"Bagaimana dengan rahim saya, dokter?" tanya May dengan susah payah. Dia berusaha untuk tidak menangis sekarang. Saat ini dia merasa sangat rendah. Banyak pertanyaan besar muncul dalam dirinya. Mengapa tubuhnya harus menerima semua ini? Kenapa harus dia? Mengapa Rena tidak, dan harus sendiri? Padahal dia juga ingin punya anak, kenapa harus susah sekali punya anak? Alvin yang mengetahuinya kini memeluk May. Dia tahu bahwa istrinya pasti sangat terpukul dengan apa yang dikatakan dokter. Tapi itu kenyataan. Namun, mereka tak bisa memungkiri bahwa memang ada masalah pada kandungan May. “Dinding rahim Bu May tidak seperti pada umumnya. Sedikit lebih tipis dan itu membuat resiko keguguran semakin tinggi. Kalau sulit atau tidak hamil juga tidak masalah, hanya saja saat bayi sudah tumbuh, itu sedikit lebih diperhatikan. Sepertinya kalau akan melakukan program hamil harus hati-hati, karena resiko keguguran.” Setelah kata-kata panjang dokter, May menangis di pelukan Alvin. D
Mei mengangguk. Sekali lagi dia memeluk suaminya dengan erat. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika Alvin tidak menjadi suaminya saat ini. "Maaf." Alwin mengangguk. Baginya, perasaan May adalah bawaan sebagai perempuan. Sangat sensitif dan juga sangat mudah mengukur diri dengan pencapaian orang lain. Tapi mereka tidak bisa mengambil risiko itu. Akhirnya, itu akan menyerang perasaan mereka juga. “Sekarang May harus percaya pada usaha. Kita yang berusaha dengan baik dan terus menerus maka Tuhan akan memberikan hasil yang baik. Jangan berpikir buruk tentang Tuhan, karena cerminan dari hasil adalah prasangka kita terhadap Tuhan. Ini yang bisa saya katakan dari kamu, May. Tapi sekarang kamu sedih, jadi aku mengatakan ini sekarang. Jadi, kamu harus ingat itu, oke? Jangan lupa lagi!" Kata Alvin sambil membelai rambut May dengan lembut. May yang mendengarnya langsung merasa ditertawakan. Ya, dia mengatakannya tapi dia lupa. Mungkin menjadi malu pada Tuhan. Dia mencob
Rena merasa gelisah sejak kemarin. Tetapi saat ini dia tidak ingin menyimpulkan bahwa ini adalah masalah serius atau perlu segera ditangani. Sejak kemarin perut bagian bawah tepatnya di rahim terasa sedikit nyeri. Namun lama kelamaan semakin parah. Tapi dia merasa tadi malam sedikit mereda. Jadi ibu Luna tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun. Dan Rena juga tidak mengeluh sama sekali. Dia telah berjanji untuk menjadi lebih dewasa dan lebih kuat. Jadi sekarang Rena masih memegang ini. "Apa yang kamu lakukan sayang?" tanya Lukman tadi pagi, yang mau kerja. Ia seperti melihat wajah Rena yang meringis tadi. Lukman pun bertanya. "Emm, tidak apa-apa. Hanya sedikit sakit tadi setelah memukul meja," Alasan klise yang dibuat Rena sepertinya sangat meyakinkan. Hal itu membuat Lukman mengangguk sambil mengelus perut Rena. "Aku harap kamu cepat sembuh! Jika kamu belum pulih dengan cepat, telepon aku, sayang. Aku akan menelepon ibu nanti, oke, datang saja ke sini untuknya."
"Bagaimana perasaanmu sayang? Di mana kamu sakit? Aku akan segera membawamu ke rumah sakit. Jangan khawatir!" Bela mencoba menunjuk ke bawah perutnya tapi nafasnya terengah-engah. Dia tidak tahan lagi dan sekarang tidak sadarkan diri. "Bela!" seru ibu Deva dengan suara lantang. Dia tidak percaya Bela akan pingsan seperti ini. Dia tidak tahu di mana menantunya sakit. Hal ini membuat ibunda Deva khawatir. Dia tidak mengerti apa yang menyerang Bela sekarang. Hingga terdengar suara ambulan datang. Segera Bela dibawa ke rumah sakit terdekat. "Tolong, dok. Tangani menantu saya! Dia mengeluh sakit di perut. Dia tidak banyak bicara tapi entah kenapa, saya tidak tahu penyebabnya. Tolong periksa dulu dok! Saya mohon ." Ibu Deva membawa Bela ke rumah sakit terdekat. Kondisi Bela yang tidak sadarkan diri membuatnya sangat khawatir. Seseorang yang pingsan pasti pernah merasakan sakit yang tidak bisa tertolong lagi. Sehingga kehilangan kesadaran diri. Hal ini membuat ibunda De
Saat ibu Deva sedang memanggil Mike seseorang memanggil namanya dari belakang. Tapi itu juga bertepatan dengan kedatangan dokter yang merawat Bela. Tiba-tiba Ibu Deva langsung menoleh ke arah dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi. "Bagaimana, menantu perempuanku?" Ibu Deva langsung bertanya setelah itu. Jantung ibu Deva langsung berdetak lebih cepat dari sebelum dokter keluar dari ruang operasi. Mendengar kabar Bela membuatnya panas dingin dan juga takut pingsan saat harapannya tak terkabul malah terjadi hal buruk. "Semua operasi berjalan lancar. Sekarang dia baik-baik saja. Dia tinggal menunggu kesadaran dan nanti kita tindaklanjuti. Baru setelah itu dia bisa dibawa pulang. Tapi tolong jangan masuk kamar dulu karena saat ini Mbak Bela sedang rentan terhadap feses. Semuanya harus benar-benar steril. tunggu sampai besok pagi baru kamu dan keluarga Bu Bela bisa menjenguknya," kata dokter itu membuat sedikit tidak nyaman tapi itu hal yang baik untuk Bela. Kemudian
"Ya, Bu! Yang terpenting, kami sekarang sudah mendengar dari Bela bahwa dia baik-baik saja. Sekarang tinggal menjaga agar Bela tidak seperti ini lagi. Jangan merasa bersalah, oke?" * Dua bulan telah berlalu, dan kini Alvin dan May dibingungkan oleh pagi yang aneh. May tiba-tiba memeluk tubuh Alvin dengan sangat erat dan membuat suaminya sulit bernafas. Akhirnya membuat Alvin terbangun dari tidur lelapnya. Sambil mengedipkan matanya dan perlahan membuka matanya, Alvin dikejutkan oleh May yang berada sangat dekat di depannya. "Mungkin..." "Selamat pagi Alvin!" ucap May lalu kini memeluk Alvin dengan erat lagi. May bahkan mencium wajah Alvin dengan gemas. "Mungkin masih pagi, dan aku belum gosok gigi. Baunya mungkin bau air liur," kata Alvin sambil menutup mulutnya. Dia tidak ingin May mencium bau tak sedap dari mulutnya pagi ini. "Tenang Alvin! Kamu selalu wangi. Bahkan ketiakmu juga wangi!" Kata May, menempel lebih dekat ke Alvin. Alvin dibuat terdiam oleh perilaku
Satu tahun kemudian. May dan Alvin sudah berbahagia karena kelahiran anak pertama mereka. Padahal cukup banyak cobaan yang May alami selama kehamilannya. Kekhawatiran May yang terus-menerus tentang kelambatan adalah masalah yang cukup serius. Namun May mampu melewatinya berkat dukungan dari Alvin yang selalu ada di sampingnya. Mereka telah diberkati dengan seorang putra yang mereka beri nama Yakobus. Wajahnya tampan seperti Alvin. Tapi matanya lebih seperti May yang meruncing. May menjalani persalinan caesar karena ada masalah di rahimnya. Tapi baginya, itu tidak masalah. Yang penting dia dan bayinya selamat. May tidak terlalu banyak drama dan bisa melahirkan dengan cepat. Alvin juga menemani May selama proses persalinan. Alvin tahu bagaimana seorang istri berjuang untuk melahirkan buah hatinya. Dia juga tidak akan tega menyakiti ibu anaknya. Dia berjanji untuk melindungi hati May selamanya. “Sayang, terima kasih karena kamu bersedia menjadi ibu dari anakku,” kata Alvin. "Kenapa
Tak terasa kini sudah lima tahun berlangsung. Bela menatap putrinya yang kini tengah bermain di ruang keluarga sembari menunggu sang suami pulang. Bela tersenyum setiap kali melihat tingkah menggemaskan putrinya. “Apakah kamu membutuhkan bantuan Ibu, Sayang?” tanya Bela kepada putrinya saat melihat sang putri yang tengah kesulitan memasang puzel. Ya, gadis kecil itu tengah berusaha memasang puzel yang kemarin baru dibelikan oleh Deva. Dengan wajah yang serius membuat Bela terkikik geli melihatnya. “Tidak, Luna bisa sendili, Ibu,” jawab gadis kecil itu dengan cadel. Bela mengangguk, wanita itu tetap terus memperhatikan buah hatinya yang masih terus berusaha memasang kepingan puzel. Fokus Bela terpecah kala mendengar suara ponselnya berdering. Dengan cepat ia langsung saja menyambar ponselnya dan mengangkat telepon kala tertera nama suaminya di sana. Dengan senyum yang merekah, Bela berbicara dengan seseorang di seberang sana. “Halo, apakah kamu sudah akan pulang?” tanya Bela. “Se
Long weekend membuat Deva banyak waktu bersama keluarga nya. Setelah kemarin ikut mengantarkan sang buah hati ke mall untuk ikut lomba menggambar hari ini Deva memiliki rencana untuk ke panti asuhan dimana dulu ia dibesarkan. Deva ingin menanamkan rasa syukur dan berbagi pada kedua buah hatinya. Kalau Indra mungkin belum mengerti tapi saat ini ia ingin mengajak mereka semua untuk ke panti asuhan."Bu, kapan kita berangkat?" tanya Luna yang sedang antusias untuk berangkat ke panti asuhan. Deva memang sudah menyiapkan beberapa hal yang perlu dibawa ke sana seperti paket alat tulis, uang dan juga paket makanan yang akan diberikan pada penghuni panti asuhan dan ia juga sedang bersiap."Iya, tunggu kakek dan nenek. Kalau mereka sudah datang kita berangkat bersama," jawab Bela. Ia sedang bersiap dengan Indra juga. Tak berselang lama ternyata kakek dan neneknya Luna datang."Yey, kakek dan nenek sudah datang," ucap Luna begitu gembira menyambut kedatangan kakek dan nenek nya. "Apakah semu
Saat ini Bela sedang menemani Luna belajar. Luna adalah anak yang suka belajar tanpa disuruh. Bela senang melihat anaknya begitu. Meskipun masih duduk di bangku taman kanak-kanak tapi bakat Luna terlihat yaitu senang menggambar. Bela bangga padanya karena ia juga gigih dan sabar. Bela berencana ingin mencoba mengikuti sebuah perlombaan menggambar yang akan digelar di sebuah mall besar."Luna, besok ada lomba menggambar apa kamu mau ikut?" tanya Bela."Dimana, Bu?" balas Luna."Di mall. Ibu nggak minta kamu untuk bisa menang kok yang penting kamu berani saja itu sudah membuat ibu bangga," jawab Bela mencoba memberikan semangat untuk Luna."Iya, Bu, Luna mau ya? Tapi diantar Ibu ya?" pinta Luna."Ya, tentu saja. Besok kita berangkat sama-sama." Bela pun membiarkan Luna melanjutkan menggambar bunga.Keesokan harinya sesuai janji Bela akan mengantarkan Luna ke mall untuk mengikuti lomba. Perlengkapan seperti pensil warna dan alat lain juga sudah disiapkan. Karena hanya tempat menggambar
Bela sekarang disibukkan dengan mengurus dua anaknya. untung saja Deva selalu menorehkan perhatian lebih kepada Bela. Deva juga selalu membawa pekerjaannya ke rumah untuk menjaga Bela. Deva juga sering mengantar jemput anaknya di sekolah.Seperti saat ini, Deva baru saja pulang dari kantor dengan membawa setumpuk berkas di tangannya. Bela yang berada di teras rumah menatap suaminya dengan tatapan bingung. Setidaknya, Deva bisa mengerjakan berkas itu di kantor. Lagi pula, ini bukan pertama bagi Bela. Deva berjalan mendekat ke arah Bela lalu menaruh beberapa tumpukan berkas itu di meja samping Bela. Deva langsung mengecup kening Bela dengan penuh kasih sayang lalu beralih mengecu kening Indra yang berada di gendongan Bela. “Kenapa kamu membawa banyak tumpukan berkas itu ke rumah? Kamu bisa mengerjakannya di kantor, Dev. Jika seperti ini kamu akan kesusahan nantinya,” ujar Bela. “Tidak. aku tidak akan meninggalkan kamu dengan mengurus dua orang anak sendirian. Aku akan membantu kamu m
“Maaf, Bel. Aku belum bisa ke sana saat ini. Tetapi aku akan segera ke sana. aku menunggu Alvin pulang,” kata May di telepon. Wanita itu memang tengah bertelepon dengan Bela. Tentu saja untuk mengucapkan selamat karena kelahiran anak keduanya. May ikut senang akan hal itu. Tetapi bila bisa jujur, ia juga merasa sedih. Bagaimana tidak? Di saat dia mengharapkan anak kedua, justru takdir berkata lain kepadanya. Siapa pun wanita seperti May tentu saja akan merasa sangat sedih. Bagi May, ini bukan perkara yang mudah. Bohong bila ia berkata, bahwa ia bisa menerima keadaannya saat ini. Dari hari terdalam, May sangat iri dengan sahabatnya itu.“Tidak apa, aku tahu,” jawab Bela. “Hari ini aku juga sudah bisa pulang,” sambung Bela. “Aku ikut senang, Bel. Jika bisa, aku akan mendatangi kamu sendiri ke sana. Tetapi Alvin mau bersama menengok kamu,” kata May. Alvin juga tadi sempat memberi tahu May bahwa Bela hari ini melahirkan. Alvin juga mengajak May untuk menengok keponakannya itu setelah
Dua bulan sudah berlalu, kini May sudah bisa menerima keadaannya. Walau sempat kondisinya turun.Bela selama kandungannya tua juga sering berada di rumah Alvin saat suaminya tidak ada. Seperti saat ini, Bela sudah berada di rumah May. Mereka baru saja pulang mengantarkan anaknya pulang dari sekolahnya. Dan ini saatnya, mereka bersantai sambil membaca beberapa buku di ruang tamu. “Bel, lihatlah! Ada yang jual pakaian lucu untuk bayi perempuan,” kata May sambil menunjukkan ponselnya kepada Bela. Bela juga terkesima dengan satu set pakaian lucu yang ditinjukan May. “Sangat lucu!” pekik Bela. “Apakah kamu harus membelinya? Sepertinya, iya! Ini edisi terbatas, Bel. Cepat miliki,” kata May lagi. Bela terdiam. Apakah ia harus membelinya? Tetapi untuk apa? jika anaknya perempuan nanti, masih ada pakaian milik Luna. Bukannya berniat memberikan anak yang keduanya berang bekas, tetapi memang pakaian Luna yang dulu masih bagus dan ada beberapa yang baru. Jika membeli lagi bukankah sangat di
Makan malam hari ini terasa nikmat karena kebersamaan. Ibu Mike sejak tadi juga tidak henti-hentinya bercerita kepada kedua cucu tercintanya. Luna dan juga Inara. Sangat memenangkan! Netra Bela tidak sengaja menatap ke arah May. Wanita itu memegangi perutnya sambil keringat yang membasahi wajahnya. Apakah ada yang terjadi dengan May? “May?” panggil Bela.May langsung saja mengubah posisinya menjadi tegak. May menatap Bela dengan senyum yang wanita itu paksakan. Bela tahu itu! Lagi pula, Bela tidak satu atau dua bulan bersama May. Jelas sangat tahu bagaimana jika May tengah menyembunyikan sesuatu. “Ada apa, Bel?” tanya May. Deva dan juga Alvin kini juga ikut menatap Bela dengan tatapan bingung dan bertanya-tanya. Tidak hanya itu, pak Seno pun juga ikut menatap ke arah Bela. Bela menjadi canggung saat hampir semua netra menatap ke arah dirinya. Bela menggeleng, lalu kembali melanjutkan makannya tanpa jadi berbicara kepada May. Mau tentu sangat penasaran dengan Bela. Tetapi May juga
“Sayang, bagaimana dengan ini? Ini sangat menggemaskan,” kata Deva sambil menunjukkan sebuah baju kecil berwarna pink. Baju perempuan. “Adik Luna perempuan?” tanya Luna sambil menatap Deva bingung.Memang sampai detik ini, sudah tiga bulan berjalan. Deva dan Bela tidak mau melakukan USG. Bela mau nanti jenis kelamin anaknya menjadi kejutan. Sebenarnya Deva sudah sangat penasaran, tetapi Bela tetap tidak mau melakukan USG. Pada akhirnya, Deva yang harus mengalah. Deva atau pun Bela juga tidak pernah mempermasalahkan jenis kelamin anaknya nanti. Yang terpenting bagi Deva, anak dan istrinya sehat semua. Itu sudah cukup. Ia tidak banyak menunut. Menerima ada yang diberikan kepada Tuhan untuknya. Deva menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja terasa gatal. “Ayah, adik Luna perempuan?” ulang Luna lagi. “Belum tahu, Sayang. Nanti kita tahu jika sudah lahir,” jawab Bela. Deva tersenyum kepada anaknya, dia juga memasukkan baju itu ke dalam troli belanja. Bela menatap tak percaya ke arah su
“Sayang, ada apa?” tanya Deva kala melihat wajah Bela yang sangat begitu terkejut. Bela memang tengah menelepon seorang, entah apa yang orang itu katakan kepada Bela hingga membuat raut wajah istri Deva itu berubah terkejut. Tentu saja itu membuat Deva juga ikut penasaran. Siapa yang tengah istrinya telepon? Bela mengisyaratkan Deva untuk diam, sementara Bela terus melanjutkan teleponnya. Samar-samar, Deva dapat mendengar suara yang sangat dikenalinya. May? Ya! suara itu adalah suara May! Apa yang mereka bicarakan? “Aku akan ke sana setelah ini, kamu tenang dulu,” kata Bela. “Apakah sudah selesai?” tanyanya lagi. Deva terus saja mendengarkan apa yang istrinya bicarakan dengan saksama, walau suara lawan bicaranya sama sekali tak terdengar. Deva melahap makannya dengan netra yang fokus pada Bela. “Aku turut sedih. Semoga saja semua akan baik-baik saja,” kata Bela dengan nada sedih. Deva semakin penasaran. Apa yang sedang terjadi sebenarnya?“Baiklah. Aku akan ke sana nanti. Kamu
“Ibu, Inara merasa bosan di rumah terus,” kata gadis kecil itu kepada May-sang ibu. May yang sedang menyiram tanaman langsung saja menoleh ke arah anakannya. Saat ini hari Minggu, jadi May dan Inara bersantai di rumah. “Kamu mau ke rumah Luna?” tawar May. Inara tidak langsung menjawab pertanyaan sang ibu. Iya justru terdiam beberapa. Hal itu tentu saja membuat May penasaran. Apakah ada yang terjadi dengan Inara serta Luna? Biasanya anaknya itu selalu senang saat bermain bersama Luna. Namun berbeda kali ini. “Inara, ada apa? kamu sedang berantem dengan Luna?” tebak May. Inara menggeleng. “Tidak, Ibu. Aku hanya ingin bermain bersama Ibu. Aku bosan,” jawab gadis kecil itu. May yang mendengar hal itu bernafas lega. Setidaknya mereka tidak bertengkar, kan? May sudah berpikir yang tidak-tidak mengenai anaknya dan juga Luna. “Lalu, kamu mau ke mana?” tanya May. Wanita itu mematikan keran air dan menghampiri putrinya yang tengah bermain tanah dalam pot. May langsung saja membawa Inara