Rena merasa gelisah sejak kemarin. Tetapi saat ini dia tidak ingin menyimpulkan bahwa ini adalah masalah serius atau perlu segera ditangani. Sejak kemarin perut bagian bawah tepatnya di rahim terasa sedikit nyeri. Namun lama kelamaan semakin parah. Tapi dia merasa tadi malam sedikit mereda. Jadi ibu Luna tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun. Dan Rena juga tidak mengeluh sama sekali. Dia telah berjanji untuk menjadi lebih dewasa dan lebih kuat. Jadi sekarang Rena masih memegang ini. "Apa yang kamu lakukan sayang?" tanya Lukman tadi pagi, yang mau kerja. Ia seperti melihat wajah Rena yang meringis tadi. Lukman pun bertanya. "Emm, tidak apa-apa. Hanya sedikit sakit tadi setelah memukul meja," Alasan klise yang dibuat Rena sepertinya sangat meyakinkan. Hal itu membuat Lukman mengangguk sambil mengelus perut Rena. "Aku harap kamu cepat sembuh! Jika kamu belum pulih dengan cepat, telepon aku, sayang. Aku akan menelepon ibu nanti, oke, datang saja ke sini untuknya."
"Bagaimana perasaanmu sayang? Di mana kamu sakit? Aku akan segera membawamu ke rumah sakit. Jangan khawatir!" Bela mencoba menunjuk ke bawah perutnya tapi nafasnya terengah-engah. Dia tidak tahan lagi dan sekarang tidak sadarkan diri. "Bela!" seru ibu Deva dengan suara lantang. Dia tidak percaya Bela akan pingsan seperti ini. Dia tidak tahu di mana menantunya sakit. Hal ini membuat ibunda Deva khawatir. Dia tidak mengerti apa yang menyerang Bela sekarang. Hingga terdengar suara ambulan datang. Segera Bela dibawa ke rumah sakit terdekat. "Tolong, dok. Tangani menantu saya! Dia mengeluh sakit di perut. Dia tidak banyak bicara tapi entah kenapa, saya tidak tahu penyebabnya. Tolong periksa dulu dok! Saya mohon ." Ibu Deva membawa Bela ke rumah sakit terdekat. Kondisi Bela yang tidak sadarkan diri membuatnya sangat khawatir. Seseorang yang pingsan pasti pernah merasakan sakit yang tidak bisa tertolong lagi. Sehingga kehilangan kesadaran diri. Hal ini membuat ibunda De
Saat ibu Deva sedang memanggil Mike seseorang memanggil namanya dari belakang. Tapi itu juga bertepatan dengan kedatangan dokter yang merawat Bela. Tiba-tiba Ibu Deva langsung menoleh ke arah dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi. "Bagaimana, menantu perempuanku?" Ibu Deva langsung bertanya setelah itu. Jantung ibu Deva langsung berdetak lebih cepat dari sebelum dokter keluar dari ruang operasi. Mendengar kabar Bela membuatnya panas dingin dan juga takut pingsan saat harapannya tak terkabul malah terjadi hal buruk. "Semua operasi berjalan lancar. Sekarang dia baik-baik saja. Dia tinggal menunggu kesadaran dan nanti kita tindaklanjuti. Baru setelah itu dia bisa dibawa pulang. Tapi tolong jangan masuk kamar dulu karena saat ini Mbak Bela sedang rentan terhadap feses. Semuanya harus benar-benar steril. tunggu sampai besok pagi baru kamu dan keluarga Bu Bela bisa menjenguknya," kata dokter itu membuat sedikit tidak nyaman tapi itu hal yang baik untuk Bela. Kemudian
"Ya, Bu! Yang terpenting, kami sekarang sudah mendengar dari Bela bahwa dia baik-baik saja. Sekarang tinggal menjaga agar Bela tidak seperti ini lagi. Jangan merasa bersalah, oke?" * Dua bulan telah berlalu, dan kini Alvin dan May dibingungkan oleh pagi yang aneh. May tiba-tiba memeluk tubuh Alvin dengan sangat erat dan membuat suaminya sulit bernafas. Akhirnya membuat Alvin terbangun dari tidur lelapnya. Sambil mengedipkan matanya dan perlahan membuka matanya, Alvin dikejutkan oleh May yang berada sangat dekat di depannya. "Mungkin..." "Selamat pagi Alvin!" ucap May lalu kini memeluk Alvin dengan erat lagi. May bahkan mencium wajah Alvin dengan gemas. "Mungkin masih pagi, dan aku belum gosok gigi. Baunya mungkin bau air liur," kata Alvin sambil menutup mulutnya. Dia tidak ingin May mencium bau tak sedap dari mulutnya pagi ini. "Tenang Alvin! Kamu selalu wangi. Bahkan ketiakmu juga wangi!" Kata May, menempel lebih dekat ke Alvin. Alvin dibuat terdiam oleh perilaku
Satu tahun kemudian. May dan Alvin sudah berbahagia karena kelahiran anak pertama mereka. Padahal cukup banyak cobaan yang May alami selama kehamilannya. Kekhawatiran May yang terus-menerus tentang kelambatan adalah masalah yang cukup serius. Namun May mampu melewatinya berkat dukungan dari Alvin yang selalu ada di sampingnya. Mereka telah diberkati dengan seorang putra yang mereka beri nama Yakobus. Wajahnya tampan seperti Alvin. Tapi matanya lebih seperti May yang meruncing. May menjalani persalinan caesar karena ada masalah di rahimnya. Tapi baginya, itu tidak masalah. Yang penting dia dan bayinya selamat. May tidak terlalu banyak drama dan bisa melahirkan dengan cepat. Alvin juga menemani May selama proses persalinan. Alvin tahu bagaimana seorang istri berjuang untuk melahirkan buah hatinya. Dia juga tidak akan tega menyakiti ibu anaknya. Dia berjanji untuk melindungi hati May selamanya. “Sayang, terima kasih karena kamu bersedia menjadi ibu dari anakku,” kata Alvin. "Kenapa
Tak terasa kini sudah lima tahun berlangsung. Bela menatap putrinya yang kini tengah bermain di ruang keluarga sembari menunggu sang suami pulang. Bela tersenyum setiap kali melihat tingkah menggemaskan putrinya. “Apakah kamu membutuhkan bantuan Ibu, Sayang?” tanya Bela kepada putrinya saat melihat sang putri yang tengah kesulitan memasang puzel. Ya, gadis kecil itu tengah berusaha memasang puzel yang kemarin baru dibelikan oleh Deva. Dengan wajah yang serius membuat Bela terkikik geli melihatnya. “Tidak, Luna bisa sendili, Ibu,” jawab gadis kecil itu dengan cadel. Bela mengangguk, wanita itu tetap terus memperhatikan buah hatinya yang masih terus berusaha memasang kepingan puzel. Fokus Bela terpecah kala mendengar suara ponselnya berdering. Dengan cepat ia langsung saja menyambar ponselnya dan mengangkat telepon kala tertera nama suaminya di sana. Dengan senyum yang merekah, Bela berbicara dengan seseorang di seberang sana. “Halo, apakah kamu sudah akan pulang?” tanya Bela. “Se
“Tidak ada yang tertinggal, ‘kan?” tanya Bela saat mereka hendak keluar rumah. Deva terdiam beberapa saat untuk mengingat barang bawaannya. Memastikan semua barang kantor yang ia butuhkan terbawa semua. “Tidak ada, aku sudah memastikan lagi sebelum keluar rumah,” jawab Deva dengan senyum samarnya. Bela mengangguk, setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, mereka langsung saja melaju menuju ke sekolah Luna. Seperti biasa, Deva akan mengantarkan anak dan juga istrinya terlebih dahulu ke sekolah, baru ia akan berangkat ke kantor. Saat berada di dalam mobil, suasana mendadak menjadi hening. Tidak seperti biasanya kala Deva melontarkan beberapa candanya. Hal itu tentu saja membuat Bela merasa tidak nyaman dengan keheningan yang terjadi. Wanita itu melihat ke arah Luna yang tengah fokus pada rubik di tangannya, kemudian netranya mengarah ke arah sang suami. Deva hanya diam dengan pandangan yang fokus ke arah jalanan. Sesekali ia juga melihat ke arah Bela dan juga Luna. Tetapi pria
Saat sampai di kamar Luna, Bela langsung memeluk putri kecilnya itu dengan erat. “Hay, Ibu ada di sini, tenang, oke?” kata Bela. Deva ikut menghampiri Luna yang kini tengah berada di dekapan sang istri. “Ada apa?” “Deva, badan Luna sangat panas. Bagaimana ini?” tanya Bela dengan panik. Deva terkejut dengan perkataan istrinya, langsung saja ia mengecek kondisi anaknya yang tengah dipeluk Bela dengan erat. Dan benar saja! badan putrinya terasa hangat. “Apakah tadi Luna sudah sakit?” tanya Deva. Bela menggeleng, pasalnya saat di sekolah tadi Luna masih bermain dengan Inara. Hingga pulang sekolah, Luna tidak menujukan tanda-tanda bahwa anaknya sakit. Bela semakin taut hal yang buruk terjadi kepada Luna. Bagaimana jika itu seperti demam berdarah? Yang siklusnya memang naik turun seperti ini?“Deva, aku takut Luna terkena demam berdarah, kita harus bawa dia ke rumah sakit!” “Ayo, Bela!” Deva menggendong tubuh menggigil putrinya dan langsung membawanya ke rumah sakit. Sesampainya di