Tak terasa kini sudah lima tahun berlangsung. Bela menatap putrinya yang kini tengah bermain di ruang keluarga sembari menunggu sang suami pulang. Bela tersenyum setiap kali melihat tingkah menggemaskan putrinya. “Apakah kamu membutuhkan bantuan Ibu, Sayang?” tanya Bela kepada putrinya saat melihat sang putri yang tengah kesulitan memasang puzel. Ya, gadis kecil itu tengah berusaha memasang puzel yang kemarin baru dibelikan oleh Deva. Dengan wajah yang serius membuat Bela terkikik geli melihatnya. “Tidak, Luna bisa sendili, Ibu,” jawab gadis kecil itu dengan cadel. Bela mengangguk, wanita itu tetap terus memperhatikan buah hatinya yang masih terus berusaha memasang kepingan puzel. Fokus Bela terpecah kala mendengar suara ponselnya berdering. Dengan cepat ia langsung saja menyambar ponselnya dan mengangkat telepon kala tertera nama suaminya di sana. Dengan senyum yang merekah, Bela berbicara dengan seseorang di seberang sana. “Halo, apakah kamu sudah akan pulang?” tanya Bela. “Se
“Tidak ada yang tertinggal, ‘kan?” tanya Bela saat mereka hendak keluar rumah. Deva terdiam beberapa saat untuk mengingat barang bawaannya. Memastikan semua barang kantor yang ia butuhkan terbawa semua. “Tidak ada, aku sudah memastikan lagi sebelum keluar rumah,” jawab Deva dengan senyum samarnya. Bela mengangguk, setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, mereka langsung saja melaju menuju ke sekolah Luna. Seperti biasa, Deva akan mengantarkan anak dan juga istrinya terlebih dahulu ke sekolah, baru ia akan berangkat ke kantor. Saat berada di dalam mobil, suasana mendadak menjadi hening. Tidak seperti biasanya kala Deva melontarkan beberapa candanya. Hal itu tentu saja membuat Bela merasa tidak nyaman dengan keheningan yang terjadi. Wanita itu melihat ke arah Luna yang tengah fokus pada rubik di tangannya, kemudian netranya mengarah ke arah sang suami. Deva hanya diam dengan pandangan yang fokus ke arah jalanan. Sesekali ia juga melihat ke arah Bela dan juga Luna. Tetapi pria
Saat sampai di kamar Luna, Bela langsung memeluk putri kecilnya itu dengan erat. “Hay, Ibu ada di sini, tenang, oke?” kata Bela. Deva ikut menghampiri Luna yang kini tengah berada di dekapan sang istri. “Ada apa?” “Deva, badan Luna sangat panas. Bagaimana ini?” tanya Bela dengan panik. Deva terkejut dengan perkataan istrinya, langsung saja ia mengecek kondisi anaknya yang tengah dipeluk Bela dengan erat. Dan benar saja! badan putrinya terasa hangat. “Apakah tadi Luna sudah sakit?” tanya Deva. Bela menggeleng, pasalnya saat di sekolah tadi Luna masih bermain dengan Inara. Hingga pulang sekolah, Luna tidak menujukan tanda-tanda bahwa anaknya sakit. Bela semakin taut hal yang buruk terjadi kepada Luna. Bagaimana jika itu seperti demam berdarah? Yang siklusnya memang naik turun seperti ini?“Deva, aku takut Luna terkena demam berdarah, kita harus bawa dia ke rumah sakit!” “Ayo, Bela!” Deva menggendong tubuh menggigil putrinya dan langsung membawanya ke rumah sakit. Sesampainya di
Bela memijit pangkal hidungnya karena rasa pusing yang ia rasakan. Bela sudah beristirahat cukup, namun kepalanya masih saja terasa sakit. Tidak hanya itu, perut bela juga terasa diaduk. Sangat tidak nyaman dengan kondisi seperti ini. Apalagi ia juga harus memperhatikan kesehatan Luna yang baru saja keluar dari rumah sakit. “Sayang, kenapa kamu di sini?” Deva berjalan ke arah bela dengan secangkir kopi di tangannya. Pria itu ikut mendudukkan dirinya di samping Bela, sambil menatap istrinya dengan khawatir. “APakah ada yang sakit?” Bela menggeleng. “Tidak ada, aku hanya belum bisa tidur,” dusta Bela. Bukan apa-apa, hanya saja jika Bela berkata sejujurnya dengan Deva tentang kondisinya, pasti pria itu akan sangat khawatir. Bela tidak mau suaminya itu terlalu mengkhawatirnya dirinya. Mengingat esok suaminya juga harus ke kantor. Banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. “Bagaimana dengan pusing kamu?” tanya Deva. “Sudah lebih baik, mungkin besok akan sembuh total. Sudah aku bilang
Pak Seno dan Deva kini berjalan beriringan untuk menuju ke ruangan Pak Seno. Ruangan yang nantinya akan menjadi milik Deva. Setelah rapat tadi, mereka memang langsung meninggalkan ruang meeting. Sesampainya di ruangan Pak Seno, ia langsung menyuruh Deva untuk duduk. Lebih tepatnya untuk berbincang mengenai perusahaan dan keterlambatan Deva tadi. Tentu saja Pak Seno tahu jika menantunya itu terlambat. Hanya saja ia tidak mau membahasnya di ruang meeting. Bukankah lebih baik di ruangan tertutup seperti ini? Lebih nyaman untuk keduanya. “Deva, ada apa kamu terlambat? APakah ada masalah? Tidak biasanya kamu seperti ini, Ayah tahu kamu seperti apa,” kata ayah Seno sambil menatap Deva dengan lekat. “Maafkan aku, Ayah. Tetapi aku tadi harus mengantar Bela ke rumah sakit terlebih dahulu,” jawab Deva. Pak Seno tentu saja terkejut dengan apa yang Deva katakan. Rumah sakit? APakah anaknya tengah saki? Lantas kenapa tidak ada yang memberitahunya? “Lantas kenapa kamu tidak memberi tahu Ayah?
Bela memandang foto almarhum ayahnya dengan tatapan sendu. Sudah terhitung satu bulan Pak Seno pergi. Rasa rindu akan ayahnya itu semakin menjadi, rindu yang tidak ada lagi obatnya. Hanya bisa memutar video kenangan saat masih bersama dan hanya melihat fotonya saja. tentunya juga tidak mudah melupakan sang ayah yang telah pergi. Rasanya seperti begitu cepat, dan tidak terduga. Tidak terduga akan berakhir seperti ini.Bela juga selalu sempatkan setiap minggu untuk mengunjungi makam ayahnya. Begitu sangat berat rasanya menerima kenyataan bahwa sang ayah telah berada di dalam gundukan tanah yang dihiasi bunga itu. “Ayah, bagaimana kabar ayah di sana?” monolog Bela sambil mengusap foto yang berada di tangannya. Tak terasa air mata Bela turun membasahi pipi mulusnya. Sementara Luna, sang anak yang tidak sengaja melihat ibunya menangis langsung saja menghampirinya. “Ibu, ada apa dengan Ibu? Kenapa menangis?” tanya Luna. Bela yang menyadari kehadiran Luna langsung saja menghapus sisa ai
“Tara ... aku membuatkan kukis untuk kalian,” kata May sambil mengangkat piring berisi beberapa kue kukis. Bela yang melihat kukis buatan May langsung berbinar. Bela memang ingin memakan kukis, karena kebaikan May, wanita itu memilih membuatkan sahabatnya itu kue kukis. “Ibu, aku mau!” teriak Inara sambil mengangkat tangannya tinggi. “Aku juga!” sambar Luna. “Tenang-tenang. Ibu membuat banyak, kalian akan kebagian,” kata May sambil berjalan ke arah Bela. Mereka saat ini tengah berada di rumah Bela. Tepatnya teras rumah Bela. May dan anaknya memang mengunjungi Bela hari ini. Alvin tadi mengantarkan May dan juga Inara ke rumah Bela baru ia berangkat ke kantor. “Bela, aku jamin kamu pasti akan suka,” kata May yakin. Bela langsung saja mengambil satu kue kukis buatan temannya itu dan mencicipinya. May juga memberikan kepada Luna dan Inara untuk mencicipi kuenya. Wajah May berseri, menunggu mereka menilai kue buatannya. Semoga saja memang layak untuk di makan, karena ini pertama ka
Deva menghembuskan nafas beratnya kala melihat diagram perusahaan yang semakin hari semakin menurun. Sudah dapat dipastikan perusahaan bisa bangkrut bila terus seperti ini. Sementara pak Irfan sendiri selalu keras kepala. Tidak pernah mau mendengarkan saran darinya. Deva memang baru terjun ke dunia perusahaan. Jika dibandingkan dengan pengalamannya memang tidak seimbang dengan pak Iran. Tetapi Deva paham bagaimana cara mengatasi masalah perusahaan yang terjadi seperti ini. Jika perusahaan ini benar hancur, Deva akan merasa sangat bersalah dengan Bela, ia sudah berjanji akan menjayakan lagi perusahaan ayahnya ini. Tak hanya Bela, almarhum ayah juga pasti sangat sedih. “Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya. Saat tengah melamun, tiba-tiba saja pintu ruangan Deva diketuk oleh seseorang. Deva langsung mengalihkan tatapannya ke arah pintu. Setelahnya, terdapat sosok Alvin yang muncul dari balik pintu. Terkejut? Tentu saja! Ada hal apa ia datang menemui Deva ke kantor? Deva langsung men
Long weekend membuat Deva banyak waktu bersama keluarga nya. Setelah kemarin ikut mengantarkan sang buah hati ke mall untuk ikut lomba menggambar hari ini Deva memiliki rencana untuk ke panti asuhan dimana dulu ia dibesarkan. Deva ingin menanamkan rasa syukur dan berbagi pada kedua buah hatinya. Kalau Indra mungkin belum mengerti tapi saat ini ia ingin mengajak mereka semua untuk ke panti asuhan."Bu, kapan kita berangkat?" tanya Luna yang sedang antusias untuk berangkat ke panti asuhan. Deva memang sudah menyiapkan beberapa hal yang perlu dibawa ke sana seperti paket alat tulis, uang dan juga paket makanan yang akan diberikan pada penghuni panti asuhan dan ia juga sedang bersiap."Iya, tunggu kakek dan nenek. Kalau mereka sudah datang kita berangkat bersama," jawab Bela. Ia sedang bersiap dengan Indra juga. Tak berselang lama ternyata kakek dan neneknya Luna datang."Yey, kakek dan nenek sudah datang," ucap Luna begitu gembira menyambut kedatangan kakek dan nenek nya. "Apakah semu
Saat ini Bela sedang menemani Luna belajar. Luna adalah anak yang suka belajar tanpa disuruh. Bela senang melihat anaknya begitu. Meskipun masih duduk di bangku taman kanak-kanak tapi bakat Luna terlihat yaitu senang menggambar. Bela bangga padanya karena ia juga gigih dan sabar. Bela berencana ingin mencoba mengikuti sebuah perlombaan menggambar yang akan digelar di sebuah mall besar."Luna, besok ada lomba menggambar apa kamu mau ikut?" tanya Bela."Dimana, Bu?" balas Luna."Di mall. Ibu nggak minta kamu untuk bisa menang kok yang penting kamu berani saja itu sudah membuat ibu bangga," jawab Bela mencoba memberikan semangat untuk Luna."Iya, Bu, Luna mau ya? Tapi diantar Ibu ya?" pinta Luna."Ya, tentu saja. Besok kita berangkat sama-sama." Bela pun membiarkan Luna melanjutkan menggambar bunga.Keesokan harinya sesuai janji Bela akan mengantarkan Luna ke mall untuk mengikuti lomba. Perlengkapan seperti pensil warna dan alat lain juga sudah disiapkan. Karena hanya tempat menggambar
Bela sekarang disibukkan dengan mengurus dua anaknya. untung saja Deva selalu menorehkan perhatian lebih kepada Bela. Deva juga selalu membawa pekerjaannya ke rumah untuk menjaga Bela. Deva juga sering mengantar jemput anaknya di sekolah.Seperti saat ini, Deva baru saja pulang dari kantor dengan membawa setumpuk berkas di tangannya. Bela yang berada di teras rumah menatap suaminya dengan tatapan bingung. Setidaknya, Deva bisa mengerjakan berkas itu di kantor. Lagi pula, ini bukan pertama bagi Bela. Deva berjalan mendekat ke arah Bela lalu menaruh beberapa tumpukan berkas itu di meja samping Bela. Deva langsung mengecup kening Bela dengan penuh kasih sayang lalu beralih mengecu kening Indra yang berada di gendongan Bela. “Kenapa kamu membawa banyak tumpukan berkas itu ke rumah? Kamu bisa mengerjakannya di kantor, Dev. Jika seperti ini kamu akan kesusahan nantinya,” ujar Bela. “Tidak. aku tidak akan meninggalkan kamu dengan mengurus dua orang anak sendirian. Aku akan membantu kamu m
“Maaf, Bel. Aku belum bisa ke sana saat ini. Tetapi aku akan segera ke sana. aku menunggu Alvin pulang,” kata May di telepon. Wanita itu memang tengah bertelepon dengan Bela. Tentu saja untuk mengucapkan selamat karena kelahiran anak keduanya. May ikut senang akan hal itu. Tetapi bila bisa jujur, ia juga merasa sedih. Bagaimana tidak? Di saat dia mengharapkan anak kedua, justru takdir berkata lain kepadanya. Siapa pun wanita seperti May tentu saja akan merasa sangat sedih. Bagi May, ini bukan perkara yang mudah. Bohong bila ia berkata, bahwa ia bisa menerima keadaannya saat ini. Dari hari terdalam, May sangat iri dengan sahabatnya itu.“Tidak apa, aku tahu,” jawab Bela. “Hari ini aku juga sudah bisa pulang,” sambung Bela. “Aku ikut senang, Bel. Jika bisa, aku akan mendatangi kamu sendiri ke sana. Tetapi Alvin mau bersama menengok kamu,” kata May. Alvin juga tadi sempat memberi tahu May bahwa Bela hari ini melahirkan. Alvin juga mengajak May untuk menengok keponakannya itu setelah
Dua bulan sudah berlalu, kini May sudah bisa menerima keadaannya. Walau sempat kondisinya turun.Bela selama kandungannya tua juga sering berada di rumah Alvin saat suaminya tidak ada. Seperti saat ini, Bela sudah berada di rumah May. Mereka baru saja pulang mengantarkan anaknya pulang dari sekolahnya. Dan ini saatnya, mereka bersantai sambil membaca beberapa buku di ruang tamu. “Bel, lihatlah! Ada yang jual pakaian lucu untuk bayi perempuan,” kata May sambil menunjukkan ponselnya kepada Bela. Bela juga terkesima dengan satu set pakaian lucu yang ditinjukan May. “Sangat lucu!” pekik Bela. “Apakah kamu harus membelinya? Sepertinya, iya! Ini edisi terbatas, Bel. Cepat miliki,” kata May lagi. Bela terdiam. Apakah ia harus membelinya? Tetapi untuk apa? jika anaknya perempuan nanti, masih ada pakaian milik Luna. Bukannya berniat memberikan anak yang keduanya berang bekas, tetapi memang pakaian Luna yang dulu masih bagus dan ada beberapa yang baru. Jika membeli lagi bukankah sangat di
Makan malam hari ini terasa nikmat karena kebersamaan. Ibu Mike sejak tadi juga tidak henti-hentinya bercerita kepada kedua cucu tercintanya. Luna dan juga Inara. Sangat memenangkan! Netra Bela tidak sengaja menatap ke arah May. Wanita itu memegangi perutnya sambil keringat yang membasahi wajahnya. Apakah ada yang terjadi dengan May? “May?” panggil Bela.May langsung saja mengubah posisinya menjadi tegak. May menatap Bela dengan senyum yang wanita itu paksakan. Bela tahu itu! Lagi pula, Bela tidak satu atau dua bulan bersama May. Jelas sangat tahu bagaimana jika May tengah menyembunyikan sesuatu. “Ada apa, Bel?” tanya May. Deva dan juga Alvin kini juga ikut menatap Bela dengan tatapan bingung dan bertanya-tanya. Tidak hanya itu, pak Seno pun juga ikut menatap ke arah Bela. Bela menjadi canggung saat hampir semua netra menatap ke arah dirinya. Bela menggeleng, lalu kembali melanjutkan makannya tanpa jadi berbicara kepada May. Mau tentu sangat penasaran dengan Bela. Tetapi May juga
“Sayang, bagaimana dengan ini? Ini sangat menggemaskan,” kata Deva sambil menunjukkan sebuah baju kecil berwarna pink. Baju perempuan. “Adik Luna perempuan?” tanya Luna sambil menatap Deva bingung.Memang sampai detik ini, sudah tiga bulan berjalan. Deva dan Bela tidak mau melakukan USG. Bela mau nanti jenis kelamin anaknya menjadi kejutan. Sebenarnya Deva sudah sangat penasaran, tetapi Bela tetap tidak mau melakukan USG. Pada akhirnya, Deva yang harus mengalah. Deva atau pun Bela juga tidak pernah mempermasalahkan jenis kelamin anaknya nanti. Yang terpenting bagi Deva, anak dan istrinya sehat semua. Itu sudah cukup. Ia tidak banyak menunut. Menerima ada yang diberikan kepada Tuhan untuknya. Deva menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja terasa gatal. “Ayah, adik Luna perempuan?” ulang Luna lagi. “Belum tahu, Sayang. Nanti kita tahu jika sudah lahir,” jawab Bela. Deva tersenyum kepada anaknya, dia juga memasukkan baju itu ke dalam troli belanja. Bela menatap tak percaya ke arah su
“Sayang, ada apa?” tanya Deva kala melihat wajah Bela yang sangat begitu terkejut. Bela memang tengah menelepon seorang, entah apa yang orang itu katakan kepada Bela hingga membuat raut wajah istri Deva itu berubah terkejut. Tentu saja itu membuat Deva juga ikut penasaran. Siapa yang tengah istrinya telepon? Bela mengisyaratkan Deva untuk diam, sementara Bela terus melanjutkan teleponnya. Samar-samar, Deva dapat mendengar suara yang sangat dikenalinya. May? Ya! suara itu adalah suara May! Apa yang mereka bicarakan? “Aku akan ke sana setelah ini, kamu tenang dulu,” kata Bela. “Apakah sudah selesai?” tanyanya lagi. Deva terus saja mendengarkan apa yang istrinya bicarakan dengan saksama, walau suara lawan bicaranya sama sekali tak terdengar. Deva melahap makannya dengan netra yang fokus pada Bela. “Aku turut sedih. Semoga saja semua akan baik-baik saja,” kata Bela dengan nada sedih. Deva semakin penasaran. Apa yang sedang terjadi sebenarnya?“Baiklah. Aku akan ke sana nanti. Kamu
“Ibu, Inara merasa bosan di rumah terus,” kata gadis kecil itu kepada May-sang ibu. May yang sedang menyiram tanaman langsung saja menoleh ke arah anakannya. Saat ini hari Minggu, jadi May dan Inara bersantai di rumah. “Kamu mau ke rumah Luna?” tawar May. Inara tidak langsung menjawab pertanyaan sang ibu. Iya justru terdiam beberapa. Hal itu tentu saja membuat May penasaran. Apakah ada yang terjadi dengan Inara serta Luna? Biasanya anaknya itu selalu senang saat bermain bersama Luna. Namun berbeda kali ini. “Inara, ada apa? kamu sedang berantem dengan Luna?” tebak May. Inara menggeleng. “Tidak, Ibu. Aku hanya ingin bermain bersama Ibu. Aku bosan,” jawab gadis kecil itu. May yang mendengar hal itu bernafas lega. Setidaknya mereka tidak bertengkar, kan? May sudah berpikir yang tidak-tidak mengenai anaknya dan juga Luna. “Lalu, kamu mau ke mana?” tanya May. Wanita itu mematikan keran air dan menghampiri putrinya yang tengah bermain tanah dalam pot. May langsung saja membawa Inara