan bertanya-tanya. Tidak hanya itu, pak Seno pun juga ikut menatap ke arah Bela. Bela menjadi canggung saat hampir semua netra menatap ke arah dirinya. Bela menggeleng, lalu kembali melanjutkan makannya tanpa jadi berbicara kepada May. Mau tentu sangat penasaran dengan Bela. Tetapi May juga
“Sayang, bagaimana dengan ini? Ini sangat menggemaskan,” kata Deva sambil menunjukkan sebuah baju kecil berwarna pink. Baju perempuan. “Adik Luna perempuan?” tanya Luna sambil menatap Deva bingung.Memang sampai detik ini, sudah tiga bulan berjalan. Deva dan Bela tidak mau melakukan USG. Bela mau nanti jenis kelamin anaknya menjadi kejutan. Sebenarnya Deva sudah sangat penasaran, tetapi Bela tetap tidak mau melakukan USG. Pada akhirnya, Deva yang harus mengalah. Deva atau pun Bela juga tidak pernah mempermasalahkan jenis kelamin anaknya nanti. Yang terpenting bagi Deva, anak dan istrinya sehat semua. Itu sudah cukup. Ia tidak banyak menunut. Menerima ada yang diberikan kepada Tuhan untuknya. Deva menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja terasa gatal. “Ayah, adik Luna perempuan?” ulang Luna lagi. “Belum tahu, Sayang. Nanti kita tahu jika sudah lahir,” jawab Bela. Deva tersenyum kepada anaknya, dia juga memasukkan baju itu ke dalam troli belanja. Bela menatap tak percaya ke arah su
“Sayang, ada apa?” tanya Deva kala melihat wajah Bela yang sangat begitu terkejut. Bela memang tengah menelepon seorang, entah apa yang orang itu katakan kepada Bela hingga membuat raut wajah istri Deva itu berubah terkejut. Tentu saja itu membuat Deva juga ikut penasaran. Siapa yang tengah istrinya telepon? Bela mengisyaratkan Deva untuk diam, sementara Bela terus melanjutkan teleponnya. Samar-samar, Deva dapat mendengar suara yang sangat dikenalinya. May? Ya! suara itu adalah suara May! Apa yang mereka bicarakan? “Aku akan ke sana setelah ini, kamu tenang dulu,” kata Bela. “Apakah sudah selesai?” tanyanya lagi. Deva terus saja mendengarkan apa yang istrinya bicarakan dengan saksama, walau suara lawan bicaranya sama sekali tak terdengar. Deva melahap makannya dengan netra yang fokus pada Bela. “Aku turut sedih. Semoga saja semua akan baik-baik saja,” kata Bela dengan nada sedih. Deva semakin penasaran. Apa yang sedang terjadi sebenarnya?“Baiklah. Aku akan ke sana nanti. Kamu
“Ibu, Inara merasa bosan di rumah terus,” kata gadis kecil itu kepada May-sang ibu. May yang sedang menyiram tanaman langsung saja menoleh ke arah anakannya. Saat ini hari Minggu, jadi May dan Inara bersantai di rumah. “Kamu mau ke rumah Luna?” tawar May. Inara tidak langsung menjawab pertanyaan sang ibu. Iya justru terdiam beberapa. Hal itu tentu saja membuat May penasaran. Apakah ada yang terjadi dengan Inara serta Luna? Biasanya anaknya itu selalu senang saat bermain bersama Luna. Namun berbeda kali ini. “Inara, ada apa? kamu sedang berantem dengan Luna?” tebak May. Inara menggeleng. “Tidak, Ibu. Aku hanya ingin bermain bersama Ibu. Aku bosan,” jawab gadis kecil itu. May yang mendengar hal itu bernafas lega. Setidaknya mereka tidak bertengkar, kan? May sudah berpikir yang tidak-tidak mengenai anaknya dan juga Luna. “Lalu, kamu mau ke mana?” tanya May. Wanita itu mematikan keran air dan menghampiri putrinya yang tengah bermain tanah dalam pot. May langsung saja membawa Inara