“Bela, besok kamu harus menikah!” Seno, ayahnya Bela, menyuruh Bela.
"Apa? Apa Bela tidak salah dengar Yah? aku masih ingin melanjutkan sekolah. Baru kemarin aku lulus SMA. Ayah menyuruh aku untuk menikah. Tidak, aku tidak mau," tolak Bela.
"Tapi aku sudah berjanji akan menikahkanmu dengan anak rekanku. Dan itu harus terjadi. Kalau tidak, ancamannya adalah perusahaan Ayah. Mau tidak mau kamu harus menikah minggu depan. Aku sudah menyiapkan segalanya. Aku tidak butuh persetujuanmu. Aku hanya memberitahumu,'' kata Seno dengan tegas.
Bela yang baru saja berencana untuk kuliah di luar negeri tiba-tiba menghilang karena perkataan ayahnya. Rasanya seperti Bela dijual oleh ayahnya.
Demi keselamatan perusahaan, Bela harus menikah dengan anak rekan ayahnya. Bela berpikir bahwa dia akan lari dari rumahnya.
Bela melihat keadaan rumahnya. Tidak seperti biasanya. Cukup banyak anak buah ayahnya yang berjaga-jaga. Tempat tidur Bela ada di lantai dua. Biasanya hanya satu atau dua anak buah ayahnya. Tapi Bela melihat ada sekitar sepuluh orang di sana.
"Apa yang ayah ini lakukan? Kenapa harus seperti ini?" Bela menggerutu.
Bela ingin keluar kamar setidaknya untuk mencari tahu hal-hal lain di rumahnya. Berjalan menuju pintu kamarnya. Dia kesulitan membukanya.
Bela mencoba berkali-kali untuk membukanya tapi tidak bisa. Dia baru sadar dia dikunci dari luar.
"Ayah, tolong buka kamarku! Aku mau keluar. Ayah!" teriak Bela dari dalam kamar sambil menggedor-gedor pintu.
Tapi tidak ada yang membuka pintu. Bela terus berteriak meminta siapa saja yang bisa membukakan pintu untuknya.
Hingga Bela merasa lelah. Dia kembali ke tempat tidur. Dia berbaring di tempat tidur empuk.
Hati yang begitu sakit karena serasa dipaksa melakukan sesuatu yang Bela tidak mau lakukan. Tak terasa dia mengeluarkan cairan bening dari ujung jaringnya. Sakit hati yang dia rasakan dan tidak ada yang mau membantunya di kamar.
Siang hari, pengurus rumah tangga masuk ke kamar Thea. "Non Bela, ini makan siang. Jangan lupa makan ya Non," katanya.
Bela kemudian bangun dari kamar dan ingin keluar dari kamar. Namun ternyata di depan kamar Bela ada dua anak buah ayahnya.
Mereka memblokir Bela.
"Lepaskan aku!" Bela memberontak dengan sekuat tenaga.
"Maaf. Perintah Pak Seno adalah Nona Bela tidak boleh keluar kamar. Jadi kami minta Nona Bela kembali ke kamar asalkan tidak menggunakan kekerasan!" kata salah satu anak buah ayahnya.
Bela berusaha lebih keras dan lebih keras untuk memberontak. Namun, kekuatannya terlalu lemah untuk melawan dua pria kekar di depannya.
Bela lalu menyerah. Dipandu oleh anak buah ayahnya. Bersama asisten rumah tangganya.
Bela mulai menangis lagi. Dia merasa anak buah ayahnya terlalu berlebihan. Tapi lebih keterlaluan lagi ayahnya yang memerintahkan demikian.
Berhari-hari Bela mengurung diri di kamarnya. Melihat foto ibunya yang meninggal satu tahun lalu karena sakit.
Sebelum meninggal, Bela sangat dekat dengan ibunya. Tahun lalu ibunya meninggal, membuat Bela sangat kehilangan. Tak ada lagi tempat baginya untuk mencurahkan isi hatinya. karena ayahnya sangat sibuk dengan pekerjaannya. Bela berharap untuk belajar di luar negeri agar dia bisa melupakan ibunya.
Namun, ayahnya memaksanya untuk menikah dengan pria yang belum pernah dia temui.
Sore hari sebelum hari pernikahan Bela. Seno mengajak Bela berbicara di ruang tamu. Namun penjagaan cukup ketat oleh anak buah ayahnya agar tidak membiarkan Bela kabur.
Bela terlihat lusuh dan lemah.
"Bel, kamu setuju kalau besok kamu akan menikah dengan anak rekan kerja ayahmu?" tanya Seno.
"Aku lebih baik mati daripada menikah dengan orang yang tidak kukenal," jawab Bela tanpa melihat wajah ayahnya.
"Aku yakin laki-laki yang kamu pilih itu baik dan bisa memimpin kamu. karena dia juga pernah bertemu dengan ku. Mungkin suatu saat kamu tahu kamu akan bisa langsung menyukainya. Percayalah padaku!" kata Seno.
"Tidak mungkin. Aku hanya ingin laki-laki yang aku kenal kalau aku tidak tahu aku juga tidak mau. Apalagi jika aku belum pernah bertemu. Ayah, jangan berpikir itu konyol! Katakan saja jika kamu ingin mengusirku dari sini. Lebih baik aku daripada menikah," jawab Bela kesal.
Seno menarik napas dalam-dalam. "Ya sudah terserah kamu. Intinya kamu nikah besok. Titik. Kamu pulang saja ke kamarmu! Besok ada saatnya kamu keluar kamar pakai gaun pengantin yang cantik. Ayah sudah menyiapkan semuanya untukmu,'' katanya.
Anak buah Seno kemudian membawa Bela ke kamarnya. Tanpa perlawanan Bela hanya menuruti saja. Besok hanya harus melakukan perbuatan yang mungkin tidak akan dilakukan untuk sebuah pernikahan. Senyum miring tersungging di wajah Bela.
Keesokan harinya, saat Bela sudah berdkamu n dan mengenakan gaun pengantin, keluarga mempelai pria juga sudah datang.
Akad nikah Bela digelar secara sederhana di rumah Bela. Bagi Seno yang terpenting adalah pelaksanaan pernikahan Bela.
Setelah merasa siap, Bela dijemput oleh Seno. Seno merasa bangga putrinya akhirnya memasuki tahap pernikahan. Meski sebagai orang tua tunggal, Seno bersyukur bisa mendorong anaknya untuk menikah.
Saat pernikahan akan dilangsungkan, Bela tidak bisa melihat wajah calon suaminya. Dia hanya duduk agak jauh dari calon suaminya.
Bela hanya melihat jika calon suaminya itu tinggi dan ideal. Namun, Bela juga bisa menerima perjodohan ini. Dia ingin pernikahan dibatalkan hari ini.
Upacara pernikahan akan dilaksanakan, Bela bangkit dari tempat duduknya.
"Tunggu!" teriak Bela.
Semua mata tertuju pada Bela.
"Ada apa, Bela?" tanya Seno dari meja pernikahan.
Namun, ternyata Bela terjatuh. Saat Bela ingin membatalkan pernikahannya, yang terjadi Bela kehilangan kesadaran.
Anak buah Seno kemudian membawa Bela ke kamarnya. Seorang dokter keluarga dipanggil untuk memeriksa kondisi Bela.
Menurut dokter, Bela hanya lemas karena tidak makan selama beberapa hari. Kondisinya cukup lemah, sehingga Bela jatuh pingsan karena tidak kuat lagi menopang dirinya.
Namun ketika Bela sadar, sang penghulu langsung menikahkan Bela dengan syarat Bela baru sadar dan Bela tidak bisa lagi menolak. Hingga pernikahan Bela dinyatakan sah oleh para saksi.
Bela dengan tubuh yang lemah tidak bisa lagi mengeluarkan suara. Hatinya berteriak minta tolong, tapi mulutnya tidak bisa mengeluarkan suara.
Bela terus menangis, tapi air mata itu tidak akan mengubah takdir sah Bela menjadi istri orang lain. Seorang wanita yang sedang menemani Bela menggandeng tangan Bela dan berkata, "Ayo, berdiri! Kamu harus bersalaman dengan suamimu. Segera hapus air matamu, Bela." "Aku tidak mau menikah," rengek Bela. Bela tidak bisa berdiri karena tubuhnya lemah. Alhasil, pria yang merupakan suami Bela itu yang mendekati Bela. Deva, pria yang kini menjadi suami Bela, mengulurkan tangan kanannya ke arah Bela. Ayah Bela juga ada di sana. Dengan cepat ayah Bela meraih tangan Bela dan tangan Deva bersatu. "Dia sah suamimu, Bela. Ayo cium tangan suamimu!" kata ayah Bela. Dengan gemetar dan menangis, Bela mendekatkan bibirnya ke punggung tangan suaminya. Bibir mungil Bela berhasil mendarat lembut di punggung tangan Deva. Deva pun langsung memegang kepala Bela dan membacakan doa. Semuanya tersenyum bahagia, kecuali Bela yang masih belum bisa menerima pernikahan mereka. *** Upacara pernikahan perjodohan
Di bawah pancuran air, Bela kembali menangis. Meratapi nasibnya yang malang. Menjodohkan, dan menikah setelah SMA tidak pernah terpikir olehnya. Pernikahan yang dilangsungkan pagi ini seakan menghancurkan impian dan masa depan Bela. "Argh...." rintih Bela sambil menggedor-gedor dinding kamar mandi. Dia belum bisa menerima nasibnya. "Ayah jahat! Jahat! Mengapa kamu tidak peduli dengan masa depan Bela! Ayah jahat!" teriak Bela terus menangis. Ada ketukan di pintu. Bela hanya menoleh. “Bela,” panggil Deva dari luar kamar mandi. Pria itu terus mengetuk pintu. Namun, Bela hanya menangis dalam diam. Air mata itu tersamarkan oleh percikan air pancuran yang membasahi kepalanya ke seluruh bagian tubuhnya. "Bela, kamu baik-baik saja? Bela jawab aku?" teriak Deva. "Aku hanya ingin mati!" teriak Bela kemudian. Dari luar kamar mandi, Deva yang mendengar ucapan Bela melebarkan matanya. Ia khawatir akan terjadi sesuatu pada Bela. Dia takut Bela nekat menyakitinya. Deva terus mengetuk pintu k
Malam telah berganti pagi. Sinar matahari yang menembus dari lubang ventilasi masuk ke kamar Bela. Bela sama sekali tidak terganggu. Selimut semakin ditarik menutupi tubuh mungil Bela. "Bela, kamu belum bangun?" tanya Deva saat mendapati Bela menarik selimut menutupi tubuhnya. Bela terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Deva. Saat Deva hendak melepas selimut yang menutupi tubuh Bela, Bela menahan selimut itu di tempatnya. Dengan membelakangi Deva, Bela bergumam, "Pergi! Tinggalkan aku! Aku tidak mau diganggu." Suara Bela terdengar begitu serak. Bela merasakan tubuhnya dingin dan menggigil. Suhu tubuh Bela juga lebih panas dari biasanya. Kepala Bela juga terasa sangat pusing, sementara matanya seperti lem, tidak mau terbuka. "Bela, apa yang kamu lakukan?" tanya Deva saat melihat tubuh Bela yang diselimuti selimut menggigil. Terdengar ketukan di pintu kamar Bela, membuat Deva menoleh ke arah pintu, namun tidak dengan Bela yang masih setia menutupi dirinya dengan selimut tebal. Deva
Selesai makan siang, Bela dan Deva kembali ke kamar. Bela tetap tidak menghiraukan Deva, bahkan saat Deva menelpon, Bela tidak menjawab. Bela segera duduk di kursi mejanya. Laptop yang tertutup itu langsung dibuka oleh Bela. Bela berniat menghiburnya. Setelah layar di depan Bela menyala, tak butuh waktu lama bagi Bela untuk segera mencari film kesukaannya. "Rena, aku ingin bicara denganmu," kata Deva yang duduk di tepi tempat tidur sambil melihat punggung Bela. Bela terkekeh. "Lagipula apa lagi? Tidak bisakah kau tidak menggangguku untuk sementara waktu?" kata Bela kesal. Deva menghela nafas panjang, lalu laki-laki yang merupakan suami Bela itu berdiri dari duduknya dan menghampiri Bela. Deva menyandarkan tubuhnya ke meja belajar Bela. "Aku akan mengajakmu berbulan madu," kata Deva. Bela menatap Deva dengan mulut menganga, mata Bela membulat. Rana sepertinya tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Halo! Kamu gila. Aku tidak menerima pernikahan ini, kenapa
Bela menatap takjub restoran di depannya. Ameera belum pernah menemukan restoran dengan desain seunik ini. Tak lama kemudian, Bela langsung masuk ke dalam restoran dan meninggalkan Deva yang berdiri di belakangnya. "Bela tunggu!" perintah Deva. Namun, Bela adalah gadis yang keras kepala. Panggilan dari suaminya yang Bela abaikan begitu saja. Ia tetap memilih masuk ke dalam restoran tanpa menghiraukan Deva. Adapun Deva, pria itu langsung mengikuti langkah Bela. Restorannya tidak terlalu ramai, jadi masih banyak meja kosong. Bela langsung pergi ke meja dekat jendela. Sesampainya di meja Bela langsung duduk dan juga disusul oleh Deva. Melihat Deva duduk, Bela menatap pria itu dengan tidak suka. "Aku tidak ingin duduk denganmu, jangan duduk di sana!" kata Bela dengan nada sedikit kesal. Deva terkejut, namun Deva langsung menetralkan ekspresi wajahnya. “Aku suamimu,” tegur Deva pada Bela. Bela memutar matanya dengan malas dan menghela nafas panjang. "Teruslah mengatakan
Rencana belajar Air mata Bela jatuh lagi. Sekeras apapun Bela menahannya, rasa sakit di hatinya tetap ada. Di dalam Bela, gadis itu ingin berteriak untuk melepaskan sesak di dadanya. Masih setia menatap laut lepas, Bela berkata, "Aku benci hidup ini! Aku benci!" teriak Bela dengan suara teredam. "Bela sayang, ayo duduk!" Suara Deva kembali terdengar di telinga Bela. Deva pun memanggil Bela dari belakang berkali-kali, namun Bela enggan menoleh dan menjawab perkataan Deva. Gadis itu masih sibuk mengeluarkan air matanya agar dadanya terasa lebih lega. Deva tidak diam, dia menatap Bela yang tidak menoleh dan tidak bergerak sama sekali. Akhirnya Deva memilih mendekati Bela lagi dan menyentuh bahu Bela. "Bela," panggil Deva. Mata Deva menyipit saat melihat Bela memejamkan mata dan menangis. "Apa yang kamu lakukan sayang?" Usai pertanyaan dilontarkan Deva, Bela menepis tangan Deva dan menjauh sedikit. Bela tidak mau berhenti menangis. Dia masih ingin melepaskan sesak di dada
Bela ke kantor Deva Bela yang diminta menoleh ke Deva. "Kamu bajingan, yah...," jawab Bela sambil menjulurkan lidahnya. Karena respon yang diberikan Bela, Deva hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Meski tingkah Bela begitu kekanak-kanakan, ia bisa membuatnya merasa sedang dan nyaman saat berada di dekat Bela. Setelah percakapan itu, tidak ada percakapan lagi. Bela sibuk menonton film yang diputar di layar ponselnya sementara Deva fokus ke jalan di depan. Selang beberapa menit, mobil Deva akhirnya berhenti. Bela menoleh ke kiri. Alis Bela berkerut saat mengetahui mobil mereka berhenti di gerbang bukannya masuk ke dalam. Meski begitu, dengan wajah cemberut, Bela menoleh ke arah Deva. "Rumah siapa ini? Kemana kita akan pergi?" tanya Bela yang tidak tahu rumah di sebelah mobil Deva. “Rumahku,” jawab Deva sambil melepas sabuk pengamannya. Bela menjadi penasaran. "Mengapa kita berhenti di sini? Mengapa tidak parkir di dalam?" Bela bertanya lagi. Deva tersenyum p
Jatuh "Tidak, saya tidak bisa membiarkan mimpi saya memudar begitu saja. Saya harus pergi ke luar negeri," kata Bela, salah satu impian Bela adalah pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Bela segera bangkit dari tempat tidurnya. Gadis yang masih mengenakan baju tidurnya melangkah menuju meja tempat Deva meletakkan laptopnya. Bela duduk di kursi yang ada. Sekali lagi Bela menyeka air mata yang tersisa. Setelah itu, dia mulai mengetik sesuatu di halaman pencarian laptopnya. Hatinya hancur karena tidak diterima di perguruan tinggi sebelumnya, berusaha mendorong Bela untuk mencari universitas lain di luar negeri. Mata Bela kembali terfokus pada layar laptop. Dia dengan hati-hati membaca setiap artikel yang menjelaskan universitas di luar negeri yang akan dia hadiri. "Aku harus masuk ke sini," gumam Bela. Puas dengan apa yang dia cari, Bela membalik laptopnya ke menu utama dan mematikan laptopnya. Kemudian Bela menutup laptop yang sudah tidak digunakannya lagi. Dia